Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 3 October 2024

Gambaran Lengkap Demam Burung Beo

 

Klamidia Unggas (Psittacosis, Ornithosis, Demam Burung Beo)

 

Garis Besar

1.    Etiologi dan Epidemiologi

2.    Temuan Klinis dan Lesi

3.    Diagnosis

4.    Pengobatan dan Pencegahan

5.    Risiko Zoonosis

6.    Poin-poin Utama

 

 

Klamidia unggas adalah infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh Chlamydia psittaci . Di antara unggas, kalkun dan bebek lebih rentan daripada ayam. Penyakit ini bervariasi dari asimtomatik hingga morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tanda-tanda klinis tidak spesifik dan meliputi anoreksia, apatis, penurunan produksi telur, diare, sekret mata, dan penyakit pernapasan. Diagnosis dicapai dengan menggunakan serologi, kultur, dan/atau PCR. Pengobatannya adalah dengan antibiotik seperti tetrasiklin. Penyakit ini adalah zoonosis yang disebut psittacosis, demam burung beo, atau ornithosis, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan serius pada manusia (misalnya, pneumonia).

 

 

Klamidia unggas dapat berupa infeksi subklinis yang tidak tampak atau penyakit akut, subakut, atau kronis pada burung liar dan domestik yang ditandai dengan infeksi pernapasan, pencernaan, atau sistemik. Infeksi terjadi di seluruh dunia dan telah diidentifikasi pada sedikitnya 465 spesies unggas, khususnya burung yang dikurung (terutama psittacine), burung yang bersarang di koloni (misalnya, kuntul, bangau), ratite, raptor, dan unggas. Di antara spesies domestik, kalkun, bebek, dan merpati adalah yang paling sering terkena. Penyakit ini merupakan penyebab kerugian ekonomi dan paparan manusia yang signifikan di banyak bagian dunia.

 

 

1.    Etiologi dan Epidemiologi Klamidia Unggas

 

Chlamydia psittaci adalah bakteri intraseluler obligat. Delapan serotipe unggas dikenali, berdasarkan pengikatan antibodi monoklonal terhadap epitop protein membran luar utama; dari jumlah tersebut, enam (A–F) menginfeksi spesies unggas dan berbeda dari serotipe Chlamydia mamalia.  Galur C psittaci telah diklasifikasikan menggunakan perbedaan genetik pada gen omp1 menjadi sembilan genotipe. Tujuh di antaranya (A, B, C, D, E, F, dan E/B) ditemukan pada spesies unggas dan biasanya sesuai dengan serotipe yang setara. Enam genotipe tambahan dijelaskan kemudian.

 

 

Setiap serotipe/genotipe unggas cenderung dikaitkan dengan jenis unggas tertentu ( lihat Tabel: Hubungan antara Genotipe Unggas Chlamydia psittaci dan Jenis Unggas ). Serotipe A dan D sangat virulen bagi kalkun dan dapat menyebabkan kematian ≥30%. Serotipe B dan E paling sering ditemukan pada unggas liar. Serotipe unggas dapat menginfeksi manusia (terutama A, B, dan E/B) dan mamalia lainnya.

 

 

Dua spesies Chlamydiaceae baru telah diidentifikasi dalam dekade terakhir dan tersebar di seluruh dunia; C gallinacea pada ayam dan ayam mutiara serta C avium pada merpati dan burung psittacine. Potensi patogenik dan zoonosis dari spesies Chlamydia baru ini masih harus ditentukan.

 

 

TABEL. Hubungan antara Genotipe Burung Chlamydia psittaci dengan Jenis Burung

Cara penularan utamanya adalah melalui jalur fekal-oral atau melalui inhalasi. Kotoran pernapasan atau feses dari burung yang terinfeksi mengandung tubuh elementer yang tahan terhadap pengeringan dan dapat tetap infektif selama beberapa bulan jika dilindungi oleh serpihan organik (misalnya, serasah dan feses). Partikel di udara dan debu menyebarkan organisme tersebut.

 

 

Setelah terhirup atau tertelan, badan-badan elementer menempel pada sel-sel epitel mukosa dan diinternalisasi melalui endositosis. Badan-badan elementer di dalam endosom dalam sitoplasma sel menghambat pembentukan fagolisosom dan berdiferensiasi menjadi badan-badan retikulat yang aktif secara metabolik dan tidak menular yang membelah dan berkembang biak melalui pembelahan biner, yang akhirnya membentuk banyak badan-badan elementer yang tidak aktif secara metabolik dan menular. Badan-badan elementer yang baru terbentuk dilepaskan dari sel inang melalui lisis. Masa inkubasi biasanya 3–10 hari tetapi dapat berlangsung hingga beberapa minggu pada burung yang lebih tua atau setelah paparan rendah. Faktor-faktor inang dan mikroba, rute dan intensitas paparan, serta pengobatan menentukan perjalanan klinis.

