Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 21 January 2010

Ketahanan Pangan Butuh Totalitas

Pada World Summit on Food Security di Roma yang baru lalu Wakil Presiden Budiono menyatakan kesiapan Indonesia untuk menjadi salah satu supplier pangan dunia. Keberhasilan swasembada pangan yang terjadi saat ini menjadi alasan penting mengenai kesiapan ini.

 

Benarkah kita siap menjadi supplier penting kebutuhan pangan dunia? Apakah kita benar-benar telah mampu memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri? Sudah tidak ada lagikah warga Indonesia yang kesulitan dalam mengakses bahan pangan?

 

Belum Swasembada Pangan

 

Jika kita mau jujur dengan keadaan sesungguhnya swasembada pangan yang saat ini terjadi masih terlalu premature untuk bisa dianggap sebagai keberhasilan dalam mengembangkan ketahanan pangan. Karena, memang apa yang disebut sebagai swasembada pangan saat itu tidak lain hanyalah sebatas kecukupan produksi beras namun bukan kecukupan pangan secara keseluruhan.

 

Jika kita cermati terjadinya kecukupan beras ini bukan saja disebabkan produksi beras yang berlebih. Melainkan juga didorong oleh beralihnya konsumsi beras ke produk pangan lain. Terutama gandum. Konsumsi gandum di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya industri pengolahan makanan berbasis gandum.

 

Pada tahun 1999 tingkat konsumsi gandum baru mencapai 17,9 gram per kapita per hari. Tahun 2003 mencapai 19,8 gram per kapita per hari. Lalu, tahun 2005 naik lagi menjadi 23,03 gram per kapita per hari. Tahun 2006 naik lagi menjadi 22,60 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2008 sudah menjadi 38 gram per kapita per hari.

 

Peningkatan konsumsi gandum berbanding terbalik dengan penurunan konsumsi beras. Tahun 1999 konsumsi beras di Indonesia mencapai 319,1 gram per kapita per hari. Tahun 2003 turun menjadi 300,56 gram per kapita per hari. Kemudian tahun 2005 turun lagi menjadi 288,30 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2006 turun lagi hingga hanya mencapai 285,04 gram per kapita per hari.

 

Tingkat konsumsi gandum pada saat ini telah mencapai 5 juta ton per tahun. Impor gandum diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 100% selama 10 tahun mendatang. Artinya akan ada potensi impor gandum hingga 10 juta ton.

 

Jika peningkatan konsumsi gandum ini terjadi secara terus menerus tentu kita tidak pernah mencapai swasembada pangan. Karena, sebagian besar bahan pangan kita harus kita penuhi dari petani-petani asing.

 

Sampai hari ini masih banyak kebutuhan pangan kita yang bergantung pada luar negeri. Kita membutuhkan gandum dan kedelai dari petani Amerika. Kita membutuhkan daging dan susu dari peternak Australia. Kita juga membutuhkan jagung dan kebutuhan pangan lainnya dari negara-negara asing.

 

Setiap tahun lebih dari 5 miliar Dolar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa habis untuk mengimpor pangan. Mulai dari gandum, kedelai, jagung, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, bahkan garam yang kebutuhannya masih dapat dipenuhi oleh produsen garam lokal juga dimpor dengan nilai Rp 900 miliar.

 

Petani Aktor Utama

 

Usaha-usaha membangun ketahanan pangan tidak bisa dilakukan kecuali melibatkan petani sebagai aktor utama. Selama ini petani selalu diharapkan untuk bisa meningkatkan produktivitas mereka agar tidak terjadi kelangkaan pangan.

 

Petani mendapat mandat yang tidak ringan karena mereka diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dasar dari seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi besarnya mandat yang diberikan kepada petani ini sama sekali tidak sebanding dengan insentif yang diperoleh petani. Khususnya insentif kesejahteraan.

 

Jika kita lihat kondisi petani kita saat ini, 56,5% dari 25,4 juta keluarga petani yang ada di Indonesia ternyata adalah petani gurem, yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha. Padahal, untuk sekedar survive petani minimal harus memiliki lahan 1 Ha. Maka tidak heran, bahwa hampir 60% dari petani Indonesia adalah masuk dalam kategori miskin (pendapatan di bawah $US 2 per hari).

 

Bagaimana mungkin petani yang miskin akan menjadi penyangga utama penyedia pangan untuk seluruh rakyat Indonesia?

 

Pertanian sesungguhnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia merupakan syarat dasar bagi keberlanjutan kehidupan rakyat Indonesia. Oleh karenanya tidak selayaknya petani berjuang sendiri melaksanakan mandat yang berat ini. Tidak selayaknya petani berjuang sendiri untuk menyelamatkan keberlangsungan manusia yang hidup di bumi pertiwi.

 

Aksi Total

 

Kita memerlukan keterlibatan semua kalangan untuk membantu petani melaksanakan mandatnya dalam memproduksi pangan yang cukup bagi kebutuhan rakyat Indonesia. Kita memerlukan aksi total untuk pertanian yang lebih produktif. Sehingga, apa yang dikatakan oleh wakil presiden di Roma mengenai kesiapan Indonesia menjadi supplier pangan dunia bukanlah sekedar wacana kosong yang tak bermakna.

 

Aksi total untuk pertanian diartikan sebagai adanya keterlibatan dan keberfihakan total dari segenap komponen masyarakat terhadap dunia pertanian. Seluruh kekuatan harus bisa dimobilisasi untuk membangun sektor yang mempengaruhi keberlajutan manusia ini.

 

Oleh karenanya semua perkembangan peradaban yang kita bangun. Semua ilmu pengetahuan yang kita kembangkan tidak boleh meninggalkan dunia pertanian dalam agendanya. Kita tidak mungkin mengkonversi semua lahan-lahan pertanian menjadi lahan-lahan industri karena itu artinya kita berkontribusi dalam mempercepat terjadinya krisis pangan. Dan, itu juga berarti kita membiarkan dunia berakhir lebih cepat.

 

Sedianya kita bisa fokus untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara pertanian dan bahari. Jepang tidak memiliki lahan cukup. Namun, mereka serius mengembangkan pertaniannya.

 

Kemajuan pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan tidak pernah melupakan dunia pertanian. Pertanian berbasis pengetahuan dan teknologi menjadikan pertanian Jepang berada pada tingkat produktifitas dan efisiensi yang tinggi. Walau lahannya sangat sempit namun Jepang mampu menyediakan pangan masyarakatnya dengan baik.

 

Indonesia sebagai negara yang memiliki kelimpahan lahan, memiliki tanah-tanah yang subur, memiliki sumber daya air yang berlimpah seharusnya memiliki dan membangun kemampuan yang lebih besar di bidang pertanian ini. Bukankah penjajah datang silih berganti untuk menikmati benefit ekonomi dari kesuburan lahan-lahan pertanian kita?

 

Rasanya aneh kalau kemajuan yang ingin kita ciptakan kita lakukan dengan mengabaikan dunia pertanian. Aksi total untuk dunia pertanian sesungguhnya merupakan agenda dasar yang perlu kita lakukan segera jika kita ingin menyelamatkan negeri ini dari bahaya kebergantungan dan kelaparan di masa depan.

 

SUMBER:

Mukhamad Najib. Ketahanan Pangan Butuh Totalitas. suarapembaca.detik.com.http://suarapembaca.detik.com/read/2010/01/21/101047/1283088/471/ketahanan-pangan-butuh-totalitas?882205470

Friday, 8 January 2010

Accelerating Exports to Asia

 

Accelerating Exports to Asia is the Only Way to Regenerate Japanese Agriculture

 

By SHINDO Eiichi
Professor Emeritus of Tsukuba University

The "manifesto campaign boom" shook the Japanese politics. Points in the political disputes are US-Japan Free Trade Agreement (FTA) related with the agricultural policies and the Japanese future growth strategies. Both of them would influence seriously the Japanese local economies such as those in Hokkaido prefecture, "a kingdom of agricultural economy" which has been in serious recession. The nature of election campaign manifestos is indication not only of the commitments on specific policies in the future but also of those in the past, just as the nature of the business contracts. We could, in this context, remember the past policies on the FTAs as well as the agricultural policies, which then Foreign Minister Aso Taro had advocated as part of the Japanese novel foreign policy named "the Arc of Freedom and Prosperity," comprising such democratic prosperous countries in the Asia-Pacific region as the United States, Australia, New Zealand, India, Japan and Korea. Under such a grandiose foreign policy, he committed and pursued the FTA policy with Australia. The FTA with Australia as it was planned would have seriously damaged our agricultural sectors including those of Hokkaido prefecture. It has to be pointed out that the size of cultivated land in Japan and Korea per farming household is only about 1.5 hectares, whereas those in the U.S. and Australia are 196 hectares and 4100 respectively. This huge difference in the size of faming lands would end up in devastating the Japanese agricultural sectors even those of Hokkaido area. The past commitments on trade and agricultural policies have indicated the lack of the comprehensive strategy of public policies to regenerate our agriculture.

