Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, 18 December 2021

Terapi COVID-19 dengan PAI-1


Terapi COVID-19 dengan Penargetan Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1)


Plasminogen Aktivator Inhibitor-1 (Plasminogen Activator Inhibitor / PAI-1) juga dikenal sebagai inhibitor aktivator plasminogen endotel atau Serpin E1 merupakan protein pada manusia yang dikodekan oleh gen SERPINE1.  Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ekspresi berlebih SERPINE1 memiliki peran penting dalam koagulopati pada infeksi Coronavirus 2019 (COVID-19) yang terarah pada sindrom gangguan pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome / ARDS). Namun, cara untuk menargetkan protein ini tetap sulit dipahami. Pada tulisan ini dibahas bukti terbaru yang menghubungkan SERPINE1 dengan ARDS terkait COVID-19 dan merangkum data yang tersedia tentang penghambat target ini.

 

Pengenalan Struktur Protein


Jenis struktur protein sekunder yang paling umum adalah α-helix (puntiran-alfa) dan b-pleated sheet (lempeng terlipat-beta). Kedua struktur dipertahankan bentuknya oleh ikatan hidrogen, yang terbentuk antara karbonil O dari satu asam amino dan amino H dari asam amino lainnya. Gambar 1 di bawah menunjukkan pola ikatan hidrogen dalam "lempeng terlipat-beta" dan "puntiran-alfa".


Gambar 1. Pola ikatan hidrogen dalam b-lembaran terlipat dan α-heliks.


Pada "puntiran-alfa" karbonil (C=O) dari satu asam amino adalah hidrogen yang terikat pada amino H (N-H) dari asam amino yang ada di empat rantai. (Misalnya, karbonil asam amino 1 akan membentuk ikatan hidrogen dengan NH dari asam amino 5.) Pola ikatan ini menarik rantai polipeptida menjadi struktur heliks yang menyerupai pita melengkung, dengan setiap putaran heliks mengandung 3,6 amino asam. Gugus R asam amino menonjol keluar dari heliks, di mana mereka bebas berinteraksi.


Pada "lempeng terlipat-beta", dua atau lebih segmen rantai polipeptida berbaris di samping satu sama lain, membentuk struktur seperti lembaran yang disatukan oleh ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara gugus karbonil dan tulang punggung amino, sedangkan gugus R memanjang di atas dan di bawah bidang lembaran.


Untaian lempeng terlipat bisa paralel, menunjuk ke arah yang sama (artinya N- dan C-termini mereka cocok), atau antiparalel, menunjuk ke arah yang berlawanan (artinya ujung-N dari satu untai diposisikan di sebelah ujung-C yang lain).

 

Fungsi SERPINE1


Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1, alias SERPINE1) adalah anggota khas dari keluarga protein Serpin, dengan berat molekul 45 kDa, terdiri dari sembilan "puntiran-alfa" dan tiga "lempeng terlipat-beta" [1]. SERPINE1 bertindak sebagai 'penghambat bunuh diri' dalam kondisi fisiologis, mengikat kedua jenis jaringan dan aktivator plasminogen urokinase (tPA dan uPA) dan diatur oleh elastase neutrofil manusia [2.,3.,4.]. Dengan demikian, SERPINE1 mencegah pembentukan plasmin dan menghambat fibrinolisis dan pelarutan bekuan darah. Ini disintesis dalam bentuk aktif dengan reactive center loop  / RCL pada posisi yang ditunjukkan pada Gambar 2A. Bentuk ini memiliki waktu paruh 1-2 jam dalam lingkungan fisiologis, yang dapat meningkat beberapa kali lipat bila terikat dengan vitronektin (VN). Modulasi ini telah menarik perhatian karena perannya yang penting dalam dua jalur vital: peran protumorigenik pada kanker karena efek proangiogenik dan antiapoptosis [3]; dan peran penting dalam menjaga keseimbangan antara tingkat aktivasi plasminogen dan degradasi fibrin [4]. Dalam peran kedua ini sebagai pengatur utama fibrinolisis dalam plasma, SERPINE1 terlibat dalam gejala COVID-19 (Gambar 2B).

 


Gambar 2. Struktur SERPINE1, Inhibitor, dan Perannya dalam Fibrinolisis.

(A) Struktur SERPINE1 dan penghambatnya. 

Tiplaxtinin dan aleplasinin bergantung pada vitronectin (VN), sedangkan CDE-096, TM5614, dan MDI-2268 tidak. Namun, kantong pengikat yang tepat untuk inhibitor ini belum diidentifikasi.

(B) Fibrinolisis pada Coronavirus 2019 (COVID-19). 

Enzim pengubah angiotensin 2 (Angiotensin-converting Enzyme / ACE2) mengubah angiotensin II (AngII) menjadi angiotensin 1–7 (Ang1–7) dalam keadaan normal. Ketika ACE-2 dihambat oleh Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus 2 (SARS-Cov2), jalur ini terpengaruh, meningkatkan kadar Ang2 dalam darah. Reseptor AngII dan AngII 1 (AT1) meningkatkan pelepasan SERPINE1 (PAI-1) oleh sel endotel. Kebanyakan SERPINE1 kemungkinan besar akan terikat pada vitronectin, mengingat konsentrasi yang tinggi dari vitronectin. SERPINE1 menghambat tPA, membatasi konversi plasminogen menjadi plasmin dan menyebabkan hipofibrinolisis.