 

 

Penularan melalui artropoda melalui ektoparasit penghisap darah mungkin terjadi. Penularan vertikal telah didokumentasikan pada beberapa spesies burung, termasuk kalkun, ayam, dan bebek.

 

 

Sumber C psittaci yang mungkin meliputi:

·      kontak dengan unggas yang sakit dan terinfeksi atau pembawa yang asimtomatik

·      penularan vertikal dari unggas yang terinfeksi

·      mamalia yang terinfeksi

·      artropoda yang terinfeksi

·      lingkungan yang terkontaminasi

 

 

Stresor (misalnya, transportasi, kepadatan, perkembangbiakan, cuaca dingin atau basah, perubahan pola makan, atau berkurangnya ketersediaan makanan) dan infeksi bersamaan, terutama yang menyebabkan imunosupresi, dapat memicu penularan pada unggas yang terinfeksi laten dan menyebabkan kekambuhan penyakit klinis. Pada kalkun, infeksi C psittaci dan Ornithobacterium rhinotracheale sering terjadi bersamaan. Pembawa sering kali menularkan organisme tersebut secara berkala untuk waktu yang lama. Ketahanan C psittaci di kelenjar hidung unggas yang terinfeksi kronis dapat menjadi sumber organisme yang penting.

 

 

Infeksi jangka panjang yang tidak tampak dan berlangsung selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun merupakan hal yang umum dan dianggap sebagai hubungan normal antara Chlamydia dan inang. Prevalensi infeksi sangat bervariasi antara spesies dan lokasi geografis. Infeksi bersifat endemik pada kawanan kalkun komersial; tidak ada tanda-tanda klinis atau tanda-tanda pernapasan ringan dan angka kematian rendah merupakan gejala yang umum. Wabah jarang terjadi. Meskipun ayam relatif resistan terhadap penyakit klinis, infeksi asimtomatik sering terjadi. Baru-baru ini, C gallinacea telah terbukti endemik pada ayam. Burung liar sering kali seropositif terhadap C psittaci.

 

 

2.    Temuan Klinis dan Lesi Klamidia Unggas

 


Gambar Klamidia akut pada merpati

Poliserositis fibrinosa parah dan hepatitis nekrosis pada merpati domestik (Columba livia domestica) berusia 5 minggu. Atas kebaikan Dr. AJ Van Wettere

 

 

 

Gambar Hepatomegali Chlamydiosis yang ditandai pada burung Perkutut (Trichoglossus ornatus).

 

 


Gambar Klamidiosis, hati, kakatua

Lesi hati akibat klamidia ditandai dengan nekrosis dan sel inflamasi mononuklear di sinusoid. Pewarnaan hematoksilin dan eosin. 200X. Batang = 100 mcm

 

Tingkat keparahan tanda-tanda klinis dan lesi klamidia burung bergantung pada virulensi organisme, dosis infeksi, faktor stres, dan kerentanan spesies burung; infeksi asimtomatik sering terjadi. Tanda-tandanya meliputi:

 

·      keluarnya cairan dari hidung dan mata

·      konjungtivitis

·      radang dlm selaput lendir

·      kotoran berwarna hijau ke kuning-hijauan

·      demam

·      tidak aktif

·      bulu-bulu yang acak-acakan

·      kelemahan

·      anoreksia

·      penurunan berat badan

·      penurunan produksi telur

 

 

Gejala pernapasan lebih menonjol pada kalkun dan ayam. Diare berair sering terjadi pada bebek. Burung muda lebih mungkin terserang penyakit parah.

 

 

Hasil uji patologi klinis bervariasi tergantung pada organ yang paling terpengaruh dan tingkat keparahan penyakit. Perubahan hematologi yang paling sering muncul adalah anemia dan leukositosis dengan heterofilia dan monositosis. Asam empedu plasma, AST, LDH, dan asam urat dapat meningkat. Radiografi atau laparoskopi dapat menunjukkan pembesaran hati dan limpa serta penebalan kantung udara.

 

 

Temuan otopsi pada infeksi akut klamidiosis unggas meliputi:

 

·      poliserositis serofibrinosa (kantung udara, perikarditis, perihepatitis, peritonitis)

·      bronkopneumonia

·      nekrosis hati

·      hepatomegali

·      splenomegali

 

 

Lesi serupa terlihat pada infeksi bakteri sistemik lain dan tidak spesifik untuk klamidia burung. Inklusi bakteri intrasitoplasma basofilik granular kecil dapat diamati pada beberapa jenis sel (misalnya, sel epitel, makrofag) pada sitologi dan histopatologi. Pada infeksi kronis, pembesaran dan limpa atau hati pucat dapat terlihat. Nekrosis dan inklusi bakteri tidak terlihat. Lesi biasanya tidak ada pada burung yang terinfeksi laten, meskipun bakteri C psittaci sering dilepaskan.