It is time to think over how Japan should deal with the impacts of the FTA just concluded between the U.S. and Korea, which completely ruled out rice as the subject of tariff free articles to protect the agricultural sector in Korea. Hence, it is time for us to regain the competitiveness in the U. S vis-à-vis Korean exported goods, and at the same time to explore the way to regenerate agriculture in Japan, The answer should be the dual strategies both to improve the deteriorated ratio of food self-sufficiency, and to take advantages of the current global revolution in information technologies and environment conservation. It is easy to promise, but difficult to realize, the improvement of the food self-sufficiency ratio and of the deteriorated welfare policies, so as to regain and maintain the economic growth, since the welfare policies would need the vast amount of financial revenue. The growth strategy would be impossible unless we make a radical shift from the conservative neoliberal policy sacrificing the weak and the social safety-nets. It would be also impossible to turn the current food self-sufficiency ratio from 40 percents, the lowest one among the developed countries, even to 50 percents, unless we make the drastic change in the traditional policies of depending heavily on the governmental subsidies that Japan has adopted for the past half a century. Even in the U.K., it took twenty years to improve the food self-sufficiency ratio from 45 percents in 1965 to over 70 percents in late 1980's. The key ingredient for the agricultural regeneration should be to adopt the "individual household income support system," which the EU countries including the U.K. have adopted. Hence, it is called the "EU formula." It certainly aims at fostering farmers by directly subsidizing each farming household based on the differences between the retail prices and the farms production costs against the imported agricultural goods.

In this respect, it is vitally important for the Japanese political parties either JDP or LDP to leave off the rice acreage reduction policy which has resulted in enormous increase in abandoned lands of cultivation. Instead, we should take the firm policy to stimulate the agriculture through the "individual household income support system." The current campaign manifestos of both the ruling party and the opposition remain fixed to a narrowly defined egocentric "one-country-approach." They have been so obsessed with the idea of the outmoded mythology of the Cold War centering on the U.S. -Japan alliance, using the semantics of the "diplomatic continuity." As a result, Japan has lost many chances to lead and coexist with Asia, which have been the driving forces of the world economy. We should take the strategy to expand export of our value-added agricultural products to the mega-market of rising and affluent East Asia. It will open up a window of opportunity to regenerate the Japanese agriculture. Hokkaido, "a kingdom of agricultural economy," with the comparatively large size of the farming land as the one in EU countries, would play a central role in initiating and pursuing this strategy through applying the edge of the information technology to the food industry sector. It is vital to enhance the added values of the agricultural products, to brand and commercialize them in broader affluent markets in Asia. The current agricultural sector is not the primary industry in a traditional sense any more. It has become so-called the "sixth industrial sector" multiplying both the second and the third ones through their closer cooperation with business, industrial and academic circles. Hokkaido would certainly contribute to revitalizing the Japanese agriculture and to building up the food supplying base for the regional food security regime in East Asia.

Regenerating the agriculture would also be one of the main vehicles to reduce the carbon dioxide, marking for strengthening the current environmental revolutionary movements through absorption of it by forests. These ecological policies were agreed and declared at the Hokkaido Toyako Summit in June 2008 and since then have been gradually implemented. Now we should promote more aggressively an East Asian community building with the emerging food and ecological security regime in East Asia and put forward a bolder strategy of strengthening the cooperative ties with Asia in these agricultural and environmental industry sectors as well. For the past 20 years, while the ratio of total amount of Japanese trade with the U.S. decreased from 27.4 to 13.7 percents, the one with China increased dramatically from 3.5 to 20.4 percents and the one with Asia makes up 48.8 and the one with Eurasia 73.9 percents respectively. This new reality of dramatic changes of global balance of power and trade indicates us the ways to regenerate Japan's economy and agriculture through our much closer ties with Asian nations.

Source: The Council on East Asian Community (CEAC) E-Letter (10 November 2009, Vol. 2, No. 7)

Wednesday, 30 December 2009

Evaluasi Pengujian Vaksin Infectoius Bronchitis


Evaluasi Pengujian Vaksin Infectoius Bronchitis Tahun 1987-2001

 
PUDJIATMOKO
National Veterinary Drug Assay Laboratory
(Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan)
Gunungsindur, Bogor 16340 INDONESIA

ABSTRACT


Study on results of infectious bronchitis (IB) vaccine assay was done. This study is based on results of vital vaccine assay at National Veterinary Drug Assay Laboratory, Index of Indonesian veterinary drugs, and documents of veterinary drug registration. The purpose of this study is to evaluate IB vaccine assay done from 1987 to 2001. This study describes registered vaccines in Indonesia; virus strains of IB vaccine; results of virus content, safety, and potency test. In 14 years, 140 IB vaccines have been registered by Department of Agriculture, Indonesia. Eighty-seven vaccines have been tested. Sixty-four vaccines passed the test.

Key words: Infectious bronchitis, vaccine assay, virus strains, serotype.

ABSTRAK


Pengkajian hasil pengujian vaksin infectious bronchitis (IB) telah dilakukan di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH). Pengkajian ini berdasarkan pada hasil pengujian vaksin virus di BPMSOH, Indeks Obat Hewan Indonesia dan dokumen pendaftaran obat hewan. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi pengujian vaksin IB yang dilakukan dari tahun 1987 sampai dengan tahun 200 I. Studi ini membahas tentang vaksin yang diregistasi di Indonesia; galur virus vaksin IB; hasil uji kandungan virus, keamanan, dan potensi vaksin. Selama 14 tahun terdapat 140 vaksin IB yang telah diregistrasi oleh Departemen Pertanian, Indonesia. Vaksin yang sudah diuji di BPMSOH sebanyak 87 vaksin. Vaksin yang lulus uji sebanyak 64 vaksin.

Kata kunci: Infectious bronchitis, pengujian vaksin, galur virus, serotipe.

PENDAHULUAN


Virus Infectious Bronchitis (IB) dilaporkan pertama kali pada tahun 1930-an (Schalk dan Hawn, 1931), kemudian menjadi penyebab utama penyakit ayam, yang menyerang segala jenis ayam dan semua umur, di seluruh penjuru dunia (Anon, 1988, 1991). Virus IB termasuk Coronavirus yang menyebabkan penyakit saluran pernapasan yang bersifat akut dan sangat menular. Penyakit ini bisa menimbulkan kematian anak ayam umur kurang dari 3 minggu sekitar 30% (Hofstad, 1984), hambatan kenaikan berat badan pada anak ayam umur di atas 6 minggu Cbavelaar et al, 1986), dan penurunan produksi telur hingga 60% pada ayam dewasa (Hofstad, 1984).

Vaksin yang bermutu baik telah digunakan untuk mengendalikan infeksi IB sejak tahun 1950-an. Walaupun vaksin tersebut telah digunakan dengan hati-hati, tetapi kemudian IB menjadi masalah besar karena tipe antigenik IB di dunia jumlahnya bertambah banyak. Serotipe IB yang pertama kali dilaporkan adalah Massachusett (Schalk dan Hawn, 1931), kemudian pada pertengahan tahun 1950 dilaporkan serotipe yang lain yaitu Connecticut (Jungherr et aL, 1956). Sejak saat itu serotipe baru dilaporkan di Amerika Serikat (Gelb et al, 1991), Eropa (Davelaar et al, 1984; Cook dan Huggins, 1986) dan banyak tempat di dunia (Cubillos et al, 1991) termasuk Indonesia (Darminto, 1992).

Pada sebuah hasil studi molekuler, telah diketahui bahwa bagian S 1 dan virus IB bertanggungjawab dalam menentukan serotipenya. Serotipe baru bisa muncul hanya karena hasil perubahan yang sangat sedikit pada komposisi asam amino bagian S1 pada spike protein (Cavanagh et al., 1992), sementara sebagian besar genome virus yang lain tidak berubah. Karena banyak antigen dengan berbagai serotipe yang tersebar di dunia ini maka diusahakan agar vaksin yang tersedia sekarang harus bisa menimbulkan proteksi terhadap tantangan virus lapangan di suatu kawasan atau negara.