 

Ekspresi berlebihan SERPINE1 pada COVID-19


Bukti pertama bahwa kadar SERPINE1 yang tinggi dalam sistem peredaran darah terkait dengan infeksi virus corona mulai muncul selama epidemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2003. Sebuah artikel singkat oleh Wu et al. menyoroti bahwa tingkat plasma SERPINE1 pada pasien dengan SARS meningkat (355 ng/ml) dibandingkan dengan pasien dengan pneumonia menular penyebab lain (88 ng/ml) atau kontrol orang yang sehat (61 ng/ml). Tingkat vitronectin dalam plasma darah juga meningkat dibandingkan dengan kontrol orang yang sehat (1538 mg/l versus 310 mg/l) [5]. Akibatnya, SERPINE1 dalam keadaan aktif lebih lama.


Gambaran serupa dilukiskan untuk pandemi SARS-coronavirus 2 (Cov2) (COVID-19). Dalam studi pusat tunggal baru-baru ini, analisis eksplorasi faktor hemostatik dilakukan pada 68 pasien dengan COVID-19. Ada peningkatan yang hampir universal pada level SERPINE1 di antara pasien yang sakit kritis dan tidak kritis. Ini adalah indikasi lain bahwa fibrinolisis normal dicegah pada koagulopati terkait COVID-19 [6]. Studi lain dari parameter fibrinolitik dari 78 pasien dengan COVID-19 menunjukkan bahwa hipofibrinolisis yang diamati segera terkait dengan peningkatan adanya SERPINE1. Kadar protein pada pasien di unit perawatan intensif (ICU) adalah 96 ng/ml, sedangkan untuk pasien non-ICU konsentrasinya adalah 77 ng/ml. Kedua nilai meningkat dibandingkan dengan kisaran normal (4-43 ng/ml). Peningkatan serupa diamati untuk tPA [24 ng/ml versus 2-12 ng/ml (rentang normal)]. 


Adanya deposisi fibrin pada parenkim paru pasien COVID-19 menunjukkan bahwa meskipun jumlah tPA meningkat, kadar SERPINE1 yang tinggi dapat mengatasi pelepasan tPA lokal [7]. Pengamatan ini semakin diperkuat oleh penelitian terbaru oleh Cugno et al., yang menemukan peningkatan kadar tPA dan PAI-1 pada semua pasien dengan COVID-19 terlepas dari tingkat keparahan penyakitnya [8]. Bukti menunjukkan bahwa infeksi SARS-Cov2 yang mematikan telah menahan atau menghambat pensinyalan profibrinolitik normal dan menyebabkan disfungsi keseluruhan dalam sistem, termasuk peningkatan ekspresi SERPINE1 dan penyakit paru-paru yang parah [9]. Hal ini lebih lanjut divalidasi oleh sebuah penelitian yang melaporkan bahwa kadar tPA yang tinggi  (khususnya) dan PAI-1 dikaitkan dengan kematian dan peningkatan yang signifikan dalam lisis bekuan ex vivo spontan [10]. 


Sementara semua bukti ini membuat kasus yang menarik untuk pentingnya SERPINE1 dalam gejala COVID-19, publikasi dan data yang tersedia tentang peningkatan kadar SERPINE1 pada COVID-19 tidak membedakan antara bentuk aktif dan laten.

 

Penghambatan SERPINE1


Agen fibrinolitik nebulisasi, seperti antibodi monoklonal atau inhibitor molekul kecil, menargetkan SERPINE1 sangat meningkatkan sistem fibrinolitik bronkoalveolar serta mengurangi gejala ARDS dengan meningkatkan kadar plasmin yang secara efektif menghilangkan fibrin [11]. Banyak inhibitor SERPINE1 telah dikembangkan, baik antibodi/nanobodi maupun inhibitor molekul kecil. Nanobodi telah digunakan untuk menstabilkan SERPINE1 dan memodulasi aktivitasnya. Baru-baru ini, VHH-s-a93 terbukti menjadi penghambat kuat SERPINE1, dengan IC50 7 nM [12]. 


Mengingat bahwa nanobodi mengikat ke loop pusat reaktif, juga bertindak secara independen dari pengikatan vitronectin ke serpin. MEDI-579 adalah antibodi lain yang mengikat RCL secara independen dari vitronectin dan ditemukan untuk mengobati fibroblas paru-paru manusia normal dengan pIC50 = 9,8 ± 0,14 (10,5 nM) [13]. Inhibitor molekul kecil, seperti tiplaxtinin dan aleplasinin, adalah inhibitor SERPINE1 yang efektif secara oral pertama, yang dikembangkan oleh Wyeth. Inhibitor molekul kecil tersebut digunakan secara luas dalam uji klinis pada subjek dengan penyakit Alzheimer. Aktivitas kedua obat ini tergantung pada apakah SERPINE1 terikat pada vitronectin, menunjukkan situs pengikatan yang tumpang tindih. Mengingat bahwa tingkat vitronectin sangat meningkat selama ARDS, jenis inhibitor ini tidak mungkin mengobati hipofibrinolisis di paru-paru secara efisien. Sebaliknya, molekul kecil, seperti MDI-2268, CDE-096, dan TM5614, adalah inhibitor independen-vitronectin (Gambar 2A) [14,15]. 


