Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 30 November 2022

Terapi dengan Stem Cell

 


Terapi Emergensi Sel Punca: Pengobatan, Keselamatan, dan Biologi

 

RINGKASAN

 

Stem cell atau sel Punca adalah sebutan untuk sel yang belum memiliki fungsi khusus, sehingga dapat mengubah, menyesuaikan, dan memperbanyak diri tergantung lokasi sel tersebut berada. Karena sifatnya tersebut, sel punca kerap digunakan sebagai bahan transplantasi dalam pengobatan medis.  Sel Punca adalah sel induk yang merupakan blok bangunan dasar kehidupan yang berkontribusi pada asal-usul dan perkembangan semua organisme yang lebih tinggi.  Penemuan sel punca dewasa telah menyebabkan revolusi obat terapi dan regeneratif yang sedang berlangsung dan proposal terapi novel untuk kondisi terminal sebelumnya. Sel punca hematopoietik merupakan salah satu jenis sel punca yang bertanggungjawab dalam memproduksi miliaran sel darah baru setiap hari, terdapat di dalam darah maupun sumsum tulang dan mampu membentuk berbagai macam sel darah, seperti : eritrosit, leukosit, trombosit, dan lainya.

 

Transplantasi sel punca hematopoietik adalah contoh pertama dari terapi sel punca yang sukses dan banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit termasuk leukemia-lymphoma dewasa dan beberapa myeloma. Transplantasi sel punca mesenkimal autologus semakin banyak digunakan untuk mengkatalisasi perbaikan jaringan mesenkim dan lainnya, termasuk paru-paru dan jantung, dan digunakan dalam mengobati berbagai kondisi seperti stroke, multiple sclerosis, dan diabetes. Ada juga peningkatan minat pada potensi terapi sel punca dewasa lainnya seperti saraf, payudara, usus, telinga bagian dalam, dan sel punca testis. Penemuan sel punca pluripoten yang diinduksi telah menyebabkan peningkatan pemahaman tentang kunci epigenetik yang mendasari pluripotensi dan karsinogenesis.  Pluripoten adalah sel yang dapat berdiferensiasi 3 macam lapisan germinal embrionik, yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm.  Studi yang lebih mendalam tentang perbedaan epigenetik ini dan perubahan fisiologis yang mereka efeknya akan menyebabkan desain terapi yang lebih aman dan tertarget.

 

1.    PENGANTAR

 

Mamalia adalah organisme kompleks yang dihuni oleh sel-sel kota kosmopolitan. Menampilkan komponen individu dari metropolis, sel merupakan blok bangunan penting dari semua jaringan yang terdapat dalam organ tubuh dalam suatu organisme, mulai dari konstruksi halus telinga bagian dalam hingga paha yang kokoh. Seperti batu bata di gedung pencakar langit, identitas, peran, dan posisi masing-masing sel harus diatur dengan hati-hati untuk memastikan perkembangan organ fungsional.

 

Namun, sementara bangunan harus dirancang dan dibangun, beberapa batu bata dalam setiap organisme multiseluler dapat menengahi pembaharuan diri dan umumnya diidentifikasi sebagai sel punca (Stem cell / SC). Embryonic SC (ESC) adalah progenitor pluripoten yang mempertahankan kapasitas untuk membentuk sel dari tiga lapisan kuman. Sel-sel ini bergantung pada sekelompok faktor transkripsi yang mengatur jaringan gen yang diperlukan untuk pemeliharaan dan proliferasi mereka.

 

Dari faktor transkripsi ini, aktivitas Sox2, Oct4, Nanog, dan Klf4 yang paling penting untuk pemeliharaan ESCs [1–3]. Sox2 adalah anggota dari keluarga HMB-box yang terkait SRY dan mempertahankan pluripotensi ESC dengan menginduksi Oct4 ekspresi [4] Oct4 dan Sox2 kemudian menginduksi pembentukan kompleks biner yang mengikat pada elemen enhancer masing-masing untuk pengaturan diri yang positif [5].  Oct4 juga berinteraksi dengan berbagai faktor transkripsi Sox seperti Sox2, Sox4, Sox11, dan Sox15 untuk coregulasi gen seperti Fgf4, Lefty1, Fbx15, Utf1, and Nanog via Oct-sox enhancer [4, 6–11].

 

Nanog adalah gen homeobox yang awalnya diekspresikan secara monoleksia dalam 2–8 blastomeres dan secara bialerik hanya diekspresikan dalam massa sel dalam pluripoten saat embrio dewasa [12].  Oleh karena itu ekspresi Nanog monoalelik tampaknya mendorong diferensiasi sementara ekspresi Nanog biallelik mempertahankan pluripotensi dan merupakan regulator kunci dalam pengembangan embrionik awal.

 

Klf4 membantu Oct4 and Sox2 dalam mengatur berbagai gen termasuk ekspresi Lefty1, mempertahankan pluripotensi sel punca, dan telah terlibat dalam diferensiasi dan proliferasi [11, 13–16].  Lebih lanjut memvalidasi pentingnya faktor-faktor transkripsi ini, percobaan telah menunjukkan bahwa ekspresi berlebih dari Sox2, Oct4, dan Klf4 dapat memulai pemrograman ulang sel-sel dewasa yang berdiferensiasi menjadi sel punca pluripoten terinduksi yang mengekspresikan Nanog (Induced pluripotent stem cell / iPSC) [17].

 

2. SEL PUNCA PLURIPOTEN TERINDUKSI

 

Sejak percobaan perintis yang menunjukkan kemungkinan induksi iPSC dari fibroblasts mouse melalui transduction retroviral pada tahun 2006, peningkatan perhatian pada iPSC telah menyebabkan penemuan metode alternatif lain untuk memproduksi iPSC [18].  Transduksi melalui vektor retroviral dan lentiviral adalah salah satu metode pertama untuk menghasilkan iPSC [19–21].  Namun kerugian penting dari protokol yang banyak digunakan adalah bahwa proses ini menghasilkan integrasi bahan genetik eksogen (berasal dari luar organisme), seperti protooncogen C-myc, dalam iPSC yang dapat meningkatkan risiko tumorigenesis dalam terapi berbasis iPSC dan efisiensi transformasi rendah dari sel dewasa ke iPSC (0,001–2%) [22].

 

DNA eksogen adalah DNA yang berasal dari luar organisme yang diteliti atau dipelajari.  DNA eksogen dapat ditemukan secara alami dalam bentuk fragmen terdegradasi sebagian yang tersisa dari sel mati. Fragmen DNA ini kemudian dapat diintegrasikan ke dalam kromosom sel bakteri terdekat untuk menjalani mutagenesis. Proses mengubah bakteri ini dikenal sebagai transformasi. Bakteri juga dapat mengalami transformasi buatan melalui proses kimia dan biologi. Pengenalan DNA eksogen ke dalam sel eukariotik dikenal sebagai transfeksi. DNA eksogen juga dapat dimasukkan secara artifisial ke dalam genom, yang merevolusi proses modifikasi genetik pada hewan. Dengan menyuntikkan mikro transgen buatan ke dalam nukleus embrio hewan, DNA eksogen diizinkan untuk menggabungkan DNA sel yang ada untuk menciptakan hewan transgenik yang dimodifikasi secara genetik. Penciptaan hewan transgenik juga mengarah pada studi tentang pengubahan sel sperma dengan DNA eksogen.

 

Baru-baru ini, transfeksi mRNA yang dimodifikasi telah terbukti untuk memprogram fibroblasts ke iPSC dengan efisiensi hingga 4,4% tanpa integrasi genomik DNA ekstrakurikuler [23].  Penelitian lebih lanjut tentang urutan miRNA juga telah menyebabkan identifikasi miR302/367 cluster yang, ketika dikombinasikan dengan transduction lentiviral, menunjukkan efisiensi 10% untuk reprogramming fibroblasts ke iPSC [24].  Perbaikan untuk menghasilkan iPSC ini dapat menyebabkan pengembangan sistem throughput yang lebih tinggi untuk mendapatkan sel punca yang lebih dekat menyerupai sel punca dewasa dan ESC.  Throughput adalah ukuran berapa banyak unit informasi yang dapat diproses oleh sistem dalam jumlah waktu tertentu.

 

Pemanfaatan iPSC dalam desain terapi dan penelitian memiliki beberapa keuntungan yang berbeda dari ESCs. Pertama karena iPSC berasal dari pasien, akan ada risiko penolakan kekebalan tubuh yang berkurang dibandingkan dengan alogragraf atau xenografts dari ESCs. Selain itu, lebih mudah untuk mendapatkan prekursor iPSC dari pasien dibandingkan dengan kesulitan dan masalah etika yang terkait dengan turunan ESCs. Akhirnya iPSC secara epigenetik berbeda dari ESCs dan mempertahankan predisposisi untuk kembali ke dalam jenis sel asli mereka [25]. Memori epigenetik iPSC ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan sel jenis spesifik yang tidak dapat dengan mudah diperoleh dari ESCs.

 

Repogramrame iPSC dari sel somatik normal membutuhkan transformasi epigenetik yang kompleks. Untuk merancang iPSC yang sempurna, sangat penting untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan epigenetik antara iPSC dan ESCs. Penelitian terbaru telah memberikan wawasan tentang memori epigenetik iPSC, sebuah artefak penanda dari sel orang tua dan proses reprograme yang membatasi kemampuan iPSC untuk membedakan dan membentuk sel dari garis keturunan alternatif [25, 26].

 

Penanda epigenetik iPSC ini seperti perbedaan metilasi CG dan modifikasi histon dekat gen kontrol perkembangan dapat ditularkan ke keturunan mereka bahkan setelah diferensiasi dan dapat mempengaruhi fungsi sel yang berasal dari iPSC [27].  Selain itu, peran enzim modifikasi kromatimatin juga telah terbukti mempengaruhi efektivitas reprogramming iPSC dan sangat penting untuk menentukan nasib sel [28, 29].  Oleh karena itu memori epigenetik residu iPSC harus benar-benar reset untuk menyerupai ESCs sebelum mereka dapat diklasifikasikan sebagai sel punca yang benar-benar pluripotent.

 

Beberapa alat molekul dan lingkungan yang dapat membantu dalam perubahan epigenetik termasuk senyawa seperti natrium butyrate yang dapat memodifikasi asetilasi H3K9 dan demetilasi CpG dari promotor tertentu yang mengatur berbagai gen (Dppa5, Ddx43, Rcn3, Sp5) [30], inhibitor metaltransferase DNA (misalnya, asam valproat, 5-aza-cytidine) yang dapat dirancang untuk menghambat metilasransferases tertentu untuk mengatasi hambatan untuk mengatasi hambatan untuk reprogramming DNA [31, 32], campuran antioksidan (misalnya, Withania somnifera ekstrak), dan penghambat kinase (misalnya, penghambat kinase tyrosine kinase) yang dapat menghambat fosilasi dari berbagai gen [33, 34].  Menyadari lingkungan mikro in vitro untuk sel punca berbudaya juga penting untuk menghasilkan ekspresi epigenetik yang diinginkan.

 

Karena kondisi budaya yang berbeda di berbagai laboratorium, bahkan garis sel punca yang sama dapat menunjukkan ekspresi genetik heterogen. Perbedaan yang lebih besar dalam ekspresi gen ada antara berbagai iPSC dan ESCs karena mereka dapat menunjukkan perbedaan epigenetik bahkan ketika dikultur dalam kondisi yang sama [35, 36].  Oleh karena itu, regulasi dekat dari lingkungan mikro in vitro akan diperlukan untuk kontrol epigenetik yang tepat dan mempertahankan homogenitas epigenetik sel punca karena bahkan tingkat oksigen yang bervariasi saja dapat menginduksi perubahan epigenetik yang memfasilitasi reprogramramming ke iPSC dan diferensiasi mereka yang diarahkan [37, 38].  Namun meskipun repertoar alat epigenetik tersedia, penelitian tambahan untuk mengidentifikasi dan memetakan keadaan tanah epigenetik ESCs akan sangat penting untuk aplikasi yang tepat guna mereset penanda iPSC yang melekat ini.

 

Mutasi dan perbedaan genetik yang melekat pada iPSC dan sel punca lainnya yang dikultur dalam kondisi in vitro juga harus dievaluasi sebelum mereka dapat dimanfaatkan dengan aman dalam terapi medis. Sementara beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa subset sel punca seperti sel punca mesenkim mampu menjaga stabilitas genetik selama enam bulan [39, 40], studi skala yang lebih besar telah menunjukkan kecenderungan terhadap ketidakstabilan genetik dan overekspresi protoonkogen dalam sel punca yang berbudaya karena tekanan selektif kondisi budaya dan konsekuensi reprogramming untuk menghasilkan iPSC [41, 42].

 

Oleh karena itu penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk menentukan kondisi budaya sel punca yang optimal untuk mencegah abbreviasi genetik yang tidak diinginkan terjadi. Hal ini juga penting untuk mengembangkan protokol reprogram yang menghasilkan iPSC yang stabil secara genetik. Akhirnya integritas genetik dari semua sel punca harus diverifikasi sebelum mereka dimanfaatkan dalam terapi sehingga dapat mengurangi kemungkinan tumorigenesis pada pasien.

 

3. TERAPI SEL PUNCA DEWASA

 

Meskipun keterbatasan dalam memahami diferensiasi sel punca dan peprograman ulang iPSC, telah ada beberapa kemajuan dalam memverifikasi keamanan terapi berbasis sel punca dewasa untuk beberapa penyakit. Proses ini penting karena banyak gen yang diaktifkan dalam sel punca atau dianggap berguna dalam menginduksi pembentukan iPSC adalah protoonkogen, dan hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa terapi berbasis sel batang dapat meningkatkan risiko kanker pada pasien. Sebagai contoh, empat faktor transkripsi yang biasa digunakan dalam pemrogram iPSC Sox2, Oct4, Nanog, dan Klf4 telah dikaitkan dengan karsinogenesis, peningkatan keganasan kanker dan resistensi obat tumor dan terlalu diekspresikan dalam banyak kanker dan sel punca kanker [43–51].  Selain itu, aktivasi gen menekan tumor seperti p53 menunjukkan efek yang sama dengan mendorong pembentukan iPSC dengan mengorbankan peningkatan risiko tumorigenesis (suatu proses dimana sel normal mengalami transformasi menjadi sel kanker) dan ketidakstabilan genetik [52].

