Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 24 April 2025

Mulai 1 Januari 2025! SIMREK Ditjen PKH Wajib Gunakan NPWP 16 Digit — Cek Data Anda Sekarang!

 


Wajib NPWP 16 Digit Mulai 1 Januari 2025: Pastikan Data Anda Sudah Sesuai!


Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) mengimbau seluruh pelaku usaha di sektor peternakan untuk segera menyesuaikan penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi format 16 digit. Ketentuan ini akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025 sesuai kebijakan nasional dari Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.

 

Sebagai bentuk dukungan terhadap transisi ini, Ditjen PKH telah melakukan proses pemadanan data NPWP dari 15 digit ke 16 digit berdasarkan informasi resmi dari Direktorat Jenderal Pajak. Pelaku usaha dapat memeriksa hasil pemadanan tersebut langsung melalui menu Dashboard pada sistem layanan Ditjen PKH.

 

Apabila ditemukan perbedaan data atau hal-hal yang memerlukan klarifikasi, pelaku usaha dapat segera menghubungi Ditjen PKH melalui email resmi: yanrekditjenpkh@pertanian.go.id. Komunikasi yang aktif dari pihak pelaku usaha sangat Ditjen PKH harapkan demi kelancaran proses ini.

 

Layanan Informasi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

 

Ditjen PKH menyediakan berbagai layanan yang dapat diakses oleh pelaku usaha sesuai kebutuhan, mulai dari layanan rekomendasi hingga layanan teknis di bidang kesehatan hewan dan pakan. Berikut adalah daftar unit layanan Ditjen PKH beserta kontak yang dapat dihubungi:

1.     Subbag Layanan Rekomendasi
yanrekditjenpkh@pertanian.go.id
(021) 7815380 Ext. 4713 / (021) 7801513

2.     Direktorat Kesehatan Hewan

o    Subdit Perlindungan Hewan: perlindungan.hewan@pertanian.go.id | (021) 7815383 ext. 4925

o    Subdit Pengawasan Obat Hewan: obathewanid@gmail.com | (021) 7812938 / ext. 4919

3.     Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner

o    Subdit Sanitary dan Standardisasi: sskesmavet@pertanian.go.id | WA Center: 081323453355

4.     Direktorat Pakan

o    Subdit Bahan Pakan: bp.pakan@pertanian.go.id / subditbahanpakan@gmail.com | (021) 7815383 ext. 4806

5.     Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak

o    Subdit Ruminansia Potong: ruminansiapotong@gmail.com | (021) 7815781

o    Subdit Ruminansia Perah: subdit.perah@yahoo.co.id | 081290315384

o    Subdit Pengelolaan Sumber Daya Genetik Hewan: pengelolaan.sdgh@gmail.com | 085379006999

o    Subdit Unggas dan Aneka Ternak: bibitnr@yahoo.com | 085766193788

 

Layanan tatap muka tersedia di Gedung C, Lantai 7, Kantor Pusat Kementerian Pertanian, dengan jam operasional:
Senin–Ditjen PKHs: 08.00 – 15.30 WIB
Jumat: 08.00 – 16.00 WIB
Istirahat: Senin–Ditjen PKHs pukul 12.00–13.00 WIB, Jumat pukul 11.30–13.00 WIB

 

Hati-hati dalam Menggunakan Materai!


Ditjen PKH juga mengingatkan bahwa dalam proses layanan perizinan atau rekomendasi, pemateraian (baik menggunakan materai tempel maupun e-Materai) hanya diperbolehkan satu kali untuk setiap dokumen. Penggunaan materai yang sama pada dokumen yang berbeda berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai dan dapat dikenakan sanksi pidana.

Pastikan setiap dokumen Anda dilengkapi materai dengan benar dan tidak digunakan ulang untuk menghindari risiko hukum.

