Makna Kedekatan kepada Allah dalam Renungan Al-Ghazali
Setiap insan pasti
pernah merasakan rindu—rindu akan ketenangan, kedamaian, dan makna hidup yang
lebih dalam. Dalam tradisi Islam, kerinduan ini terarah kepada satu tujuan
utama: kedekatan dengan Allah. Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar dan sufi
terkemuka, menyelami makna kedekatan ini dalam berbagai dimensi kehidupan
manusia. Menurutnya, kedekatan kepada Allah bukan soal jarak fisik, melainkan
soal hati dan jiwa yang melekat erat kepada-Nya.
Kedekatan yang Bermula dari Hati
Bagi Al-Ghazali, inti
dari kedekatan kepada Allah terletak pada hati yang bersih. Hati yang dipenuhi
iri, sombong, atau rasa pamer akan sulit merasakan kehadiran-Nya. Oleh karena
itu, langkah pertama untuk mendekat kepada Allah adalah dengan menyucikan
diri—membersihkan hati dari penyakit-penyakit batin melalui tazkiyah al-nafs.
Kedekatan juga bisa
diraih melalui keikhlasan. Al-Ghazali menegaskan bahwa setiap amal harus
dilakukan semata-mata karena Allah, bukan demi pujian manusia. Niat yang tulus
adalah pintu utama menuju ridha dan kasih sayang-Nya.
Dzikir: Jembatan yang Menghubungkan Hati dan Langit
Salah satu cara paling
indah untuk menjaga kedekatan dengan Allah adalah dengan berdzikir, yaitu
mengingat-Nya secara terus-menerus. Bukan hanya dzikir di lisan, tetapi juga
dzikir di hati—merenungi kebesaran-Nya dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap
detik kehidupan. Menurut Al-Ghazali, dzikir yang dilakukan dengan penuh
kesadaran akan menjaga hati tetap hidup dan lembut, serta menjadi pengingat
bahwa Allah selalu dekat dengan kita, lebih dekat dari urat leher sendiri.
Ibadah: Jalan Utama Menuju Kedekatan
Ibadah merupakan wujud
cinta dan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Shalat, sebagai tiang
agama, menjadi sarana utama untuk berbicara langsung kepada Allah. Saat seorang
Muslim shalat dengan khusyuk, ia seakan berada di hadapan Sang Pencipta. Begitu
pula puasa, yang bukan sekadar menahan lapar, tetapi latihan spiritual untuk
menumbuhkan takwa dan menguatkan hubungan dengan Allah.
Ibadah-ibadah sunnah
seperti shalat malam dan sedekah juga memiliki peran besar dalam menumbuhkan
kedekatan. Saat dunia terlelap, dan seorang hamba memilih bermunajat dalam
hening malam, di situlah kedekatan yang tulus lahir. Begitu juga saat seseorang
memberi kepada yang membutuhkan dengan hati yang ringan, ia sedang memperkuat
ikatan cinta antara dirinya dan Allah.
Ilmu: Cahaya yang Menuntun Jiwa Mendekat
Menurut Al-Ghazali,
tidak akan mungkin seseorang mencintai Allah tanpa mengenal-Nya. Oleh karena
itu, mencari ilmu, khususnya ilmu tentang Allah dan ajaran-Nya, adalah salah
satu bentuk pendekatan diri yang utama. Mengenal sifat-sifat Allah, memahami
isi Al-Qur’an, serta memperdalam hadits akan membentuk pemahaman spiritual yang
lebih kokoh.
Tak kalah penting,
ilmu mendorong kita untuk tafakur—merenungi ciptaan Allah dan mengambil
pelajaran dari kehidupan. Dengan cara ini, setiap pengalaman, bahkan yang
paling sederhana, bisa menjadi cermin yang memantulkan kebesaran-Nya.
Akhlak: Cerminan Kedekatan dengan Allah
Hati yang dekat dengan
Allah akan tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Al-Ghazali
menyebutkan bahwa orang yang sabar, jujur, amanah, dan selalu bersyukur adalah
orang yang hatinya telah tersambung dengan Allah. Akhlak yang baik bukan hanya
memperindah hubungan antar manusia, tapi juga menjadi bukti nyata dari hubungan
yang erat dengan Sang Pencipta.
Menjaga adab saat
beribadah, seperti khusyuk dalam shalat dan membaca Al-Qur’an dengan penuh
penghayatan, adalah bentuk penghormatan kepada Allah. Ini juga menunjukkan
betapa serius dan dalamnya cinta seorang hamba kepada Tuhannya.