 

 

3.    Diagnosis Klamidia Burung

 

Untuk kawanan, pengujian serologis, nekropsi, dan PCR

 

Bagi individu, demonstrasi pelepasan organisme melalui PCR atau kultur, peningkatan titer antibodi, atau kombinasi uji serologis dan uji PCR atau kultur

 

 

Karena berbagai presentasi klinis dan seringnya pembawa yang terinfeksi laten, tidak ada satu pun uji diagnostik yang dapat menentukan infeksi secara akurat. Prosedur untuk mendeteksi organisme atau antibodi digunakan. Secara umum, semakin akut penyakitnya, semakin banyak jumlah organisme yang menular dan semakin mudah untuk membuat diagnosis. Ketika unggas sakit parah, temuan klinis, termasuk hematologi, kimia klinis, dan radiologi atau lesi kasar yang khas, cukup untuk diagnosis sementara.

 

 


Gambar badan elementer Chlamydia psittaci

Badan elementer yang terkait dengan infeksi Chlamydia psittaci, 40X.

 

 

Kombinasi uji serologis dan deteksi antigen, PCR, atau kultur, merupakan skema diagnostik praktis untuk mengonfirmasi klamidia. Pada burung hidup, sampel yang lebih disukai untuk kultur bakteri atau PCR adalah usapan konjungtiva, koana, dan kloaka. Beberapa sampel yang dikumpulkan selama 3–5 hari direkomendasikan untuk mendeteksi pelepasan sel telur yang terputus-putus oleh burung yang tidak bergejala.

 

 

Antibodi mungkin terdeteksi atau tidak, tergantung pada tes yang digunakan dan pada tingkat serta stadium infeksi. Interpretasi titer dari sampel serum tunggal sulit dilakukan. Peningkatan titer sebanyak 4 kali lipat antara sampel akut dan konvalesen yang dipasangkan merupakan diagnostik, dan titer yang tinggi pada sebagian besar sampel dari beberapa burung dalam suatu populasi sudah cukup untuk diagnosis dugaan.

 

 

Metode serologis meliputi fiksasi komplemen langsung dan modifikasi langsung, aglutinasi badan elementer, ELISA antibodi, dan imunofluoresensi tidak langsung. Uji aglutinasi badan elementer mendeteksi IgM dan berguna untuk menentukan infeksi terkini. Metode fiksasi komplemen lebih sensitif daripada metode aglutinasi. Titer antibodi yang tinggi dapat bertahan setelah pengobatan dan mempersulit evaluasi uji selanjutnya.

 

 

Penemuan spesies Chlamydiaceae lainnya seperti C gallinacea pada ayam dan C avium pada merpati dan psittacine dapat mempersulit interpretasi uji serologis karena antibodi yang terdeteksi kemungkinan tidak spesifik untuk C psittaci.

 

 

Metode deteksi antigen meliputi imunohistokimia (misalnya, imunofluoresensi, imunoperoksidase), dan ELISA. Spesifisitas dan sensitivitas kit ELISA yang dikembangkan untuk mendeteksi Chlamydia trachomatis pada manusia saat digunakan untuk mendeteksi C psittaci masih belum pasti. Kit-kit tersebut tampaknya memiliki spesifisitas yang baik tetapi sensitivitasnya agak rendah, dan bukan merupakan uji yang direkomendasikan. Kit-kit ini paling berguna saat burung sakit secara klinis.

 

 

PCR merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik. Tersedia PCR Chlamydiaceae spp dan C psittaci. Hasil mungkin berbeda antar laboratorium karena kurangnya primer PCR yang terstandar dan variasi metode laboratorium. Hasil positif palsu menjadi perhatian pada PCR, karena kontaminasi silang dapat terjadi dengan relatif mudah.

 

 


Gambar antibodi fluoresen Chlamydia psittaci

Antibodi fluoresen yang terkait dengan infeksi oleh Chlamydia psittaci, 40X

 

 

Lesi kasar dan histologis tidak patognomonik. Organisme terkadang dapat diidentifikasi pada apusan jaringan yang terkena (misalnya, hati, limpa, dan paru-paru). Chlamydiae diwarnai ungu dengan pewarnaan Giemsa dan merah dengan pewarnaan Macchiavello dan Gimenez. Imunohistokimia lebih sensitif daripada pewarnaan histokimia untuk mendeteksi bakteri dalam jaringan, tetapi reaktivitas silang dengan organisme non-klamidia dapat terjadi. Hibridisasi in situ dan mikroskopi elektron juga dapat digunakan untuk memastikan diagnosis.

