Risiko Penularan Schistosoma Japonicum
Chistosomiasis atau demam
keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing genus Schistosoma (Miyazaki, 1991). Terdapat lima
jenis schistosoma penyebab paling banyal kasus chistosomiasis pada orang, yaitu
Schistosoma hematobium menginfeksi saluran
kemih, Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum, Schistosoma mekongi, dan Schistosoma intercalatum yang menginfeksi
usus dan hati, serta Schistosoma mansoni yang menyebar luas di Afrika dan satu-satunya
schistosome di wilayah barat.
Schistosoma
mansoni dan Schistosoma
japonicum biasanya menetap di dalam pembuluh darah kecil pada usus. Beberapa
telur mengalir dari usus melalui aliran darah menuju ke hati, yang berakibat terjadinya
peradangan hati sehingga bisa menyebabkan luka parut dan meningkatkan tekanan di
dalam pembuluh darah yang membawa darah antara saluran usus dan hati (pembuluh darah
portal). Tekanan darah tinggi di dalam pembuluh darah portal (hipertensi portal)
bisa menyebabkan pembesaran pada limpa dan pendarahaan dari pembuluh darah di dalam
kerongkongan.
Di Indonesia, schistosomiasis
disebabkan oleh Schistosoma japonicum
ditemukan endemik di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di Dataran Tinggi Lindu
dan Dataran Tinggi Napu. Secara keseluruhan penduduk yang berisiko tertular schistosomiasis
(population of risk) sebanyak 15.000 orang. Pemberantasan schistosomiasis telah
dilakukan sejak tahun 1974 dengan berbagai metoda yaitu pengobatan penderita dengan
Niridazole dan pemberantasan siput penular (O.h. lindoensis) dengan molusisida dan
agroengineering.
Schistosomiasis merupakan
penyakit menular, dengan media penularan
melalui air. Seseorang dapat terjangki schistosomiasis melalui kulit dalam bentuk
cercaria yang mempunyai ekor berbentuk seperti kulit manusia, parasit tersebut mengalami
transformasi dengan cara membuang ekornya dan berubah menjadi cacing. Kemudian cacing
ini menembus jaringan bawah kulit dan memasuki pembuluh darah masuk jantung dan
paru-paru untuk selanjutnya menuju hati. Di dalam hati cacing ini tumbuh menjadi
dewasa dalam bentuk jantan dan betina. Pada tingkat ini, tiap cacing betina memasuki
celah tubuh cacing jantan dan tinggal di dalam hati orang yang dijangkiti untuk
selamanya. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing Schistosoma bersama-sama pindah
ke tempat tujuan terakhir yakni pembuluh darah usus kecil yang merupakan tempat
persembunyian bagi pasangan cacing Schistosoma sekaligus tempat bertelur.
Menurut Kasnodiharjo (1994),
pada umumnya orang yang beresiko menderita schistosomiasis adalah mereka yang mempunyai
kebiasaan yang tidak terpisahkan dari air. Seringnya kontak dengan perairan atau
memasuki perairan yang terinfeksi parasit Schistosoma menyebabkan meningkatnya penderita
schistosomiasis di dalam masyarakat. Sementara menurut Olds & Dasarathy (2001),
beberapa pekerjaan yang mempunyai risiko besar untuk terinfeksi Schistosoma di daerah
endemis yaitu petani, nelayan dan pekerja irigasi. Kebiasaan masyarakat mencuci
atau melakukan aktivitas rumah tangga lainnya di dalam air juga mempunyai risiko
tinggi terinfeksi Schistosoma.
Beberapa variabel yang mempengaruhi
penularan schistosomiasis antara lain faktor manusia, faktor cacing Schistosoma
japonicum, faktor keong Oncomelania hupensis lindoensis sebagai hospes perantara,
serta faktor tikus (Rattus) sebagai reservoir Schistosoma japonicum.
Faktor Manusia
Menurut Kasnodiharjo (1994),
secara epidemiologi penularan schistosomiasis tidak terpisahkan dari faktor perilaku
atau kebiasaan manusia. Pada umumnya orang yang menderita schistosomiasis adalah
mereka yang mempunyai kebiasaan yang tidak terpisahkan dari air. Seringnya kontak
dengan perairan atau memasuki perairan yang terinfeksi parasit Schistosoma menyebabkan
meningkatnya penderita schistosomiasis di dalam masyarakat.
Schistosomes berkembang
biak di dalam keong jenis khusus yang menetap di air, dimana mereka dilepaskan untuk
berenang bebas di dalam air. Jika mereka mengenai kulit seseorang, mereka masuk
ke dalam dan bergerak melalui aliran darah menuju paru-paru, dimana mereka menjadi
dewasa menjadi cacing pita dewasa. Cacing pita dewasa tersebut masuk melalui aliran
darah menuju tempat terakhir di dalam pembuluh darah kecil di kandung kemih atau
usus, dimana mereka tinggal untuk beberapa tahun. Cacing pita dewasa tersebut meletakkan
telur-telur dalam jumlah besar pada dinding kandung kemih atau usus. Telur-telur
tersebut menyebabkan jaringan setempat rusak dan meradang, yang menyebabkan borok,
pendarahan, dan pembentukan jaringan luka parut. Beberapa telur masuk ke dalam kotoran(tinja)atau
kemih. Jika kemih atau kotoran pada orang yang terinfeksi memasuki air bersih, telur-telur
tersebut menetas, dan parasit memasuki keong untuk mulai siklusnya kembali.