Meskipun uji praklinis dan klinis (untuk indikasi selain ARDS) sedang berlangsung untuk senyawa ini dan menunjukkan aktivitas yang menjanjikan, tidak satupun dari kandidat obat yang masih dalam tahap lanjut, menyisakan banyak ruang untuk perbaikan. Efek samping yang umum, seperti perdarahan lokal yang tidak terkendali, menegaskan peningkatan fibrinolisis pada penghambatan SERPINE1. Aspek penting untuk pengembangan lebih lanjut dari senyawa tersebut adalah menggabungkan kelayakan pemberian langsung ke saluran pernapasan dengan permeabilitas yang baik ke aliran darah.

 

Satu indikasi lebih lanjut bahwa produksi SERPINE1 yang diatur bermanfaat bagi pasien dengan COVID-19 ditunjukkan oleh Kang et al. [16]. Dalam penelitian mereka, tujuh pasien dengan COVID-19 parah menunjukkan penurunan kadar serum SERPINE1 dan peningkatan fitur klinis (termasuk kadar protein C-reaktif yang lebih rendah) setelah pengobatan dengan tocilizumab, obat radang sendi yang digunakan kembali untuk SARS-Cov2 [17].

 

Sementara pergeseran prokoagulan telah diamati ketika gejala COVID-19 menjadi lebih serius pada tahap selanjutnya, plasmin juga dapat meningkatkan infeksi virus dengan membelah protein yang berperan penting dalam infeksi sel, terutama selama tahap awal penyakit. Dalam penelitian terbaru oleh Metcalf et al., disarankan bahwa kebutuhan untuk peningkatan aktivitas fibrinolitik terutama terjadi pada tahap 3 perjalanan COVID-19 [18]. Ini berarti bahwa penggunaan modulator SERPINE1 dapat memiliki efek menguntungkan pada gejala infeksi virus corona yang lebih parah dan lebih lanjut. Namun, poin ini tetap kontroversial karena studi observasional lain menekankan bahwa pemberian tPA lebih awal kepada pasien dengan COVID-19 memberikan hasil yang lebih baik [19].

 

Kesimpulan


Salah satu konsekuensi SARS-Cov2 mengganggu enzim pengubah angiotensin 2 adalah hipofibrinolisis. Bahkan gumpalan darah terkecil di paru-paru dapat menyebabkan kerusakan permanen dan penting untuk mengendalikan gejala COVID-19 ini. Rangkuman data-data yang tersedia menunjukkan SERPINE1 sebagai target yang menjanjikan untuk mengobati kasus COVID-19 yang parah. Juga telah ditinjau berbagai penghambat SERPINE1 yang tersedia dan menekankan, meskipun terdapat hasil yang menjanjikan, namun masih perlu dilakukan pengembangan lebih lanjut untuk beberapa terapi yang ada.


DAFTAR PUSTAKA


1. Kellici T.F. Small-molecule modulators of serine protease inhibitor proteins (serpins) Drug Discov. Today. 2021;26:442–454. [PubMed] [Google Scholar]

2. Wu K. The cleavage and inactivation of plasminogen activator inhibitor type 1 by neutrophil elastase: the evaluation of its physiologic relevance in fibrinolysis. Blood. 1995;86:1056–1061. [PubMed] [Google Scholar]

3. Kubala M.H., DeClerck Y.A. The plasminogen activator inhibitor-1 paradox in cancer: a mechanistic understanding. Cancer Metastasis Rev. 2019;38:483–492. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

4. Urano T. Recognition of plasminogen activator inhibitor type 1 as the primary regulator of fibrinolysis. Curr. Drug Targets. 2019;20:1695–1701. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

5. Wu Y.P. Analysis of thrombotic factors in severe acute respiratory syndrome (SARS) patients. Thromb. Haemost. 2006;96:100–101. [PubMed] [Google Scholar]

6. Goshua G. Endotheliopathy in COVID-19-associated coagulopathy: evidence from a single-centre, cross-sectional study. Lancet Haematol. 2020;7:e575–e582. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

7. Nougier C. Hypofibrinolytic state and high thrombin generation may play a major role in SARS-COV2 associated thrombosis. J. Thromb. Haemost. 2020;18:2215–2219. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

8. Cugno M. Complement activation and endothelial perturbation parallel COVID-19 severity and activity. J. Autoimmun. 2021;116:102560. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

9. D'Alonzo D. COVID-19 and pneumonia: a role for the uPA/uPAR system. Drug Discov. Today. 2020;25:1528–1534. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

10. Zuo Y. Plasma tissue plasminogen activator and plasminogen activator inhibitor-1 in hospitalized COVID-19 patients. Sci. Rep. 2021;11:1580. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