 

 

Isolasi dan identifikasi C psittaci dapat dilakukan pada embrio ayam atau kultur sel (misalnya, BGM, L929, Vero) di laboratorium yang berkualifikasi. Usapan kloaka, koana, orofaringeal, konjungtiva, atau feses (dalam media transpor Chlamydia khusus ) dari burung hidup atau jaringan (hati dan limpa lebih disukai) dari burung mati harus didinginkan dan segera diserahkan ke laboratorium. Pembekuan, pengeringan, penanganan yang tidak tepat, dan media transpor yang tidak tepat dapat memengaruhi viabilitas. Laboratorium harus dihubungi untuk mendapatkan petunjuk tentang cara menyerahkan sampel.

 

Infeksi bersamaan dengan penyakit lain yang lebih mudah didiagnosis (misalnya, kolibasilosis , pasteurellosis , infeksi virus herpes, penyakit mikotik) dapat menutupi infeksi klamidia. Temuan laboratorium dan klinis harus dikorelasikan. Klamidia harus dibedakan dari penyakit pernapasan dan sistemik lainnya pada burung.

 

 

4.    Pengobatan dan Pencegahan Klamidia Unggas

·      Tetrasiklin

Klamidia pada manusia dan unggas merupakan penyakit yang wajib dilaporkan ; peraturan pemerintah negara bagian dan daerah harus dipatuhi jika berlaku. Tidak ada vaksin yang efektif untuk digunakan pada unggas. Perawatan mencegah kematian dan penularan tetapi tidak dapat diandalkan untuk menghilangkan infeksi laten; penularan dapat terjadi lagi.

 

 

Tetrasiklin (klortetrasiklin, oksitetrasiklin, doksisiklin) adalah antibiotik pilihan. Resistensi obat terhadap tetrasiklin jarang terjadi, tetapi sensitivitas yang berkurang yang memerlukan dosis yang lebih tinggi menjadi lebih umum. Tetrasiklin bersifat bakteriostatik dan efektif hanya terhadap organisme yang berkembang biak secara aktif, sehingga diperlukan waktu pengobatan yang lebih lama (dari 2–8 minggu, di mana konsentrasi penghambatan minimum dalam darah harus dipertahankan secara konsisten). Ketika tetrasiklin diberikan secara oral, sumber kalsium makanan tambahan (misalnya, blok mineral, suplemen, tulang sotong) harus dikurangi untuk meminimalkan gangguan pada penyerapan obat.

 

 

Wabah penyakit klinis pada kawanan unggas tidak umum terjadi. Mengobati kawanan yang terinfeksi dengan klortetrasiklin sebanyak 400–750 g/ton pakan selama minimal 2 minggu telah secara efektif menurunkan potensi risiko infeksi bagi karyawan pabrik. Pakan yang diberi obat harus diganti dengan pakan yang tidak diberi obat selama 2 hari atau lebih sebelum penyembelihan dan pemrosesan. Suplemen kalsium harus dihentikan selama pengobatan dengan klortetrasiklin, dengan konsentrasi kalsium dalam pakan dikurangi menjadi ≤0,7%. Pakan yang diberi obat harus diberikan selama 45 hari jika organisme tersebut diupayakan untuk dihilangkan.

 

 

Residu oksitetrasiklin bertahan dalam telur ayam petelur selama 9 hari, dan residu doksisiklin bertahan selama 26 hari setelah pemberian 0,5 g/L selama 7 hari. Penggunaan beberapa antibiotik tetrasiklin dan doksisiklin pada unggas dilarang, dan peraturan negara harus dipatuhi.

 

 

Pada merpati dan burung peliharaan, penggunaan pakan yang diberi obat klortetrasiklin selama 45 hari secara historis merupakan rekomendasi standar untuk burung impor ( lihat Klamidia ). Kesulitan dalam hal kelezatan pakan itu sendiri atau tingginya kadar antibiotik yang diperlukan untuk kadar darah yang memadai telah membatasi penggunaannya. Doksisiklin adalah obat pilihan saat ini, karena lebih baik diserap, memiliki afinitas yang lebih rendah terhadap kalsium, distribusi jaringan yang lebih baik, dan waktu paruh yang lebih panjang daripada tetrasiklin lainnya. Doksisiklin yang ditambahkan ke pakan atau air juga dapat menghasilkan kadar darah yang memadai dan memiliki efek yang lebih kecil pada flora usus normal daripada klortetrasiklin.

 

Dosis dan durasi pengobatan bervariasi antara spesies. Protokol yang berasal dari studi terkontrol yang dilakukan pada spesies tertentu yang diobati harus digunakan jika tersedia (lihat Chlamydiosis). Lihat juga informasi dalam Compendium of Measures To Control Chlamydophila psittaci Infection Among Humans (Psittacosis) and Pet Birds (Avian Chlamydiosis), 2017, National Association of State Public Health Veterinarians.  Jika informasi spesifik tidak ada, dosis awal empiris 400 mg/L air, atau 25–50 mg/kg/hari, PO, selama 45 hari telah disarankan. Pengobatan unggas dengan doksisiklin adalah di luar label dan penggunaannya harus mengikuti peraturan negara bagian.