Vaksin yang beredar di Indonesia harus bisa mengebalkan ayam-ayam terhadap infeksi IB isolat lapang. Pengujian vaksin IB sangat penting dalam menjamin mutu vaksin yang digunakan dalam pencegahan penyakit IB di peternakan. Pengujian vaksin IB untuk sertifikasi di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) mulai dilakukan pada tahun 1987. Setelah berjalan selama 14 tahun pengujian tersebut perlu dievaluasi untuk memperbaiki kekurangan dalam metoda pengujian maupun sistem pengujiannya.

Pengkajian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data dari buku hasil pengujian vaksin virus untuk unggas di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Indeks Obat Hewan di Indonesia (IOHI) edisi III tahun 1993 dan edisi IV tahun 2000 yang diterbitkan oleh Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian, dan dokumen permohonan pendaftaran obat hewan. Tujuan studi kali ini adalah mengevaluasi hasil pengujian vaksin IB di BPMSOH dari tahun 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2001.

MATERI DAN METODA


Buku Hasil Pengujian Vaksin Virusi untuk Unggas
Buku ini memuat data vaksin virusi untuk unggas yang akan diuji, sedang diuji dan sudah di uji di seksi virologi Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. Vaksin yang masuk ke seksi virologi dibukukan dengan nomor urut per tahun dan nomor sampel berasal dari seksi penerimaan sampel. Pada buku tersebut dicatat nama dagang vaksin, jenis vaksin (nama penyakit), produsen, distributor, dosis, nomor batch, tanggal kadaluarsa, hasil uji kandungan virus, hasil uji keamanan, hasil uji potensi dan keterangan penilaian akhir.

Karena buku ini berisi data berbagai jenis vaksin maka data vaksin IB disusun menjadi 1 tabel dan dilengkapi dengan data-data yang lain seperti galur virus vaksin, selisih waktu an tara tanggal pengujian dan kadaluarsa, kandungan virus menurut dokumen per­usahaan, jenis vaksin yang terkandung (untuk vaksin kombinasi), dan referensi metoda pengujian. Hasil uji kandungan virus, keamanan dan potensi di susun menurut tahun pengujian. Hubungan antara kandungan virus, waktu kadaluarsa dan potensi vaksin ditabelkan.

Indeks Obat Hewan Indonesia
Buku Indeks Obat Hewan Indonesia diterbitkan oleh ASOHI dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Buku ini memuat keterangan vaksin-vaksin yang sudah terdaftar di Departemen Pertanian, Indonesia. Buku yang digunakan dalam studi kali ini adalah edisi III tahun 1993 dan IV tahun 2000.

Jumlah vaksin yang memiliki nomor registrasi dan tercatat dalam IOHI dikelompokan per perusahaan kemudian dicocokkan dengan buku hasil pengujian vaksin virus untuk unggas. Vaksin dikelompokan menurut kombinasi vaksin, bentuk vaksin dan jumlah vaksin pada tahun 1993 dan 2000. Galur virus vaksin dikelompokan dan dihitung berdasar negara produsen vaksin.

Lampiran Permohonan Pendaftaran Obat Hewan
Ketika mendaftarkan vaksin ke Departemen Pertanian, perusahaan melampirkan keterangan tentang vaksin yang didaftarkan. Lampiran permohonan obat hewan berisi keterangan mengenai komposisi obat hewan, proses pembuatan, pemeriksaan sediaan obat jadi untuk hewan, pemeriksaan bahan baku, pemeriksaan stabilitas, daya farmakologi obat hewan, publikasi percobaan klinik di lapangan, keterangan tentang wadah dan bungkus luar, keterangan tentang tutup, dan keterangan tentang penandaan.

Dengan lampiran ini bisa diketahui metoda pengujian mutu vaksin dan acuannya, batas minimal untuk lulus uji, dan publikasi percobaan klinik di lapangan. Data yang tertulis dalam dokumen dibandingkan dengan data yang tercatat pada sumber yang lain.

HASIL DAN DISKUSI


Vaksin IB di Indonesia
Vaksin IB yang terdaftar di Indonesia berdasarkan buku IOHI edisi III tahun 1993, vaksin IB bentuk hidup tunggal menduduki urutan teratas yaitu 16 vaksin, yang kedua vaksin kombinasi IB dan ND hidup sebanyak 4 vaksin, diikuti vaksin IB tunggal inaktif, kombinasi IB dan ND inaktif dan kombinasi IB, ND dan EDS inaktif masing­-masing sebanyak 2 vaksin, sedangkan vaksin kombinasi IB+ND+IBD, kombinasi IB+ND+SHS dan kombinasi IB+ND+SHS+EDS masing-masing ada 1 vaksin yang beredar di Indonesia (Tabel 1).

Pada tahun 2000 (IOHI edisi IV) secara umum terjadi peningkatan jumlah vaksin IB yang beredar di Indonesia, terbanyak masih jenis vaksin yang sama itu IB bentuk hidup tunggal sebanyak 34 vaksin, yang kedua kombinasi IB+ND hidup sebanyak 22 vaksin, ketiga kombinasi IB+ND+EDS sebanyak 14 vaksin, diikuti vaksin kombinasi IB+ND inaktif, IB+ND+IBD, dan IB inaktif masing-masing sebanyak 9, 7 dan 5 vaksin, sedangkan vaksin kombinasi IB+ND+SHS, IB+ND+EDS+SHS dan IB+ND+IBD+Reo masing-masing ada 1 vaksin (Tabel 1).

eva1

Pada tahun 1993 dari 29 vaksin terdapat 20 vaksin hidup yang terdiri dari 16 vaksin IB tunggal dan 4 vaksin kombinasi IB dan ND. Sehingga ada sekitar 67% vaksin IB hidup. Pada tahun 2000 vaksin IB hidup persentasenya juga tetap tinggi yaitu 60% yang terdiri dari 34 vaksin tung gal IB dan 22 vaksin kombinasi IB+ND.

Persentase vaksin IB hidup cukup tinggi maka perlu perhatian serius pada galur virus vaksin yang terkandung dalam setiap jenis vaksin tersebut. Pad a tahun 1956 Jungherr et al. melaporkan bahwa galur Connecticut yang diisolasi pada tahun 1951 dan galur Massachusetts yang diisolasi pada tahun 1941 menyebabkan penyakit yang serupa, tetapi tidak ada proteksi silang atau netralisasi silang. Di dunia telah banyak dikenal serotipe virus IB, disamping dua galur tersebut di atas ada juga serotipe Georgia, Deleware, Iowa 97, Iowa 69, Arkansas 99, Gray, New Hampshire, D274, D1466, N2/62, N9/74, Australian T dan lain-lain.

Di Indonesia, tidak efektifnya vaksin IB di peternakan yang telah rutin melaksanakan program vaksinasi disebabkan oleh perbedaan serotipe antara virus vaksin dan virus IB penyebab wabah di lapangan (Darminto, 1995). Kekebalan diantara serotipe tidak cukup untuk melindungi tantangan virus alam. Vaksin yang diper­gunakan di suatu daerah harus sesuai dengan serotipe vi­rus yang terdapat di daerah bersangkutan. Vaksin yang masuk Indonesia harus mengandung virus yang tepat dengan virus lapangan yang menginfeksi ayam-ayam di Indonesia. Selain bisa melindungi ayam-ayam terhadap serangan penyakit IB, diharapkan vaksin hidup yang masuk ke wilayah Indonesia juga bisa dikontrol sehingga tidak membahayakan peternakan unggas di Indonesia.

Galur Virus Vaksin IB di Indonesia
Vaksin IB yang beredar di Indonesia berasal 27 perusahaan pembuat vaksin dari 13 negara, termasuk 2 perusahaan dari Indonesia. Ada 16 galur virus IB vaksin yang beredar di Indonesia (Tabel 2). Begitu banyaknya galur virus vaksin tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menentukan galur yang tepat untuk melindungi ayam terhadap galur lapangan yang ada di Indonesia. Menurut Darminto (1992) isolat virus IB asli Indonesia ada tiga serotipe, 3 galur (I-269, I-624, PTS II) termasuk tipe Mass, 1 galur termasuk Conn (I-37) dan 2 galur varian (PTS III, 1-625) menimbulkan reaksi silang yang tinggi dengan virus N2/62 asal Australia. Untuk mengetahui angka proteksi hasil vaksinasi dengan tepat maka dalam uji potensi perlu ditantang dengan virus isolat Indonesia.

