Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 9 March 2025

MITI: Program Food Estate Harus Libatkan Petani

 

Peneliti Bidang Pertanian Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Pujiatmoko menyarankan agar Pemerintah melibatkan petani dalam program food estate.

 

Pelibatan yang dimaksud bukan sekedar mengangkat petani menjadi pekerja program food estate tetapi mensinergikan dan menyediakan sarana penunjang peningkatan produksi pertanian. “Petani kecil harus dilibatkan lebih aktif dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan, bukan sekadar menjadi pekerja. Keterlibatan petani dalam hasil keuntungan pertanian sangat penting untuk memastikan keberhasilan program Food Estate,” ujar Pujiatmoko.

 

Pujiatmoko menambahkan program food estate, sebagai salah satu proyek strategis nasional 2025-2029 harus ditempatkan sebagai program besar yang dapat menampung hasil pertanian yang beragam.

 

Bukan menyeragamkan hasil pertanian hanya pada satu komoditas berskala besar. Sebab selain karena kebutuhan masyarakat terhadap produk pertanian sangat beragam, sistem monokultur juga memiliki sejumlah risiko.

 

Oleh karena itu, diversifikasi komoditas pangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan harus menjadi bagian integral dari pengelolaan kawasan pangan. Karena itu produk food estate harus berjalan sesuai dengan kebutuhan lokal.

 

“Selain urusan kerjasama dengan petani, untuk menyukseskan program food estate ini Pemerintah perlu meningkatkan infrastruktur penunjang produksi pertanian yang lebih baik. Infrastruktur yang buruk menghambat distribusi dan akses petani ke pasar. Oleh karena itu, prioritas utama harus diberikan pada pembangunan jalan, sistem irigasi yang efisien, dan fasilitas penyimpanan yang memadai untuk mendukung keberhasilan program,” terang Pujiatmoko.

 

Pujiatmoko menambahkan Pemerintah juga harus memastikan skema pendanaan yang transparan dan mudah diakses oleh petani kecil. Pemberian kredit berbunga rendah dan skema pembiayaan yang jelas akan sangat membantu meningkatkan partisipasi petani dalam program ini.

 

“Sistem monitoring berbasis data harus dibangun untuk memastikan efektivitas kebijakan dan penyesuaian yang cepat terhadap masalah yang muncul. Evaluasi yang transparan dan terstruktur akan memastikan keberlanjutan program ini,” tegasnya.

 

SUMBER:

Berita Moneter, 7 Maret 2025. https://beritamoneter.com/miti-program-food-estate-harus-libatkan-petani/2/

Saturday, 8 March 2025

Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat Jepang

 


Jepang, sebagai salah satu negara maju di dunia, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan peran penting agama dalam kehidupan sosialnya. Masyarakat Jepang dikenal dengan keterbukaannya terhadap berbagai aliran agama, meskipun mereka cenderung bersikap pragmatis dalam memandang agama. Di balik itu semua, masyarakat Jepang memiliki dua agama utama yang menjadi bagian penting dalam tradisi dan kehidupan mereka: Shinto dan Budha. Kedua agama ini bahkan sering dipraktikkan bersama dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan suatu fenomena yang unik dan khas dalam tradisi keagamaan Jepang.

 

Menurut Dr. Hisanori Kato, masyarakat Jepang memang dikenal memiliki agama, yang tercermin dalam kepercayaan terhadap "amakudari", sebuah kepercayaan bahwa bangsa Jepang memiliki rahmat dan perlindungan dari langit yang menjamin kelangsungan hidup mereka. Kepercayaan ini mengarah pada keyakinan bahwa Jepang sebagai bangsa yang "selalu akan survive", tidak hanya karena keberanian, tetapi juga karena adanya bantuan dari kekuatan alam semesta. Selain itu, agama Shinto yang merupakan agama asli Jepang, mempercayai adanya kekuatan spiritual yang tersembunyi dalam alam, seperti gunung, batu, dan fenomena alam lainnya, serta menghormati leluhur. Shinto tidak menganut nilai-nilai absolut dalam ajarannya, sehingga memungkinkan pengaruh budaya dan agama asing untuk masuk dan berbaur dengan ajaran ini.