 

 

Praktik biosekuriti yang tepat diperlukan untuk mengendalikan masuknya dan menyebarnya klamidia pada populasi unggas. Standar biosekuriti minimal meliputi:

 

·      karantina dan pemeriksaan semua burung baru

·      pencegahan paparan burung liar

·      kontrol lalu lintas untuk meminimalkan kontaminasi silang

·      isolasi dan pengobatan burung yang terjangkit dan burung yang kontak

·      pembersihan dan disinfeksi menyeluruh pada tempat dan peralatan (sebaiknya dengan unit kecil yang dikelola secara menyeluruh)

·      penyediaan pakan yang tidak terkontaminasi

·      pemeliharaan catatan semua pergerakan burung

·      pemantauan berkelanjutan terhadap keberadaan infeksi klamidia

 

 

Organisme ini rentan terhadap panas (dapat hancur dalam waktu < 5 menit pada suhu 56°C) dan sebagian besar disinfektan (misalnya, 1:1.000 amonium klorida kuarterner, larutan pemutih 1:100, alkohol 70%, dll.) tetapi tahan terhadap asam dan alkali. Organisme ini dapat bertahan selama berbulan-bulan dalam bahan organik seperti serasah dan bahan sarang; pembersihan menyeluruh sebelum disinfeksi diperlukan.

 

 

5.    Risiko Zoonosis Klamidia Unggas

 

Klamidia unggas adalah penyakit zoonosis yang dapat menyerang manusia setelah terpapar organisme aerosol yang dikeluarkan dari saluran pencernaan atau pernapasan unggas hidup atau mati yang terinfeksi atau penanganan unggas, jaringan (misalnya, rumah pemotongan hewan), atau alas tidur yang terinfeksi. Penyakit pada manusia paling sering terjadi akibat paparan psittacine hewan peliharaan dan dapat terjadi meskipun hanya ada kontak singkat dengan satu unggas yang terinfeksi. Orang lain yang melakukan kontak dekat dengan unggas, seperti peternak merpati, dokter hewan, petani, rehabilitator satwa liar, penjaga kebun binatang, dan karyawan di pabrik pemotongan dan pemrosesan atau tempat penetasan, juga berisiko. Penularan zoonosis C psittaci pada pekerja industri unggas kemungkinan besar tidak diperhitungkan.

 

 

Tindakan pencegahan harus diambil ketika memeriksa unggas yang terinfeksi hidup atau mati untuk menghindari paparan (misalnya, masker debu dan pelindung wajah plastik atau kacamata, sarung tangan, deterjen disinfektan untuk bulu basah, dan tudung pemeriksaan yang dilengkapi kipas angin).

 

 

Infeksi pada manusia bervariasi dari yang tidak bergejala hingga yang bergejala seperti flu dan penyakit pernapasan (misalnya, pneumonia). Jarang terjadi, endokarditis, miokarditis, hepatitis, dan ensefalitis. Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit klinis.

 

 

6.    Poin-poin Utama

 

·      Klamidia unggas merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh Chlamydia psittaci.

·      Diagnosis pada unggas dilakukan melalui serologi, nekropsi, dan PCR.

·      Klortetrasiklin dan doksisiklin digunakan untuk mengobati klamidia.

·      Klamidia merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, dengan kasus pada manusia paling sering disebabkan oleh paparan psittacine hewan peliharaan.

 

Sumber:

Arnaud J. Van Wettere. 2020. Avian Chlamydiosis (Psittacosis, Ornithosis, Parrot Fever). MSD Manual. Veterinary Manual. https://www.msdvetmanual.com/poultry/avian-chlamydiosis/avian-chlamydiosis

 

Sunday, 11 August 2024

Senyawa Ciplukan Sebagai Anti Diabetes


Studi Molekuler Docking Senyawa Ciplukan Sebagai Anti Diabetes

 

ABSTRAK

Diabetes Melitus adalah penyakit kronis serius di Indonesia yang disebabkan oleh pankreas tidak menghasilkan cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin. Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai antidiabetes yaitu ciplukan (Physalis Angulata Linn.). Tujuan dari penelitian ini yaitu ingin mengetahui nilai energi bebas ikatan (ΔG) senyawa-senyawa yang berasal dari tanaman ciplukan (Physalis Angulata Linn.) pada reseptor PPAR-𝛾. Pada penelitian ini digunakan metode molecular docking menggunakan AutoDock 4.2.6. Hasil docking menunjukkan nilai energi bebas ikatan (ΔG) senyawa aktif dari tanaman ciplukan (Physalis angulata Linn.) terhadap reseptor PPAR-𝛾 yaitu 4,7-didehydrophysalin B memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -6,39 kcal/mol, Physagulin-F memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -10,10 kcal/mol, Physordinose B memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -5,92 kcal/mol, dan rutin memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -6,97 kcal/mol. Nilai energi bebas ikatan (ΔG) senyawa aktif terbaik dari tanaman ciplukan (Physalis angulata Linn.) terhadap reseptor PPAR-𝛾 yaitu Physagulin-F dengan nilai energi bebas ikatan (ΔG) - 10,10 kcal/mol dan dapat berinteraksi lebih baik dibanding obat antidiabetes Thiazolinedione yang memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -7,99 kcal/mol.