Masa Inkubasi penyakit ini
dimulai ketika schistosomes pertama kali memasuki kulit, ruam yang gatal bisa terjadi
(gatal perenang). Sekitar 4 sampai 8 minggu kemudian (ketika cacing pita dewasa
mulai meletakkan telur), demam, panas-dingin, nyeri otot, lelah, rasa tidak nyaman
yang samar (malaise), mual, dan nyeri perut bisa terjadi. Batang getah bening bisa
membesar untuk sementara waktu, kemudian kembali normal. kelompok gejala-gejala
terakhir ini disebut demam katayama.
Sedangkan gejala-gejala
lain bergantung pada organ-organ yang terkena:
Jika pembuluh darah pada
usus terinfeksi secara kronis : perut tidak nyaman, nyeri, dan pendarahan (terlihat
pada kotoran), yang bisa mengakibatkan anemia.
Jika hati terkena dan tekanan
pada pembuluh darah adalah tinggi : pembesaran hati dan limpa atau muntah darah
dalam jumlah banyak.
Jika kandung kemih terinfeksi
secara kronis : sangat nyeri, sering berkemih, kemih berdarah, dan meningkatnya
resiko kanker kandung kemih.
Jika saluran kemih terinfeksi
dengan kronis : peradangan dan akhirnya luka parut yang bisa menyumbat saluran kencing.
Jika otak atau tulang belakang
terinfeksi secara kronis (jarang terjadi) : Kejang atau kelemahan otot.
Menurut WHO (1985), prevalensi
tinggi infeksi S. japonicum dapat ditemukan pada semua kelompok umur di atas umur
6 tahun. Sementara menurut Jiang et al ( 1997), di daerah endemis, prevalensi dan
intensitas infeksi tertinggi terjadi pada anak remaja, umur 10 -16 tahun (Olds &
Dasarathy, 2001). Pada kelompok umur 18 – 49 tahun infeksi terjadi ketika melakukan
aktivitas rumah tangga dan pada saat bekerja.
Menurut Olds & Dasarathy
(2001), beberapa pekerjaan yang mempunyai risiko besar untuk terinfeksi Schistosoma
di daerah endemis yaitu petani, nelayan dan pekerja irigasi. Kebiasaan masyarakat
mencuci atau melakukan aktivitas rumah tangga lainnya di dalam air juga mempunyai
risiko tinggi terinfeksi Schistosoma.. Pada umumnya laki-laki mempunyai prevalensi
dan intensitas schistosomiasis yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, mungkin
ini disebabkan karena laki-laki lebih sering terpapar dengan daerah fokus dan juga
lebih sering kontak dengan air.
Faktor
Cacing Schistosoma Japonicum
Schistosomiasis di Indonesia
disebabkan oleh cacing Schistosoma
Japonicum
yang termasuk ke dalam Filum Platyhelminthes, Kelas Trematoda, Ordo Prosostomata,
Family Schistosomatoidea, Genus Schistosoma. Cacing dewasa hidup dalam vena
mesenterika superior serta cabang¬cabangnya, akan tetapi dapat pula di dalam vena
mesenterika inferior, vena porta atau di tempat ektopik lainnya (Hadidjaja, 1985).
Cacing dewasa jantan berwarna
kelabu atau putih kehitam-hitaman berukuran 9,5 9,5 mm x ,9 mm. Badannya berbentuk
bundar gemuk. Di bagian ventral badan terdapat canalis gynaecophorus tempat terletak
cacing betina sehingga seolah-olah cacing betina ada di dalam pelukan cacing jantan
(Ichhpujani & Bhatia, 1998).
Cacing betina badannya lebih
halus dan panjang, berukuran 16 26 mm x 0,3 mm. Ovarium terdapat di bagian tengah
badan. Pada umumnya uterus berisi 50 300 butir telur pada waktu tertentu. Batil isap perut berukuran 0,35 mm diameter dan
batil isap mulut 0,3 mm diameter. Permukaan badannya licin, hanya pada bagian pinggir
canalis gynaecophorus dan bagian dalam kedua batil isap terdapat tonjolan-tonjolan
kecil. Pada bagian anterior terdapat 7 buah testis berbentuk lonjong, berjejeran
secara longitudinal (Hadidjaja, 1985).
Telur berbentuk lonjong
dan lebih pendek, berwarna kuning kelabu, berukuran 70 100 x 60 60µ, kadang-kadang
ada tonjolan kecil pada bagian lateral. Telur ditemukan di dalam tinja dan di dalam
air menetas dan keluarlah mirasidium. Mirasidium berkembang menjadi sporokista I
yang berukuran 2 mm dan sporokista II berukuran 1mm yang kemudian membentuk cercaria.