 

4. SEL PUNCA MESENKIM

 

Beberapa penelitian telah dilakukan dalam upaya untuk memverifikasi keamanan dan efektivitas berbagai terapi sel punca. Beberapa penelitian yang sukses ini menggunakan sel punca dewasa seperti sel punca mesenkim yang berasal dari tulang-sumsum (Mesenchymal Stem Cells / MSCs) dalam uji coba berbagai terapi regeneratif. Sel punca masenkim merupakan sumber sel punca yang bersifat multipoten sehingga mampu berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel. Sel-sel ini pertama kali digambarkan sebagai MSCs karena kemampuan mereka untuk membedakan dan membentuk berbagai sel mesenkmal seperti sel tulang dan tulang rawan [53].

 

MSC membentuk populasi sel heterogen yang mengejutkan, dan subset MSC yang diekstraksi dari sumsum tulang saja menampilkan berbagai macam morfologi seluler dan penanda antigen [54]. Resgraft MSC berasal dari sumsum manusia adalah salah satu keberhasilan pertama dalam terapi sel punca karena ada kesempatan minimal penolakan kekebalan tubuh karena sifat imunomodulasi intrinsik mereka [55].  Selain itu, transplantasi MSC ini biasanya tidak menghasilkan pembentukan teratoma saat diuji dalam uji klinis dan relatif aman dibandingkan dengan ESC dan iPSC yang siap membentuk teratoma [56].  Dalam salah satu penelitian tersebut, 41 pasien yang menjalani transplantasi MSC yang berasal dari sumsum tulang untuk perbaikan sendi diperiksa untuk tumor dan gejala infeksi selama antara 5 dan 137 bulan, dan tidak ada kelainan yang terdeteksi [57].

 

Studi lain tentang transplantasi MSC untuk terapi ortodoksik yang melibatkan beberapa ratus pasien selama periode 1-2 tahun hasilnya juga menunjukkan bahwa transplantasi ini tidak meningkatkan risiko karsinogenesis [58].  Studi lain juga telah menunjukkan bahwa transplantasi MSC aman dan telah menyebabkan prognosis yang lebih baik untuk penyakit ortopeik [59, 60]. Keselamatan terapi MSC untuk infark miokardial juga telah diakses, dan pasien menunjukkan prognosis kardiovaskular yang lebih baik [61].

 

MSC juga telah dimanfaatkan dalam organogenesis untuk rekonstruksi paru-paru. Dalam satu studi pasien MSC dan sel epitel dikombinasikan dengan tulang rawan trakea yang disumbangkan dalam sebuah bioreaktor untuk membentuk graft fungsional yang kemudian berhasil digunakan untuk menyelamatkan fungsi paru-paru pasien tanpa penolakan kekebalan kekebalan [62].

 

Baru-baru ini, metode teknik jaringan yang ditingkatkan telah mengurangi waktu yang diperlukan untuk generasi graft dari 3 bulan menjadi 3 minggu memungkinkan pasien yang membutuhkan transplantasi yang lebih mendesak untuk diobati [63].  Selain peran mereka dalam perbaikan tulang, terapi berbasis MSC lainnya juga telah dievaluasi untuk keamanan dan tingkat efektivitas yang bervariasi untuk mengobati berbagai kondisi termasuk stroke, beberapa sclerosis, diabetes, dan transplantasi ginjal, dalam uji klinis lainnya [64–68].

 

MSC juga dapat diekstraksi dari jaringan adipose dan sinvial, darah periferal, otot kerangka, dan jaringan neonatal seperti tali pusar [69].  Jaringan adipose adalah sumber MSC yang telah digunakan untuk merangsang regenerasi tulang dan jaringan tulang rawan pada manusia dan dapat sebagian menengahi efek osteoartritis dan osteonecrosis [70].  Penggunaan MSC adipose sangat menguntungkan karena mereka dapat dengan mudah diekstraksi melalui liposuction jaringan adipose yang merupakan prosedur invasif minimal dan dimurnikan melalui protokol yang mapan [71, 72].  Oleh karena itu adipose MSC dapat dianggap sebagai sumber sel punca yang layak jika pasien tidak dapat menjalani ekstraksi MSC sumsum tulang. MSC juga dapat diisolasi dari cairan sinvial pada manusia dan hewan [73].

 

Studi eksplorasi awal pada kelinci telah membuktikan bahwa pengobatan dengan MSC sinvial dapat mencegah degenerasi cakram intervertebral [74]. Selain itu beberapa penelitian telah berpendapat bahwa MSC sinvial mungkin memiliki efek terapi yang lebih besar dibandingkan dengan MSC yang berasal dari sumber lain karena peningkatan kemampuan untuk berkembang biak, membedakan, menempel pada jaringan yang rusak, dan mempercepat penyembuhan dalam model hewan [75–77].  Beberapa kemajuan juga telah dibuat dalam teknik dalam konstruksi jaringan vitro untuk mempercepat implantasi sinvial MSC [78].

 

5. SEL PUNCA HEMATOPOIETIK

 

Sel punca Hematopoietik (Hematopoietic Stem Cells / HSC) juga telah banyak digunakan dalam terapi eksperimental dengan studi perintis transplantasi HSC (HSCT) yang berasal dari tahun 1950-an [82].  HSC terdiri dari populasi heterogen yang mengejutkan dari sel punca multipoten yang secara kolektif memiliki potensi untuk membentuk semua jenis sel darah [83].  HSC dapat dimurnikan dari sel sumsum tulang dengan memilih untuk sel-sel yang memiliki berbagai penanda ekspresi seperti membran glykorotein Sca-1 dan reseptor kinase tyrosine c-Kit (CD117) dan kurangnya penanda diferensiasi terminal [84].

 

HSCT paling sering digunakan dalam terapi untuk berbagai kanker darah dan tulang-sumsum seperti leukemia dan beberapa myeloma. Sebuah analisis retrospektif dari 586 pasien leukemia-limfoma sel T dewasa yang menerima transplantasi sel punca hematopoietik allogenik mengungkapkan bahwa terapi HSC efektif untuk meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang pada pasien ini [85].  Beberapa myeloma juga telah berhasil diobati dengan kombinasi HSCT, kemoterapi, dan iradiasi tubuh total sejak 1986 [86, 87]. 

 

Pengembangan terapi HSCT kombinasi terapi yang melibatkan obat-obatan baru seperti lenalidomida, doxorubicin liposomal, dexamethasone, dan bortezomib terus meningkatkan kelangsungan hidup bebas perkembangan dan tingkat kelangsungan hidup pasien ini [88–91].  Namun meskipun HSCT alogenik dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien dan remisi kanker melalui induksi efek graft-versus-tumor (GVT) akut, proses ini masih kurang dipahami dan mungkin melibatkan berbagai jenis sel yang ditransplantasikan termasuk sel T, sel pembunuh alami, dan sel B [92, 93].  Selain itu, meskipun chimerisme donor penuh setelah HSCT mengurangi risiko kambuh dan perkembangan kanker, HSCT juga terkait dengan beberapa efek samping negatif termasuk penyakit graft-versus-host (GVHD) yang dapat menyebabkan komplikasi mematikan pada pasien [86, 92].  Pasien HSCT dengan GVHD kronis juga mungkin lebih mungkin menderita tumor sekunder seperti kanker kulit sel basal, karsinoma sel squamous oral, sarkoma, dan adenokarsinoma [94, 95].

 

6. SEL PUNCA SARAF

 

Potensi terapi sel punca saraf (neural stem cell / NSC) juga telah menerima minat yang cukup besar. Penelitian telah membuktikan bahwa NSCs dapat diisolasi dari sumsum tulang tetikus, striatum, dan NSC dengan nomor kromosom yang stabil dan juga telah dihasilkan dari iPSC manusia [100–103]. Selain itu, NSC dapat diprogram ulang menjadi iPSC dengan ekspresi berlebih Oct4 untuk menghasilkan tipe sel lain [104]. Namun beberapa penelitian telah mengusulkan bahwa NSC mungkin cenderung pada mutasi yang diinduksi kultur yang dapat membatasi kegunaan terapeutiknya [105, 106].

 

Oleh karena itu, lebih banyak penelitian harus dilakukan untuk mengidentifikasi kondisi budaya vitro yang cocok untuk menjaga stabilitas genetik dan epigenetik NSC. Karena keterbatasan ini, evaluasi efektivitas terapi NSCs terutama telah dilakukan dalam uji coba hewan. Beberapa penelitian ini telah mendokumentasikan efektivitas NSCs untuk mengurangi gejala-gejala beberapa sklerosis pada model tetikus autoimmune eksperimental (EAE).

 

Studi ini menunjukkan bahwa NSC mampu memasuki sistem saraf pusat, membentuk sel otak, mempromosikan neuroproteksi, dan mendorong remyelinasi [107–110].  Penampilan yang lebih dekat ke dalam peran NSC dalam regulasi kekebalan tubuh adaptif juga telah mengungkapkan bahwa NSC melepaskan morphogen (protein morphogenetik tulang 4) yang mencegah pematangan sel-sel T spesifik antigen yang mengakibatkan neuroproteksi terbatas pada model mouse EAE [111]. Percobaan lebih lanjut yang melibatkan penanaman NSC yang direkayasa untuk menghasilkan IL-10 juga telah menunjukkan potensi mereka yang ditingkatkan untuk meningkatkan efek kekebalan tubuh mereka untuk menengahi kemajuan EAE dibandingkan dengan transplantasi NSC saja [112].

 

Eksperimen lebih lanjut yang melibatkan transplantasi NSC yang direkayasa untuk menghasilkan IL-10 juga telah menunjukkan potensi yang ditingkatkan untuk meningkatkan efek penekan kekebalan untuk memediasi kemajuan EAE dibandingkan dengan transplantasi NSC saja [112].

 

Studi tentang bagaimana NSC endogenous dapat didorong untuk menengahi perbaikan juga telah menerima minat yang cukup besar. NSC ada dalam ceruk sel punca tertentu pada mamalia dewasa seperti lapisan ependymal dan dapat bermigrasi dan membedakan untuk membentuk sel saraf fungsional dalam model EAE tikus [113, 114].  NSC yang berasal dari ependymal ini juga dapat membedakan untuk membentuk sel pendukung seperti astrosit dan oligodendrosit [115, 116].  Mekanisme perbaikan berbasis NSC endogenous diatur oleh jalur molekul kompleks yang melibatkan morphogen, neurotransmitter, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, molekul permukaan sel, dan reseptor yatim nuklir (untuk ditinjau lihat [117].

 

Terapi regeneratif minimal di masa depan dapat berusaha untuk memanfaatkan sumber endogenous NCS ini dengan menginduksi migrasi sel dan diferensiasi yang diarahkan secara genetik dan diferensiasi berdasarkan pemahaman yang lebih baik tentang jalur molekul ini. NSC juga telah dipelajari untuk efek terapi mereka pada penyakit saraf lainnya seperti gangguan spektrum alkohol janin dan penyakit penyimpanan lysosomal [118, 119], dan scaffolds yang mengandung NSC juga telah terbukti untuk mendorong pemulihan dari cedera sumsum tulang belakang di tikus Wistar [120].

 

7. SEL PUNCA  DEWASA LAINNYA

 

Banyak kategori lain dari sel punca alami telah diidentifikasi dan diselidiki untuk potensi terapi mereka termasuk, sel punca mammary, sel punca usus, sel punca telinga bagian dalam, dan sel punca testis. Konsentrasi sel punca mamamary dapat diperkaya dengan penyortiran sel yang diaktifkan fluorescensi kelenjar mammary tetikus untuk sel-sel yang merupakan CD31−, CD45−, Ter119−, sca-1low, CD24+, dan baik CD49fhigh atau CD29 high [121, 122]. 

 

Punca mammary ini mampu membentuk kelenjar mammary fungsional ketika ditransplantasi dalam tikus, dan sel punca mammary manusia telah terisolasi dalam upaya untuk lebih memahami karsinogenesis dan sel punca kanker [121, 123].  Sel punca usus dapat menengahi restorasi parsial fungsi usus kecil setelah reseksi usus [124].  Penelitian lebih lanjut untuk menghindari jalur molekul yang mengatur mekanisme regeneratif ini dapat menyebabkan perkembangan terapi gen regeneratif novel untuk meningkatkan fungsi usus pada pasien yang menderita sindrom usus pendek. Mendengar kehilangan akibat hilangnya sel rambut kognea adalah penyakit lain yang dapat diobati dengan terapi sel punca. Dalam pencarian obat, sel punca telinga bagian dalam telah diidentifikasi baik dalam epitel dorsal dari kanal kognear dan epitel sensorik hiperikuler dewasa [125, 126].

 

Studi yang sedang berlangsung ini menunjukkan upaya yang sedang berlangsung untuk mengidentifikasi potensi progenitor untuk restorasi pendengaran dan regulator molekul yang membimbing proses ini. Transplantasi sel punca tes telah berhasil digunakan untuk mengembalikan kesuburan dalam model hewan tikus, babi, dan kambing dan membantu dalam penciptaan hewan transgenik [127–129].

 

Kemajuan lebih lanjut di bidang ini dapat menghasilkan terapi untuk menjaga kesuburan pasien kanker yang tidak subur karena efek samping dari terapi kemoterapi dan radiasi. Kesimpulannya studi ini menunjukkan bahwa sambil memastikan keamanan terapi sel punca dewasa tetap menjadi perhatian utama, kapasitas regeneratif yang melekat dari reservoir sel punca dewasa dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas pengobatan medis yang ada.