Kata Kunci: Antidiabetes, PPAR-𝛾, Ciplukan, Molecular Docking

 

PENDAHULUAN

 

Diabetes Melitus adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa), atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Diabetes Melitus adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting, menjadi salah satu dari empat penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut oleh para pemimpin dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat selama beberapa dekade terakhir (WHO Global Report, 2016).

 

Tanaman ciplukan (Physalis Angulata Linn.) berasal dari kawasan tropis Amerika Latin. Tanaman ciplukan di Indonesia dimanfaatkan untuk obat alami sebagai analgetik, peluruh air seni, penetral racun, pereda batuk, dan mengaktifkan fungsi kelenjar-kelenjar tubuh (Hariana, 2011).

 

Penelitian yang telah dilakukan oleh Permana (2013) dengan judul Aktivitas Antidiabetes Buah Ciplukan (Physalis Angulata Linn.) pada Tikus Model Diabetes Melitus Tipe2 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol buah ciplukan selama 3 minggu secara signifikan menurunkan konsentrasi glukosa darah (54,5%). Senyawa aktif Physagulin-F yang diperoleh dari isolasi buah ciplukan secara signifikan dapat mereduksi kadar glukosa darah pada tikus yang diinduksi dengan Streptozotocin (Pujari dan Mamidala, 2015). Selain itu, kandungan senyawa aktif lain yang terdapat pada tanaman ciplukan antara lain flavonoid rutin yang diisolasi dari daun pelindung (calyxe) dan 4,7-didehydrophysalin B diperoleh dari akar (radix) tumbuhan Ciplukan (Physalis angulata) (Castorena et al, 2013).

 

Saat ini metode Molecular Docking sudah digunakan dalam mendesain obat-obatan maupun antiviral, dan digunakan sebagai tahap seleksi awal dari banyak substrat. Molecular docking merupakan salah satu metode yang dapat memprediksi interaksi antar molekul yaitu anatara suatu senyawa uji dengan reseptor biologis.

 

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan studi molecular docking senyawa dari buah, daun pelindung dan akar ciplukan (Physalis angulata) sebagai antidiabetes pada reseptor PPAR-𝛾.

 

METODE PENELITIAN

 

Metode penelitian mencakup percobaan laboratorium, percobaan lapangan, dan survei lapangan yang dirancang sesuai dengan tujuan atau jenis penelitian, seperti: eksploratif, deskriptif, koreksional, kausal, komparatif, eksperimen, tindakan (action research), pemodelan, analisis suatu teori, atau kombinasi dari berbagai jenis penelitian tersebut. Untuk penelitian yang menggunakan metode kualitatif, jelaskan pendekatan yang digunakan, proses pengumpulan dan analisis informasi. Untuk penulisan metode penelitian ditulis dengan sistematis dan jelas sesuai dengan prosedur kerja yang dilakukan selama penelitian tersebut dilakukan disertai analisis datanya.

 

ALAT

 

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras yang digunakan yaitu Notebook dengan spesifikasi Intel Celeron Processor N3350, memori 4 GB, DDR4, Storage 500 GB HDD, Operating System Windows 10 Home, dan Integrated Intel Graphics. Sedangkan perangkat lunak yang digunakan yaitu Chem office 2004 (ChemDraw dan Chem 3D Ultra), Discovery Studio 2016, Hyperchem 8.03, AutoDockTools-1.5.6.rc.3, Autodock 4.2.6, OpenBabel, Command Prompt.

 

BAHAN

 

Ligan uji yang digunakan adalah senyawa Physagulin-F yang diisolasi dari buah (fructus); solanose, physordinose B dan rutin dari daun pelindung (calyx); dan 4,7-didehydrophysalin B dari akar (radix) tumbuhan ciplukan (Physalis solaneaceus). Ligan pembanding yang digunakan yaitu ligan yang terdapat bersama reseptor PPAR-𝛾 (2PRG) yang diunduh dari Protein Data Bank yaitu Thiazolinedione yang merupakan obat antidiabetes.