 

SUMBER:

https://simrek.ditjenpkh.pertanian.go.id/


#SIMREK

#NPWP16Digit

#DitjenPKH

#LayananPublik

#Peternakan




Sunday, 20 April 2025

Rahasia Kedekatan dengan Allah Swt

 

Makna Kedekatan kepada Allah dalam Renungan Al-Ghazali

 

Setiap insan pasti pernah merasakan rindu—rindu akan ketenangan, kedamaian, dan makna hidup yang lebih dalam. Dalam tradisi Islam, kerinduan ini terarah kepada satu tujuan utama: kedekatan dengan Allah. Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar dan sufi terkemuka, menyelami makna kedekatan ini dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Menurutnya, kedekatan kepada Allah bukan soal jarak fisik, melainkan soal hati dan jiwa yang melekat erat kepada-Nya.

 

Kedekatan yang Bermula dari Hati

 

Bagi Al-Ghazali, inti dari kedekatan kepada Allah terletak pada hati yang bersih. Hati yang dipenuhi iri, sombong, atau rasa pamer akan sulit merasakan kehadiran-Nya. Oleh karena itu, langkah pertama untuk mendekat kepada Allah adalah dengan menyucikan diri—membersihkan hati dari penyakit-penyakit batin melalui tazkiyah al-nafs.

 

Kedekatan juga bisa diraih melalui keikhlasan. Al-Ghazali menegaskan bahwa setiap amal harus dilakukan semata-mata karena Allah, bukan demi pujian manusia. Niat yang tulus adalah pintu utama menuju ridha dan kasih sayang-Nya.

 

Dzikir: Jembatan yang Menghubungkan Hati dan Langit

 

Salah satu cara paling indah untuk menjaga kedekatan dengan Allah adalah dengan berdzikir, yaitu mengingat-Nya secara terus-menerus. Bukan hanya dzikir di lisan, tetapi juga dzikir di hati—merenungi kebesaran-Nya dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap detik kehidupan. Menurut Al-Ghazali, dzikir yang dilakukan dengan penuh kesadaran akan menjaga hati tetap hidup dan lembut, serta menjadi pengingat bahwa Allah selalu dekat dengan kita, lebih dekat dari urat leher sendiri.

 

Ibadah: Jalan Utama Menuju Kedekatan

 

Ibadah merupakan wujud cinta dan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Shalat, sebagai tiang agama, menjadi sarana utama untuk berbicara langsung kepada Allah. Saat seorang Muslim shalat dengan khusyuk, ia seakan berada di hadapan Sang Pencipta. Begitu pula puasa, yang bukan sekadar menahan lapar, tetapi latihan spiritual untuk menumbuhkan takwa dan menguatkan hubungan dengan Allah.

 

Ibadah-ibadah sunnah seperti shalat malam dan sedekah juga memiliki peran besar dalam menumbuhkan kedekatan. Saat dunia terlelap, dan seorang hamba memilih bermunajat dalam hening malam, di situlah kedekatan yang tulus lahir. Begitu juga saat seseorang memberi kepada yang membutuhkan dengan hati yang ringan, ia sedang memperkuat ikatan cinta antara dirinya dan Allah.

 

Ilmu: Cahaya yang Menuntun Jiwa Mendekat

 

Menurut Al-Ghazali, tidak akan mungkin seseorang mencintai Allah tanpa mengenal-Nya. Oleh karena itu, mencari ilmu, khususnya ilmu tentang Allah dan ajaran-Nya, adalah salah satu bentuk pendekatan diri yang utama. Mengenal sifat-sifat Allah, memahami isi Al-Qur’an, serta memperdalam hadits akan membentuk pemahaman spiritual yang lebih kokoh.

 

Tak kalah penting, ilmu mendorong kita untuk tafakur—merenungi ciptaan Allah dan mengambil pelajaran dari kehidupan. Dengan cara ini, setiap pengalaman, bahkan yang paling sederhana, bisa menjadi cermin yang memantulkan kebesaran-Nya.

 

Akhlak: Cerminan Kedekatan dengan Allah

 

Hati yang dekat dengan Allah akan tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Al-Ghazali menyebutkan bahwa orang yang sabar, jujur, amanah, dan selalu bersyukur adalah orang yang hatinya telah tersambung dengan Allah. Akhlak yang baik bukan hanya memperindah hubungan antar manusia, tapi juga menjadi bukti nyata dari hubungan yang erat dengan Sang Pencipta.