 

Hal ini juga penting untuk dicatat bahwa banyak terapi sel punca yang saat ini dimanfaatkan dan uji klinis memiliki dampak terbatas pada mengurangi gejala penyakit. Hal ini karena sebagian besar terapi saat ini hanya mencoba untuk mengobati satu aspek penyakit. Selain itu, kemampuan terbatas untuk mendiagnosis berbagai penyebab yang mendasari gejala penyakit yang sama dan kurangnya tes untuk mengidentifikasi perbedaan kompleks antara pasien individu telah menyebabkan penerapan terapi generik ke populasi pasien heterogenetik. Akibatnya, alat yang lebih baik untuk menentukan faktor genetik dan epigenetik yang unik pada setiap pasien yang menyebabkan setiap gejala penyakit semakin penting untuk memaksimalkan potensi terapi sel punca yang disesuaikan. Selain itu terapi kombinasi yang memanfaatkan integrasi berbagai pendekatan seperti transplantasi sel punca, ilmu material, terapi gen, biologi perkembangan, dan farmasi untuk secara bersamaan menargetkan beberapa aspek dari masing-masing penyakit akan secara progresif diperlukan untuk mengembangkan terapi generasi berikutnya.

 

Pemahaman yang lebih baik tentang jalur molekul intraseluler yang mengatur diferensiasi sel punca dan metode baru untuk memanipulasi jalur ini untuk menjaga stabilitas genetik menginduksi modifikasi epigenetik yang diinginkan, dan perubahan fenotik juga akan sangat penting untuk menjamin keamanan dan potensi terapi sel punca masa depan. Untuk mencapai hal ini, variasi genetik dan epigenetik mirial dalam populasi sel punca homogen harus dipelajari secara rinci yang lebih besar, dan dampak dari setiap variasi pada diferensiasi, proliferasi, dan pluripotensi harus diukur.

 

Akhirnya pemahaman lengkap tentang mekanisme pensinyap sel punca dan komunikasi intertelular, seperti faktor-1/CXC chemokin receptor-4 untuk membimbing mobilisasi sel punca hematopoietik, harus dipahami [130].  Mempelajari bahasa di balik komunikasi molekul ini akan memungkinkan desain sel punca yang dapat dipandu ke lokasi tertentu, menghindari penolakan kekebalan tubuh potensial, dan berinteraksi dengan sel inang untuk mempercepat restorasi jaringan. Hal ini juga akan menyebabkan peningkatan teknik jaringan organ yang lebih kompleks yang membutuhkan posisi yang tepat dari berbagai jenis sel untuk berfungsi secara normal.

 

Kesimpulannya dapat dilihat bahwa meskipun banyak penemuan perintis telah mengubah cara kita memahami fungsi sel punca, studi yang tak terhitung jumlahnya masih diperlukan pada penghapusan penelitian sel punca sebelum penguasaan lengkap dari manipulasi sel punca untuk potensi terapi maksimum dapat dicapai.

 

DAFTAR PUSTAKA

1.             A. Martinez Arias and J. M. Brickman, “Gene expression heterogeneities in embryonic stem cell populations: origin and function,” Current Opinion in Cell Biology, vol. 23, no. 6, pp. 650–656, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

2.             A. A. Avilion, S. K. Nicolis, L. H. Pevny, L. Perez, N. Vivian, and R. Lovell-Badge, “Multipotent cell lineages in early mouse development depend on SOX2 function,” Genes and Development, vol. 17, no. 1, pp. 126–140, 2003. View at: Publisher Site | Google Scholar

3.             K. Mitsui, Y. Tokuzawa, H. Itoh et al., “The homeoprotein Nanog is required for maintenance of pluripotency in mouse epiblast and ES cells,” Cell, vol. 113, no. 5, pp. 631–642, 2003. View at: Publisher Site | Google Scholar

4.             S. Masui, Y. Nakatake, Y. Toyooka et al., “Pluripotency governed by Sox2 via regulation of Oct3/4 expression in mouse embryonic stem cells,” Nature Cell Biology, vol. 9, no. 6, pp. 625–635, 2007. View at: Publisher Site | Google Scholar

5.             J. L. Chew, Y. H. Loh, W. Zhang et al., “Reciprocal transcriptional regulation of Pou5f1 and Sox2 via the Oct4/Sox2 complex in embryonic stem cells,” Molecular and Cellular Biology, vol. 25, no. 14, pp. 6031–6046, 2005. View at: Publisher Site | Google Scholar

6.             Y. Tokuzawa, E. Kaiho, M. Maruyama et al., “Fbx15 is a novel target of Oct3/4 but is dispensable for embryonic stem cell self-renewal and mouse development,” Molecular and Cellular Biology, vol. 23, no. 8, pp. 2699–2708, 2003. View at: Publisher Site | Google Scholar

7.             D. C. Ambrosetti, H. R. Schöler, L. Dailey, and C. Basilico, “Modulation of the activity of multiple transcriptional activation domains by the DNA binding domains mediates the synergistic action of Sox2 and Oct-3 on the fibroblast growth factor-4 enhancer,” The Journal of Biological Chemistry, vol. 275, no. 30, pp. 23387–23397, 2000.  View at: Publisher Site | Google Scholar

8.             M. Maruyama, T. Ichisaka, M. Nakagawa, and S. Yamanaka, “Differential roles for Sox15 and Sox2 in transcriptional control in mouse embryonic stem cells,” The Journal of Biological Chemistry, vol. 280, no. 26, pp. 24371–24379, 2005.  View at: Publisher Site | Google Scholar

9.             D. J. Rodda, J. L. Chew, L. H. Lim et al., “Transcriptional regulation of Nanog by OCT4 and SOX2,” The Journal of Biological Chemistry, vol. 280, no. 26, pp. 24731–24737, 2005.  View at: Publisher Site | Google Scholar

10.         M. Nishimoto, A. Fukushima, A. Okuda, and M. Muramatsu, “The gene for the embryonic stem cell coactivator UTF1 carries a regulatory element which selectively interacts with a complex composed of Oct-3/4 and Sox-2,” Molecular and Cellular Biology, vol. 19, no. 8, pp. 5453–5465, 1999.  View at: Google Scholar

11.         Y. Nakatake, N. Fukui, Y. Iwamatsu et al., “Klf4 cooperates with Oct3/4 and Sox2 to activate the Lefty1 core promoter in embryonic stem cells,” Molecular and Cellular Biology, vol. 26, no. 20, pp. 7772–7782, 2006.  View at: Publisher Site | Google Scholar

12.         Y. Miyanari and M. E. Torres-Padilla, “Control of ground-state pluripotency by allelic regulation of Nanog,” Nature, vol. 483, no. 7390, pp. 470–473, 2012.  View at: Publisher Site | Google Scholar

13.         M. O. Kim, S.-H. Kim, Y.-Y. Cho et al., “ERK1 and ERK2 regulate embryonic stem cell self-renewal through phosphorylation of Klf4,” Nature Structural & Molecular Biology, vol. 19, no. 3, pp. 283–290, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

14.         E. M. Whitney, A. M. Ghaleb, X. Chen, and V. W. Yang, “Transcriptional profiling of the cell cycle checkpoint gene krüppel-like factor 4 reveals a global inhibitory function in macromolecular biosynthesis,” Gene Expression, vol. 13, no. 2, pp. 85–96, 2006. View at: Publisher Site | Google Scholar

15.         X. Chen, E. M. Whitney, S. Y. Gao, and V. W. Yang, “Transcriptional profiling of krüppel-like factor 4 reveals a function in cell cycle regulation and epithelial differentiation,” Journal of Molecular Biology, vol. 326, no. 3, pp. 665–677, 2003. View at: Publisher Site | Google Scholar

16.         B. D. Rowland, R. Bernards, and D. S. Peeper, “The KLF4 tumour suppressor is a transcriptional repressor of p53 that acts as a context-dependent oncogene,” Nature Cell Biology, vol. 7, no. 11, pp. 1074–1082, 2005. View at: Publisher Site | Google Scholar

17.         M. Wernig, A. Meissner, J. P. Cassady, and R. Jaenisch, “c-Myc is dispensable for direct reprogramming of mouse fibroblasts,” Cell Stem Cell, vol. 2, no. 1, pp. 10–12, 2008. View at: Publisher Site | Google Scholar

18.         K. Takahashi and S. Yamanaka, “Induction of pluripotent stem cells from mouse embryonic and adult fibroblast cultures by defined factors,” Cell, vol. 126, no. 4, pp. 663–676, 2006. View at: Publisher Site | Google Scholar

19.         K. Takahashi, K. Tanabe, M. Ohnuki et al., “Induction of pluripotent stem cells from adult human fibroblasts by defined factors,” Cell, vol. 131, no. 5, pp. 861–872, 2007. View at: Publisher Site | Google Scholar

20.         J. Yu, M. A. Vodyanik, K. Smuga-Otto et al., “Induced pluripotent stem cell lines derived from human somatic cells,” Science, vol. 318, no. 5858, pp. 1917–1920, 2007. View at: Publisher Site | Google Scholar

21.         M. Stadtfeld, K. Brennand, and K. Hochedlinger, “Reprogramming of pancreatic β cells into induced pluripotent stem cells,” Current Biology, vol. 18, no. 12, pp. 890–894, 2008. View at: Publisher Site | Google Scholar

22.         D. A. Robinton and G. Q. Daley, “The promise of induced pluripotent stem cells in research and therapy,” Nature, vol. 481, no. 7381, pp. 295–305, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

23.         L. Warren, P. D. Manos, T. Ahfeldt et al., “Highly efficient reprogramming to pluripotency and directed differentiation of human cells with synthetic modified mRNA,” Cell Stem Cell, vol. 7, no. 5, pp. 618–630, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

24.         F. Anokye-Danso, C. M. Trivedi, D. Juhr et al., “Highly efficient miRNA-mediated reprogramming of mouse and human somatic cells to pluripotency,” Cell Stem Cell, vol. 8, no. 4, pp. 376–388, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

25.         K. Kim, A. Doi, B. Wen et al., “Epigenetic memory in induced pluripotent stem cells,” Nature, vol. 467, no. 7313, pp. 285–290, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

26.         O. Bar-Nur, H. A. Russ, S. Efrat, and N. Benvenisty, “Epigenetic memory and preferential lineage-specific differentiation in induced pluripotent stem cells derived from human pancreatic islet beta cells,” Cell Stem Cell, vol. 9, no. 1, pp. 17–23, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

27.         R. Lister, M. Pelizzola, Y. S. Kida et al., “Hotspots of aberrant epigenomic reprogramming in human induced pluripotent stem cells,” Nature, vol. 471, no. 7336, pp. 68–73, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

28.         T. T. Onder, N. Kara, A. Cherry et al., “Chromatin-modifying enzymes as modulators of reprogramming,” Nature, vol. 483, no. 7391, pp. 598–602, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

29.         R. M. Barrett and M. A. Wood, “Beyond transcription factors: the role of chromatin modifying enzymes in regulating transcription required for memory,” Learning and Memory, vol. 15, no. 7, pp. 460–467, 2008. View at: Publisher Site | Google Scholar

30.         C. B. Ware, L. Wang, B. H. Mecham et al., “Histone deacetylase inhibition elicits an evolutionarily conserved self-renewal program in embryonic stem cells,” Cell Stem Cell, vol. 4, no. 4, pp. 359–369, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

31.         G. Hobley, J. C. McKelvie, J. E. Harmer et al., “Development of rationally designed DNA N6 adenine methyltransferase inhibitors,” Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters, vol. 22, no. 9, pp. 3079–3082, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

32.         B. Feng, J. H. Ng, J. C. D. Heng, and H. H. Ng, “Molecules that promote or enhance reprogramming of somatic cells to induced pluripotent stem cells,” Cell Stem Cell, vol. 4, no. 4, pp. 301–312, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

33.         H. Nakajima, K. Fukazawa, Y. Wakabayashi et al., “Withania somnifera extract attenuates stem cell factor-stimulated pigmentation in human epidermal equivalents through interruption of ERK phosphorylation within melanocytes,” Journal of Natural Medicines, vol. 66, no. 3, pp. 435–446, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

34.         I. Posner, M. Engel, A. Gazit, and A. Levitzki, “Kinetics of inhibition by tyrphostins of the tyrosine kinase activity of the epidermal growth factor receptor and analysis by a new computer program,” Molecular Pharmacology, vol. 45, no. 4, pp. 673–683, 1994. View at: Google Scholar

35.         A. M. Newman and J. B. Cooper, “Lab-specific gene expression signatures in pluripotent stem cells,” Cell Stem Cell, vol. 7, no. 2, pp. 258–262, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

36.         M. H. Chin, M. J. Mason, W. Xie et al., “Induced pluripotent stem cells and embryonic stem cells are distinguished by gene expression signatures,” Cell Stem Cell, vol. 5, no. 1, pp. 111–123, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

37.         D. Bae, P. Mondragon-Teran, D. Hernandez et al., “Hypoxia enhances the generation of retinal progenitor cells from human induced pluripotent and embryonic stem cells,” Stem Cells and Development, vol. 21, no. 8, pp. 1344–1355, 2012. View at: Google Scholar

38.         Y. Yoshida, K. Takahashi, K. Okita, T. Ichisaka, and S. Yamanaka, “Hypoxia enhances the generation of induced pluripotent stem cells,” Cell Stem Cell, vol. 5, no. 3, pp. 237–241, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

39.         M. E. Bernardo, N. Zaffaroni, F. Novara et al., “Human bone marrow-derived mesenchymal stem cells do not undergo transformation after long-term in vitro culture and do not exhibit telomere maintenance mechanisms,” Cancer Research, vol. 67, no. 19, pp. 9142–9149, 2007. View at: Publisher Site | Google Scholar

40.         L. A. Meza-Zepeda, A. Noer, J. A. Dahl, F. Micci, O. Myklebost, and P. Collas, “High-resolution analysis of genetic stability of human adipose tissue stem cells cultured to senescence,” Journal of Cellular and Molecular Medicine, vol. 12, no. 2, pp. 553–563, 2008. View at: Publisher Site | Google Scholar

41.         U. Ben-David, Y. Mayshar, and N. Benvenisty, “Large-scale analysis reveals acquisition of lineage-specific chromosomal aberrations in human adult stem cells,” Cell Stem Cell, vol. 9, no. 2, pp. 97–102, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

42.         U. Ben-David, N. Benvenisty, and Y. Mayshar, “Genetic instability in human induced pluripotent stem cells: classification of causes and possible safeguards,” Cell Cycle, vol. 9, no. 23, pp. 4603–4604, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