11. Hofstra J.J. Nebulized fibrinolytic agents improve pulmonary fibrinolysis but not inflammation in rat models of direct and indirect acute lung injury. PLoS ONE. 2013;8 [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

12. Sillen M. Structural insights into the mechanism of a nanobody that stabilizes PAI-1 and modulates its activity. Int. J. Mol. Sci. 2020;21:5859. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

13. Vousden K.A. Discovery and characterisation of an antibody that selectively modulates the inhibitory activity of plasminogen activator inhibitor-1. Sci. Rep. 2019;9:1605. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

14. Rouch A. Small molecules inhibitors of plasminogen activator inhibitor-1 - an overview. Eur. J. Med. Chem. 2015;92:619–636. [PubMed] [Google Scholar]

15. Reinke A.A. Dual-reporter high-throughput screen for small-molecule in vivo inhibitors of plasminogen activator inhibitor type-1 yields a clinical lead candidate. J. Biol. Chem. 2019;294:1464–1477. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

16. Kang S. IL-6 trans-signaling induces plasminogen activator inhibitor-1 from vascular endothelial cells in cytokine release syndrome. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 2020;117:22351–22356. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

17. Guaraldi G. Tocilizumab in patients with severe COVID-19: a retrospective cohort study. Lancet Rheumatol. 2020;2:e474–e484. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

18. Medcalf R.L. Fibrinolysis and COVID-19: a plasmin paradox. J. Thromb. Haemost. 2020;18:2118–2122. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

19. Orfanos S. Observational study of the use of recombinant tissue-type plasminogen activator in COVID-19 shows a decrease in physiological dead space. ERJ Open Res. 2020;6:00455–02020. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]


Sumber


1.    Tahsin F. Kellici, Ewa S. Pilka, and Michael J. Bodkin. 2021. Therapeutic Potential of Targeting Plasminogen Activator Inhibitor-1 in COVID-19. Trends Pharmacol Sci. Jun; 42 (6). Published online 2021 Mar 26. 


2.    Orders of protein structure: primary, secondary, tertiary, and quaternary. Alpha helix and beta pleated sheet. https://www.khanacademy.org/science/biology/macromolecules/proteins-and-amino-acids/

Thursday, 16 December 2021

Risiko Kesehatan Global


 

 Risiko Kesehatan Global dan Tantangan Masa Depan

 

Pandemi COVID-19, krisis kesehatan masyarakat manusia akibat virus yang berpotensi berasal dari hewan, menggarisbawahi validitas konsep One Health dalam memahami dan menghadapi risiko kesehatan global. Sering digunakan untuk mengkoordinasikan upaya pencegahan dan respons multi-sektoral penyakit zoonosis (yang dapat menular dari hewan ke manusia, atau manusia ke hewan), sangat penting untuk pengendalian penyakit seperti rabies, flu burung, dan tuberculosis.

 

Risiko kesehatan meningkat dengan globalisasi perdagangan, pemanasan global dan perubahan perilaku manusia, yang semuanya memberikan banyak peluang bagi patogen untuk menjajah wilayah baru dan berkembang menjadi bentuk baru. Dan resikonya tidak hanya untuk manusia. Sementara sebagian besar penilaian risiko berfokus pada penularan patogen dari hewan ke manusia, kesehatan hewan juga sangat dipengaruhi oleh penyakit yang ditularkan dari manusia. SARS-CoV-2, TBC, berbagai virus influenza, antara lain, dapat membahayakan atau berakibat fatal bagi berbagai spesies hewan. Gorila dan simpanse, dengan susunan genetik yang mirip dengan manusia, sangat rentan terhadap penyakit manusia, dan mereka, serta spesies yang terancam punah lainnya harus ditangani dengan hati-hati oleh Layanan Veteriner, otoritas satwa liar, dan peneliti.

 

Mengelola risiko kesehatan global utama ini, mulai dari pengendalian penyakit hingga pemanasan global, tidak mungkin dilakukan sendiri dan membutuhkan kerja sama penuh dari sektor kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan. OIE membawa keahliannya dalam kesehatan dan kesejahteraan hewan ke dalam kemitraan multisektoral yang mengembangkan strategi global untuk mengatasi penyakit utama atau ancaman kesehatan yang lebih luas, seperti resistensi antimikroba.

 

Sepanjang pekerjaan Organisasi, kami mempromosikan pendekatan One Health, mengakui saling ketergantungan antara kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan. Karena kesehatan hewan dan lingkungan sangat bergantung pada aktivitas manusia. Karena kesehatan hewan dan lingkungan juga menentukan kesehatan manusia.

 

Kesehatan untuk semua orang.

Bersama-sama, kita dapat menemukan solusi nyata untuk dunia yang lebih sehat dan berkelanjutan.

 

FAKTA ONE HEALTH


Kesehatan Dunia

60% patogen penyebab penyakit pada manusia berasal dari hewan peliharaan atau satwa liar.

75% patogen manusia yang muncul berasal dari hewan.

80% patogen yang menjadi perhatian bioterorisme berasal dari hewan.

 

KETAHANAN PANGAN

Setiap malam, sekitar 811 juta orang tidur dalam keadaan lapar.