 

Kehidupan keagamaan di Jepang sangat dinamis dan menarik, mengingat pengaruh berbagai agama yang masuk dan berkembang di negara ini. Agama Budha, yang diperkenalkan melalui Cina dan Korea pada abad keenam, menjadi salah satu agama utama di Jepang. Sebagian besar orang Jepang pada saat ini tidak hanya menganut satu agama, tetapi menggabungkan ajaran Shinto dan Budha dalam kehidupan mereka. Bahkan, banyak orang Jepang yang melaksanakan upacara pernikahan dengan tradisi Shinto, sementara upacara pemakaman dilakukan menurut agama Budha. Di beberapa rumah, terutama di daerah pedesaan, dapat ditemukan altar untuk Shinto dan Budha yang berdampingan. Tidak jarang pula orang Jepang mengunjungi kuil Shinto, kuil Budha, bahkan gereja Kristen, dalam rangka merayakan momen-momen penting dalam kehidupan mereka.

 

Sikap orang Jepang terhadap agama pun sangat pragmatis. Sebagaimana pendapat Wahyu Prasetiyawan, bagi orang Jepang, yang terpenting bukanlah formalitas ibadah, melainkan niat dan perbuatan baik. Menurut mereka, pergi ke tempat ibadah tidak ada gunanya jika kelakuan sehari-hari tidak mencerminkan kebaikan. Oleh karena itu, mereka lebih mengutamakan tindakan nyata seperti berperilaku baik terhadap tetangga, rekan kerja, dan dalam hubungan sosial pada umumnya, daripada sekadar mengikuti ritual keagamaan.

 

Pengaruh agama Budha sangat terasa dalam budaya Jepang, terutama dalam etika kerja. Ajaran Budha, yang mengajarkan pencapaian kesempurnaan melalui kesadaran spiritual, dalam praktiknya juga mengedepankan kerja keras dan ketekunan. Hal ini terbukti dalam cara orang Jepang mendekati pekerjaan mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi, sesuatu yang jarang terlihat di negara-negara lain, meskipun mereka juga menganut agama Budha. Dalam konteks ini, agama Budha telah membentuk nilai kerja keras yang sangat kuat dalam masyarakat Jepang.

 

Selain itu, perpaduan antara Shinto dan Budha juga menciptakan fenomena unik yang dikenal dengan istilah Shinbutsu Shuugo. Istilah ini merujuk pada penyatuan antara Shinto dan Budha dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Misalnya, dalam kuil-kuil Shinto, sering ditemukan unsur-unsur ajaran Budha, dan sebaliknya, di kuil Budha, sering kali ada patung-patung dewa-dewa yang berasal dari ajaran Shinto. Hal ini menunjukkan bahwa dalam praktiknya, kedua agama tersebut saling berbaur, dan masyarakat Jepang lebih fokus pada harmoni antar kedua agama daripada memisahkannya secara kaku.

 

Kehidupan keagamaan Jepang juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh agama-agama lain yang masuk ke negara ini. Konfusianisme, yang memperkenalkan nilai-nilai etika dan moral, juga memberikan dampak besar dalam pembentukan sistem sosial dan politik Jepang. Agama Kristen, yang masuk setelah Perang Dunia II, meskipun tidak sebesar Shinto dan Budha, juga menjadi bagian dari lanskap keagamaan Jepang. Meskipun demikian, sebagian besar orang Jepang lebih memilih untuk mengabaikan agama atau tidak terikat pada satu agama tertentu. Hal ini tercermin dalam survei yang dilakukan oleh Winston Davis dalam bukunya Japan Religion and Society Paradigms of Structure and Change (1992), yang menunjukkan bahwa hanya sekitar 12% orang Jepang yang menganggap kepercayaan agama penting, sementara 44% menganggapnya tidak penting.