Sebelum dilakukan pengujian di BPMSOH, seleksi terhadap vaksin yang akan masuk ke wilayah Indonesia perlu dengan kewaspadaan yang cukup, supaya tidak terjadi masuknya virus vaksin yang tidak diinginkan yang


eva2

pada suatu saat akan menimbulkan masalah dalam pengendalian penyakit lB. Maka dari itu perlu pengkajian yang mendalam sebelum menerima vaksin hidup dari luar, seperti pengkajian keterangan pendaftaran obat hewan. Pada lampiran tentang percobaan klinik di lapangan, perlu disertai publikasi ilmiah tentang kemampuan vaksin yang mau didaftarkan bisa mencegah infeksi virus-virus isolat asli dari Indonesia.

Terdapat 29 vaksin yang tidak mencantumkan secara jelas galur virus vaksinnya, melainkan hanya menuliskan tipe Mass (Tabel 2). Dalam keterangan pendaftaran perusahaan vaksin terse but diharuskan untuk menuliskan dengan jelas nama galur virus vaksin untuk mempermudah pengujian dan pengkajian vaksin lB. Galur-galur tertentu digunakan hanya oleh satu perusahaan pembuat vaksin tertentu. Galur semacam ini ada 9, setiap galur tersebut hanya digunakan oleh satu perusahaan vaksin. Apakah semua galur virus ini tepat digunakan di Indonesia, perlu pengkajian lebih lanjut.

Di Indonesia terdapat vaksin IB yang mengandung lebih dari 1 galur virus lB. Vaksin jenis ini telah ditemukan 9 nama dagang yang beredar di Indonesia. Menurut hasil studi Cook et al. (1999) menunjukan bahwa untuk meningkatkan proteksi terhadap tantangan virus yang berbeda serotipe digunakan vaksin yang mengandung 2 galur virus IB dengan sifat antigen berbeda. Maka dari itu untuk menanggulangi tantangan virus lapangan dengan banyak serotipe di dunia, kemungkinan vaksin jenis ini akan meningkat jumlahnya di kemudian hari.

Hasil Pengujian Kandungan Virus
Untuk mengetahui virus yang terkandung dalam vaksin hidup dilakukan uji kandungan virus menggunakan telur ayam specific pathogen free (SPF) berembrio. Vaksin dinyatakan lulus uji kandungan virus apabila vaksin yang diuji tersebut mengandung virus IB sebanyak 103.0 EID50 atau lebih (Anonimus, 1997, Anonimus, 1976). Sebagian besar perusahaan pembuat vaksin IE menggunakan metoda uji kandungan virus sesuai dengan metoda yang dipergunakan di BPMSOH.

Pada uji kandungan virus tersebut menunjukkan bahwa vaksin IB yang diuji pada tahun anggaran 1987/ 1988 sampai dengan 1991/1992, dan dari tahun 1993/1994 sampai dengan 1999/2000 semua vaksin yang diuji memenuhi syarat (Tabel 3). Sedangkan persentase lulus uji terendah terdapat pada tahun 1992/1993 yaitu sebesar 67% diikuti pada tahun 2001 sebesar 83% dan tahun 2000 sebesar 89%. Vaksin yang lulus uji kandungan virus secara keseluruhan dari tahun 1987/1988 sampai dengan pertengahan tahun 2001 adalah 96%.
eva3

Vaksin IB hidup yang beredar di Indonesia, dalam dokumennya sebagian besar dinyatakan berkandungan virus tidak kurang dari 103.0 EID50 seperti yang disyaratkan oleh Farmakope Obat Hewan Indonesia (FOHI). Berdasarkan data dari dokumen tiap-tiap vaksin, kandungan virus vaksin yang beredar di Indonesia dirangkum menjadi sebagai berikut: 1 vaksin dengan kandungan virus ≥105,1 EID50, 4 vaksin ≥ 104 EID50, 21 vaksin ≥ 103,5 EID50, 29 vaksin ≥ 103,0 EID50 ,dan 2 vaksin dalam dokumennya dinyatakan berkandungan virus 102,5 EID50.

Dua vaksin terakhir tersebut diatas tidak memenuhi persyaratan minimal pada Farmakope Obat Hewan Indonesia. Kedua vaksin ini diproduksi oleh 2 perusahaan dari 2 negara di Asia, karena mereka mengacu pada Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998) yang mencantumkan kandungan virus minimal 102,0 EID50, Untuk bisa mengedarkan vaksinnya di Indonesia, kedua pabrik pembuat vaksin tersebut dianjurkan supaya menaikkan kandungan virus dalam vaksinnya agar bisa memenuhi persyaratan uji kandungan virus vaksin IB di Indonesia.

Indonesia yang termasuk anggota ASEAN, turut aktif pada pertemuan Sectoral Working Group on Livestock (ASWGL) turut serta dalam menyusun Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998). Di dalam buku tersebut tertulis persyaratan minimal kandungan virus vaksin IE terlalu rendah dibanding dengan pedoman pengujian di negara Asia Pasifik lainnya seperti Jepang dan Australia atau di benua lain seperti Amerika dan Eropa. Kandungan minimal virus vaksin IB menurut Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998) adalah 102,5 EID50, sedangkan berdasarkan pada Farmakope Obat Hewan Indonesia (1997), Minimum Requirement of Biological Products for Animal Used, Japan (1976), Code of Federal Regulations for Animals and Animal Product, US (1993) adalah 103.0 EID50, dan pada British Pharmacopoiae (1985) adalah 103.5 EID50, Menurut hasil studi ini juga menunjukkan bahwa kandungan virus berpengaruh terhadap potensi vaksin. Maka dari itu perlu kajian ulang kandungan virus minimal vaksin IB dalam Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998).

Mungkin terdapat korelasi kandungan virus vaksin dan waktu kadaluarsa. Data hubungan waktu kadaluarsa dan kandungan virus menunjukkan bahwa semakin dekat tanggal kadaluarsa kandungan virus vaksin semakin menurun. Vaksin dengan tanggal kadaluarsa kurang dari 7 bulan kandungan virusnya mendekati batas minimal persyaratan lulus (TabeI4). Hasil ini menunjukkan bahwa
eva4
pengambilan sampel atau pengiriman sampel vaksin dilakukan 7 bulan lebih sebelum tanggal kadaluarsa, agar vaksin-vaksin yang sudah lulus uji masih mempunyai kandungan virus yang cukup ketika digunakan oleh peternak.

Mungkin terdapat korelasi kandungan virus dan potensi vaksin. Pada Tabel 5 menggambarkan bahwa rata-rata vaksin IB hidup galur H120 dengan kandungan virus kurang dari 103,0 EID50 indeks serum netralisasi yang dihasilkan rendah (1,8). Semakin tinggi kandungan virus suatu vaksin mempunyai kecenderungan semakin tinggi indeks serum netralisasi yang dihasilkan. Untuk galur H120 dan Mass dengan kandungan virus 104,1 EID50 atau lebih bisa merangsang pembentukan antibodi tertinggi, indeks serum netralisasi 2,4. Sedangkan untuk galur virus yang lain, karena data yang diperoleh tidak cukup maka belum bisa ditarik kesimpulan.
eva5

Hasil Pengujian Keamanan Vaksin
Untuk mengetahui keamanan suatu vaksin IB perlu dilakukan uji keamanan menggunakan ayam SPF. Vaksin dinyatakan lulus uji keamanan tersebut apabila semua ayam yang divaksin dengan 10 dosis dan semua ayam kontrol tidak memperlihatkan gejala abnormal selama 21 hari (Farmakope Obat Hewan Indonesia, 1997). Metoda yang digunakan ini sarna seperti yang tertulis dalam Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998), Code of Federal Regulations for Animals and Animal Product, US (1993), British Pharmacopoiae (Veterinary) (1985), European Pharmacopoeia (1980) dan Minimum Requirement of Biological Products for Animal Used, Japan (1976). Sebagian besar perusahaan pembuat vaksin IB menggunakan metoda uji keamanan sesuai dengan metoda yang dipergunakan oleh BPMSOH.

