Resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) merupakan salah satu tantangan global terbesar pada akhir-akhir ini. Kedokteran hewan modern dibangun di atas kemampuan dokter hewan untuk mengendalikan infeksi bakteri, dan sangat tidak terbayangkan apabila kita tidak memiliki kemampuan itu lagi. Tanpa kemampuan ini, berbagai prosedur medis terutama dalam pengobatan hewan sakit dan prosedur tindakan bedah yang saat ini dianggap sebagai pekerjaan rutin akan menjadi tidak mungkin; bahkan infeksi setelah bedah kecil mungkin saja bisa mengancam jiwa hewan yang menjadi pasien.
Meskipun ada konsekuensi potensial yang
signifikan tentang resistensi antimikroba, belum ada pengukuran kuantitatif
mengenai konsumsi antimikroba secara global oleh ternak. Konsumsi antibiotik pada sektor peternakan
diperkirakan lebih dari 63.000 (±1500) ton pada 2010 dan diestimasi akan
meningkat menjadi 67% pada 2030 (Van Boeckel TP et al., 2015). Konsumsi antibiotik
di sektor peternakan, rata-rata konsumsi antimikroba sapi secara umum lebih
rendah (45 mg/PCU) daripada ayam (148 mg/PCU) dan babi (172 mg/PCU) (Van
Boeckel TP. et al., 2015).
Peran
antimikroba pada hewan
Dalam kedokteran hewan, penggunaan antimikroba
adalah kompleks, dan metoda pemberiannya berbeda, bergantung kepada konteks dan
pertimbangan spesies hewan. Sementara
untuk hewan peliharaan mengikuti proses yang sama seperti resep untuk manusia,
sedangkan hewan penghasil pangan pengendalian infeksi bakteri dapat dicapai
dengan cara terapeutik, metafilaktik, dan profilaktik setelah pemberian resep
dokter hewan. Dokter hewan adalah profesional medis, dan mempunyai tanggung
jawab kesehatan masyarakat untuk memastikan antibiotik digunakan dengan tepat
dan bijak untuk melestarikan efikasi antibiotik untuk hewan dan manusia.
Masalah
AMR dalam kedokteran hewan
Resistensi antimikroba (AMR) adalah ketika
mikroba berevolusi menjadi lebih resisten atau sepenuhnya resisten terhadap
antimikroba yang sebelumnya dapat mengeliminasinya. Kedokteran hewan memiliki masalah resistensi
antimikroba yang semakin meningkat di semua bidang kegiatan, dengan dampak pada
kesehatan masyarakat. Munculnya
methicilin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) yang dikaitkan dengan ternak dan methicillin-resistan. Staphylococcus pseudintermedius (MRSP)
pada hewan peliharaan hanyalah satu contoh dari kemunculan dan menyebarnya
resistensi antimikroba, dengan dampak pada kesehatan manusia.
Resistensi
antimikroba dapat menyebar antara hewan, manusia dan lingkungan
Akibat penyalahgunaan dan penggunaan
antimikroba yang berlebihan, bakteri dan gen resisten dapat disebarluaskan
antara hewan dan manusia melalui berbagai jalur, seperti kontak hewan/manusia,
lewat rantai pangan, dan lingkungan sekitar (Harrison, E.M. et al., 2013;
Economou, V. et al., 2015). MRSA pada
manusia pertama kali muncul di rumah sakit pada 1970- an, dan pada 1990-an
meningkat secara dramatis di seluruh dunia, menjadi suatu masalah klinis yang
serius di lingkungan rumah sakit. MRSA
pada hewan juga diidentifikasi akhir-akhir ini; penting untuk membedakan antara
MRSA yang diisolasi pada hewan peliharaan, dan MRSA dari hewan produksi pangan.
Evolusi MRSA pada spesies hewan berbeda
menjadi suatu kajian kritis terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan
kemunculannya dari sudut pandang kesehatan hewan dan kesehatan manusia.
Contoh
AMR pada hewan ke manusia
Pengenalan enrofloxacin dalam kedokteran hewan
dengan cepat diikuti oleh munculnya resistensi fluoroquinolone di antara isolat
Campylobacter dari ayam pedaging, dan tak lama kemudian pada manusia.