 

METODE

 

1. Persiapan senyawa uji

ssStruktur 2 dimensi dan 3 dimensi senyawa uji dibangun menggunakan program Chem 3D Ultra 2004. Kemudian dilakukan optimasi geometri struktur senyawa uji melalui metode Semi Empirik (PM3) menggunakan program Hyperchem 8.03. Struktur senyawa uji hasil optimasi geometri kemudian dipreparasi dengan bantuan AutodockTools-1.5.6rc3 sehingga diperoleh file dalam bentuk pdbqt.

 

2. Persiapan reseptor

Reseptor yang digunakan yaitu xantin oksidase (Kode PDB: 2PRG) yang diperoleh dari Protein Data Bank dengan situs http://www.rcsb.org/pdb/. Struktur tiga dimensi dari PPAR-𝛾 terdiri dari tiga rantai. Rantai yang digunakan pada penelitian ini yaitu rantai C, sedangkan rantai A, rantai B dan molekul kecil lainnya dipisahkan dari reseptor. Makromolekul kemudian dipreparasi dengan penambahan atom hidrogen dan Kollman charges menggunakan AutodockTools1.5.6rc3 sehingga diperoleh file dalam bentuk pdbqt.

 

3. Validasi Program

Validasi program dilakukan dengan men-docking-kan senyawa ligan asli (Thiazolidinediones) pada reseptor PPAR-𝛾. Parameter yang digunakan dalam validasi program yaitu nilai Root Mean Square Deviation (RMSD). Program dinyatakan valid apabila nilai RMSD hasil redocking ≤ 2 Å (Kontoyianni et al., 2004).

 

4. Proses Docking

Pengaturan grid box parameter ligan senyawa uji dan reseptor dilakukan menggunakan AutodockTools-1.5.6rc3. Dimensi grid box yang digunakan yaitu sesuai ukuran ligan (fit to ligand). Koordinat grid box ditentukan berdasarkan koordinat ligan co-crystal dari file reseptor yang digunakan. Parameter yang digunakan yaitu Genetic algorithm dengan jumlah GA runs sebanyak 10 kali. Kemudian proses griding dan docking dijalankan melalui program Command Prompt. Proses docking dilakukan replikasi sebanyak 10 kali dengan 1 kali proses menghasilkan 10 pose. Hasil akhir docking diperoleh sebanyak 100 pose.

 

5. Analisa Data

Hasil docking dianalisis menggunakan Autodock 4.2.6. Penentuan konformasi ligan hasil docking (pose terbaik) dilakukan dengan memilih konformasi ligan yang memiliki energi ikatan paling rendah. Parameter yang dianalisa meliputi residu asam amino, ikatan hidrogen, konstanta inhibisi prediksi, dan energi bebas ikatan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Validasi metode docking dilakukan dengan metode redocking menggunakan ligan kokristal Thiazolidinediones yang terdapat pada reseptor PPAR-𝛾. Dasar yang digunakan untuk memberikan penilaian proses validasi adalah nilai Root Mean Square Deviation (RMSD). Metode yang digunakan dikatakan valid jika nilai RMSD yang diperoleh kurang dari 2 Ȧ (Kontoyianni et al., 2004). Berdasarkan hasil validasi ligan asli Thiazolidinediones diperoleh nilai RSMD 1,119 Ȧ pada kondisi ligan yang flexibel.


                                    Gambar 1. Hasil Validasi Docking Reseptor PPAR-γ


Pengujian ligan dari senyawa aktif tanaman ciplukan (Physalis angulata Linn.) yaitu 4,7-didehydrophysalin B, Physagulin-F, Physordinose B, dan rutin dan ligan pembanding yaitu Thiazolidinediones dilakukan melalui proses docking terhadap reseptor PPAR-γ. Proses docking ligan dan reseptor dilakukan pada kalkulasi sumbu x, y, z pada masing-masing koordinat: 50.806, - 38.214, 19.575 Ȧ dan resolusi grid 0.375 Ȧ pada kondisi ligand flexibel. Proses docking dilakukan menggunakan gridbox dengan ukuran sesuai ligan (fit to ligand).

 

Hasil docking senyawa aktif tanaman ciplukan (Physalis angulata Linn.) yaitu 4,7- didehydrophysalin B, Physagulin-F, Physordinose B, dan rutin serta ligan pembanding yaitu Thiazolidinedione menunjukkan bahwa nilai energi bebas ikatan terendah yaitu pada senyawa Physagulin-F seperti yang dapat dilihat pada tabel 1. Hasil penambatan ini juga berkorelasi dengan prediksi nilai konstanta inhibisinya dimana semakin kecil nilai energi bebas ikatan (ΔG) yang dihasilkan maka prediksi nilai konstanta inhibisinya makin kecil. Semakin kecil nilai energi bebas ikatan suatu hasil docking berarti komplek protein-ligan makin stabil sehingga ligan senyawa makin poten (Purnomo 2013). Jika dibandingkan Thiazolidinediones, Physagulin-F memiliki nilai energi bebas ikatan yang lebih rendah. Dengan demikian dapat diprediksi Physagulin-F memiliki afinitas yang lebih baik dibanding Thiazolidinedione.