Pada uji keamanan tersebut, vaksin IB yang diuji lulus semua (100%) dalam tahun anggaran 1987/1988 sampai dengan 1991/1992, juga pada tahun 1993/1994, 1995/ 1996,1997/1998, dan 2001 (Tabel 3). Persentase terendah terdapat pada tahun 1994/1995 yaitu sebesar 50% diikuti pada tahun 1992/1993 sebesar 56% dan tahun 1998/1999 sebesar 80%. Sedangkan pad a tahun yang lain bervariasi antara 83% dan 91 %. Vaksin yang lulus uji keamanan secara keseluruhan dari tahun 1987/1988 sampai dengan pertengahan 2001 adalah 87%.

Kandungan virus terlalu tinggi bisa menyebabkan vaksin menjadi tidak am an untuk ayam. Vaksin IB hidup yang tidak memenuhi syarat pad a uji keamanan sebagian besar berasal dari vaksin dengan kandungan virus tinggi, 4 vaksin galur H120 berkandungan virus 104,9-105,5 EID50, 1 vaksin galur Connecticutt dan 1 vaksin galur Armidale masing-masing berkandungan virus 105,5 dan 106,5 EID50, Data ini memperlihatkan bahwa ketidak lulusan vaksin­vaksin tersebut mungkin disebabkan kandungan virus yang terlalu tinggi, tetapi masih perlu pembuktian lebih lanjut.

Hasil Pengujian Potensi Vaksin
Untuk mengetahui potensi suatu vaksin IB perlu dilakukan uji potensi menggunakan ayam SPF. Uji potensi vaksin IB di Indonesia metoda yang digunakan adalah metoda serum netralisasi. Vaksin dinyatakan lulus uji potensi tersebut apabila indeks netralisasi serum ayam yang divaksin adalah 2,0 atau lebih (Farmakope Obat Hewan Indonesia, 1997). Metoda ini mengadopsi pada Minimum Rquirement of Biological Products for Animal Used, Japan (1976).

Pada uji potensi tersebut, vaksin yang diuji lulus semua terdapat pada tahun 1987/1988 sampai dengan 1991/1992, juga pada tahun 1994/1995 dan 1997/1998 sampai dengan 1999/2000 (Tabel 3). Persentase lulus uji terendah terdapat pada tahun 1993/1994 yaitu sebesar 40%, diikuti tahun 2000 sebesar 64% da tahun 1995/1996 sebesar 70%. Sedangkan apda tahun 1996/1997 dan 1992/ 1993 masing-masing adalah 78% dan 86%. Vaksin yang lulus uji potensi secara keseluruhan dari tahun 1987/1988 sampai dengan pertengahan 2001 adalah 84%.

Sebagian besar perusahaan pembuat vaksin IB menggunakan metoda uji potensi dengan cara tantang seperti tertulis pada Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1988), Code of Federal Regulations for Animals and Animal Product, US (993), British Pharmacopoiae (Veterinary) (1985), European Pharmacopoeia (1980). Banyak galur virus vaksin yang telah masuk ke Indonesia. Dengan metoda serum netralisasi tidak bisa menjamin semua galur virus vaksin krosproteksi dengan virus lapangan di Indonesia. Maka dari itu periu merubah metoda uji potensi vaksin IB dan uji netralisasi serum menjadi uji tantang dengan menggunakan virus ganas isolat Indonesia.

Hasil Penilaian Akhir
Penilaian akhir merupakan gabungan dari hasil uji kandungan virus, uji keamanan dan uji potensi. Vaksin yang memenuhi syarat adalah vaksin yang telah lulus dari tiga uji tersebut diatas. Pada penilaian akhir uji vaksin IB, vaksin yangdiuji pada tahun 1987/1988 sampai dengan 1991/1992, danjuga pada tahun 1997/1998 lulus semua (Tabel 3). Persentase lulus uji terendah terdapat pada tahun 1993/1994 yaitu 40%, diikuti tahun 1992/1993 sebesar 44% dan tahun 1994/1995 sebesar 50%. Persentase lulus uji pada 8 Tahun Anggaran yang lain bervariasi antara 44% dan 86%.

Selama 14 Tahun Anggaran terdapat 140 vaksin IB yang telah diregistrasi oleh Departemen Pertanian. Vaksin yang sudah diuji di BPMSOH sebanyak 87 vaksin. Dari vaksin yang diuji tersebut ternyata vaksin yang lulus uji pada penilaian akhir adalah 64 vaksin at au 74% dari vaksin-vaksin yang diuji mulai tahun 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2001.

Perlu diketahui bahwa pengujian vaksin selama ini dilakukan terhadap setiap jenis vaksin bukan setiap batch atau lot suatu vaksin. Meskipun sudah lulus uji untukjenis vaksin tersebut tetapi belum bisa menjamin setiap batch atau lot dari jenis vaksin tersebut juga lulus. Selama 14 tahun dari 1987-2001 vaksin yang memenuhi syarat sebanyak 74%, dan bahkan selama 3 tahun berturut-turut dari 1992-1994 vaksin yang memenuhi syarat hanya 40%­-50%. Begitu rendah vaksin yang memenuhi syarat ini maka disarankan agar pengujian vaksin IB dilakukan terhadap setiap batch vaksin. Hal ini bertujuan untuk menjaga mutu dari setiap batch vaksin yang beredar di Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN

Perusahaan pembuat atau pengimpor vaksin diwajibkan mengujikan setiap batch vaksin yang diproduksi di Indonesia atau diimpor ke Indonesia.

Lembaga penelitian, Departemen Pertanian maupun LIPI perIu mengkaji galur virus vaksin IB dan isolat virus IB di Indonesia.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan meningkatkan seleksi secara seksama terhadap galur virus vaksin impor agar vaksin tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal dan tidak membahayakan bagi peternakan ayam di Indonesia.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan mengkaji metoda uji potensi vaksin IB dari uji netralisasi serum menjadi uji tantang dengan menggunakan virus isolat Indonesia.

ASEAN mengkaji ulang persyaratan minimal kandungan virus vaksin IB dalam Manual of ASEAN Standards for Animal Vaccines.

DAFTAR PUSTAKA


Anonimus, 1976. Minimum Requirement of Biological Products for Animal Used, Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries. Tokyo.

Anonimus. 1980. European Pharmacopoeia. Council of Europe. Volume 1-8, Maisonneuve S.A., Perancis.

Anonimus. 1985. British Pharmacopoeia (Veterinary).
Department of Health and Social Security. Welsh Office. Scotish Home and Health Department. Ministry of Agriculture, Fisheries and Food. Department of Health and Social Services for Nothern Ireland. Department of Agricultural for Northern Ireland. London Her Majesty's Stationery Office. UK for HMSO.

Anonimus. 1987. Peraturan Perundangan Kesehatan Hewan edisi III, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

Anonimus. 1988. In E.F. Kaleta and U. Heffels-Redman (Eds.). Proceedings of the First International Symposium on Infectious Bronchitis, Rauischholzhausen, Germany.

Anonimus.1991. InE.F. Kaleta and U. Heffels-Redmann (Eds.). Proceedings of the Second International Symposium on Infectious Bronchitis, Rauischholzhausen, Germany.

Anonimus. 1993. Code of Federal Regulations. Animals and Animal Products, Volume 9 Part 1 - 199. US Government Printing Office. Washington.

Anonimus. 1993. Indeks Obat Hewan Indonesia edisi III, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Anonimus. 1997. Farmakope Gbat Hewan Indonesia (Biologik) Jilid I. Direktorat Jenderal Peternakan. Cetakan ke-2. Air Akar.

Anonimus. 1988. Manual of ASEAN Standards for Animal vaccines. ASEAN Secretariat, Penebar Swadaya. Indonesia.

Anonimus. 2000. Indeks Gbat Hewan Indonesia edisi IV, Direktorat Jenderal Peterakan, Jakarta.

Cavanagh, D., Davis, P.J. and Cook, J.K.A. 1992.
Infectious Bronchitis virus: evidence for recombination within the Massachusetts serotype. Avian Pathology. 21,401-408.

Cook, J.K.A. and Huggins, M.B. 1986. Newly isolated serotype of infectious bronchitis virus: their role in Disease. Avian Pathology, 15. 129-138.

Cubillos, A., Ulloa, J. Cubillos, V and Cook, J.K.A. 1991. Characterization of strains of infectious bronchitis isolated in Chile. Avian pathology, 20, 85-99.

Darminto. 1992. Serotyping of infectious bronchitis viral isolates. Penyakit Hewan, 24(44), 76-81.