Lebih dari 70% [1] protein hewani tambahan akan dibutuhkan untuk memberi makan dunia pada tahun 2050.

Sementara itu, lebih dari 20% kerugian produksi hewan global terkait dengan penyakit hewan.

 

LINGKUNGAN

Manusia dan ternak mereka lebih mungkin untuk bertemu dengan satwa liar ketika lebih dari 25% tutupan hutan asli hilang. Beberapa dari kontak ini dapat meningkatkan kemungkinan penularan penyakit.

Tindakan manusia telah sangat mengubah 75% lingkungan darat dan 66% lingkungan laut.

 

EKONOMI

Penyakit hewan merupakan ancaman langsung terhadap pendapatan masyarakat pedesaan yang bergantung pada produksi ternak.

Lebih dari 75% [2] dari miliaran orang hidup dengan kurang dari $2 per hari bergantung pada pertanian subsisten dan memelihara ternak untuk bertahan hidup.

 

SUMBER:

[1] FAO, 2011. World Livestock 2011 – Livestock in the food security.

[2] FAO \& OIE, 2015. Global control and eradication of peste des petits ruminants Investing in veterinary systems, food security and poverty alleviation

Wednesday, 15 December 2021

Definisi Baru One Health

Tripartit Bersama (FAO, OIE, WHO) dan Pernyataan UNEP Tripartit dan UNEP mendukung definisi OHHLEP tentang “One Health”per 1 Desember 2021.

 

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), Program Lingkungan PBB atau United Nations Environment Programme (UNEP) dan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) menyambut baik definisi operasional One Health baru yang dibuat oleh panel penasehat, Panel Ahli Tingkat Tinggi One Health atau One Health High Level Expert Panel (OHHLEP), yang anggotanya mewakili berbagai disiplin ilmu dalam sektor terkait sains dan kebijakan yang relevan dengan One Health dari seluruh dunia.

 

Keempat organisasi tersebut bekerja sama untuk mengarusutamakan One Health sehingga mereka lebih siap untuk mencegah, memprediksi, mendeteksi, dan menanggapi ancaman kesehatan global serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan.

 

Definisi One Health yang dikembangkan oleh OHHLEP menyatakan:

One Health adalah pendekatan terpadu, pemersatu yang bertujuan untuk menyeimbangkan dan mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem secara berkelanjutan.

 

Diakui bahwa kesehatan manusia, hewan domestik dan liar, tumbuhan, dan lingkungan yang lebih luas (termasuk ekosistem) sangat berhungan erat, saling berkait dan bergantung.

 

Pendekatan ini memobilisasi berbagai sektor, disiplin, dan komunitas di berbagai tingkat masyarakat untuk bekerja sama guna mendorong kesejahteraan dan mengatasi ancaman terhadap kesehatan dan ekosistem, sambil menangani kebutuhan kolektif akan air bersih, energi dan udara, makanan yang aman dan bergizi, melakukan upaya mitigasi perubahan iklim, dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.

Pentingnya menetapkan definisi One Health baru pertama kali dikemukakan oleh OHHLEP, dan kemudian disetujui oleh keempat Mitra, untuk mengembangkan bahasa dan pemahaman yang sama seputar One Health.

 

Definisi baru menurut OHHLEP, One Health yang komprehensif bertujuan untuk mempromosikan pemahaman dan menterjemahkan dengan jelas ke seluruh sektor dan bidang keahlian.

 

Sementara kesehatan, makanan, air, energi, dan lingkungan adalah topik yang lebih luas dengan perhatian khusus sektor dan spesialis, kolaborasi lintas sektor dan disiplin akan berkontribusi untuk melindungi kesehatan, mengatasi tantangan kesehatan seperti munculnya penyakit menular dan resistensi antimikroba dan mempromosikan kesehatan dan integritas ekosistem kita. Selain itu, One Health, yang menghubungkan antara manusia, hewan, dan lingkungan, dapat membantu mengatasi cakrawala penuh pengendalian penyakit - mulai dari pencegahan penyakit hingga deteksi, kesiapsiagaan, respons, dan manajemen - dan untuk meningkatkan dan mempromosikan kesehatan dan keberlanjutan.


Pendekatan ini dapat diterapkan di tingkat komunitas, subnasional, nasional, regional, dan global, dan bergantung pada tata kelola, komunikasi, kolaborasi, dan koordinasi bersama dan efektif. Dengan diterapkannya pendekatan One Health, akan lebih mudah bagi orang untuk lebih memahami manfaat tambahan, risiko, pertukaran, dan peluang untuk memajukan solusi yang adil dan holistik.

 

Melalui energi gabungan dari empat organisasi, Rencana Aksi Global untuk One Health sedang dikembangkan, didukung dan disarankan oleh OHHLEP. Rencana ini bertujuan untuk mengarusutamakan dan mengoperasionalkan One Health di tingkat global, regional, dan nasional; mendukung negara-negara dalam menetapkan dan mencapai target dan prioritas nasional untuk intervensi; memobilisasi investasi; mempromosikan pendekatan seluruh masyarakat dan memungkinkan kolaborasi, pembelajaran, dan pertukaran lintas wilayah, negara, dan sektor.