Sujud: Puncak Kedekatan Seorang Hamba
Dalam satu ayat indah,
Allah berfirman:
"Sekali-kali
jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu
kepada Tuhan)." (QS. Al-‘Alaq: 19)
Sujud adalah saat di
mana manusia meletakkan bagian paling mulia dari tubuhnya, wajah, di atas
tanah. Ia menjadi simbol kerendahan, ketulusan, dan pengakuan akan kebesaran
Allah. Al-Ghazali menjelaskan bahwa saat sujud, hati seorang hamba sedang
berada dalam kondisi paling dekat dengan Allah. Tak heran, sujud menjadi momen
terbaik untuk berdoa, memohon, dan merasakan kehadiran-Nya.
Bahkan di luar shalat,
sujud tetap memiliki makna yang dalam. Sujud syukur atau sujud saat mendengar
ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an menjadi bentuk spontanitas cinta dan
pengagungan kepada Allah.
Ketenangan yang Mengalir dari Kedekatan
Kedekatan dengan Allah
bukan hanya memberi makna dalam ibadah, tapi juga menghadirkan ketenangan dalam
hidup. Hati yang dekat dengan-Nya akan lebih kuat menghadapi ujian, lebih
ringan menjalani hari, dan lebih mudah bersyukur atas nikmat yang ada.
Imam Al-Junaid pernah
berkata, "Sesungguhnya Allah mendekati hati hamba sejauh kedekatan
mereka kepada-Nya. Lihatlah apa yang dekat dari hatimu." Artinya,
sejauh mana kita mendekat kepada Allah, sejauh itu pula Allah akan mendekati
kita. Maka periksalah hatimu—apa yang paling dekat di dalamnya? Apakah dunia,
ataukah Allah?
Menyemai Kedekatan Setiap Hari
Kedekatan kepada Allah
bukan sesuatu yang terjadi secara instan, melainkan buah dari proses panjang
yang dijalani dengan kesungguhan hati. Setiap doa yang lirih dipanjatkan,
setiap air mata yang jatuh dalam sujud, setiap pilihan hidup yang didasarkan
pada nilai kebaikan—semua itu adalah langkah-langkah kecil menuju kedekatan
sejati.
Kita tidak perlu
menunggu waktu-waktu tertentu untuk merasa dekat kepada Allah. Justru dalam
aktivitas harian—bekerja, belajar, mengasuh anak, melayani orang tua, dan
berbuat baik kepada sesama—di sanalah kita dapat menghadirkan Allah dalam
setiap niat dan tindakan. Kedekatan bukan soal tempat atau waktu, melainkan
kesadaran hati yang terus terhubung kepada-Nya.
Imam Al-Ghazali
menekankan pentingnya muraqabah (merasa diawasi oleh Allah) dalam
menjaga kedekatan. Ketika hati senantiasa sadar bahwa Allah Maha Melihat dan
Maha Mengetahui, maka akan muncul rasa malu untuk berbuat salah, sekaligus
dorongan kuat untuk terus memperbaiki diri.
Saatnya Bertanya pada Diri
Kini, mari kita
bertanya pada diri sendiri:
Apakah aku
sudah merasa dekat dengan Allah?
Jika belum, bukan
berarti terlambat. Pintu kedekatan itu selalu terbuka, kapan saja kita ingin
mengetuknya.
Mulailah dengan
langkah kecil—mungkin dengan memperbanyak istighfar, memperbaiki salat, membaca
Al-Qur’an meski hanya satu ayat sehari, atau meluangkan waktu untuk merenung
dan bersyukur. Jangan pernah meremehkan amalan kecil yang dilakukan dengan
ikhlas, karena bisa jadi justru dari situlah jalan kedekatan kita kepada-Nya
terbuka lebar.
Penutup: Kedekatan yang Mengubah Segalanya
Ketika seseorang
benar-benar dekat dengan Allah, maka hidupnya akan berubah. Ia menjadi lebih
tenang dalam menghadapi ujian, lebih bijak dalam menyikapi dunia, dan lebih
ringan dalam berbuat kebaikan. Kedekatan itu menghadirkan makna, arah, dan
kekuatan yang tidak bisa digantikan oleh apa pun di dunia ini.
Mari terus menyemai
kedekatan itu setiap hari, agar saat dunia terasa gelap, hati kita tetap terang
oleh cahaya-Nya.
"Barangsiapa
mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta; barangsiapa
mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa."
(Hadis Qudsi)
SUMBER
REFERENSI
Dr. Sanusi Syarif, M.Si. 2024. Makna Kedekatan
Menurut Al Ghazali. Tintasiyasi
https://www.tintasiyasi.id/2024/06/makna-kedekatan-menurut-al-ghazali.html