Darminto. 1995. Diagnosis, Epidemiology and Control of two Major Avian Viral respiratory Diseases in Indonesia: Infectious bronchitis and Newcastle Disease. PhD Thesis. Department of Biomedical and Tropical Veterinary Science, James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia.

Davelaar, F.G., B. Konwenhoven, and A.G. Burger. 1986. The diagnosis and control of infectious bronchitis variant infection. In: Acute virus infection of poultry (eds. J.B. McFerran and M.S. McNulty). Martinus NijhoffPublishers, Lancaster. pp. 103-121.

Gelb, J., Wolff, J.B. and Moran, C.A. 1991. Variant serotype of infectious bronchitis virus isolated from commercial layer and broiler chickens. Avian Diseases, 35, 82-87.

Hofstad, M.A. 1984. Avian infectious bronchitis. In:
Disease of Poultry, 8th edition, (eds. M.S. Hofstad, H.J. Barnes, B.W. Calnek, W.M. Reid, and H.W. Jr. Yoder). Iowa State University Press, Ames. Iowa, USA. pp. 429-443.

Jungherr, E.L., Chromiak, T. W. and Luginbuhl, R.E. 1956. Immunologic differences in strains of infectious bronchitisvirus. Proceeding of 60th Annual Meeting of the United states Livestock Sanitary Association, Chicago, IL (pp. 203-209).

Schalk,A.F. and Hawn, M.C. 1931. An apparently new respiratory disease of baby chicks. Journal of the American Veterinary Medical Association. 8: 413­422.


Sumber : Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan nomor 8 tahun 2001.

Tuesday, 29 December 2009

Kandidat Vaksin ompA-rekombinan Feline Chalmydiosis

Respons Pembentukan Antibodi pada Tikus Putih Terhadap Vaksin ompA rekombinan F eline Chalmydiosis

 

 
PUDJIATMOKO
Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan
(National Veterinary Drug Assay Laboratory)
Gunungsindur, Bogor 16340, Indonesia

ABSTRACT

The ompA-recombinant protein produced by E. coli BL21 (DE3)plysS containing pRSETA/ompA gene of feline Chlamydia psittaci B 166 strain was purified using method of Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands). To eliminate guanidine hydrochloride, the suspension of ompA-recombinant protein was dialyzed in 20 mM Tris pH 7.8, glycerol 10% and phenylmethylsulfonyl fluoride containing 0,1 M MgCI2 CaCl2, NaCI or KCI. To prepare the vaccines, the purified proteins were emulsified with oil adjuvant. One ml of each vaccine was injected intramuscularly to 4 spesific pathogen free rats 8-week-old. The second vaccination was performed at 3 weeks post first vaccination. IgG antibody titer against feline Chlamydia psittaci was measured using microimmunofluorescence test at a week post second vaccination. Vaccination using ompA-recombinant could initiate IgG antibody in 21 of 24 vaccinated rats. IgG antibody titer or rats vaccinated with materials dialyzed in dialysis buffer containing KCl has highest titer ranged from 1:16 to 1:64, and its geometric mean titer is 1 :38. The results of the present study indicate that the ompA-recombinant protein of chlamydia used for main component of vaccine may initiate antibody against feline C. psittaci in rats.

Key words: Chlamydia, cat, ompA, rat, vaccine

ABSTRAK


Protein ompA-recombinan yang dihasilkan oleh E. coli BL21(DE3)plysS yang mengandung rekombinan plasmid pRSETA/gen ompA feline Chlamydia psittaci galur B 166 dimurnikan dengan cara Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands). Untuk menghilangkan guanidine hydrochloride, suspensi ompA-rekombinan didialisis dengan larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8, glycerol 10% dan phenylmethylsulfonyl fluoride yang mengandung 0, I M MgCI2, CaCI2, NaCI atau KCI. Tiap-tiap protein yang telah dimurnikan tersebut diemulsikan dengan adjuvan minyak untuk dijadikan vaksin. Satu ml tiap-tiap vaksin tersebut disuntikan secara intramuskular pada 4 ekor tikus putih specific pathogen free (SPF) umur 8 minggu. Vaksinasi kedua dilakukan 3 minggu setelah vaksinasi pertama. Seminggu setelah penyuntikan kedua titer antibodi IgG diukur dengan microimmunofluorescence test. Vaksinasi menggunakan protein ompA-rekombinan feline C. psittaci ini bisa merangsang terbentuk antibodi IgG pada 21 dari 24 tikus yang divaksin. Titer antibodi IgG tikus yang divaksin dengan material yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung KCl mempunyai titer tertinggi berkisar antara 1:6 dan 1:64 dengan geometric mean titer 1:38. Dari hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa protein ompA-rekombinan Chlamydia yang digunakan sebagai komponen utama vaksin bisa merangsang timbulnya antibodi terhadap C. psittaci pada tikus putih.

Kata kunci : Chlamydia, kucing, ompA, tikus, vaksin

PENDAHULUAN


Feline Chlamydia psittaci adalah bakteri Gram negative yang merupakan parasit obligate intracellular yang menyerang kucing (Moulder et aI., 1984) yang menyebabkan conjuctivitis, rhinitis dan pneumonia (Hoover et aI., 1978, Johnson, 1984, Baker et aI., 1942). Organisme tersebut merupakan salah satu kelompok genetik genus Chlamydia yang diajukan sebagai spesies baru (Pudjiatmoko et aI., 1997) dan kemudian dinamakan Chlamydophyla felis (Everett et aI., 1999).

Dalam menanggulangi penyakit Chlamydiosis pada manusia telah digunakan chlamydia utuh sebagai vaksin inaktif yang diberikan secara intramuskuler, .tetapi masa proteksi yang diperoleh singkat dan vaksinasi dengan cara ini bisa menimbulkan sakit yang lebih parah selama masa infeksi berikutnya, hal ini mungkin disebabkan reaksi patogen terhadap antigen Chlamydia tertentu (Grayston dan Wang, 1978; Grasyton dan Wang, 1975).

Pada studi sebelumnya menunjukan bahwa E. coli BL21(DE3)plysS yang mengandung rekombinan ompA-­pRSETA bisa memproduksi protein ompA-rekombinan 40 kDa yang bisa bereaksi dengan antibodi monoclonal major outer membrane protein (MOMP) C. psittaci G-IB6 dan protein rekombinan tersebut diusulkan untuk digunakan sebagai salah satu komponen utama vaksin chlamydiosis pada kucing (Pudjiatmoko, 1999a).

Vaksin menggunakan immunogene ompA- rekombinan diharapkan akan lebih cepat, mudah dan ekonomis dalam mempersiapkan immunogene dan bisa menghindari efek samping vaksin Chlamydia utuh. Penelitian kali ini bertujuan mempelajari respon immunigenisitas vaksin ompA-rekombinan feline C. psittaci pada tikus putih.

BAHAN DAN METODE


Ekspresi Protein ompA-rekombinan
Prosedur untuk memproduksi protein ompA ­rekombinan dilakukan seperti pada studi awal pembuatan vaksin feline chlamydiosis sebelumnya (Pudjiatmoko, 1999a), gen ompA feline C. psittaci galur B166

respon1



(Gambar 1) disisipkan pada vektor plasmid pRSETA yang mengandung 6 tandem residu histidine (invitrogen BV, The Netherland) (Gambar 2) pada tempat restriksi antara enzim BamHI dan XhoI. Plasmid rekombinan pRSETA/gen ompA feline C. psittaci ditransformasikan ke dalam E. coli BL21 (DE3)plysS dengan ciri-ciri genotipe F, ompT hsdSB (rB mB) gal dcm (DE3) plysS (CamR). E. coli yang telah memperoleh rekombinan pRSETA-ompA tersebut dibiakan pada media Terrific broth (TB) yang mengandung 10 µg/ml Carbenicillin dan 34 µg/ml Chloramphenicol. Ekspresi gen ompA diinduksi dengan cara menambahkan 1,0 mM Isopropyl-ß-D-­thiogalactopyranoside (IPTG) ke dalam biakan tersebut pada suhu 37 C. Sebelum dilakukan pengecekan protein ompA-rekombinan, E. coli BL21(DE3)plysS dilisis dengan menggunakan French pressure cell yang dioperasikan pada tekanan 16.000 - 18.000 Lb/inz (Hopkins, 1992).