 

Karena kami mengakui pentingnya pendekatan One Health dan menyambut baik definisi OHHLEP One Health, Tripartit dan UNEP akan terus mengoordinasikan dan mengimplementasikan kegiatan One Health sejalan dengan semangat definisi OHHLEP baru tentang One Health.

 

SUMBER:

Joint Tripartite (FAO, OIE, WHO) and UNEP Statement Tripartite and UNEP support OHHLEP’s definition of “One Health”.  https://www.oie.int/en/tripartite-and-unep-support-ohhleps-definition-of-one-health/

Friday, 26 November 2021

Penularan Schistosoma Japonicum


Risiko Penularan Schistosoma Japonicum


Chistosomiasis atau demam keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing genus Schistosoma (Miyazaki, 1991). Terdapat lima jenis schistosoma penyebab paling banyal kasus chistosomiasis pada orang, yaitu Schistosoma hematobium menginfeksi saluran kemih, Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum, Schistosoma mekongi, dan Schistosoma intercalatum yang menginfeksi usus dan hati, serta Schistosoma mansoni yang menyebar luas di Afrika dan satu-satunya schistosome di wilayah barat.

 

Schistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum biasanya menetap di dalam pembuluh darah kecil pada usus. Beberapa telur mengalir dari usus melalui aliran darah menuju ke hati, yang berakibat terjadinya peradangan hati sehingga bisa menyebabkan luka parut dan meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah yang membawa darah antara saluran usus dan hati (pembuluh darah portal). Tekanan darah tinggi di dalam pembuluh darah portal (hipertensi portal) bisa menyebabkan pembesaran pada limpa dan pendarahaan dari pembuluh darah di dalam kerongkongan.

 

Di Indonesia, schistosomiasis disebabkan oleh Schistosoma japonicum ditemukan endemik di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di Dataran Tinggi Lindu dan Dataran Tinggi Napu. Secara keseluruhan penduduk yang berisiko tertular schistosomiasis (population of risk) sebanyak 15.000 orang. Pemberantasan schistosomiasis telah dilakukan sejak tahun 1974 dengan berbagai metoda yaitu pengobatan penderita dengan Niridazole dan pemberantasan siput penular (O.h. lindoensis) dengan molusisida dan agroengineering.

 

Schistosomiasis merupakan penyakit  menular, dengan media penularan melalui air. Seseorang dapat terjangki schistosomiasis melalui kulit dalam bentuk cercaria yang mempunyai ekor berbentuk seperti kulit manusia, parasit tersebut mengalami transformasi dengan cara membuang ekornya dan berubah menjadi cacing. Kemudian cacing ini menembus jaringan bawah kulit dan memasuki pembuluh darah masuk jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati. Di dalam hati cacing ini tumbuh menjadi dewasa dalam bentuk jantan dan betina. Pada tingkat ini, tiap cacing betina memasuki celah tubuh cacing jantan dan tinggal di dalam hati orang yang dijangkiti untuk selamanya. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing Schistosoma bersama-sama pindah ke tempat tujuan terakhir yakni pembuluh darah usus kecil yang merupakan tempat persembunyian bagi pasangan cacing Schistosoma sekaligus tempat bertelur.

 

Menurut Kasnodiharjo (1994), pada umumnya orang yang beresiko menderita schistosomiasis adalah mereka yang mempunyai kebiasaan yang tidak terpisahkan dari air. Seringnya kontak dengan perairan atau memasuki perairan yang terinfeksi parasit Schistosoma menyebabkan meningkatnya penderita schistosomiasis di dalam masyarakat. Sementara menurut Olds & Dasarathy (2001), beberapa pekerjaan yang mempunyai risiko besar untuk terinfeksi Schistosoma di daerah endemis yaitu petani, nelayan dan pekerja irigasi. Kebiasaan masyarakat mencuci atau melakukan aktivitas rumah tangga lainnya di dalam air juga mempunyai risiko tinggi terinfeksi Schistosoma.

 

Beberapa variabel yang mempengaruhi penularan schistosomiasis antara lain faktor manusia, faktor cacing Schistosoma japonicum, faktor keong Oncomelania hupensis lindoensis sebagai hospes perantara, serta faktor tikus (Rattus) sebagai reservoir Schistosoma japonicum.

 

Faktor  Manusia

Menurut Kasnodiharjo (1994), secara epidemiologi penularan schistosomiasis tidak terpisahkan dari faktor perilaku atau kebiasaan manusia. Pada umumnya orang yang menderita schistosomiasis adalah mereka yang mempunyai kebiasaan yang tidak terpisahkan dari air. Seringnya kontak dengan perairan atau memasuki perairan yang terinfeksi parasit Schistosoma menyebabkan meningkatnya penderita schistosomiasis di dalam masyarakat.