Seperti halnya dengan avoparcin, resistensi
terhadap fluoroquinolone pada populasi manusia dan hewan tetap langka di negara-negara
yang belum menggunakan fluoroquinolone pada hewan penghasil pangan.
Peningkatan resistensi cephalosporin generasi
ke-3 pada Salmonella dan E. coli juga diamati menyusul
peningkatan penggunaan antibiotik ini pada hewan. Selanjutnya, penarikan dan
introduksi kembali antibiotik ini kemudian diikuti dengan penurunan dan
munculnya lagi masalah resistensi di antara isolat Salmonella dari hewan dan manusia.
Antimikroba untuk penggunaan medis veteriner:
pemberian suatu antimikroba kepada individu atau sekelompok hewan untuk
pengobatan, pengendalian atau pencegahan penyakit infeksius.
Antimikroba untuk penggunaan non medis
veteriner (non veterinary medical use of
antimicrobial agents): pemberian antimikroba kepada hewan untuk tujuan selain
pengobatan, pengendalian atau pencegahan penyakit infeksius; termasuk pemacu
pertumbuhan.
Pengobatan: pemberian antimikroba kepada
individu atau sekelompok hewan yang menunjukkan gejala klinis dari suatu
penyakit infeksius.
Pengendalian: pemberian antimikroba kepada
sekelompok hewan yang berisikan hewan sakit dan hewan sehat (diduga
terinfeksi), untuk meminimalkan atau menghentikan gejala klinis dan mencegah
penyebaran penyakit lebih lanjut.
Pencegahan: pemberian antimkiroba kepada
individu atau sekelompok hewan yang berisiko yang memperoleh infeksi spesifik
atau dalam situasi spesifik dimana penyakit infeksius cenderung akan terjadi
jika obat tidak diberikan.
Pemacu pertumbuhan (growth promotor): pemberian antimikroba kepada hewan hanya untuk
meningkatkan tingkat pertumbuhan berat badan atau efisiensi pemanfaatan pakan. Growth Promoter
merupakan zat yang dapat memacu dan mempercepat pertumbuhan hewan ternak,
dengan cara pemberian dicampur dalam pakan (feed
additive).
Upaya
yang harus dilakukan dalam dunia kedokteran hewan:
· mempromosikan penggunaan antimikroba yang
bijak dan bertanggung jawab pada hewan;
· mengumpulkan data penggunaan antimikroba
veteriner di seluruh Indonesia; dan
· menyediakan rekomendasi saintifik tentang
penggunaan antimikroba tertentu pada hewan.
Tiga faktor penentu perilaku profesional dalam
penelitian alternatif teurapetik dan manajemen untuk mengurangi penggunaan
antimikroba:
· Etika aturan sains
· Menentukan norma bagi dokter hewan yang memungkinkan
regulasi penggunaan antimikroba yang benar dan rasional.
· Komunikasi dan edukasi kepada dokter hewan di
sektor produksi dan veteriner.
Mudah sekali mengakses antibiotik cecara online menghambat kebijakan “penggunaan antibiotik
yang bijak dan bertanggung jawab” sehingga bisa meningkatkan risiko munculnya
resistensi bakteri.
· Di Indonesia, antibiotik untuk hewan dijual
melalui “tokopedia”, “bukalapak”, “shopee”, “blibli”, “Lazada”, dan lainnya.
· Jenis antibiotik yang dijual, misalnya:
Limoxin, Oxylin Oksitetrasiklin, Penstrep, Medoxy-LA, Animalcylin, Roxine, dan
lainnya.
· Search
Google dengan kata kunci “buy veterinary antibiotics”, ternyata
57% website beroperasi di Amerika Serikat, dan 55% di antaranya tidak perlu
resep. Fluoroquinolone ditawarkan oleh 79% website (49% tanpa resep), macrolide
ditawarkan 72% website (45% tanpa resep), dan generasi ke-3 dan 4 cephalosporin
ditawarkan oleh 49% website (27% tanpa resep).
Maka penjualan antibiotik via online untuk
hewan perlu diatur (Garcia JF et al., 2020).
Prinsip
penggunaan antimikroba
Pembuatan resep dan dispensasi antimikroba
harus dijustifikasi oleh diagnosis dokter hewan sesuai status pengetahuan
ilmiah saat ini.