Pembuatan Vaksin
Protein ompA-rekombinan dimurnikan dengan column yang berisi resin ProBondTM menggunakan Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands). Sel E. coli BL21(DE3)plysS yang telah dipanen dilisis dengan 10 ml guanidium lysis buffer (6M guanidine hydrochloride, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 7,8) selama 10 menit. Untuk menguraikan DNA dan RNA, suspensi sel E. coli disonikasi dengan frekuensi tinggi selama 10 detik tiga kali. Supematan dikumpulkan setelah pemusingan pada 3.000 x g selama 15 menit.

Sepuluh ml supernatan tersebut diaplikasikan pada column yang telah dialiri dengan denaturing binding buffer (8M urea, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 7,8). Protein ompA-rekombinan dipisahkan dengan denaturing elution buffer (8M urea, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 4,0) setelah dilakukan pencucian terlebih dahulu dengan denaturing washing buffer (8M urea, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 6,0 dan pH 5,3).

Protein ompA-rekombinan ini dibagi menjadi 4 bagian dengan volume yang sarna, masing-masing bagian dimasukkan ke dalam seamless cellulose tube (Viskase sales corp., Japan) dan didialisis menggunakan larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8, glycerol 10% dan phenylmethylsulfonyl fluoride (PMFS) dimana setiap larutan dapar terse but mengandung 0,1 M MgCI2, CaCl2, NaCI atau KCl. Setelah dialisis, material dipusing 10.000 x g selama 10 menit. Pelet dan supematan dipisahkan dan disuspensikan dengan larutan dapar yang sama sehingga mengandung protein 1 µg/ml.

Untuk kontrol positif digunakan Feline C. psittaci galur Fe/145. Chlamydia dibiakan pada sel SL pada suhu 37°C selama 4 hari, setelah dipanen Chlamydia diencerkan dengan sucrose-phosphate-glutamic acid (SPG) sehingga diperoleh suspensi chlamydia 10 pangkat 7,0 ELD50 per ml. Chlamydia diinaktifkan dengan formalin sehingga konsentrasi akhir 0.1 % selama 3 hari pada suhu 37°C.

Chlamydia yang telah diinaktifkan atau suspensi protein OmpA-rekombinan yang telah dimurnikan tersebut diemulsikan dengan adjuvan minyak yang terdiri dari minyak mineral (parafin cair) dan emulgator sorbitan mono-oleat. Vaksin disimpan pada suhu 4°C sampai dengan saatnya digunakan.

Vaksinasi pada Tikus Putih
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini tikus putih bebas patogen tertentu (specific pathogen free,SPF') umur 8 minggu diperoleh dari Kyoto Biken Laboratories, Jepang. Tigapuluh dua ekor tikus dibagi menjadi 8 kelompok (Kelompok A, B, C, D, E, F, G, dan H) sehingga tiap kelompok terdiri dari 4 ekor. Setiap ekor tikus disuntik secara intramuskuler dengan 1,0 ml vaksin yang mengandung immunogen seperti tertulis pada Tabel I. Penyuntikan diulang pada tiga minggu setelah penyuntikan pertama. Tikus dari kelompok A divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-­rekombinan dari supematan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M MgCl2 (supematan MgCl2), kelompok B divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari supernatan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M NaCI (supernatan-NaCl), kelompok C divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari supernatan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M KCI (supernatan-KCl), kelompok D divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-­rekombinan dari pelet yang didialisis dengan larutan dapat yang mengandung 0,1 M MgCl2 (Pelet-MgCl2), kelompok E divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari pelet yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M NaCl (Pelet-NaCl), kelompok F divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari pelet yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M KCl (pelet­-KCl), dan Kelompok G divaksin dengan feline Chlamydia galur Fe/145 sebagai kontrol positif. Sedangkan kelompok H disuntik secara intramuskuler dengan campuran E. coli BL21(DE3)plysS tanpa ompA-rekombinan dan adjuvan sebagai kontrol negatif.


respon2a


Microimmunofluorescence Test
Sampel serum tikus putih dikumpulkan pada saat sebelum vaksinasi dan seminggu setelah vaksinasi kedua (booster). Microimmunofluorescence test dilakukan mengikuti prosedur penelitian sebelumnya (Pudjiatmoko et al., 1996). Ringkasnya, 1µl antigen (feline C. psittaci galur Fe/145 dan Cello) diulaskan pada 12-well teflon­coated slide (Cell-line Associated Inc., Newfield, N.J., US) dan dikeringkan dalam suhu kamar dan difiksasi dengan methanol dingin selama 10 menit, dan 10 µl serum yang telah diencerkan (pengenceran secara seri kelipatan dua, dimulai dari 1 :4) diteteskan pada setiap lubang dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 60 menit. Setelah inkubasi slide dicuci tiga kali dengan PBS(-) selama 5 menit. Kemudian direaksikan dengan 10 µl fluorescence­isothiocyanate-conjugated goat anti-rat IgG (Cappel, conchraville, Pa., USA) yang telah diencerkan 20 kali dengan PBS(-) pada suhu 37° C selama 60 menit, dilanjutkan dengan pencucian tiga kali menggunakan PBS(-) selama 5 menit. Titer antibodi ditunjukan dari pengenceran serum tertinggi yang memperlihatkan perpendaran Chlamydia berwarna hijau. Kontrol positif diperoleh dari hyperimmune serum tikus putih yang disuntik dengan galur Fe/145. Serum tikus putih SPF yang tidak mengandung antibodi Chlamydia pada complement fixation test dan ELISA digunakan sebagai kontrol negatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada proses ekspresi protein ompA-rekombinan, kondisi optimum yang diperoleh adalah sebagai berikut: setelah pembiakan awal dalam 3 ml TB pada suhu 37°C selama 6 jam, E. coli yang mengandung plasmid pRSETA­gen ompA dibiakan kembali pada suhu yang sama dalam 50 ml TB selama 100 menit sehingga densitas-optiknya pada pembacaan OD 600 mencapai 0,4 saat yang paling tepat untuk dimulainya induksi dengan 1 mM IPTG. Protein ompA-rekombinan terbanya~ diperoleh setelah diinduksi pada suhu 37° C selama 180 menit.

Pada pemurnian bahan immunogen, protein ompA-­rekombinan berikatan dengan resin ProBond™ dalam 20 mM larutan dapar fosfat, 500 mM NaCl pH 7,8, sedangkan sebagian besar protein sel induk semang (E. coli) tidak berikatan dengan resin ProBondTM. Sebagian kecil protein sel induk semang yang bisa berikatan dengan resin pada pH tersebut bisa dilepaskan dari resin ProBond™ dengan mudah menggunakan larutan dapat pH 6,0. Protein ompA­rekombinan dilepaskan dari resin ProBond™ dengan pencucian menggunakan larutan dapar pH 4,0.

Karena protein ompA-rekombinan yang dihasilkan insoluble (terdapat pada pelet setelah pelisisan sel) maka pemurnian protein dilakukan dalam kondisi denature dimana pada proses pelisisan sel digunakan guanidine hydrochloride. Untuk protein refolding dan mengem­balikan kemampuan aktifitas protein tersebut, perlu dilakukan penyingkiran guanidine hydrochloride dalam suspensi ompA-rekombinan. Cara untuk menyingkirkan guanidine hydrochloride diIakukan dengan cara men­dialisis suspensi ompA-rekombinan pada larutan dapat yang mengandung MgCI2, NaCl, KCl atau CaCI2

Dialisis dengan larutan dapar yang mengandung CaCl2 menyebabkan timbulnya banyak agregasi protein ompA-rekombinan sehingga protein yang dihasilkannya tidak baik untuk immunogen sehingga tidak digunakan sebagai vaksin. Dialisis menggunakan larutan dapar yang mengandung MgCl2 dan NaCl menimbulkan sedikit agregasi protein ompA-rekombinan. Sedangkan ompA-­rekombinan sedikit sekali mengalami agregasi ketika didialisis menggunakan larutan dapar yang mengandung KCl. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis immunobloting, band protein ompA-rekombinan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung KCl terlihat lebih jelas dibanding dengan ompA-rekombinan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung MgCl2 dan NaCl. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa larutan dapar yang mengandung KCl bisa dengan baik menyingkirkan guanidine hydrocloride dalam proses protein refolding sehingga protein ompA-rekombinan tidak rusak, bisa bereaksi dengan monoclonal antibody G-IB6 yang khas terhadap outer membrane protein C. psittaci dan bisa digunakan sebagai immunogen. Dialisis dengan larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8 10% glycerol, 1 mM PMFS yang mengandung KCl bisa dipergunakan dalam pemurnian ompA-rekombinan.

