Beberapa Refleksi Kegagalan KTT di Pattaya
Pada bulan April lalu,
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Plus Three (APT), KTT Asia Timur (EAS),
serta pertemuan terkait ASEAN lainnya dibatalkan meskipun seluruh pemimpin
negara peserta telah tiba di lokasi konferensi di Pattaya, Thailand. Pembatalan
ini terjadi setelah serangkaian penundaan sejak pertama kali ditangguhkan pada
Desember 2008. Keputusan untuk membatalkan pertemuan diambil setelah para
pengunjuk rasa anti-pemerintah menyerbu lokasi konferensi—suatu kejadian yang
belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah ASEAN. Meskipun demikian,
satu-satunya pertemuan yang tetap berlangsung adalah KTT Trilateral
Jepang-Tiongkok-Korea Selatan (ROK) yang diadakan di lokasi berbeda, yang
setidaknya memberikan sedikit penghiburan atas peristiwa tersebut.
Kekacauan di Pattaya
jelas merupakan kejadian di luar kendali (force majeure) yang dipicu oleh
dinamika politik dalam negeri Thailand. Namun, peristiwa ini terjadi di tengah
latar belakang peristiwa sebelumnya, yaitu mulai berlakunya Piagam ASEAN.
Awalnya, ASEAN berencana merayakan momentum tersebut dalam KTT yang akan
diadakan di Thailand pada Desember 2008, tetapi akhirnya perayaan tersebut
dialihkan ke Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN yang diadakan di Jakarta pada
bulan yang sama. Sementara itu, KTT ASEAN sendiri baru dapat diselenggarakan
pada akhir Februari 2009 dan pada 1 Maret menghasilkan Deklarasi Cha Am-Hua
Hin tentang Peta Jalan Komunitas ASEAN (2009-2015).
Pemerintah Thailand
telah berupaya keras untuk menjadwal ulang dan merelokasi KTT APT, EAS, serta
pertemuan lainnya, tetapi upaya tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Harus diakui bahwa momentum pembangunan komunitas Asia Timur dalam kerangka APT
dan ASEAN Plus Six mengalami hambatan hingga tingkat tertentu. Selain itu,
sesuai dengan ketentuan dalam Piagam ASEAN, mulai tahun ini masa jabatan Ketua
ASEAN diubah menjadi berdasarkan tahun kalender. Dengan demikian, pemerintah
Thailand akan tetap memegang posisi Ketua ASEAN, yang sebelumnya diserahkan
oleh Singapura, selama periode 18 bulan hingga Desember 2009. Hal ini berarti
bahwa waktu dan prospek keberhasilan penyelenggaraan KTT ASEAN, KTT ASEAN+3,
dan KTT Asia Timur sangat bergantung pada perkembangan politik domestik di
Thailand.
Dalam situasi
tersebut, wajar jika muncul kekhawatiran dari beberapa anggota utama ASEAN,
seperti Indonesia—yang merupakan tempat Sekretariat ASEAN dan memiliki
kepentingan khusus serta tanggung jawab terhadap kelangsungan organisasi
ASEAN—bahwa penyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi ASEAN tidak boleh terus-menerus
bergantung pada gejolak politik negara Ketua ASEAN saat ini, yaitu Thailand.
Oleh karena itu, muncul gagasan agar ASEAN bersikap lebih fleksibel dalam
menentukan lokasi pertemuan, termasuk mempertimbangkan Jakarta sebagai
alternatif jika diperlukan, mengingat Sekretariat ASEAN berada di sana. Namun,
hingga saat ini, ASEAN menolak opsi tersebut.
Di kawasan ini, telah
terbentuk konsensus bahwa ASEAN harus berada di posisi pengendali
("driver’s seat") dalam upaya membangun komunitas regional. Namun,
perkembangan terbaru mungkin menuntut peninjauan ulang terhadap pandangan
tersebut. Sementara itu, KTT Trilateral Jepang-Tiongkok-Korea Selatan yang
pertama berhasil diselenggarakan di Fukuoka pada Desember 2008 di luar kerangka
KTT ASEAN, yang menjadi contoh penting dari upaya kerja sama regional yang
dilakukan secara mandiri tanpa keterlibatan ASEAN.
Pada 27 April, Menteri
Luar Negeri Jepang, Nakasone Hirofumi, mengundang seluruh duta besar negara
peserta KTT EAS ke sebuah resepsi di Tokyo, di mana ia menjelaskan pidato
kebijakan Perdana Menteri Jepang, Aso Taro, yang sebenarnya telah disiapkan
untuk KTT di Pattaya. Pidato tersebut membahas kontribusi Jepang bagi Asia
dalam menghadapi krisis ekonomi dan keuangan global saat ini. Selain itu, dalam
pertemuan tahunan Trilateral Commission yang baru-baru ini diadakan di
Tokyo, seorang delegasi dari Tiongkok menyampaikan gagasan baru dengan
menekankan pentingnya memperkuat kerja sama regional di antara negara-negara
ASEAN Plus Six. Sementara itu, di Amerika Serikat, Kurt M. Campbell telah
dinominasikan sebagai Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Asia Timur dan
Pasifik, yang menandakan adanya perubahan kebijakan diplomasi AS serta
perhatian baru terhadap inisiatif Asia Timur.
Dengan berbagai
dinamika yang terus berkembang di kawasan, sementara kerja sama regional
antarnegara ASEAN tampak mengalami stagnasi, semakin besar harapan agar para
pejabat pemerintah, akademisi, dan pemimpin bisnis dari negara-negara ASEAN
Plus Six, Amerika Serikat, serta negara lain yang memiliki kepentingan, dapat
secara aktif mengeksplorasi inisiatif baru untuk kerja sama regional.
Diharapkan pula mereka dapat menghasilkan gagasan-gagasan segar melalui
pertukaran pandangan yang jujur dan konstruktif.
SUMBER :
ISHIGAKI Yasuji.
Some Reflections on Aborted Summit in Pattaya. Delegate for Japan to AALCO. Former
Professor of Tokai University. "CEAC Commentary", June 26, 2009.