· Apabila perlu untuk meresepkan antimikroba,
pembuatan resep harus didasarkan pada diagnosis yang dibuat setelah pemeriksaan
klinis hewan oleh dokter hewan yang meresepkan. Jika memungkinkan, pengujian
kepekaan antimikroba harus dilakukan untuk menentukan pilihan antimikroba.
· Antimikroba metafilaksis harus diresepkan
hanya ketika ada kebutuhan nyata untuk pengobatan. Dalam kasus seperti ini,
dokter hewan harus menjustifikasi dan mendokumentasikan pengobatan berdasarkan
temuan klinis tentang perkembangan penyakit dalam kelompok atau flok.
Antimikroba metafilaksis tidak boleh digunakan
untuk menggantikan praktik manajemen yang baik.
· Profilaksis rutin harus dihindari. Profilaksis
harus dicadangkan hanya untuk indikasi khusus kasus yang luar biasa.
·Pemberian pengobatan kepada seluruh kelompok atau flok harus dihindari bila memungkinkan. Hewan yang sakit harus diisolasi
dan dirawat secara individual (misalnya dengan memberikan suntikan).
· Semua informasi yang berkaitan dengan hewan,
penyebab dan sifat alami infeksi dan berbagai produk antimikroba yang tersedia
harus diperhitungkan ketika membuat keputusan pengobatan antimikroba.
Antimikroba spektrum sempit harus selalu
menjadi pilihan pertama kecuali kalau uji kepekaan dilakukan sebelumnya - jika
tepat didukung data epidemiologis yang relevan yang menunjukkan bahwa
antimikroba ini tidak akan efektif.
· Penggunaan antimikroba spektrum luas dan
kombinasi antimikroba harus dihindari (dengan pengecualian kombinasi tetap yang
sudah terkandung dalam produk obat hewan yang diotorisasi).
· Jika hewan atau kelompok hewan menderita
infeksi berulang yang membutuhkan pengobatan antimikroba, upaya harus dilakukan
untuk membasmi strain mikroorganisme dengan menentukan mengapa penyakit ini
berulang, dan mengubah kondisi produksi, budidaya peternakan dan/atau
manajemen.
Penggunaan antimikroba yang rentan menyebarkan
resistensi yang dapat ditularkan harus diminimalkan.
· Antimikroba yang tidak mendapatkan otorisasi
pemasaran sebagai produk obat hewan untuk digunakan pada hewan penghasil pangan
hanya bisa digunakan ‘off-label’ jika mengandung senyawa yang diperbolehkan.
· Penggunaan ‘off-label’ antimikroba yang dimaksud di atas untuk hewan bukan
penghasil pangan (misalnya hewan peliharaan dan hewan untuk olahraga) harus
dihindari dan sangat terbatas pada kasus yang luar biasa, misal ada alasan etik
untuk melakukan itu, dan hanya jika uji kepekaan laboratorium telah
mengonfirmasi bahwa tidak ada antimikroba lain yang akan efektif.
Pengobatan antimikroba harus diberikan kepada
hewan mengikuti instruksi yang diberikan dalam resep dokter hewan.
· Kebutuhan untuk terapi antimikroba harus
dinilai kembali secara reguler untuk menghindari pengobatan yang tidak perlu.
· Jika memungkinkan, strategi alternatif untuk
mengendalikan penyakit yang telah terbukti sama efisien dan aman (misal vaksin)
harus lebih disukai daripada pengobatan antimikroba.
· Sistim farmakovigilans harus digunakan untuk
mendapatkan informasi dan umpan balik kegagalan terapeutik, sehingga dapat
mengidentifikasi potensi masalah resistensi dalam kasus penggunaan opsi
pengobatan yang ada, yang baru atau yang alternatif.
Antimikroba
menurut WHO dan OIE
Kelas antimikroba yang digunakan hewan dan
manusia β‐lactams Penicillin,
amoxicillin; ceftiofur Macrolides dan lincosamides Tylosin; tilmicosin;
tulathromycin, lincomycin Aminoglycosides Gentamicin; neomycin Fluroquinolones
Enrofloxacin, danofloxacin Tetracyclines Tetracycline; oxytetracycline,
chlortetracycline Sulfonamides Various Streptogramins Virginiamycin
Polypeptides Bacitracin Phenicols Florfenicol Pleuromultilin Tiamulin
WHO menentukan 5 (lima) kelompok antimikroba
sebagai “highest priority critically
important antimicrobials” (HP-CIA) (cephalosporin generasi ke-3, 4, dan 5,
fluoroquinolone, glycopeptide, macrolide, begitu juga polymyxin). Antimikroba
ini dipertimbangkan esensial untuk pengobatan infeksi spesifik pada manusia,
dan penggunaannya pada ternak harus dibatasi.