43.         J. Neumann, F. Bahr, D. Horst et al., “SOX2 expression correlates with lymph-node metastases and distant spread in right-sided colon cancer,” BMC Cancer, vol. 11, p. 518, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

44.         O. Leis, A. Eguiara, E. Lopez-Arribillaga et al., “Sox2 expression in breast tumours and activation in breast cancer stem cells,” Oncogene, vol. 31, no. 11, pp. 1354–1365, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

45.         D. E. Linn, X. Yang, F. Sun et al., “A role for OCT4 in tumor initiation of drug-resistant prostate cancer cells,” Genes and Cancer, vol. 1, no. 9, pp. 908–916, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

46.         S. H. Chiou, M. L. Wang, Y. T. Chou et al., “Coexpression of Oct4 and Nanog enhances malignancy in lung adenocarcinoma by inducing cancer stem cell-like properties and epithelial-mesenchymal transdifferentiation,” Cancer Research, vol. 70, no. 24, pp. 10433–10444, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

47.         M. Gazouli, M. G. Roubelakis, G. E. Theodoropoulos et al., “OCT4 spliced variant OCT4B1 is expressed in human colorectal cancer,” Molecular Carcinogenesis, vol. 51, no. 2, pp. 165–173, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

48.         M. H. Asadi, S. J. Mowla, F. Fathi, A. Aleyasin, J. Asadzadeh, and Y. Atlasi, “OCT4B1, a novel spliced variant of OCT4, is highly expressed in gastric cancer and acts as an antiapoptotic factor,” International Journal of Cancer, vol. 128, no. 11, pp. 2645–2652, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

49.         J. Shan, J. Shen, L. Liu et al., “Nanog regulates self-renewal of cancer stem cell through IGF pathway in human hepatocellular carcinoma,” Hepatology. In press.  View at: Publisher Site | Google Scholar

50.         R. Hu, Y. Zuo, L. Zuo et al., “KLF4 expression correlates with the degree of differentiation in colorectal cancer,” Gut and Liver, vol. 5, no. 2, pp. 154–159, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

51.         A. Y. Pandya, L. I. Talley, A. R. Frost et al., “Nuclear localization of KLF4 is associated with an aggressive phenotype in early-stage breast cancer,” Clinical Cancer Research, vol. 10, no. 8, pp. 2709–2719, 2004. View at: Publisher Site | Google Scholar

52.         V. Krizhanovsky and S. W. Lowe, “Stem cells: the promises and perils of p53,” Nature, vol. 460, no. 7259, pp. 1085–1086, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

53.         A. I. Caplan, “Mesenchymal stem cells,” Journal of Orthopaedic Research, vol. 9, no. 5, pp. 641–650, 1991. View at: Google Scholar

54.         M. Pevsner-Fischer, S. Levin, and D. Zipori, “The origins of mesenchymal stromal cell heterogeneity,” Stem Cell Reviews and Reports, vol. 7, no. 3, pp. 560–568, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

55.         A. J. Nauta and W. E. Fibbe, “Immunomodulatory properties of mesenchymal stromal cells,” Blood, vol. 110, no. 10, pp. 3499–3506, 2007. View at: Publisher Site | Google Scholar

56.         P. S. Knoepfler, “Deconstructing stem cell tumorigenicity: a roadmap to safe regenerative medicine,” Stem Cells, vol. 27, no. 5, pp. 1050–1056, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

57.         S. Wakitani, T. Okabe, S. Horibe et al., “Safety of autologous bone marrow-derived mesenchymal stem cell transplantation for cartilage repair in 41 patients with 45 joints followed for up to 11 years and 5 months,” Journal of Tissue Engineering and Regenerative Medicine, vol. 5, no. 2, pp. 146–150, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

58.         C. J. Centeno, J. R. Schultz, M. Cheever et al., “Safety and complications reporting update on the re-implantation of culture-expanded mesenchymal stem cells using autologous platelet lysate technique,” Current Stem Cell Research & Therapy, vol. 6, no. 4, pp. 368–378, 2011. View at: Google Scholar

59.         H. S. Varma, B. Dadarya, and A. Vidyarthi, “The new avenues in the management of osteo-arthritis of knee—stem cells,” Journal of the Indian Medical Association, vol. 108, no. 9, pp. 583–585, 2010. View at: Google Scholar

60.         S. Wakitani, M. Nawata, K. Tensho, T. Okabe, H. Machida, and H. Ohgushi, “Repair of articular cartilage defects in the patello-femoral joint with autologous bone marrow mesenchymal cell transplantation: three case reports involving nine defects in five knees,” Journal of Tissue Engineering and Regenerative Medicine, vol. 1, no. 1, pp. 74–79, 2007. View at: Publisher Site | Google Scholar

61.         J. M. Hare, J. H. Traverse, T. D. Henry et al., “A randomized, double-blind, placebo-controlled, dose-escalation study of intravenous adult human mesenchymal stem cells (prochymal) after acute myocardial infarction,” Journal of the American College of Cardiology, vol. 54, no. 24, pp. 2277–2286, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

62.         P. Macchiarini, P. Jungebluth, T. Go et al., “Clinical transplantation of a tissue-engineered airway,” The Lancet, vol. 372, no. 9655, pp. 2023–2030, 2008. View at: Publisher Site | Google Scholar

63.         S. Baiguera, P. Jungebluth, A. Burns et al., “Tissue engineered human tracheas for in vivo implantation,” Biomaterials, vol. 31, no. 34, pp. 8931–8938, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

64.         J. Tan, W. Wu, X. Xu et al., “Induction therapy with autologous mesenchymal stem cells in living-related kidney transplants: a randomized controlled trial,” The Journal of the American Medical Association, vol. 307, no. 11, pp. 1169–1177, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

65.         P. Connick, M. Kolappan, C. Crawley et al., “Autologous mesenchymal stem cells for the treatment of secondary progressive multiple sclerosis: an open-label phase 2a proof-of-concept study,” The Lancet Neurology, vol. 11, no. 2, pp. 150–156, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

66.         R. Jiang, Z. Han, G. Zhuo et al., “Transplantation of placenta-derived mesenchymal stem cells in type 2 diabetes: a pilot study,” Frontiers of Medicine, vol. 5, no. 1, pp. 94–100, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

67.         C. Siatskas, N. L. Payne, M. A. Short et al., “A consensus statement addressing mesenchymal stem cell transplantation for multiple sclerosis: it's time!,” Stem Cell Reviews and Reports, vol. 6, no. 4, pp. 500–506, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

68.         J. S. Lee, J. M. Hong, G. J. Moon, P. H. Lee, Y. H. Ahn, and O. Y. Bang, “A long-term follow-up study of intravenous autologous mesenchymal stem cell transplantation in patients with ischemic stroke,” Stem Cells, vol. 28, no. 6, pp. 1099–1106, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

69.         Y. Zhang, D. Khan, J. Delling et al., “Mechanisms underlying the osteo- and adipo-differentiation of human mesenchymal stem cells,” The Scientific World Journal, vol. 2012, Article ID 793823, 14 pages, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

70.         J. Pak, “Regeneration of human bones in hip osteonecrosis and human cartilage in knee osteoarthritis with autologous adipose-tissue-derived stem cells: a case series,” Journal of Medical Case Reports, vol. 5, p. 296, 2011.View at: Publisher Site | Google Scholar

71.         S. Schreml, P. Babilas, S. Fruth et al., “Harvesting human adipose tissue-derived adult stem cells: resection versus liposuction,” Cytotherapy, vol. 11, no. 7, pp. 947–957, 2009.View at: Publisher Site | Google Scholar

72.         S. G. Dubois, E. Z. Floyd, S. Zvonic et al., “Isolation of human adipose-derived stem cells from biopsies and liposuction specimens,” Methods in Molecular Biology, vol. 449, pp. 69–79, 2008.  View at: Publisher Site | Google Scholar

73.         N. Koyama, Y. Okubo, K. Nakao et al., “Pluripotency of mesenchymal cells derived from synovial fluid in patients with temporomandibular joint disorder,” Life Sciences, vol. 89, no. 19–20, pp. 741–747, 2011.  View at: Google Scholar

74.         T. Miyamoto, T. Muneta, T. Tabuchi et al., “Intradiscal transplantation of synovial mesenchymal stem cells prevents intervertebral disc degeneration through suppression of matrix metalloproteinase-related genes in nucleus pulposus cells in rabbits,” Arthritis Research & Therapy, vol. 12, no. 6, article R206, 2010.  View at: Publisher Site | Google Scholar

75.         Y. Sakaguchi, I. Sekiya, K. Yagishita, and T. Muneta, “Comparison of human stem cells derived from various mesenchymal tissues: superiority of synovium as a cell source,” Arthritis and Rheumatism, vol. 52, no. 8, pp. 2521–2529, 2005.  View at: Publisher Site | Google Scholar

76.         Y. J. Ju, T. Muneta, H. Yoshimura, H. Koga, and I. Sekiya, “Synovial mesenchymal stem cells accelerate early remodeling of tendon-bone healing,” Cell and Tissue Research, vol. 332, no. 3, pp. 469–478, 2008.  View at: Publisher Site | Google Scholar

77.         I. Sekiya, T. Muneta, H. Koga et al., “Articular cartilage regeneration with synovial mesenchymal stem cells,” Clinical Calcium, vol. 21, no. 6, pp. 879–889, 2011.  View at: Google Scholar

78.         W. Ando, K. Tateishi, D. Katakai et al., “In vitro generation of a scaffold-free tissue-engineered construct (TEC) derived from human synovial mesenchymal stem cells: biological and mechanical properties and further chondrogenic potential,” Tissue Engineering A, vol. 14, no. 12, pp. 2041–2049, 2008. View at: Publisher Site | Google Scholar

79.         D. A. De Ugarte, Z. Alfonso, P. A. Zuk et al., “Differential expression of stem cell mobilization-associated molecules on multi-lineage cells from adipose tissue and bone marrow,” Immunology Letters, vol. 89, no. 2-3, pp. 267–270, 2003. View at: Publisher Site | Google Scholar

80.         J. I. Huang, N. Kazmi, M. M. Durbhakula, T. M. Hering, J. U. Yoo, and B. Johnstone, “Chondrogenic potential of progenitor cells derived from human bone marrow and adipose tissue: a patient-matched comparison,” Journal of Orthopaedic Research, vol. 23, no. 6, pp. 1383–1389, 2005. View at: Publisher Site | Google Scholar

81.         J. Yang, T. Song, P. Wu et al., “Differentiation potential of human mesenchymal stem cells derived from adipose tissue and bone marrow to sinus node-like cells,” Molecular Medicine Reports, vol. 5, no. 1, pp. 108–113, 2012. View at: Google Scholar

82.         E. D. Thomas, H. L. Lochte, W. C. Lu, and J. W. Ferrebee, “Intravenous infusion of bone marrow in patients receiving radiation and chemotherapy,” The New England Journal of Medicine, vol. 257, no. 11, pp. 491–496, 1957. View at: Google Scholar

83.         C. E. Müller-Sieburg, R. H. Cho, M. Thoman, B. Adkins, and H. B. Sieburg, “Deterministic regulation of hematopoietic stem cell self-renewal and differentiation,” Blood, vol. 100, no. 4, pp. 1302–1309, 2002. View at: Google Scholar

84.         L. Rossi, G. A. Challen, O. Sirin et al., “Hematopoietic stem cell characterization and isolation,” Methods in Molecular Biology, vol. 750, part 2, pp. 47–59, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

85.         T. Ishida, M. Hishizawa, K. Kato et al., “Allogeneic hematopoietic stem cell transplantation for adult T-cell leukemia-lymphoma with special emphasis on preconditioning regimen: a nationwide retrospective study,” Blood. In press. View at: Publisher Site | Google Scholar

86.         J. P. Fermand, P. Ravaud, S. Chevret et al., “High-dose therapy and autologous blood stem cell transplantation in multiple myeloma: preliminary results of a randomized trial involving 167 patients,” Stem Cells, vol. 13, supplement 2, pp. 156–159, 1995. View at: Google Scholar

87.         H. M. Lokhorst, P. Sonneveld, J. J. Cornelissen et al., “Induction therapy with vincristine, adriamycin, dexamethasone (VAD) and intermediate-dose melphalan (IDM) followed by autologous or allogeneic stem cell transplantation in newly diagnosed multiple myeloma,” Bone Marrow Transplantation, vol. 23, no. 4, pp. 317–322, 1999. View at: Google Scholar

88.         P. L. McCarthy, K. Owzar, C. C. Hofmeister et al., “Lenalidomide after stem-cell transplantation for multiple myeloma,” The New England Journal of Medicine, vol. 366, no. 19, pp. 1770–1781, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

89.         M. Attal, V. Lauwers-Cances, G. Marit et al., “Lenalidomide maintenance after stem-cell transplantation for multiple myeloma,” The New England Journal of Medicine, vol. 366, no. 19, pp. 1782–1791, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

90.         A. J. Jakubowiak, K. A. Griffith, D. E. Reece et al., “Lenalidomide, bortezomib, pegylated liposomal doxorubicin, and dexamethasone in newly diagnosed multiple myeloma: a phase 1/2 Multiple Myeloma Research Consortium trial,” Blood, vol. 118, no. 3, pp. 535–543, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

91.         A. J. Jakubowiak, T. Kendall, A. Al-Zoubi et al., “Phase II trial of combination therapy with bortezomib, pegylated liposomal doxorubicin, and dexamethasone in patients with newly diagnosed myeloma,” Journal of Clinical Oncology, vol. 27, no. 30, pp. 5015–5022, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

92.         J. S. Miller, E. H. Warren, M. R. M. van den Brink et al., “NCI first international workshop on the biology, prevention, and treatment of relapse after allogeneic hematopoietic stem cell transplantation: report from the committee on the biology underlying recurrence of malignant disease following allogeneic HSCT: graft-versus-tumor/leukemia reaction,” Biology of Blood and Marrow Transplantation, vol. 16, no. 5, pp. 565–586, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

93.         A. Utsunomiya, Y. Miyazaki, Y. Takatsuka et al., “Improved outcome of adult T cell leukemia/lymphoma with allogeneic hematopoietic stem cell transplantation,” Bone Marrow Transplantation, vol. 27, no. 1, pp. 15–20, 2001. View at: Publisher Site | Google Scholar