 

Menjaga adab saat beribadah, seperti khusyuk dalam shalat dan membaca Al-Qur’an dengan penuh penghayatan, adalah bentuk penghormatan kepada Allah. Ini juga menunjukkan betapa serius dan dalamnya cinta seorang hamba kepada Tuhannya.

 

Sujud: Puncak Kedekatan Seorang Hamba

 

Dalam satu ayat indah, Allah berfirman:

"Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)." (QS. Al-‘Alaq: 19)

Sujud adalah saat di mana manusia meletakkan bagian paling mulia dari tubuhnya, wajah, di atas tanah. Ia menjadi simbol kerendahan, ketulusan, dan pengakuan akan kebesaran Allah. Al-Ghazali menjelaskan bahwa saat sujud, hati seorang hamba sedang berada dalam kondisi paling dekat dengan Allah. Tak heran, sujud menjadi momen terbaik untuk berdoa, memohon, dan merasakan kehadiran-Nya.

 

Bahkan di luar shalat, sujud tetap memiliki makna yang dalam. Sujud syukur atau sujud saat mendengar ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an menjadi bentuk spontanitas cinta dan pengagungan kepada Allah.

 

Ketenangan yang Mengalir dari Kedekatan

 

Kedekatan dengan Allah bukan hanya memberi makna dalam ibadah, tapi juga menghadirkan ketenangan dalam hidup. Hati yang dekat dengan-Nya akan lebih kuat menghadapi ujian, lebih ringan menjalani hari, dan lebih mudah bersyukur atas nikmat yang ada.

 

Imam Al-Junaid pernah berkata, "Sesungguhnya Allah mendekati hati hamba sejauh kedekatan mereka kepada-Nya. Lihatlah apa yang dekat dari hatimu." Artinya, sejauh mana kita mendekat kepada Allah, sejauh itu pula Allah akan mendekati kita. Maka periksalah hatimu—apa yang paling dekat di dalamnya? Apakah dunia, ataukah Allah?

 

Menyemai Kedekatan Setiap Hari

 

Kedekatan kepada Allah bukan sesuatu yang terjadi secara instan, melainkan buah dari proses panjang yang dijalani dengan kesungguhan hati. Setiap doa yang lirih dipanjatkan, setiap air mata yang jatuh dalam sujud, setiap pilihan hidup yang didasarkan pada nilai kebaikan—semua itu adalah langkah-langkah kecil menuju kedekatan sejati.

 

Kita tidak perlu menunggu waktu-waktu tertentu untuk merasa dekat kepada Allah. Justru dalam aktivitas harian—bekerja, belajar, mengasuh anak, melayani orang tua, dan berbuat baik kepada sesama—di sanalah kita dapat menghadirkan Allah dalam setiap niat dan tindakan. Kedekatan bukan soal tempat atau waktu, melainkan kesadaran hati yang terus terhubung kepada-Nya.

 

Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya muraqabah (merasa diawasi oleh Allah) dalam menjaga kedekatan. Ketika hati senantiasa sadar bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka akan muncul rasa malu untuk berbuat salah, sekaligus dorongan kuat untuk terus memperbaiki diri.

 

Saatnya Bertanya pada Diri

 

Kini, mari kita bertanya pada diri sendiri:

 

Apakah aku sudah merasa dekat dengan Allah?

 

Jika belum, bukan berarti terlambat. Pintu kedekatan itu selalu terbuka, kapan saja kita ingin mengetuknya.

 

Mulailah dengan langkah kecil—mungkin dengan memperbanyak istighfar, memperbaiki salat, membaca Al-Qur’an meski hanya satu ayat sehari, atau meluangkan waktu untuk merenung dan bersyukur. Jangan pernah meremehkan amalan kecil yang dilakukan dengan ikhlas, karena bisa jadi justru dari situlah jalan kedekatan kita kepada-Nya terbuka lebar.

 

Penutup: Kedekatan yang Mengubah Segalanya

 

Ketika seseorang benar-benar dekat dengan Allah, maka hidupnya akan berubah. Ia menjadi lebih tenang dalam menghadapi ujian, lebih bijak dalam menyikapi dunia, dan lebih ringan dalam berbuat kebaikan. Kedekatan itu menghadirkan makna, arah, dan kekuatan yang tidak bisa digantikan oleh apa pun di dunia ini.