Sedangkan cercaria bentuknya lonjong, berukuran 16898ji x 53 5ji. Mempunyai ekor bercabang yang berukuran
137 18 2ji x 23 30ji. Cabangnya berukuran 76 99ji x 6,4 8,0 ji. Badan cercaria mempunyai
5 pasang kelenjar, dua pasang bergranula kasar, sedangkan 3 pasang yang di posterior
mengandung granula halus .
Faktor
Keong Oncomelania hupensis lindoensis
Keong Oncomelania hupensis
lindoensis berperan sebagai hospes perantara penyakit ini. Keong Oncomelania hupensis
lindoensis merupakan subspesies dari filum Mollusca, kelas Gastropoda, genus Oncomelania,
spesies Oncomelania hupensis. Menurut WHO (2005), pada dasarnya setiap spesies cacing
Schistosoma memerlukan siput tertentu yang sesuai untuk perkembangan larva cacing
Schistosoma. Untuk S. japonicum memerlukan siput Oncomelania yang merupakan siput
amfibi karena dapat hidup di darat dan di air.
Warna badan pada Oncomelania
hupensis lindoensis bervariasi dari warna hitam, kelabu sampai coklat. Kelenjar
di sekitar mata yang disebut eyebrows berwarna kuning muda sampai kuning jeruk. Sedangkan cangkang keong berbentuk kerucut, permukaan
licin berwarna coklat kekuning-kuningan dan agak jernih bila dibersihkan dan terdiri
dari 6,5 7,5 lingkaran (pada bentuk dewasa). Panjangnya 5,2 ± 0,6 mm dengan umbilikus
yang terbuka, varix-nya lemah, bibir luar melekuk dan bibir bagian dalam menonjol
di bawah basis cangkang. Panjang dan lebar aperture adalah 2,38 dan 1,75 mm, diameter
lingkar terakhir adalah 0,34 mm. Perbedaan cangkang keong jantan dan betina terletak
pada perbandingan ukuran panjang yang lebih pendek dari pada ukuran lebar. Operkulum
mengandung zat tanduk, agak keras dan paucispiral (Hadidjaja, 1985).
Faktor
Tikus (Rattus)
Faktor Tikus (Rattus) ini
berperan sebagai reservoir Schistosoma japonicum.
Menurut Sudono (2008), schistosomiasis di Indonesia selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi hewan mamalia. Ada 13 mamalia yang diketahui terinfeksi oleh schistosomiasis
antara lain sapi, kerbau, kuda, anjing, babi, musang, rusa dan berbagai jenis tikus
diantaranya Rattus exulans, R. marmosurus, R. norvegicus dan R. pallelae. Sementara menurut (Hadidjaja
(1985), penangkapan tikus dengan perangkap terutama mengenai jenis Rattus di daerah
Danau Lindu menunjukkan lima spesies tikus yaitu Rattus exulans, R. hoffmani, R. penitus, R. marmosurus dan R. hellmani mengandung infeksi cacing S. japonicum dengan infection rate rata-rata
25%.
Surveilans
Schistoma japonicum
Surveilans schistosomiasis
merupakan aspek yang paling penting dalam program pemberantasan schistosomiasis.
Tujuan dari surveilans untuk mendapatkan informasi jumlah kasus, keberadaan hospes
perantara dan reservoir. Surveilans schistosomiasis yang dilakukan antara lain :
Survei tinja: Survei tinja
dilakukan untuk menemukan penderita secara dini. Jika ditemukan penduduk positif
telur dalam tinjanya, diberikan pengobatan untuk mencegah perkembangan penyakiy
serta mengurangi resiko penularan dengan pengendalian pada aspek pelepasan telur
oleh cacing.
Survei keong: Survei ini
dilakukan untuk mencari keong di daerah yang dicurigai sebagai habitat yang cocok
untuk kehidupan keong oncomelania hupensis lindoensis. Jika ditemukan keong, dilakukan
manipulasi lingkungan di daerah tersebut seperti dengan melakukan pengeringan agar
keong tidak dapat hidup, atau dengan kegiatan moluskisida.
Survei reservoir: Survei
reservoir dilakukan untuk menangkap tikus. Selanjutnya dilakukan pembedahan pada
tikus untuk memastikan terdapat cacing Schistosoma atau tidak. Jika ditemukan cacing
pada tikus, dapat disimpulkan masih terjadi resiko penularan pada daerah tersebut.
DAFRAR
PUSTAKA
1. Miyazaki,
I. 1991. An Illustrated Book of Helminthic Zoonosis; Jiang, Z. et al, .1997.
Analysis of social factors and human behavior attributed to family distribution
of schistosomiasis japonica cases;
2. Kasnodiharjo.
1994. Penularan Schistosomiasis dan Penanggulangannya Pandangan dari Ilmu
Perilaku;
3. Ichhpujani,
R.L. & Rajesh Bhatia. 1998. Medical Parasitolgy;
4. Olds,
G.R. & S. Dasarathy. 2001. Schistosomiasis;
5. WHO.
1985. The Control of Schistosomiasis.