 

Schistosomes berkembang biak di dalam keong jenis khusus yang menetap di air, dimana mereka dilepaskan untuk berenang bebas di dalam air. Jika mereka mengenai kulit seseorang, mereka masuk ke dalam dan bergerak melalui aliran darah menuju paru-paru, dimana mereka menjadi dewasa menjadi cacing pita dewasa. Cacing pita dewasa tersebut masuk melalui aliran darah menuju tempat terakhir di dalam pembuluh darah kecil di kandung kemih atau usus, dimana mereka tinggal untuk beberapa tahun. Cacing pita dewasa tersebut meletakkan telur-telur dalam jumlah besar pada dinding kandung kemih atau usus. Telur-telur tersebut menyebabkan jaringan setempat rusak dan meradang, yang menyebabkan borok, pendarahan, dan pembentukan jaringan luka parut. Beberapa telur masuk ke dalam kotoran(tinja)atau kemih. Jika kemih atau kotoran pada orang yang terinfeksi memasuki air bersih, telur-telur tersebut menetas, dan parasit memasuki keong untuk mulai siklusnya kembali.

 

Masa Inkubasi penyakit ini dimulai ketika schistosomes pertama kali memasuki kulit, ruam yang gatal bisa terjadi (gatal perenang). Sekitar 4 sampai 8 minggu kemudian (ketika cacing pita dewasa mulai meletakkan telur), demam, panas-dingin, nyeri otot, lelah, rasa tidak nyaman yang samar (malaise), mual, dan nyeri perut bisa terjadi. Batang getah bening bisa membesar untuk sementara waktu, kemudian kembali normal. kelompok gejala-gejala terakhir ini disebut demam katayama.

 

Sedangkan gejala-gejala lain bergantung pada organ-organ yang terkena:

Jika pembuluh darah pada usus terinfeksi secara kronis : perut tidak nyaman, nyeri, dan pendarahan (terlihat pada kotoran), yang bisa mengakibatkan anemia.

Jika hati terkena dan tekanan pada pembuluh darah adalah tinggi : pembesaran hati dan limpa atau muntah darah dalam jumlah banyak.

Jika kandung kemih terinfeksi secara kronis : sangat nyeri, sering berkemih, kemih berdarah, dan meningkatnya resiko kanker kandung kemih.

Jika saluran kemih terinfeksi dengan kronis : peradangan dan akhirnya luka parut yang bisa menyumbat saluran kencing.

Jika otak atau tulang belakang terinfeksi secara kronis (jarang terjadi) : Kejang atau kelemahan otot.

 

Menurut WHO (1985), prevalensi tinggi infeksi S. japonicum dapat ditemukan pada semua kelompok umur di atas umur 6 tahun. Sementara menurut Jiang et al ( 1997), di daerah endemis, prevalensi dan intensitas infeksi tertinggi terjadi pada anak remaja, umur 10 -16 tahun (Olds & Dasarathy, 2001). Pada kelompok umur 18 – 49 tahun infeksi terjadi ketika melakukan aktivitas rumah tangga dan pada saat bekerja.

 

Menurut Olds & Dasarathy (2001), beberapa pekerjaan yang mempunyai risiko besar untuk terinfeksi Schistosoma di daerah endemis yaitu petani, nelayan dan pekerja irigasi. Kebiasaan masyarakat mencuci atau melakukan aktivitas rumah tangga lainnya di dalam air juga mempunyai risiko tinggi terinfeksi Schistosoma.. Pada umumnya laki-laki mempunyai prevalensi dan intensitas schistosomiasis yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, mungkin ini disebabkan karena laki-laki lebih sering terpapar dengan daerah fokus dan juga lebih sering kontak dengan air.

 

Faktor Cacing Schistosoma Japonicum

Schistosomiasis di Indonesia disebabkan oleh cacing Schistosoma Japonicum
yang termasuk ke dalam Filum Platyhelminthes, Kelas Trematoda, Ordo Prosostomata, Family Schistosomatoidea, Genus Schistosoma. Cacing dewasa hidup dalam vena mesenterika superior serta cabang¬cabangnya, akan tetapi dapat pula di dalam vena mesenterika inferior, vena porta atau di tempat ektopik lainnya (Hadidjaja, 1985).

Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman berukuran 9,5 9,5 mm x ,9 mm. Badannya berbentuk bundar gemuk. Di bagian ventral badan terdapat canalis gynaecophorus tempat terletak cacing betina sehingga seolah-olah cacing betina ada di dalam pelukan cacing jantan (Ichhpujani & Bhatia, 1998).

 

Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16 26 mm x 0,3 mm. Ovarium terdapat di bagian tengah badan. Pada umumnya uterus berisi 50 300 butir telur pada waktu tertentu.  Batil isap perut berukuran 0,35 mm diameter dan batil isap mulut 0,3 mm diameter. Permukaan badannya licin, hanya pada bagian pinggir canalis gynaecophorus dan bagian dalam kedua batil isap terdapat tonjolan-tonjolan kecil. Pada bagian anterior terdapat 7 buah testis berbentuk lonjong, berjejeran secara longitudinal (Hadidjaja, 1985).