 

Mari terus menyemai kedekatan itu setiap hari, agar saat dunia terasa gelap, hati kita tetap terang oleh cahaya-Nya.

 

"Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta; barangsiapa mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa."

(Hadis Qudsi)

 

SUMBER REFERENSI

Dr. Sanusi Syarif, M.Si. 2024. Makna Kedekatan Menurut Al Ghazali. Tintasiyasi

https://www.tintasiyasi.id/2024/06/makna-kedekatan-menurut-al-ghazali.html

Kearifan di Balik Tradisi Halal Bihalal

 



 Makna dan Kearifan di Balik Tradisi Halal Bihalal

 

Halal bihalal adalah sebuah tradisi yang unik di Indonesia, yang bahkan tidak dikenal oleh bangsa Arab, meskipun istilahnya menggunakan bahasa Arab. Tradisi ini bukan sekadar seremonial, melainkan sarat makna dan bernilai tinggi dalam konteks keagamaan maupun kebudayaan. Inti dari halal bihalal adalah silaturahmi, atau mempererat tali persaudaraan. Lalu, apakah silaturahmi ini memiliki dasar dalam ajaran Islam? Tentu saja. Nabi Muhammad bersabda, “Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rezekinya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.”

 

Dengan demikian, meskipun istilah "halal bihalal" tidak dikenal pada masa Nabi, praktiknya sejalan dengan ajaran Islam dan memiliki payung hukum dalam bentuk silaturahmi. Selain sebagai bagian dari ajaran agama, halal bihalal juga merupakan bentuk kearifan lokal. Dalam studi-studi yang dilakukan oleh Kementerian Agama, ditemukan bahwa kearifan lokal ini merupakan salah satu dari empat pilar moderasi beragama. Perlu ditegaskan, ini bukan "moderasi agama" melainkan "moderasi dalam beragama". Agama tidak perlu dimoderasi, tetapi cara kita mempraktikkannya yang perlu dimoderasi agar tidak ekstrem.

 

Terdapat dialog para ulama dan habaib di Maluku. Salah satu dari mereka berkata, “Masa agama dimodernkan?” Maka perlu dijelaskan bahwa bukan agamanya yang dimoderasi, melainkan cara kita dalam beragama. Islam bukan hanya soal penyelamatan diri (seperti istilah salim atau salamah), melainkan juga menyelamatkan lingkungan sekitar. Inilah esensi seorang muslim, yakni orang yang selamat dan membawa keselamatan bagi sekitarnya.

 

Empat konsensus dalam moderasi beragama mencakup: (1) komitmen kebangsaan—yaitu setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika; (2) toleransi; (3) anti-kekerasan; dan (4) penerimaan terhadap kearifan lokal selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Maka, halal bihalal ini menjadi praktik yang memadukan ajaran agama dan kearifan lokal secara harmonis.

 

Halal bihalal juga memberi ruang bagi setiap orang untuk berkontribusi. Wali kota yang hadir mungkin membawa program untuk kemaslahatan publik. Ulama bisa menyampaikan nasihat yang menyejukkan hati. Orang kaya bisa tergerak berbagi. Maka dari itu, halal bihalal menjadi ajang pembentukan komunitas yang saling melengkapi dan mengandung maslahat, tergantung pada siapa yang hadir dan bagaimana mereka berkontribusi.

 

Meskipun istilah “halal bihalal” tidak muncul di masa Nabi, bukan berarti ia tidak memiliki makna religius. Ia merupakan bentuk lain dari ajaran kebaikan yang dibingkai dalam budaya. Bahkan dalam kajian bahasa Arab, istilah ini memiliki makna yang menarik. Halal bihalal terdiri dari dua kata yang diulang tanpa menggunakan alif lam. Dalam kaidah bahasa Arab, jika kata yang diulang tidak memakai alif lam, maka artinya berbeda antara yang pertama dan yang kedua. Halal yang pertama bisa berarti permintaan untuk dihalalkan, sedangkan halal yang kedua berarti pemberian maaf. Artinya, "saya minta dimaafkan, dan saya memaafkan".