94.         W. Hasegawa, G. R. Pond, J. T. Rifkind et al., “Long-term follow-up of secondary malignancies in adults after allogeneic bone marrow transplantation,” Bone Marrow Transplantation, vol. 35, no. 1, pp. 51–55, 2005. View at: Publisher Site | Google Scholar

95.         H. J. Deeg, J. Sanders, and P. Martin, “Secondary malignancies after marrow transplantation,” Experimental Hematology, vol. 12, no. 8, pp. 660–666, 1984. View at: Google Scholar

96.         R. F. Wynn, J. E. Wraith, J. Mercer et al., “Improved metabolic correction in patients with lysosomal storage disease treated with hematopoietic stem cell transplant compared with enzyme replacement therapy,” Journal of Pediatrics, vol. 154, no. 4, pp. 609–611, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

97.         H. Church, K. Tylee, A. Cooper et al., “Biochemical monitoring after haemopoietic stem cell transplant for Hurler syndrome (MPSIH): implications for functional outcome after transplant in metabolic disease,” Bone Marrow Transplantation, vol. 39, no. 4, pp. 207–210, 2007. View at: Publisher Site | Google Scholar

98.         E. Shapiro, W. Krivit, L. Lockman et al., “Long-term effect of bone-marrow transplantation for childhood-onset cerebral X-linked adrenoleukodystrophy,” The Lancet, vol. 356, no. 9231, pp. 713–718, 2000. View at: Google Scholar

99.         J. Cohen, “The emerging race to cure HIV infections,” Science, vol. 332, no. 6031, pp. 784–789, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

100.     J. Yang, Y. Yan, B. Ciric et al., “Evaluation of bone marrow- and brain-derived neural stem cells in therapy of central nervous system autoimmunity,” The American Journal of Pathology, vol. 177, no. 4, pp. 1989–2001, 2010. View at: Publisher Site | Google Scholar

101.     B. A. Reynolds and S. Weiss, “Generation of neurons and astrocytes from isolated cells of the adult mammalian central nervous system,” Science, vol. 255, no. 5052, pp. 1707–1710, 1992. View at: Google Scholar

102.     S. Nemati, M. Hatami, S. Kiani et al., “Long-term self-renewable feeder-free human induced pluripotent stem cell-derived neural progenitors,” Stem Cells and Development, vol. 20, no. 3, pp. 503–514, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

103.     A. Falk, P. Koch, J. Kesavan et al., “Capture of neuroepithelial-like stem cells from pluripotent stem cells provides a versatile system for in vitro production of human neurons,” PLoS One, vol. 7, no. 1, Article ID e29597, 2012. View at: Google Scholar

104.     J. B. Kim, B. Greber, M. J. Arazo-Bravo et al., “Direct reprogramming of human neural stem cells by OCT4,” Nature, vol. 461, no. 7264, pp. 649–653, 2009.  View at: Publisher Site | Google Scholar

105.     C. Varela, J. A. Denis, J. Polentes et al., “Recurrent genomic instability of chromosome 1q in neural derivatives of human embryonic stem cells,” The Journal of Clinical Investigation, vol. 122, no. 2, pp. 569–574, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

106.     N. J. Harrison, “Genetic instability in neural stem cells: an inconvenient truth?” The Journal of Clinical Investigation, vol. 122, no. 2, pp. 484–486, 2012. View at: Publisher Site | Google Scholar

107.     S. Pluchino, A. Quattrini, E. Brambilla et al., “Injection of adult neurospheres induces recovery in a chronic model of multiple sclerosis,” Nature, vol. 422, no. 6933, pp. 688–694, 2003. View at: Publisher Site | Google Scholar

108.     S. Pluchino, L. Zanotti, B. Rossi et al., “Neurosphere-derived multipotent precursors promote neuroprotection by an immunomodulatory mechanism,” Nature, vol. 436, no. 7048, pp. 266–271, 2005. View at: Publisher Site | Google Scholar

109.     M. Neri, A. Ricca, I. di Girolamo et al., “Neural stem cell gene therapy ameliorates pathology and function in a mouse model of globoid cell leukodystrophy,” Stem Cells, vol. 29, no. 10, pp. 1559–1571, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

110.     M. Aharonowiz, O. Einstein, N. Fainstein, H. Lassmann, B. Reubinoff, and T. Ben-Hur, “Neuroprotective effect of transplanted human embryonic stem cell-derived neural precursors in an animal model of multiple sclerosis,” PLoS ONE, vol. 3, no. 9, Article ID e3145, 2008. View at: Publisher Site | Google Scholar

111.     S. Pluchino, L. Zanotti, E. Brambilla et al., “Immune regulatory neural stem/precursor cells protect from central nervous system autoimmunity by restraining dendritic cell function,” PLoS ONE, vol. 4, no. 6, Article ID e5959, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

112.     J. Yang, Z. Jiang, D. C. Fitzgerald et al., “Adult neural stem cells expressing IL-10 confer potent immunomodulation and remyelination in experimental autoimmune encephalitis,” The Journal of Clinical Investigation, vol. 119, no. 12, pp. 3678–3691, 2009. View at: Publisher Site | Google Scholar

113.     F. H. Gage, “Mammalian neural stem cells,” Science, vol. 287, no. 5457, pp. 1433–1438, 2000. View at: Publisher Site | Google Scholar

114.     A. I. Danilov, R. Covacu, M. C. Moe et al., “Neurogenesis in the adult spinal cord in an experimental model of multiple sclerosis,” European Journal of Neuroscience, vol. 23, no. 2, pp. 394–400, 2006. View at: Publisher Site | Google Scholar

115.     L. Brundin, H. Brismar, A. I. Danilov, T. Olsson, and C. B. Johansson, “Neural stem cells: a potential source for remyelination in neuroinflammatory disease,” Brain Pathology, vol. 13, no. 3, pp. 322–328, 2003. View at: Google Scholar

116.     C. B. Johansson, S. Momma, D. L. Clarke, M. Risling, U. Lendahl, and J. Frisén, “Identification of a neural stem cell in the adult mammalian central nervous system,” Cell, vol. 96, no. 1, pp. 25–34, 1999. View at: Publisher Site | Google Scholar

117.     B. Saha, M. Jaber, and A. Gaillard, “Potentials of endogenous neural stem cells in cortical repair,” Frontiers in Cellular Neuroscience, vol. 6, p. 14, 2012. View at: Google Scholar

118.     T. Shirasaka, W. Ukai, T. Yoshinaga et al., “Promising therapy of neural stem cell transplantation for FASD model—neural network reconstruction and behavior recovery,” Nihon Arukoru Yakubutsu Igakkai Zasshi, vol. 46, no. 6, pp. 576–584, 2011. View at: Google Scholar

119.     L. S. Shihabuddin and S. H. Cheng, “Neural stem cell transplantation as a therapeutic approach for treating lysosomal storage diseases,” Neurotherapeutics, vol. 8, no. 4, pp. 659–667, 2011. View at: Publisher Site | Google Scholar

120.     G. Chen, Y. R. Hu, H. Wan et al., “Functional recovery following traumatic spinal cord injury mediated by a unique polymer scaffold seeded with neural stem cells and Schwann cells,” Chinese Medical Journal, vol. 123, no. 17, pp. 2424–2431, 2010. View at: Google Scholar

121.     M. Shackleton, F. Vaillant, K. J. Simpson et al., “Generation of a functional mammary gland from a single stem cell,” Nature, vol. 439, no. 7072, pp. 84–88, 2006. View at: Publisher Site | Google Scholar

122.     J. Stingl, P. Eirew, I. Ricketson et al., “Purification and unique properties of mammary epithelial stem cells,” Nature, vol. 439, no. 7079, pp. 993–997, 2006. View at: Publisher Site | Google Scholar

123.     D. Dey, M. Saxena, A. N. Paranjape et al., “Phenotypic and functional characterization of human mammary stem/progenitor cells in long term culture,” PLoS ONE, vol. 4, no. 4, Article ID e5329, 2009.  View at: Publisher Site | Google Scholar

124.     C. M. Dekaney, J. J. Fong, R. J. Rigby, P. K. Lund, S. J. Henning, and M. A. Helmrath, “Expansion of intestinal stem cells associated with long-term adaptation following ileocecal resection in mice,” American Journal of Physiology, vol. 293, no. 5, pp. G1013–G1022, 2007. View at: Publisher Site | Google Scholar

125.     I. Breuskin, M. Bodson, N. Thelen et al., “Strategies to regenerate hair cells: identification of progenitors and critical genes,” Hearing Research, vol. 236, no. 1-2, pp. 1–10, 2008. View at: Publisher Site | Google Scholar

126.     H. Li, H. Liu, and S. Heller, “Pluripotent stem cells from the adult mouse inner ear,” Nature Medicine, vol. 9, no. 10, pp. 1293–1299, 2003. View at: Publisher Site | Google Scholar

127.     I. Dobrinski, “Germ cell transplantation and testis tissue xenografting in domestic animals,” Animal Reproduction Science, vol. 89, no. 1–4, pp. 137–145, 2005. View at: Publisher Site | Google Scholar

128.     A. Honaramooz, E. Behboodi, S. O. Megee et al., “Fertility and germline transmission of donor haplotype following germ cell transplantation in immunocompetent goats,”Biology of Reproduction, vol. 69, no. 4, pp. 1260–1264, 2003. View at: Publisher Site | Google Scholar

129.     R. L. Brinster and M. R. Avarbock, “Germline transmission of donor haplotype following spermatogonial transplantation,” Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, vol. 91, no. 24, pp. 11303–11307, 1994.  View at:Publisher Site | Google Scholar

130.     M. Tesio, K. Golan, S. Corso et al., “Enhanced c-Met activity promotes G-CSF-induced mobilization of hematopoietic progenitor cells via ROS signaling,” Blood, vol. 117, no. 2, pp. 419–428, 2011.  View at: Publisher Site | Google Scholar

 

SUMBER:

Joel Sng and Thomas Lufkin.  2012.  Emerging Stem Cell Therapies: Treatment, Safety, and Biology.  Volume 2012 | Article ID 521343 | https://doi.org/10.1155/2012/521343

Tuesday, 29 November 2022

Analisis Risiko PMK

MANUAL 1

 

LATAR BELAKANG

Manual ini memberikan gambaran umum tentang analisis risiko dan dimaksudkan sebagai panduan bagi pembaca yang ingin memahami dasar-dasar analisis risiko dan/atau sebagai pengantar bagi mereka yang ingin melakukan analisis risiko di negaranya. Meskipun sebagian besar materi didasarkan pada analisis risiko impor, manual ini berfokus pada penggunaan analisis risiko yang diterapkan pada lalu lintas hewan baik ke dalam maupun di dalam negara-negara di Asia Tenggara dan Cina. Proses analisis risiko diuraikan, bersama dengan beberapa contoh spesifik dan kemungkinan penerapannya dalam konteks Asia Tenggara/China.

 

Meskipun manual ini dimaksudkan hanya untuk memberikan pengantar analisis risiko, contoh analisis risiko aktual dan panduan analisis risiko lainnya yang lebih terperinci disertakan dalam daftar referensi di akhir bab ini. Untuk memastikan bahwa informasi dalam manual ini dapat diakses secara bebas, hampir semua referensi yang tercantum tersedia sebagai dokumen akses terbuka di internet. Tautan yang relevan disediakan dalam daftar referensi.

 

Apa itu analisis risiko?

Analisis risiko adalah proses di mana kita memperkirakan kemungkinan terjadinya beberapa peristiwa yang merugikan, dan konsekuensi yang terkait dengan peristiwa itu termasuk identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Dalam konteks kesehatan hewan, analisis risiko dapat digambarkan sebagai proses terstruktur untuk menganalisis risiko penyakit yang terkait dengan pergerakan, baik lintas batas internasional maupun domestik, organisme hidup dan produknya (Arthur, et al., 2004; OIE Kode Kesehatan Hewan Darat (OIE 2017).

 

Kita semua menggunakan analisis risiko dalam kehidupan kita sehari-hari saat membuat keputusan seperti: apakah akan menyeberang jalan, apakah akan makan makanan tertentu atau apakah akan menggunakan moda transportasi tertentu. Proses ini telah digunakan secara luas dalam ekonomi dan semakin meningkat dalam kesehatan hewan dan masyarakat Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (WOAH) telah mengembangkan standar internasional untuk analisis risiko impor, menghasilkan bab khusus dalam Kode Kesehatan Hewan Perairan dan Terestrial OIE (OIE 2016 a&b).

 

Analisis risiko kesehatan hewan seringkali diterapkan pada risiko penyakit yang terkait dengan impor spesies ternak atau produk ternak tertentu.  Proses ini dikenal secara khusus sebagai analisis risiko impor, dan dijelaskan secara rinci dalam buku pegangan OIE tentang analisis risiko impor (Murray, et al., 2010) tetapi analisis risiko juga dapat diterapkan pada proses selain perdagangan, seperti yang akan dijelaskan dalam bab ini. Secara sederhana, analisis risiko berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut (Arthurs, et al., 2004).

 

Daftar pertanyaan ini juga mencakup langkah-langkah yang relevan dalam proses analisis risiko:

– Apa yang salah? (identifikasi bahaya)

– Bagaimana kemungkinan terjadinya kesalahan? (penilaian risiko: penilaian rilis dan penilaian paparan)

– Apa konsekuensi dari kesalahannya? (Penilaian risiko: Penilaian konsekuensi dan Estimasi risiko; Manajemen risiko: Evaluasi risiko)

– Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan atau konsekuensi kesalahannya? (Manajemen risiko: Evaluasi opsi, Implementasi, Pemantauan, dan peninjauan).

 

Bagaimana analisis risiko dapat digunakan oleh Negara Anggota SEACFMD?