Interaksi reseptor dengan ligan yang terbentuk setelah proses docking divisualisasikan dengan menggunakan software Discovery Studio 2016. Visualisasi yang dilakukan ditujukan pada kandidat ligand terbaik yaitu Physagulin-F yang memiliki nilai energi bebas ikatan yang lebih rendah dengan membandingkan dengan pose ligand asli dari co-crystal yaitu Thiazolidinediones untuk melihat pose kompleks ligand reseotor yang terbentuk di kantung aktif reseptor PPAR-𝛾. Visualisasi meliputi residu asam amino dan interaksi ikatan seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.


             Gambar 2. Interaksi ikatan dan residu asam amino ligan uji dengan reseptor.

                                       (a) Physagulin-F;  dan (b) Thiazolidinediones


Dari hasil visualisasi residu asam amino reseptor PPAR-𝛾 yang berinteraksi dengan Thiazolidinedione dan ligand uji Physagulin-F dalam bentuk pose 3D dan 2D menunjukkan kesamaan jumlah residu asam amino yang berinteraksi dalam bentuk ikatan hidrogen antara residu asam amino reseptor PPAR-𝛾 yang berinteraksi dengan Thiazolidinedione dan ligand uji Physagulin. Sedangkan untuk interaksi hidrofobik yang terbentuk antara Thiazolidinedione dengan residu asam amino pada reseptor PPAR-𝛾 memiliki perbedaan jumlah residu yang berinteraksi dengan interaksi hidrofobik antara ligand uji Physagulin-F dengan residu asam amino pada reseptor PPAR-𝛾.

Interaksi hidrofobik mampu menstabilkan interaksi ligan-reseptor dengan menurunkan nilai energi bebas ikatan (ΔG). Hal ini dapat dilihat dari visualisasi hasil penambatan ligand uji Physagulin-F yang banyak memiliki fitur interaksi hidrofobik dengan residu asam amino yang ada pada sisi aktif enzim jika dibandingkan dengan Thiazolidinedione. Banyaknya fitur interaksi hidrofobik yang dimiliki oleh kompleks Physagulin-F dan reseptor PPAR-𝛾 berkorelasi juga dengan perolehan nilai energi bebas ikatan (ΔG) yang dihasilkan, dimana energi bebas ikatan (ΔG) untuk Physagulin-F lebih rendah jika dibandingkan dengan Thiazolidinedione sebagai ligand co-crystal dan pembanding. Dengan demikian dapat diprediksi Physagulin-F memiliki afinitas yang lebih baik dibanding Thiazolidinediones dan dapat dikembangkan sebagai kandidat senyawa aktif yang berpotensi sebagai obat antidiabetes.

 

KESIMPULAN

 

Nilai energi bebas ikatan (ΔG) senyawa aktif terbaik dari tanaman ciplukan (Physalis angulata Linn.) terhadap reseptor PPAR-𝛾 yaitu Physagulin-F dengan nilai energi bebas ikatan (ΔG) -10,10 kcal/mol dan dapat berinteraksi lebih baik dibanding obat antidiabetes Thiazolinedione yang memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -7,99 kcal/mol.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Castorena, A.P., Hernández, I.Z., Martínez, M., Maldonado, E. 2013. Chemical Study of Calyxes and Roots of Physalis solanaceus. Record of Natural Products, 3(7): 230-233.

 

Hariana, A. 2011. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Seri 1. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 89.

 

Kontoyianni, M., McClellan, dan Sokol. 2004. Evaluation of Docking Performance : Comparative Data on Docking Algorithm, Journal of Medicinal Chemistry, 47, 558- 565

 

Permana, R. B. 2013. Aktivitas Antidiabetes Buah Ciplukan (Physalis Angulata Linn.) pada Tikus Model Diabetes Melitus Tipe-2. Skripsi. Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

 

Pujari, S., Mamidala, E. 2015. Anti-diabetic activity of Physagulin-F isolated from Physalis angulata fruits. The American Journal of Science And Medical Research, 1(1): 53-60.

 

Purnomo, H. 2013, Kimia Komputasi Uji In Silico Senyawa Anti Kanker. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. WHO. 2016. Global Report on Diabetes. Fact Sheet. Hal: 11.

 

SUMBER

 

Dina Pratiwi.  2021. Studi molecular docking senyawa dari tanaman ciplukan (Physalis angulata linn.) sebagai antidiabetes pada reseptor PPAR-𝛾 Jurnal Farmagazine Vol. VIII No.1 Februari 2021.  https://media.neliti.com/media/publications/456378-none-88d7a14c.pdf.