 

Dalam konteks sosial, halal bihalal bukan berbicara tentang hukum halal-haram secara fikih (hukum taklifi), tetapi tentang relasi sosial dan moral. Kita saling memaafkan bukan hanya karena kesalahan yang kita lakukan, tetapi juga karena kesalahan orang lain yang mungkin menyakiti kita. Itulah makna sosial dari halal bihalal.

 

Lebih jauh, kata “halal” sendiri dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan usaha yang terus-menerus. Dalam surat Al-Baqarah, misalnya, Allah berfirman, “Wahai manusia (ya ayyuhannas)...” Ketika Allah menggunakan kata annas, yang dimaksud adalah manusia sebagai makhluk sosial, berbeda dengan kata insan, basyar, atau Bani Adam yang memiliki makna berbeda. Maka, halal—dalam konteks muamalah dan interaksi sosial—menjadi penting karena kita hidup dalam jejaring sosial yang saling terhubung dan saling membutuhkan.

 

Ketika kita membahas silaturahmi dalam sejarah Islam, kita tidak bisa melewatkan peristiwa monumental antara kaum Muhajirin dan Anshar. Ketika Rasulullah membentuk masyarakat Madinah, beliau menyatukan dua kelompok yang berbeda latar belakang: kaum pendatang (Muhajirin) dan tuan rumah (Anshar). Apa yang menyatukan mereka? Cinta. Mahabbah. Maka, masyarakat Madinah yang dibentuk Rasulullah adalah masyarakat cinta.

 

Kementerian Agama kini tengah menggagas kurikulum cinta. Tujuannya, agar meskipun umat beragama memiliki perbedaan dalam paham teologis, mereka tetap satu dalam kemanusiaan. Kita mungkin berbeda dalam keyakinan, tetapi kita sama dalam cinta kasih terhadap sesama manusia.

 

Sahabat-sahabat dari Mekah datang ke Madinah dalam kondisi kosong. Mereka meninggalkan keluarga, harta, dan tanah kelahiran. Namun, dengan cinta dan keyakinan kepada Rasulullah, mereka pindah ke kota yang belum mereka kenal. Bahkan sebelum peristiwa hijrah, Rasulullah sudah menyampaikan tentang peristiwa Isra Mi’raj—perjalanan dari Mekah ke Palestina, lalu naik ke langit ketujuh—yang secara logika sukar diterima. Banyak yang tak percaya, kecuali satu orang: Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia berkata, “Kalau Muhammad yang mengatakan, maka aku percaya.” Karena keyakinannya itu, ia digelari ash-Shiddiq, yang jujur dan membenarkan Rasulullah dalam hal yang sangat sulit diterima akal.

 

Inilah fondasi komunitas Madinah: cinta, keyakinan, dan kebersamaan. Maka, jika kita ingin membentuk masyarakat yang kuat, harmonis, dan saling mendukung, kita pun perlu membangun dengan fondasi yang sama—yakni silaturahmi yang dibingkai dengan cinta. Perbedaan pasti ada, kekurangan pasti ada, tetapi yang harus kita cari adalah kelebihan saudara kita.

 

Masjid tempat kita berkumpul pun berdiri karena ada cinta. Para jamaah percaya pada pengurus masjid, dan pengurus melaksanakan amanah dengan baik. Semua itu hanya bisa terbentuk jika ada cinta di antara kita.

 

SUMBER REFERENSI:

Ust. Dr. H. Indrianto Faishal, MA. Kajian Ahad Subuh Masjid Al Hakim. 20 April 2025.

Friday, 18 April 2025

Penghapusan Kuota Impor Bisa Rugikan Petani

 

Penghapusan Kuota Impor Bisa Rugikan Petani dan Hambat Swasembada Pangan

 

Pemerintah tengah merencanakan kebijakan besar yang bisa berdampak langsung pada kehidupan masyarakat dan masa depan ketahanan pangan nasional. Salah satu wacana yang mencuat adalah penghapusan kuota impor komoditas pangan, sehingga siapa pun diperbolehkan mengimpor bahan pangan tanpa batas. Jika benar-benar diterapkan, kebijakan ini dikhawatirkan akan membuka banjir impor dan mengancam keberlangsungan hidup para petani dan peternak lokal.