Perpindahan ternak merupakan penyebab utama penyebaran PMK di Asia Tenggara dan Cina, dengan volume ternak yang tinggi dipindahkan dalam jarak jauh baik di dalam negara maupun antar negara di kawasan (lihat Manual 5). Untuk mengurangi risiko penyebaran PMK melalui perpindahan ternak, langkah-langkah pengendalian yang ditargetkan dapat diterapkan pada titik kritis (titik yang diidentifikasi sebagai risiko tinggi dalam hal penyebaran penyakit) di sepanjang jalur perpindahan (lihat Manual 3). Analisis risiko adalah alat yang dapat digunakan untuk: mengidentifikasi jalur yang memungkinkan penularan FMD di dalam, atau antar negara (jalur risiko); untuk mengidentifikasi titik-titik tertentu di jalur di mana terdapat peningkatan risiko penularan PMK (titik kritis) dan untuk mengidentifikasi langkah-langkah untuk memitigasi risiko penyebaran PMK melalui jalur-jalur tersebut. Proses analisis risiko dapat diterapkan pada beberapa situasi berbeda untuk pencegahan dan pengendalian PMK di Asia Tenggara dan Cina.

 

Beberapa di antaranya tercantum di bawah ini, tetapi daftarnya tidak lengkap dan pembaca mungkin menemukan situasi lain di mana analisis risiko dapat berguna untuk diterapkan:

– Membuat keputusan impor ternak dan produk ternak (analisis risiko impor)

– Estimasi risiko tertular PMK hewan yang memasuki titik kritis dalam jalur pergerakan (seperti pasar ternak), dan konsekuensi dari masuknya tersebut Memprioritaskan target untuk tindakan pengendalian sehingga manfaat optimal dapat diperoleh dari sumber daya yang terbatas.

– Untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dalam sistem kontrol yang ada (yaitu menilai keberhasilan kontrol pergerakan domestik atau kontrol lintas batas).

 

Siapa yang harus melakukan analisis risiko?

Menurut pedoman OIE, analisis risiko memerlukan sejumlah keahlian yang berbeda dan oleh karena itu pendekatan tim seringkali merupakan pendekatan yang paling efektif. Namun, ketika berhadapan dengan penyakit hewan, seperti PMK, ahli epidemiologi veteriner akan menjadi anggota penting dari tim mengingat pengetahuan mereka tentang pola penyakit (Murray, et al., 2010). Bagaimana melakukan analisis risiko Sebelum memulai analisis risiko, penting untuk menguraikan dengan jelas pertanyaan yang ingin Anda jawab dengan analisis risiko (menentukan ruang lingkup analisis risiko). 

 

Pertanyaan ini harus menentukan apa yang akan dimasukkan dalam analisis risiko. Misalnya: – Apa risiko virus PMK masuk ke Pasar Photong di Thailand, dan apa akibatnya? – Apa risiko virus PMK masuk ke China melalui impor sapi hidup dari Lao PDR? Setelah pertanyaan ditentukan, proses analisis risiko dapat dimulai. Menurut Kode OIE (OIE 2016 a&b), analisis risiko melibatkan beberapa langkah kunci. 

 

Ini termasuk: 1. Identifikasi bahaya 2. Penilaian risiko 3. Manajemen risiko 4. Komunikasi risiko Gambar 1 memberikan ilustrasi tentang struktur proses analisis risiko OIE, termasuk perincian beberapa proses yang terlibat dalam masing-masing kategori utama ini. Meskipun hal ini telah dikembangkan untuk tujuan melakukan analisis risiko impor, prinsip umum yang sama dapat diterapkan pada setiap proses analisis risiko kesehatan hewan. Saat melakukan analisis risiko, proses identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan manajemen risiko dilakukan secara berurutan, sedangkan komunikasi risiko harus terjadi di sepanjang proses. Langkah-langkah yang diuraikan dalam Gambar 1 masing-masing dijelaskan dalam bab ini. Namun, pembaca harus mengacu pada dokumen yang diuraikan dalam daftar referensi untuk informasi lebih rinci dan untuk melihat penerapan analisis risiko dan penilaian risiko pada situasi yang berbeda. Identifikasi bahaya Ini adalah proses mengidentifikasi agen patogenik yang diinginkan. Untuk keperluan manual ini, bahayanya adalah virus penyakit mulut dan kuku (FMDV).

 

Sebagai bagian dari penilaian bahaya, ciri-ciri tertentu dari virus di area di mana analisis risiko ditargetkan harus dipertimbangkan, seperti:

– Keberadaan inang yang cocok untuk virus

– Persistensi/kelangsungan hidup virus di lingkungan (khususnya di bawah kondisi Asia Tenggara/Tiongkok)

– Kemungkinan cara penyebaran virus di area yang diminati

– Keberadaan virus di wilayah yang bersangkutan (prevalensi/data kejadian) Penilaian risiko Uraian berikut diadaptasi dari buku pegangan OIE tentang analisis risiko impor untuk hewan dan produk hewan (Murray, et al., 2010):

Gambar 1: Struktur proses analisis risiko OIE (Murray, et al., 2010)

 

Penilaian risiko adalah proses memperkirakan kemungkinan dan konsekuensi biologis dan ekonomi dari masuknya, pembentukan atau penyebaran FMDV di negara pengimpor, tetapi juga dapat diterapkan pada zona, provinsi, desa, peternakan individu atau bahkan jalur pergerakan yang diketahui.

 

Penilaian risiko terdiri dari empat langkah yang berbeda:

i) Penilaian awal: langkah ini terdiri dari penentuan kemungkinan komoditas yang diimpor (atau dipindahkan) terinfeksi atau terkontaminasi FMDV dan menjelaskan jalur biologis yang diperlukan untuk FMDV untuk diperkenalkan ke lingkungan tertentu.

ii) Penilaian paparan: langkah ini terdiri dari menjelaskan jalur biologis yang diperlukan untuk paparan hewan dan manusia di negara (atau area) pengimpor ke FMDV dan memperkirakan kemungkinan terjadinya paparan tersebut.

iii) Penilaian konsekuensi: langkah ini terdiri dari menggambarkan hubungan antara paparan terhadap FMDV, konsekuensi dari paparan tersebut dan kemungkinannya.

iv) Estimasi risiko: langkah ini terdiri dari pengintegrasian hasil dari penilaian pelepasan, penilaian paparan, dan penilaian konsekuensi untuk menghasilkan tindakan ringkasan dari risiko yang terkait dengan bahaya yang teridentifikasi.

 

Penilaian risiko dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif.

Jenis penilaian risiko mana yang digunakan akan bergantung pada sejumlah faktor, termasuk: tujuan penilaian risiko (yaitu apakah penilaian risiko kuantitatif diperlukan?) atau data yang tersedia (yaitu apakah penilaian risiko kuantitatif memungkinkan?).

– Penilaian risiko kualitatif: Jika hasil penilaian risiko, seperti kemungkinan terjadinya suatu peristiwa atau besarnya konsekuensi, dinyatakan menggunakan istilah deskriptif seperti tinggi, sedang, rendah, atau dapat diabaikan.

– Penilaian risiko kuantitatif: Penilaian di mana output dari penilaian risiko dinyatakan secara numerik.

 

Penilaian risiko kualitatif cocok untuk sebagian besar penilaian risiko, dan merupakan jenis yang paling umum dilakukan untuk pengambilan keputusan rutin. Dalam beberapa situasi, mungkin berguna untuk mengadopsi pendekatan kuantitatif untuk mendukung penilaian kualitatif dan mendapatkan wawasan lebih lanjut, mengidentifikasi langkah-langkah kritis, menilai dampak ketidakpastian secara lebih rinci, atau membandingkan strategi mitigasi risiko. Namun, kuantifikasi belum tentu lebih objektif atau tepat daripada pendekatan kualitatif (Murray, et al., 2010).

 

Daftar referensi mencakup contoh penilaian risiko kuantitatif dan kualitatif, dan pembaca didorong untuk memeriksa bagaimana setiap metode diterapkan dalam praktik. Analisis risiko kualitatif akan menggunakan kategori deskriptif untuk menetapkan tingkat risiko pada peristiwa yang berbeda dalam jalur risiko. Contoh jenis istilah yang digunakan disajikan pada Tabel 1.

 

Tabel 1: Kategori risiko yang disarankan untuk analisis risiko kualitatif (Weiland, et al., 2015)

Kategori Risiko

Keterangan

Negligible

Kejadian sangat jarang yang tidak pantas untuk dipertimbangkan

Very low

Kejadian jarang tetapi tidak bisa diabaikan

Low

Kejadian jarang tetapi memang ada

Medium

Kejadian terjadi secara reguler

High

Kejadian sering terjadi

Very high

Kejadian terjadi hampir pasti

 

Penilaian kuantitatif biasanya akan menggunakan ukuran probabilitas untuk menggambarkan kemungkinan terjadinya suatu peristiwa, kadang-kadang ini akan melibatkan estimasi titik di mana angka probabilitas tunggal ditugaskan untuk setiap langkah dalam jalur risiko, atau kadang-kadang digunakan distribusi probabilitas. Penjelasan rinci tentang penggunaan distribusi probabilitas dalam penilaian risiko berada di luar cakupan manual ini, tetapi pembaca diarahkan ke referensi berikut (beberapa di antaranya adalah contoh pemodelan risiko kuantitatif yang dilakukan di Asia Tenggara dan Cina) untuk informasi lebih lanjut di area ini: Wongsathapornchai, et al., 2008; Smith, 2012; Vose, 1997. Tersedia paket perangkat lunak yang dapat digunakan untuk analisis risiko kuantitatif dengan menggunakan distribusi probabilitas. Salah satu program tersebut adalah addin akses terbuka ke Microsoft Excel, yang dikembangkan oleh Dr Greg Hood (Hood, 2010) dan dapat diakses melalui tautan berikut: http://www.poptools.org.

 

PENILAIAN PEMASUKAN

Ini adalah langkah kunci untuk menilai kemungkinan FMDV memasuki suatu negara/zona melalui pergerakan hewan hidup, produk hewan, atau fomit. Untuk menilai kemungkinan pengenalan ini, semua jalur yang memungkinkan terjadinya entri (dan semua langkah dalam jalur tersebut) perlu diidentifikasi. 'Jalur risiko' ini membentuk komponen kunci dari proses penilaian risiko. Ini dapat ditampilkan sebagai jalur peristiwa yang perlu terjadi agar FMDV dapat memasuki area yang diminati, atau dapat disajikan sebagai pohon skenario, informasi yang sama disajikan di bawah ini dengan dua cara berbeda:

 

JALUR RISIKO

Jalur risiko mengilustrasikan semua rute yang memungkinkan dimana FMDV dapat diperkenalkan ke suatu area (dalam contoh ini, pasar ternak) termasuk pertimbangan semua bahan risiko yang mungkin di mana FMDV dapat ditransmisikan. Jalur risiko juga akan mencakup informasi tentang tindakan pengendalian saat ini. Dalam contoh yang ditunjukkan pada Gambar 2, jalur masuknya FMDV melalui hewan hidup yang memasuki pasar menunjukkan bahwa hanya hewan yang terinfeksi yang tidak menunjukkan tanda-tanda klinis yang diizinkan memasuki pasar. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya pemeriksaan fisik terhadap hewan yang masuk pasar dan hanya hewan yang tidak memiliki gejala klinis yang akan masuk. Tata letak (tetapi bukan konten) jalur risiko pada Gambar 2 didasarkan pada penilaian risiko yang dilakukan oleh Weiland, et al., (2015).

 

POHON SKENARIO

Pohon skenario adalah cara lain untuk mengilustrasikan rute dan peristiwa yang dapat menyebabkan FMDV diperkenalkan ke suatu area. Pohon skenario menyajikan informasi sebagai jalur kejadian yang diharapkan dan semua kegagalan yang dapat terjadi, yang berpuncak pada terjadinya bahaya yang teridentifikasi (Miller, et al., 1993), yaitu pengenalan FMDV ke pasar. Pada setiap langkah dalam pohon skenario, kemungkinan kejadian tersebut akan terjadi diperkirakan. Ini mungkin melibatkan penetapan kategori risiko seperti tinggi, sedang, rendah (penilaian risiko kualitatif) atau probabilitas (penilaian risiko kuantitatif). Berdasarkan kemungkinan gabungan dari setiap langkah yang terjadi dalam jalur, tingkat risiko keseluruhan ditetapkan (atau dihitung jika penilaian kuantitatif digunakan) untuk keseluruhan jalur. Contoh berikut adalah pohon skenario untuk memperkenalkan FMDV ke pasar melalui pergerakan hewan hidup (Gambar 3) dan pergerakan kendaraan (Gambar 4).

 

Setelah jalur risiko dan pohon skenario dikembangkan, data akan diperlukan untuk memperkirakan risiko masuknya FMDV melalui jalur yang berbeda. Bahkan ketika penilaian risiko kualitatif dilakukan, data akan tetap dibutuhkan untuk membuat penilaian berdasarkan informasi tentang risiko setiap langkah. Jenis data yang mungkin digunakan dijelaskan secara lebih rinci di bagian selanjutnya dari bab ini. Pembaca didorong untuk memeriksa penilaian risiko yang dipublikasikan (lihat daftar referensi) untuk informasi lebih lanjut tentang penggunaan, dan batasan, dari berbagai sumber data.

 

Gambar 3: Jalur risiko masuk PMK untuk pasar ternak di Thailand

 

Gambar 2: Pohon skenario menunjukkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkenalkan FMDV ke pasar di Thailand melalui masuknya hewan hidup

 

Gambar 4: Pohon skenario yang menunjukkan langkah-langkah yang diperlukan untuk pengenalan FMDV ke pasar di Thailand melalui masuknya kendaraan, risiko setiap langkah.

 

Jenis data yang mungkin digunakan dijelaskan secara lebih rinci di bagian selanjutnya dari bab ini. Pembaca didorong untuk memeriksa penilaian risiko yang dipublikasikan (lihat daftar referensi) untuk informasi lebih lanjut tentang penggunaan, dan keterbatasan, dari berbagai sumber data. Penilaian risiko dapat disimpulkan pada titik ini jika ada kemungkinan yang dapat diabaikan dari komoditas yang terinfeksi atau terkontaminasi dengan bahaya saat diimpor. (OIE Handbook on IRA, 2004) atau Jika penilaian awal menunjukkan tidak ada risiko yang signifikan, penilaian risiko tidak perlu dilanjutkan (OIE Terrestrial Code Article 2.1.4.).