OIE mempertimbangkan 3 (tiga) dari kelompok
antimikroba di atas (cephalosporin generasi ke-3 dan 4, fluoroquinolone, dan
macrolide) sebagai “Veterinary Critically
Important Antimicrobial Agents” (VCIA) harus tidak digunakan sebagai
pengobatan preventif yang diberikan melalui pakan dan air minum pada keadaan
tidak ada gejala klinis pada hewan.
Peresepan
oleh dokter hewan
Dokter hewan perlu mempertimbangkan secara
hati-hati ketika meresepkan antibiotik, terutama antibiotik yang penting untuk
kedokteran manusia, untuk membantu melestarikan obat penyelamat jiwa ini ke masa
depan.
· Dalam membuat keputusan terapeutik, dokter
hewan juga perlu mempertimbangkan masalah lain, misalnya masa henti obat (withdrawal time) dan interval pemotongan
pada kasus hewan penghasil pangan.
· Jika memungkinkan, pilihan harus didasarkan
pada kultur dan uji kepekaan (susceptibility testing) dan spektrum antibiotik
tersempit yang efektif melawan infeksi.
Pedoman
peresepan antibiotik
Australian Veterinary Association (AVA) pada
2017 memulai proyek bersama dengan Animal Medicines Australia, untuk
mengembangkan pedoman praktik peresepan yang baik untuk berbagai spesies
ternak.
▪ Pedoman yang sudah diterbitkan adalah untuk
babi dan unggas.
▪ Pedoman yang akan dibuat menyusul untuk
domba, sapi perah, sapi potong dan feedlot,
dan kuda.
Penggunaan antibiotik yang sangat penting
untuk kesehatan manusia. Antibiotik
pilihan pertama (first line antibiotics):
digunakan setelah diagnosa bersamaan dengan pendekatan pengobatan alternatif
lainnya.
· Antibiotik pilihan kedua (second line antibiotics) digunakan secara terbatas ketika uji
kepekaan atau hasil klinis sudah membuktikan bahwa antibiotik pilihan pertama
tidak efektif.
· Antibiotik pilihan ketiga (third line antibiotics) digunakan
sebagai upaya terakhir. Antibiotik harus digunakan hanya apabila opsi lain
tidak tersedia dan sedapat mungkin diberikan hanya setelah uji kepekaan
selesai.
Faktor
lain yang harus diperhatikan
· Pengobatan lokal individu (mis. injeksi
ambing, tetes mata atau telinga).
· Pengobatan parenteral individu (intravena,
intramuskular, subkutan).
· Pengobatan oral individu (seperti tablet,
bolus oral).
· Pengobatan injeksi kelompok (metafilaksis),
hanya apabila telah dijustifikasi.
· Pengobatan oral kelompok lewat air minum/susu
pengganti (metafilaksis), hanya apabila telah dijustifikasi.
· Pengobatan oral kelompok lewat pakan atau
premiks (metafilaksis), hanya apabila telah dijustifikasi.
REKOMENDASI
Dokter hewan harus menggunakan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab dalam upaya untuk memberikan layanan yang optimal bagi pasien hewan, mengurangi perkembangan resistensi antimikroba (AMR) dan melestarikan obat-obatan penting ini untuk masa depan.
Dokter hewan melalui Pemerintah (Ditjen PKH)
dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) harus menyusun “Pedoman
Penggunaan Antimikroba yang Bijak dan Bertanggung jawab untuk Dokter Hewan”
sebagai langkah nyata dari peran dokter hewan dalam mengatasi masalah AMR.
Sumber:
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil Ph.D. 2020.
Peran Dokter Hewan dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba di Sektor
Kesehatan Hewan. Webinar “Risiko Resistensi Antimikroba dan Penggunaan Antimikroba yang
Bijak dan Bertanggung Jawab” – 30 November 2020 World Antibiotic Awareness Week 2020.
No comments:
Post a Comment