 

Gagasan ini disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Sarasehan Ekonomi di Jakarta pada 8 April 2025. Dalam pidatonya, Presiden menginstruksikan Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan untuk menghapus sistem kuota impor bagi komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti daging. Menurut Presiden, kebijakan kuota selama ini cenderung hanya menguntungkan perusahaan tertentu.

 

Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam merespons pengenaan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat atas sejumlah produk Indonesia. Dalam laporan Estimasi Perdagangan Nasional (NTE) 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), Indonesia dinilai masih menerapkan hambatan perdagangan lewat sistem kuota impor dan penugasan impor oleh Perum Bulog.

 

Namun, banyak kalangan mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa berbalik merugikan negara sendiri. Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Dwi Andreas Santosa, mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia sudah memberikan bea masuk impor yang tergolong rendah, hanya 0-10 persen untuk 12 komoditas pangan utama. Akibatnya, impor terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam satu dekade terakhir saja, volume impor 12 komoditas seperti beras, kedelai, daging, dan susu naik hampir 12 juta ton, dari 22,56 juta ton pada 2014 menjadi 34,35 juta ton pada 2024.

 

Sumber: BPS diolah dwi andreas santosa (Kompas 9 April 2025)

Jika kuota dihapus dan siapa pun bebas mengimpor, maka akan terjadi lonjakan impor yang lebih besar lagi. Petani lokal jelas akan kesulitan bersaing, semangat untuk meningkatkan produksi dalam negeri bisa luntur, dan cita-cita menuju swasembada pangan akan terhambat.

 

Padahal, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, pemerintah telah menargetkan swasembada sejumlah komoditas penting seperti beras, jagung pakan, gula, dan garam. Bahkan, impor beras telah dihentikan pada 2025. Di sisi lain, Kementerian Pertanian juga tengah menyusun cetak biru swasembada daging dan susu untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis.

 

Sumber: Kementerian Pertanian (Kompas 9 April 2025)

 

Upaya ini mendapat sambutan positif dari pelaku usaha peternakan. Sugianto, Ketua Koperasi Peternakan dan Susu Merapi (KPSM) Seruni di Boyolali, mengaku tertarik mengembangkan peternakan sapi perah dengan mendatangkan indukan sapi impor. Namun ia khawatir, jika kebijakan impor dibuka lebar tanpa kuota, justru akan memicu lonjakan impor susu dan melemahkan semangat peternak lokal.

 

Oleh karena itu, pemerintah perlu sangat berhati-hati dalam merespons tekanan perdagangan dari luar negeri. Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF, Abra PG Talattov, menegaskan bahwa kebijakan impor pangan tidak bisa dilepas bebas begitu saja. Pemerintah harus tetap mengacu pada dua undang-undang penting, yaitu UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

 

Kedua UU tersebut menyatakan bahwa impor pangan hanya boleh dilakukan jika produksi dalam negeri tidak mencukupi. Selain itu, kebijakan impor harus melalui koordinasi antarkementerian. Dengan kata lain, tidak semua komoditas bisa langsung diimpor tanpa melalui perhitungan yang matang.

 

Abra juga merekomendasikan agar pemerintah terlebih dahulu mengidentifikasi komoditas mana yang memang masih perlu diimpor. Misalnya, jagung pakan yang saat ini masih dibutuhkan sambil menunggu hasil swasembada, serta gandum dan kedelai yang sulit diproduksi di dalam negeri. Selain itu, penting untuk tetap mempertahankan neraca komoditas sebagai alat pengendali keseimbangan antara produksi dalam negeri dan kebutuhan impor.

 

Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan penghapusan kuota impor justru bisa menjadi bumerang. Bukan hanya mengancam mata pencaharian petani dan peternak, tetapi juga melemahkan ketahanan pangan nasional yang selama ini sedang dibangun.

 

SUMBER

Kompas 9 April 2025. Penghapusan Kuota Impor Bisa Rugikan Petani dan Hambat Swasembada Pangan.