 

Sikap pragmatis ini mungkin terkait dengan konstitusi Jepang yang sangat menjaga kebebasan beragama. Sejak setelah Perang Dunia II, Jepang mengadopsi konstitusi yang tidak mencantumkan kehidupan beragama sebagai bagian dari kewajiban negara. Hal ini memberi kebebasan bagi warga Jepang untuk menjalani agama atau kepercayaan mereka tanpa campur tangan negara. Konstitusi Jepang, dalam pasal 20, menegaskan bahwa kebebasan beragama dijamin bagi setiap individu, dan negara tidak boleh terlibat dalam kegiatan keagamaan. Bahkan, tidak ada agama yang diberi status istimewa oleh negara, yang menjadikan Jepang sebagai negara dengan kebebasan beragama yang tinggi.

 

Sikap pemerintah terhadap agama-agama di Jepang telah berubah secara drastis setelah Perang Dunia II. Sebelum perang, agama Shinto bahkan dijadikan sebagai agama negara yang mendukung nasionalisme dan militarisme Jepang. Namun, setelah ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 4 Oktober 1945, yang menghapuskan segala pembatasan terhadap kebebasan beragama, agama-agama di Jepang mulai berkembang dengan bebas. Pada bulan Desember 1945, pemerintah juga mencabut dukungan terhadap agama Shinto sebagai agama negara, yang dikenal dengan istilah Pedoman Shinto. Pedoman ini memisahkan agama dari negara, memastikan bahwa tidak ada agama yang diutamakan, dan menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara.

 

Sebagai akibatnya, berbagai agama berkembang di Jepang, mulai dari agama Shinto dan Budha, hingga agama-agama baru dan Islam. Pemerintah Jepang secara resmi tidak membedakan agama-agama tersebut, memberikan ruang bagi setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan mereka sesuai dengan kehendak pribadi. Hal ini menjadikan Jepang sebagai negara dengan pluralitas agama yang sangat tinggi, di mana agama-agama yang ada hidup berdampingan secara damai tanpa adanya pemaksaan atau diskriminasi.

 

Kehidupan keagamaan di Jepang, meskipun terlihat kurang terlihat dalam aktivitas sehari-hari, menunjukkan bagaimana sebuah negara dapat menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dan integrasi sosial. Walaupun agama tidak menjadi pusat kehidupan mereka, nilai-nilai agama tetap memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat Jepang, terutama dalam aspek etika, kerja keras, dan toleransi terhadap perbedaan. Keberagaman agama di Jepang, yang mencakup Shinto, Budha, Kristen, dan Islam, menjadi bukti bahwa kebebasan beragama dapat berkembang dalam suatu masyarakat yang harmonis dan toleran.

Tuesday, 4 March 2025

Peraturan terkait Rumah Potong Hewan (RPH)

 

Peraturan terkait Rumah Potong Hewan (RPH)

·Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

·Peraturan Menteri Pertanian Nomor 110 Tahun 2014

·Peraturan BPK tentang RPH

·Peraturan Daerah tentang Retribusi Rumah Potong Hewan

 

Beberapa ketentuan terkait RPH:

·RPH harus memiliki izin usaha yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota

·RPH harus memiliki tenaga kerja, seperti dokter hewan, pemeriksa daging, dan juru sembelih halal

·RPH harus memiliki fasilitas rantai dingin hingga ke tingkat konsumen

·RPH harus memiliki fasilitas higiene dan sanitasi, seperti tempat cuci tangan, alat desinfeksi, dan alat pelindung diri

·RPH harus diawasi oleh dokter hewan berwenang

·RPH harus menerapkan sistem jaminan kehalalan

·RPH harus menerapkan penyembelihan secara manual untuk unggas

·RPH harus melaporkan realisasi pemasukan periode sebelumnya

·RPH harus menerapkan pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum disembelih

· RPH harus menerapkan pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah disembelih

 

Pemotongan ternak harus dilakukan di RPH untuk mencegah penyebaran penyakit hewan.