 

Penilaian eksposur Definisi berikut diadaptasi dari Murray, et al. (2010): Penilaian paparan adalah proses menggambarkan jalur biologis yang diperlukan untuk paparan hewan rentan di negara pengimpor (atau area lain) terhadap FMDV yang dilepaskan dari sumber risiko tertentu, dan memperkirakan kemungkinan paparan terjadi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Penilaian risiko dapat disimpulkan pada titik ini jika kemungkinan paparan dapat diabaikan. (OIE Handbook on IRA, 2004) atau Jika penilaian paparan menunjukkan tidak ada risiko yang signifikan, penilaian risiko dapat diakhiri pada langkah ini (OIE Terrestrial Code Article 2.1.4.). Dengan cara yang sama pohon skenario dikembangkan untuk penilaian pelepasan, mereka juga digunakan untuk penilaian paparan untuk menunjukkan jalur yang diperlukan untuk hewan yang rentan terkena FMDV setelah diperkenalkan ke suatu area. Sekali lagi, setiap langkah dalam pohon skenario dapat diberi kategori kemungkinan (penilaian kualitatif) atau probabilitas (penilaian kuantitatif) untuk menentukan keseluruhan risiko paparan melalui jalur tertentu. Untuk mengeksplorasi risiko paparan FMDV, jalur paparan yang berbeda harus dipertimbangkan. Sebagai contoh, jika hewan yang terinfeksi FMDV memasuki suatu desa, kemungkinan rute dimana populasi ternak lokal dapat terinfeksi adalah sebagai berikut:

 

 Gambar 2: Jalur risiko masuk PMK untuk pasar ternak di Thailand

 

1. Kontak langsung antara hewan tertular dan ternak lokal yang rentan

2. Daging dari hewan terinfeksi yang diberikan ke/kontak ternak lokal yang rentan

3. Penularan aerosol antara hewan yang terinfeksi dan ternak lokal yang rentan

4. Kontaminasi fomites (kendaraan, peralatan, alas kaki, dll.) atau vektor (misalnya manusia) dengan virus dari hewan yang terinfeksi dan kemudian kontak dengan fomite/vektor tersebut oleh hewan lain yang rentan.

 

Untuk menetapkan tingkat risiko pada jalur yang berbeda ini, penting untuk memiliki pemahaman yang mendetail tentang faktor-faktor dalam area yang bersangkutan seperti: kepadatan ternak, tindakan pengendalian (termasuk tindakan biosekuriti), praktik peternakan, praktik budaya, iklim, kelangsungan hidup virus, dll. yang akan memengaruhi kemungkinan paparan melalui rute yang berbeda ini. Informasi yang lebih rinci dapat dimasukkan ke dalam masing-masing rute ini (jalur paparan) untuk mengidentifikasi kejadian yang diperlukan untuk mengarah pada paparan oleh masing-masing rute. Contoh berikut menunjukkan beberapa jalur paparan sederhana untuk hewan yang terinfeksi FMDV memasuki desa, dengan asumsi tidak ada protokol biosekuriti yang beroperasi saat membawa ternak ke desa. Masing-masing jalur kemudian dapat diberi tingkat risiko berdasarkan kondisi lokal, kepadatan ternak, praktik, dll. Ringkasan penilaian paparan (untuk penilaian paparan kualitatif) berdasarkan jalur pada Gambar 5, ditunjukkan pada tabel 2 Perhatikan, ini hanyalah sebuah contoh dan jalur yang sama dapat diberi tingkat risiko yang berbeda tergantung pada situasi lokal:

 

PENILAIAN KONSEKUENSI

Penilaian konsekuensi menggambarkan konsekuensi dari paparan bahaya (FMDV) tertentu, dan memperkirakan kemungkinan terjadinya. Konsekuensi pertama yang menarik adalah infeksi aktif pada setidaknya satu hewan (Murray, et al., 2010).

 

Apakah setiap paparan akan menyebabkan infeksi? Perlu dicatat bahwa infeksi hewan dengan patogen yang dipertanyakan (FMDV) dihitung sebagai bagian dari penilaian konsekuensi, bukan penilaian paparan. Alasannya adalah bahwa paparan virus tidak akan, dalam setiap kasus, menyebabkan infeksi. PMK adalah penyakit yang sangat menular sehingga kontak antara hewan yang terinfeksi dan hewan yang rentan biasanya akan menyebabkan infeksi. Namun, pemaparan hewan yang rentan terhadap fomit yang terkontaminasi hanya akan menyebabkan infeksi jika terdapat cukup banyak virus pada fomite untuk menyebabkan infeksi, yaitu apakah pemaparan menyebabkan infeksi adalah peristiwa yang bergantung pada dosis. Saat melakukan analisis risiko yang melibatkan penyakit yang sangat menular seperti PMK, dapat diasumsikan bahwa setiap pajanan menyebabkan infeksi. Namun, jika asumsi ini dibuat, harus dijelaskan dengan jelas dalam laporan analisis risiko.

 

Analisis risiko dapat disimpulkan pada titik ini jika tidak ada konsekuensi yang teridentifikasi atau kemungkinan untuk setiap konsekuensi yang teridentifikasi dapat diabaikan. Saat melakukan penilaian konsekuensi untuk paparan bahaya tertentu (dalam hal ini, FMDV), Anda harus memberikan diskusi yang masuk akal, logis, dan dirujuk sebagai berikut (diambil dari Murray, et al., 2010):

– Perkirakan kemungkinan bahwa setidaknya satu hewan terinfeksi

– Identifikasi konsekuensi biologis, lingkungan, dan ekonomi yang terkait dengan masuknya, pembentukan, atau penyebaran FMDV, dan kemungkinan besarnya

- Perkirakan kemungkinan terjadinya konsekuensi ini

 

Tabel 2: Penilaian paparan sederhana untuk hewan (sapi) yang terinfeksi PMK yang memasuki desa di mana tidak ada tindakan biosekuriti

 

Faktor yang terkait dengan bahaya (diambil dari Murray, et al., 2010) Konsekuensi berikut harus dipertimbangkan dan didiskusikan selama penilaian konsekuensi

 

Konsekuensi langsung

a) Hasil paparan pada hewan peliharaan dan hewan liar serta populasinya:

- Biologis (morbiditas dan mortalitas, kekebalan steril, pembawa inkubasi atau pemulihan, infeksi laten)

– Kerugian produksi

b) Konsekuensi kesehatan masyarakat

c) Konsekuensi lingkungan

– Lingkungan fisik, seperti ‘efek samping’ dari tindakan pengendalian

– Dampak pada bentuk kehidupan lain, keanekaragaman hayati, spesies terancam punah Konsekuensi tidak langsung

a) Pertimbangan ekonomi

– Biaya pengendalian dan pemberantasan

- Kompensasi

– Biaya pengawasan dan pemantauan

– Biaya layanan biosekuriti yang ditingkatkan

– Efek domestik (perubahan permintaan konsumen, efek pada industri terkait)

– Kerugian perdagangan (embargo, sanksi, peluang pasar)

 

b) Lingkungan:

– Berkurangnya pariwisata dan hilangnya fasilitas sosial

Meskipun faktor-faktor di atas diambil dari pedoman analisis risiko impor, banyak di antaranya juga akan relevan dengan analisis risiko yang diterapkan pada pergerakan ternak. Saat mengevaluasi besarnya konsekuensi dan kemungkinan konsekuensi yang terjadi pada besarnya itu, Anda dapat menjelaskan sejumlah kecil skenario wabah. Kemungkinan relatif dari masing-masing kejadian ini kemudian dapat diperkirakan bersama dengan kemungkinan besarnya konsekuensi di setiap kasus (Murray, et al., 2010).

Contoh kemungkinan skenario wabah setelah hewan yang terinfeksi memasuki pasar ternak di Myanmar Tengah, misalnya, dapat meliputi:

1. Penyakit tidak berkembang di pasar

2. Penyakit muncul di pasar tetapi hewan yang terinfeksi dikenali dan tidak ada hewan yang diizinkan keluar dari pasar.

3. Penyakit muncul di pasar, tidak dikenali dan hewan bergerak bebas keluar dari pasar.

 

Kemungkinan terjadinya setiap skenario dan konsekuensi dari setiap skenario kemudian dapat dijelaskan dan, ketika menggunakan penilaian kualitatif, setiap skenario dapat diberi tingkat kemungkinan dan tingkat konsekuensi, yaitu dapat diabaikan, sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, parah, dll.

Contoh beberapa penilaian konsekuensi disediakan oleh (APHIS, 2013 dan Lyytikäinen, dkk., 2011), yang pertama menggunakan versi deskriptif terperinci dari penilaian konsekuensi, sedangkan yang terakhir menggunakan pendekatan pemodelan yang kompleks.

 

ESTIMASI RISIKO

Estimasi risiko merangkum hasil penilaian entri, paparan, dan konsekuensi. Untuk analisis risiko impor, struktur khusus harus diikuti agar estimasi risiko menjadi transparan dan dapat diterima oleh berbagai pihak yang berkepentingan yang terlibat dalam keputusan perdagangan. Namun, jika penilaian risiko dilakukan untuk tujuan lain (pengendalian penyakit, mengidentifikasi titik kontrol kritis, dll.), bagian ini dapat digunakan untuk meringkas hasil penilaian risiko dan menyatukan hasil dari setiap penilaian masuk, paparan penilaian dan penilaian konsekuensi menjadi kesimpulan secara keseluruhan.

 

MANAJEMEN RISIKO

Manajemen risiko adalah langkah dalam proses analisis risiko di mana tindakan pengendalian (atau tindakan mitigasi risiko) diputuskan dan diterapkan. Jika analisis risiko telah dilakukan untuk jalur lalu lintas ternak, misalnya, titik-titik tertentu di jalur tersebut mungkin telah diidentifikasi sebagai 'berisiko tinggi' dibandingkan dengan yang lain. Ini dapat disebut sebagai 'titik kritis'; yaitu, di mana tindakan pengendalian dapat ditargetkan dan memiliki dampak terbesar pada risiko penularan FMDV melalui jalur tertentu.

 

Saat mempertimbangkan langkah-langkah mitigasi risiko, penting untuk mempertimbangkan pemangku kepentingan dalam jalur lalu lintas ternak yang mungkin terpengaruh oleh langkah-langkah pengendalian dan apakah dampak wabah penyakit pada masing-masing pemangku kepentingan akan membenarkan dampak dari langkah-langkah pengendalian. Jika tidak demikian, mekanisme kompensasi mungkin diperlukan.

 

Memahami pemangku kepentingan yang terlibat dalam jalur lalu lintas hewan penting untuk analisis risiko, dan dibahas secara khusus dalam bidang terkait yang dikenal sebagai analisis rantai nilai. Beberapa informasi lebih lanjut dapat ditemukan tentang penerapan analisis rantai nilai dan analisis risiko di bagian selanjutnya dari panduan ini dan referensi di akhir bab ini.

 

KOMUNIKASI RISIKO

Meskipun komunikasi risiko tercantum di sini sebagai langkah terakhir dalam proses analisis risiko, sebenarnya komunikasi tersebut harus dilakukan selama proses analisis risiko dan mencakup komunikasi dengan individu atau organisasi mana pun yang terpengaruh oleh analisis risiko dan hasilnya. Jika analisis risiko digunakan untuk pengambilan keputusan kesehatan hewan, orang-orang yang terlibat dalam komunikasi risiko haruslah mereka yang (atau dapat) terkena penyakit yang bersangkutan, atau oleh tindakan pengendalian apa pun yang mungkin diterapkan sebagai hasil dari analisis risiko. Jika hasil analisis risiko dapat mempengaruhi masyarakat umum, hasil tersebut juga harus disertakan dalam proses komunikasi risiko.

 

CONTOH KASUS: PENILAIAN RISIKO (PR China)

Penilaian risiko penghentian imunisasi wajib untuk FMD serotipe Asia I di PR China.  Sejak Mei 2009, tidak ada kasus klinis PMK Asia I yang terjadi atau terpantau di PR China. Tingkat kualifikasi antibodi individu dan ternak dari hewan yang rentan telah dipertahankan di lebih dari 80%. Dalam hal ini, Biro Veteriner Kementerian Pertanian memutuskan untuk melakukan penilaian risiko pada tahun 2016 untuk menghentikan imunisasi wajib PMK Asia I, untuk mempelajari risiko yang terjadi setelah imunisasi keluar. Model dinamika propagasi dibangun dan disimulasikan menggunakan perangkat lunak MatLab. Model ini menghitung ambang penularan, probabilitas wabah, skala wabah PMK Asia I di bawah penerapan tindakan kekebalan dan kondisi keluar kekebalan.

 


Gambar A: Diagram alir Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di berbagai peternakan

 

Hasil simulasi menunjukkan bahwa, dalam kondisi saat ini, ekspektasi matematis prevalensi PMK Asia I kurang dari 0,01% (tingkat kepercayaan 99,99%). Untuk daerah epidemi, prevalensi PMK yang disebabkan oleh Asia I dalam lima tahun ke depan adalah kurang dari satu per seratus ribu (1/100.000), dengan atau tanpa imunisasi. Risiko tersebut diperkirakan akan semakin rendah seiring berjalannya waktu hingga risiko wabah PMK Asia I hampir dapat diabaikan.

 

Setelah penghentian imunisasi PMK Asia I, dan tindakan pengendalian lainnya tetap tidak berubah, angka reproduksi dasar (R0) akan meningkat dari 0,597 (95%CI: 0,594-0,6) menjadi 2,89 (95%CI: 2,88-2,9). Jika wabah PMK Asia I terjadi lagi, risiko penularan dan penyebarannya akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan imunisasi saat ini.

 

Dokumentasi proses analisis risiko adalah bagian dari komunikasi risiko dan deskripsinya harus terperinci dan transparan dan mencakup informasi tentang data yang digunakan (termasuk batasan dalam data tersebut dan asumsi apa pun yang digunakan) dan pembenaran yang jelas untuk setiap tindakan pengendalian yang diterapkan sebagai akibat dari risiko tersebut. analisis. Konsultasi dengan pemangku kepentingan selama proses analisis risiko, seperti menggunakan kelompok fokus selama pengumpulan data, juga akan berkontribusi pada komunikasi risiko.