Untuk mengetahui immunogenisitas ompA-rekom­binan, titer antibodi IgG serum tikus yang divaksin diukur dengan menggunakan microimmunofluorescence test. Sebelum dilakukan vaksinasi yang pertama semua tikus tidak mempunyai antibodi terhadap C. psittaci. Pada seminggu setelah vaksinasi kedua, tikus kelompok kontrol negatif tidak seekorpun yang mempunyai titer antibodi terhadap C. psittaci, sedangkan tikus dari kelompok C mempunyai geometric mean titer (GMT) tertinggi yaitu 1 :38, titer bervariasi antara 1: 16 dan 1 :64 (TabeI2). GMT yang kedua, tikus dari kelompok F yaitu 1:23 dengan kisaran titer antara 1:16 dan 1:32, diikuti kelompok D dengan GMT 1:13, dengan kisaran titer 1:8 dan 1:16, kemudian kelompok E dengan GMT 1: 10 dengan kisaran titer 1:8dan 1:16. Sedangkan kelopok A dan B mempunyai GMT masing-masing 1:4 dan 1 :8. Titer antibodi kelompok kontrol positif yang divaksin dengan vaksin yang mengandung Chlamydia utuh berkisar antara 1:32 dan 1:64 dengan GMT 1:45. Keberagaman titer kelompok satu dengan kelompok yang lain ini menunjukkan bahwa larutan dapar yang digunakan untuk dialisis mempengarui kwalitas immunogen yang dihasilkan.

Seminggu setelah vaksinasi kedua, 21 ekor dari 24 ekor yang divaksin dengan vaksin ompA-rekombinan mempunyai titer antibodi IgG terhadap feline C. psittaci.

respon3


Titer antibodi tersebut berkisar antara 1:8 sampai dengan 1:64. Baik material yang berasal dari pelet maupun dari supernatan bisa merangsang timbulnya antibodi IgG pada tikus. Tikus kelompok C yang divaksin dengan konsentrasi ompA-rekombinan tertinggi menunjukkan titer antibodi IgG yang tertinggi kemudian diikuti oleh tikus yang berasal dari kelompok F. Kedua kelompok C dan F tersebut merupakan kelompok yang divaksin dengan ompA­-rekombinan yang didialisis dalam larutan dapar yang mengandung 0,1 M KCI. Tikus kelompok C divaksin dengan ompA-rekombinan yang berasal dari supernatan, sedangkan tikus dari kelompok F divaksin dengan ompA-­rekombinan yang berasal dari pelet. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin ompA-rekombinan bisa menginduksi antibodi IgG terhadap feline C. psittaci.

Vaksin yang dibuat dari immunogen ompA-rekom­binan yang didialisis dengan MgCl2 dan NaCl menim­bulkan antibodi degan GMT kurang dari 1: 14. Sedangkan vaksin yang diperoleh dari protein yang didialisis dengan menggunakan KCl memperlihatkan kemampuan untuk menimbulkan terbentuknya IgG pada tikus cukup tinggi. Immunogen ompA-rekombinan yang berasal dari super­natan lebih banyak dari pada yang berasal dari pelet. Hal ini memperlihatkan bahwa protein ompA-rekombinan larut dalam denaturing elution buffer. Dari hasil-hasil ini menunjukkan larutan dapar dialisis yang mengandung KCl bisa digunakan dalam dialisis sehingga ompA-rekombinan bisa digunakan sebagai immunogen.

Pada studi kali ini vaksin yang mengandung Chlamydia 10 pangkat 7,0 ELD50 yang bisa merangsang terbentuk antibodi IgG cukup tinggi pada kelompok G. Hasil ini sesuai dengan hasil studi terdahulu tentang respon dosis vaksin inaktif yang menyatakan bahwa untuk memperoleh kekebalan yang cukup terhadap infeksi Chlamydia pada kucing, sebaiknya vaksin inaktif yang diberikan mengandung Chlamydia lebih besar lO pangkat 5,5ELD50 (Pudjiatmoko, 1999b). Titer antibodi yang diperoleh cukup tinggi pada kelompok C menunjukkan bahwa immunogen ompA-rekombinan bisa digunakan sebagai komponen utama vaksin Chlamydosis pada kucing. Untuk mengetahui potensi vaksin tersebut perlu dilakukan uji potensi menggunakan hewan percobaan kucing yang ditantang dengan Chlamydia hidup untuk mengetahui kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin ompA­-rekombinan tersebut.

KESIMPULAN


Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) protein ompA-rekombinan Chlamydia yang digunakan sebagai komponen utama vaksin bisa merangsang timbulnya antibodi pada tikus putih. (2) Protein ompA-­rekombinan feline Chlamydia dapat dimurnikan dengan Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands) menggunakan kolom resin ProBond™, (3) Larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8 10% glycerol, 1 mM PMFS yang mengandung KCl bisa digunakan untuk dialisis ompA-rekombinan dalam mengeliminasi guanidine hydrochloride,dan (4) untuk menguji potensi vaksin ompA-rekombinasi Chlamydia perlu dilakukan studi respon immungenisitas ompA-rekombinan Chlamydia pada kucing dengan menggunakan tantangan Chlamydia hidup.

UCAPAN TERIMAKASIH


Penulis sampaikan terimakasih kepada Dr. Masubuchi Katsuo dan Dr. Iwamoto Kayo atas bantuan teknis yang diberikan dalam penelitian ini. Penelitian ini dibiayai oleh Society of Techno-inovation for Agriculture, Forestry and Fisheries (STAFF) Jepang.

DAFTAR PUSTAKA


Baker, J.A.A. 1942. A virus obtained from pneumonia of cats and its possible relation to the cause of atypical pneumonia in man. Science 96: 475-476.

Cello, R.M. 1967. Ocular infections in animal with PLT (Bedsonia) group agents. Am. J. Opthhalmol. 64: 1270-1273.

Everett, K.D.E., R.M. Bush, A.A. Andersen. 1999.
Emended description of the order Chlamydiales. proposal of Parachlamydiaceae fam. novo and Simkaniaceae fam. nov., each contammg one monotypic genus, revised taxonomy of the family chlamydiaceae, including a new genus and five new speies,and standards for the identification of organisms. Int. J. Syst. Bacteriol. 49: 415-440.

Hoover, E.A., D.E. Kahn, and J.M. Langloss. 1978. Experimentally induced feline chlamydia infection. Am. J. Vet. Res. 39: 541-547.

Hopkins, T.R. 1991. Physical and chemical cell discription for the recovery intercellular proteins. in: Purification and analysis of recombinant proteins (R. Seetharam and S.K. Sharma, eds.) pp 57-83. Marcell Dekker, New York.

Johnson, F.W.A. 1984. Isolation of Chlamydia psittaci from nasal and conjuctival exudate of a domestic cats. Vet. Rec. 114: 342--344.

Moulder, J. W., T.P. Hatch, C.-C. Kuo, J. Schachter, and J. Storz. 1984. Genus 1. Chlamydia Jones, Rake and Stearns 1945,55 AL. In: Krieg, N.R. and J.G. Holt (eds.) bargey's Manual of Systematic Bacteriology. Vol. 1, pp. 729-739. Williams and Wilkins. Baltimore.

Pudjiatmoko, H. Fukushi, Y. Ochiai, T. Yamaguchi, and K. Hirai. 1996. Seroepidemiology of feline Chlamydiosis by microimmunofluorescence assay with multipe strains as antigen. Microbiol. Immunol. 40:755-759.

Pudjiatmoko, H. Fukushi, Y. Ochiai, T. Yamaguchi, and K. Hirai. 1997. Phylogenie analysis of the genus Chlamydia based on 16S rRNA gene sequences. Int. J. Syst. Bacteriol. 47: 425-431.
Pudjiatmoko. 1999a. Studi awal pembuatan vaksin feline Chlamydiosis menggunakan protein rekombinan outer membrane protein A (ompA). Inovasi 8: 46-58.

Pudjiatmoko. 1999b. Respon dosis vaksin inaktif Chlamydiosis galur Fe/145 pada kucing. pp. 269-272. In: Proceeding of The 8th Scientific meeting of Indonesian Student Association, Osaka, Japan.


Sumber : Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan nomor 8 tahun 2001