Monday, 3 March 2025

Autofagi

 

Ilustrasi Autofagi. Ilustrasi yang menunjukkan fusi lisosom (kiri atas) dengan autophagosome selama proses autofagi.

 

Autofagi juga dikenal sebagai autofagositosis

 

Autofagi merujuk pada proses degradasi komponen seluler yang sudah usang, abnormal, atau mengalami kerusakan yang terjadi dalam organel yang dikenal sebagai lisosom. Autofagi berfungsi untuk pemeliharaan sel, memungkinkan pemecahan dan daur ulang materi seluler, serta membantu menyeimbangkan kebutuhan energi selama periode stres. Istilah autofagi diperkenalkan pada tahun 1963 oleh ahli sitologi dan biokimia Belgia, Christian René de Duve, yang juga memberikan bukti pertama mengenai keterlibatan lisosom dalam proses autofagi.

 

Tiga jenis autofagi diketahui: makroautofagi, mikroautofagi, dan autofagi yang dimediasi oleh chaperone.

 

Sel terutama mengandalkan makroautofagi, di mana material seluler yang sudah usang atau rusak di daerah sitosolik (area yang diisi cairan yang mengelilingi organel) di sel akan dilingkupi oleh autophagosome (vesikel dengan membran ganda yang mengantarkan isinya ke lisosom, tempat materi tersebut terdegradasi).

 

Dalam mikroautofagi, komponen seluler akan dilingkupi langsung melalui invaginasi membran lisosom.

 

Autofagi yang dimediasi oleh chaperone adalah proses selektif, di mana protein yang dikenal sebagai chaperone hsc70 mengenali dan mengikat substrat protein yang mengandung motif asam amino tertentu. Substrat yang ditargetkan kemudian dibawa ke lisosom, di mana ia kemudian dipindahkan melintasi membran melalui proses yang dimediasi oleh reseptor.

 

Beberapa gen mengkode berbagai komponen mesin autofagi yang diperlukan untuk pemisahan, transportasi, degradasi, dan daur ulang materi seluler. Enzim yang dikodekan oleh beberapa gen autofagi akan berkonjugasi (bergabung bersama), sehingga meningkatkan aktivitas enzim, terutama selama pembentukan autophagosome. Sejumlah jalur seluler non-spesifik juga penting untuk autofagi, termasuk berbagai jalur sekresi dan endositosis (penyerapan). Selain itu, kerangka sitoskeleton tampaknya memainkan berbagai peran dalam autofagi, terutama peran mikrotubulus dalam memfasilitasi transportasi autophagosome pada sel mamalia.

 

Selain fungsi pemeliharaan dan respons terhadap stres, autofagi juga berkontribusi pada kekebalan tubuh, membantu sel dalam mempertahankan diri dari organisme penyebab penyakit dan berpartisipasi dalam presentasi antigen. Autofagi juga terlibat dalam kematian sel terprogram, membantu mengeliminasi sel apoptosis selama perkembangan embrionik dan mendukung proses kematian pada sel yang mengalami defek apoptosis. Autofagi juga dapat melindungi sel dari kematian dengan menyediakan nutrisi selama periode kelaparan.

 

Dalam konteks kanker, autofagi tampaknya berperan dalam mencegah dan, dalam kondisi tertentu, mendorong perkembangan tumor. Akumulasi vesikel autofagi yang abnormal terkait dengan berbagai kondisi neurodegeneratif, termasuk penyakit Parkinson dan amyotrophic lateral sclerosis, serta dengan miopati (penyakit jaringan otot rangka).

 

SUMBER

Autophagy Ditulis oleh Kara Rogers. Diperiksa fakta oleh The Editors of Encyclopaedia Britannica. Terakhir diperbarui: 27 Februari 2025