 

INFORMASI APA YANG DIPERLUKAN SAAT MELAKUKAN ANALISIS RISIKO?

Berbagai macam informasi diperlukan untuk melakukan analisis risiko yang relevan dengan PMK, termasuk (namun tidak terbatas pada):

- Epidemiologi FMDV di bidang kepentingan

– Sistem peternakan di daerah sasaran

– Populasi dan kepadatan spesies ternak yang rentan di daerah sasaran

– Prevalensi/kejadian PMK di area yang relevan dengan analisis risiko

– Jalur perpindahan ternak yang ditujukan untuk daerah tertentu

– Volume perdagangan sepanjang jalur pergerakan tertentu (jumlah hewan yang dipindahkan selama periode waktu tertentu)

– Keberadaan dan volume pergerakan hewan tidak resmi

– Metode transportasi (termasuk waktu yang dibutuhkan untuk berpindah dari A ke B)

– Perubahan musiman volume ternak yang diperdagangkan

– Perbedaan musiman dalam wabah – Individu dan organisasi di sepanjang jalur risiko yang teridentifikasi – Strategi mitigasi/tindakan pengendalian risiko yang ada sudah ada

– Kelangsungan hidup virus PMK dalam kondisi di area di mana analisis risiko dilakukan (kondisi iklim)

– Kemungkinan hewan yang terinfeksi PMK akan menunjukkan gejala klinis

 

DATA TERSEDIA

Data yang tersedia pada kategori yang diuraikan di atas sangat bervariasi dan seringkali terbatas di wilayah ini. Namun, data yang tidak lengkap pada awal analisis risiko seharusnya tidak menghalangi pelaksanaan analisis risiko. Namun, hal itu akan mempengaruhi jenis analisis risiko yang dilakukan dan sumber data yang digunakan untuk menginformasikan analisis risiko tersebut.

 

Penggunaan penilaian risiko kuantitatif umumnya membutuhkan data yang berkualitas tinggi dan terperinci untuk menghasilkan hasil yang berarti. Oleh karena itu, jika data ini tidak tersedia, penilaian kualitatif harus digunakan. Namun, terlepas dari apakah pendekatan kualitatif atau kuantitatif digunakan, pengumpulan data perlu dilakukan untuk melakukan analisis risiko. Daftar berikut memberikan contoh sumber data yang mungkin tersedia, serta metode pengumpulan data yang dapat diterapkan selama proses analisis risiko.

 

Sekali lagi, daftar ini dimaksudkan sebagai panduan dan tidak lengkap:

Sumber data yang ada:

– Sistem pelaporan penyakit (ARAHIS, WAHIS, data laporan wabah Nasional, dll.)

– Laporan investigasi wabah

- Catatan laboratorium

– Data populasi ternak

– Data iklim

– Menerbitkan penilaian risiko, makalah tentang epidemiologi PMK

– Catatan pergerakan ternak

 – Kode Kesehatan Hewan Darat OIE

– Studi surveilans dilakukan untuk alasan lain

 

PENGUMPULAN DATA:

– Studi lapangan (kuesioner untuk produsen ternak, pedagang, dokter hewan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya)

– Studi surveilans

– Kelompok fokus/pendapat ahli

 

Ada batasan untuk semua jenis data yang digunakan, tetapi sekali lagi ini seharusnya tidak menghalangi kita untuk melanjutkan analisis risiko. Namun, analis risiko harus hati-hati mempertimbangkan data yang digunakan untuk tujuan tertentu dan dengan jelas menguraikan batasan dan asumsi apa pun yang dibuat saat menggunakan data dalam analisis risiko.

 

Daftar referensi di akhir bab ini memberikan beberapa contoh analisis risiko yang menggunakan jenis dan sumber data yang berbeda. Mempelajari analisis risiko yang dipublikasikan memberikan wawasan yang baik tentang sumber data yang digunakan, bersama dengan kekuatan dan keterbatasan data tersebut. Membaca dokumen analisis risiko sebelumnya juga akan menunjukkan bagaimana penulis menjelaskan alasan mereka menggunakan data tertentu dan keterbatasan data.

 

Penting saat menulis analisis risiko bahwa sumber data dan keterbatasan dalam data tersebut dijelaskan secara rinci sehingga prosesnya transparan dan pembaca dapat memahami kekuatan dan keterbatasan penilaian risiko.

 

VARIABILITAS DAN KETIDAKPASTIAN

Sambil mempertimbangkan data yang diperlukan untuk analisis risiko, penting untuk menjelaskan istilah 'variabilitas' dan 'ketidakpastian' karena istilah ini sering digunakan dalam analisis risiko.

Semua analisis risiko akan mengandung variabilitas dan ketidakpastian dalam data yang mereka gunakan. Yang pertama adalah variasi yang melekat dalam sistem biologis (seperti periode inkubasi yang bervariasi antara hewan berbeda yang terinfeksi virus yang sama).

 

Variabilitas dapat dikelola dengan prosedur statistik standar (penjelasan lebih lanjut tentang ini berada di luar cakupan bab ini, tetapi pembaca dirujuk ke analisis risiko kuantitatif yang diterbitkan yang tercantum di bagian referensi). Sebaliknya, ketidakpastian menunjukkan ketidaktahuan atau informasi yang tidak lengkap (yaitu kurangnya pengetahuan tentang status penyakit di suatu negara) (Thrusfield, 2007). Variabilitas akan ada bahkan di mana ada pengetahuan yang lengkap. Semua variabilitas dan ketidakpastian, dan bagaimana pengelolaannya, harus dijelaskan dengan jelas dalam dokumen analisis risiko. Sekali lagi, akan sangat membantu untuk melihat bagaimana penulis analisis risiko sebelumnya menangani variabilitas dan ketidakpastian dan pembaca harus merujuk pada publikasi yang tercantum dalam daftar referensi.

 

ANALISIS RANTAI NILAI

Analisis rantai nilai disebutkan di sini karena dapat digunakan dalam kombinasi dengan penilaian risiko epidemiologi saat menangani pengelolaan penyakit ternak. Menurut FAO (2011), kombinasi pemetaan rantai nilai dan analisis ekonomi dengan analisis risiko epidemiologi berguna dalam perencanaan kesehatan hewan nasional (atau lokal) untuk:

1. Menilai pembenaran epidemiologis dan sosial ekonomi untuk berbagai strategi pengendalian penyakit.

2. Menginformasikan pemangku kepentingan yang terlibat dalam berbagai strategi pengendalian penyakit.

3. Mengevaluasi dampak sosial-ekonomi dari penyakit menular dan strategi pengendalian yang berbeda pada berbagai pemangku kepentingan yang terkena dampak.

4. Penyesuaian rencana untuk strategi pengendalian berdasarkan hasil yang diperoleh dari penilaian epidemiologi dan sosial ekonomi.

 

Meskipun penjelasan rinci tentang analisis rantai nilai berada di luar cakupan bab ini, berikut ini adalah referensi yang berguna mengenai hal ini: (FAO, 2011 dan FAO, 2012). Disarankan agar pembaca merujuk pada dokumen-dokumen ini karena membantu tidak hanya untuk memahami bagaimana analisis risiko dan analisis rantai nilai dapat bekerja sama, tetapi juga memberikan informasi kontekstual yang baik tentang penerapan analisis risiko pada masalah kesehatan hewan.

 

REFERENSI

1.    APHIS (2013). Risk Analysis: Foot-and-Mouth Disease (FMD) Risk from Importation of Fresh (Chilled or Frozen), Maturated, Deboned Beef from a Region in Brazil into the United States. Animal and Plant Health Inspection Service, Veterinary Services National Center for Import and Export. USDA, USA, Available at: [accessed 7th October, 2015]

 

2.     Arthur, J.R., Bondad-Reantaso, M.G., Baldock, F.C., Rodgers, C.J. and Edgerton, B.F. (2004). Manual on risk analysis for the safe movement of aquatic animals (FWG/01/2002). APEC/DoF/ NACA/FAO, 59 p. Available at: [accessed 24th September, 2015]

 

3.      FAO, (2011).  A value chain approach to animal diseases risk management – Technical foundations and practical framework for field application. Animal Production and Health Guidelines. No. 4. Food and Agriculture Organisation of the United Nations, Rome. Available at: http://www.fao.org/docrep/014/ i2198e/i2198e00.pdf [accessed 10th May, 2016] FAO (2012). Designing and implementing livestock value chain studies – A practical aid for Highly Pathogenic and Emerging Disease (HPED) control. FAO Animal Production and Health Guidelines No. 10. Food and Agriculture Organisation of the United Nations, Rome. Available at: [accessed 2nd October, 2015]

 

4.      Geering, W.A. and Lubroth, J. (2002). Risk analysis for foot and mouth disease. Chapter 3, Preparation of foot and mouth disease contingency plans. Food and Agriculture Organisation of the United Nations, Rome. Available at: [accessed 24th September, 2015] Hood, G. M. (2010). PopTools, version 3.2.5. Available at: [accessed 4th October, 2015]

 

5.    Jori, F., Vosloo, W., Du Plessis, B., Bengis, R., Brahmbhatt, D., Gummow, B. and Thomson, G.R. (2009). A qualitative risk assessment of factors contributing to foot and mouth disease outbreaks in cattle along the western boundary of the Kruger National Park, Revue Scientifique et Technique de L’Office International Epizooties, 28(3), pp. 917-931. Available at: [accessed 6th October, 2015]

 

6.     Lopez, E., Dekker, A. and Nielen, M., (date unknown). Risk assessment on Foot-and-Mouth Disease (FMD) in pork from vaccinated animals, Available at: [accessed 25th September, 2015]

 

7.      Lyytikäinen,T., Niemi, J., Sahlström, L., Virtanen, T. and Lehtonen, H. (2011). The spread of Foot-and-mouth disease (FMD) within Finland and emergency vaccination in case of an epidemic outbreak, Evira Research Reports, no. 1. Available at: www.evira.fi/files/products/1302602764160_ tutkimus_1_2011_120411.pdf > [accessed 7th October, 2015]

 

8.     Martinez-Lopez, B., Perez, A.M., De la Torre, A., Sanchez, J.M. (2008). Quantitative risk assessment of foot-and-mouth disease introduction into Spain via importation of live animals, Preventive Veterinary Medicine, 86, pp. 43–56, Available at: [accessed 7th October, 2015]

 

9.    Miller, L., McElvaine, M.D., McDowell, R.M. and Ahl, A.S. (1993). Developing a quantitative risk assessment process, Revue Scientifique et Technique de L’Office International Des Epizooties, 12 (4), pp. 1153-1164. Available at: [accessed 28th September, 2015]

 

10.  Moutou, F., Dufour, B. and Ivanov, Y. (2001). A qualitative assessment of the risk of introducing foot and mouth disease into Russia and Europe from Georgia, Armenia and Azerbaijan, Revue Scientifique et Technique de L’Office International Des Epizooties, 20 (3), pp. 723-730, Available at: [accessed 7th October, 2015]

 

11.   Murray, N., MacDiarmid, S.C., Wooldridge, M., Gummow, B., Morley, R.S., Weber, S.E., Giovannini, A. and Wilson, D. (2010). Handbook on Import Risk Analysis for Animals and Animal Products, Volume 2 Paton, D.J., Sinclair, M., Rodríguez, R. (2010). Qualitative assessment of the commodity risk factor for spread of foot-andmouth disease associated with international trade in deboned beef. Transboundary Emerging Diseases, 57(3), pp. 115-34.

 

12.  Smith, P. (2012). Epidemiological and risk-based approaches to accelerating achievement of Foot and Mouth Disease Free-Zone status in the Malaysia-Thailand-Myanmar Peninsula, PhD thesis, Murdoch University, Western Australia, pp179-223. Available at: [accessed 30th September, 2015] Thrusfield (2007). 

 

13.Veterinary Epidemiology. Third edition. Blackwell Publishing Titus, S., Herbert-Hackshaw, K., Bournez, L., Delgado, A., ParisAaron, M., Sanford, B., Trotman, M. and Gongora, V. (date unknown). Report of a Qualitative Assessment of the risk of introducing Foot and Mouth Disease virus into the Caribbean Community through the importation of deboned fresh (chilled or frozen) beef from a Foot and Mouth Disease free zone in Brazil, where vaccination is not practised, report by the Epidemiology Working Group of the Caribbean Animal Health Network (CaribVET), Available at: [accessed 7th October, 2015]

 

14. Vose, D.J. (1997). Risk analysis in relation to the importation and exportation of animal products, Revue Scientifique et Technique de L’Office International Des Epizooties, 16(1), pp. 17-29. Available at: [accessed 30th September, 2015] 

 

15. Wieland, B., Batsukh, B., Enktushin, S., Odontstseg, N. and Schuppers, M. (2015). Foot and mouth disease risk assessment in Mongolia – Local expertise to support national policy, Preventive Veterinary Medicine, 120, pp. 115-123

 

16. Wongsathapornchai, K., Salman, M.D., Edwards, J.R., Morley, P.S., Keefe, T.J., Van Campen, H. and Weber, S. (2008). Assessment of the likelihood of the introduction of foot-and-mouth disease through importation of live animals into the MalaysiaThailand Myanmar peninsula, American Journal of Veterinary Research, 69(2), pp.252-260. Available at: [accessed 30th September, 2015]

 

17.World Organisation for Animal Health (OIE) (2017) Terrestrial Animal Health Code, Glossary. Available at: < http://www. oie.int/index.php?id=169&L=0&htmfile=glossaire.htm> [accessed 24 Nov 2017] World Organisation for Animal Health (OIE) (2016a) Aquatic Animal Health, Chapter 2.1. Available at: [accessed 18 July 2017]

 

18.  World Organisation for Animal Health (OIE) (2016b) Terrestrial Animal Health, Chapter 2.1. Available at: < http://www.oie. int/index.php?id=169&L=0&htmfile=chapitre_ import_risk_analysis.htm> [accessed 18 July 2017].

 

SUMBER:

WOAH. Manual 1 Risk analysis for Foot and Mouth Disease

https://rr-asia.woah.org/wp-content/uploads/2020/02/seacfmd-manual-1.pdf