 

Telur berbentuk lonjong dan lebih pendek, berwarna kuning kelabu, berukuran 70 100 x 60 60µ, kadang-kadang ada tonjolan kecil pada bagian lateral. Telur ditemukan di dalam tinja dan di dalam air menetas dan keluarlah mirasidium. Mirasidium berkembang menjadi sporokista I yang berukuran 2 mm dan sporokista II berukuran 1mm yang kemudian membentuk cercaria. Sedangkan cercaria bentuknya lonjong, berukuran 16898ji x 53    5ji. Mempunyai ekor bercabang yang berukuran 137 18 2ji x 23 30ji. Cabangnya berukuran 76 99ji x 6,4 8,0 ji. Badan cercaria mempunyai 5 pasang kelenjar, dua pasang bergranula kasar, sedangkan 3 pasang yang di posterior mengandung granula halus .

 

Faktor Keong Oncomelania hupensis lindoensis

Keong Oncomelania hupensis lindoensis berperan sebagai hospes perantara penyakit ini. Keong Oncomelania hupensis lindoensis merupakan subspesies dari filum Mollusca, kelas Gastropoda, genus Oncomelania, spesies Oncomelania hupensis. Menurut WHO (2005), pada dasarnya setiap spesies cacing Schistosoma memerlukan siput tertentu yang sesuai untuk perkembangan larva cacing Schistosoma. Untuk S. japonicum memerlukan siput Oncomelania yang merupakan siput amfibi karena dapat hidup di darat dan di air.

Warna badan pada Oncomelania hupensis lindoensis bervariasi dari warna hitam, kelabu sampai coklat. Kelenjar di sekitar mata yang disebut eyebrows berwarna kuning muda sampai kuning jeruk.  Sedangkan cangkang keong berbentuk kerucut, permukaan licin berwarna coklat kekuning-kuningan dan agak jernih bila dibersihkan dan terdiri dari 6,5 7,5 lingkaran (pada bentuk dewasa). Panjangnya 5,2 ± 0,6 mm dengan umbilikus yang terbuka, varix-nya lemah, bibir luar melekuk dan bibir bagian dalam menonjol di bawah basis cangkang. Panjang dan lebar aperture adalah 2,38 dan 1,75 mm, diameter lingkar terakhir adalah 0,34 mm. Perbedaan cangkang keong jantan dan betina terletak pada perbandingan ukuran panjang yang lebih pendek dari pada ukuran lebar. Operkulum mengandung zat tanduk, agak keras dan paucispiral (Hadidjaja, 1985).

 

Faktor Tikus (Rattus)

Faktor Tikus (Rattus) ini berperan sebagai  reservoir Schistosoma japonicum. Menurut Sudono (2008), schistosomiasis di Indonesia selain menginfeksi manusia juga menginfeksi hewan mamalia. Ada 13 mamalia yang diketahui terinfeksi oleh schistosomiasis antara lain sapi, kerbau, kuda, anjing, babi, musang, rusa dan berbagai jenis tikus diantaranya Rattus exulans, R. marmosurus, R. norvegicus dan R. pallelae. Sementara menurut (Hadidjaja (1985), penangkapan tikus dengan perangkap terutama mengenai jenis Rattus di daerah Danau Lindu menunjukkan lima spesies tikus yaitu Rattus exulans, R. hoffmani, R. penitus, R. marmosurus dan R. hellmani mengandung infeksi cacing S. japonicum dengan infection rate rata-rata 25%.

 

Surveilans Schistoma japonicum

Surveilans schistosomiasis merupakan aspek yang paling penting dalam program pemberantasan schistosomiasis. Tujuan dari surveilans untuk mendapatkan informasi jumlah kasus, keberadaan hospes perantara dan reservoir. Surveilans schistosomiasis yang dilakukan antara lain :

 

Survei tinja: Survei tinja dilakukan untuk menemukan penderita secara dini. Jika ditemukan penduduk positif telur dalam tinjanya, diberikan pengobatan untuk mencegah perkembangan penyakiy serta mengurangi resiko penularan dengan pengendalian pada aspek pelepasan telur oleh cacing.

 

Survei keong: Survei ini dilakukan untuk mencari keong di daerah yang dicurigai sebagai habitat yang cocok untuk kehidupan keong oncomelania hupensis lindoensis. Jika ditemukan keong, dilakukan manipulasi lingkungan di daerah tersebut seperti dengan melakukan pengeringan agar keong tidak dapat hidup, atau dengan kegiatan moluskisida.

 

Survei reservoir: Survei reservoir dilakukan untuk menangkap tikus. Selanjutnya dilakukan pembedahan pada tikus untuk memastikan terdapat cacing Schistosoma atau tidak. Jika ditemukan cacing pada tikus, dapat disimpulkan masih terjadi resiko penularan pada daerah tersebut.

 

DAFRAR PUSTAKA

1.    Miyazaki, I. 1991. An Illustrated Book of Helminthic Zoonosis; Jiang, Z. et al, .1997. Analysis of social factors and human behavior attributed to family distribution of schistosomiasis japonica cases;

2.   Kasnodiharjo. 1994. Penularan Schistosomiasis dan Penanggulangannya Pandangan dari Ilmu Perilaku;

3.      Ichhpujani, R.L. & Rajesh Bhatia. 1998. Medical Parasitolgy;

4.       Olds, G.R. & S. Dasarathy. 2001. Schistosomiasis;

5.       WHO. 1985. The Control of Schistosomiasis.