Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday 17 December 2020

Peran Dokter Hewan dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba dengan Pendekatan One Health


Resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) merupakan salah satu tantangan global terbesar pada akhir-akhir ini.  Kedokteran hewan modern dibangun di atas kemampuan dokter hewan untuk mengendalikan infeksi bakteri, dan sangat tidak terbayangkan apabila kita tidak memiliki kemampuan itu lagi. Tanpa kemampuan ini, berbagai prosedur medis terutama dalam pengobatan hewan sakit dan prosedur tindakan bedah yang saat ini dianggap sebagai pekerjaan rutin akan menjadi tidak mungkin; bahkan infeksi setelah bedah kecil mungkin saja bisa mengancam jiwa hewan yang menjadi pasien.

 

Meskipun ada konsekuensi potensial yang signifikan tentang resistensi antimikroba, belum ada pengukuran kuantitatif mengenai konsumsi antimikroba secara global oleh ternak.  Konsumsi antibiotik pada sektor peternakan diperkirakan lebih dari 63.000 (±1500) ton pada 2010 dan diestimasi akan meningkat menjadi 67% pada 2030 (Van Boeckel TP et al., 2015).  Konsumsi antibiotik di sektor peternakan, rata-rata konsumsi antimikroba sapi secara umum lebih rendah (45 mg/PCU) daripada ayam (148 mg/PCU) dan babi (172 mg/PCU) (Van Boeckel TP. et al., 2015).

 

Peran antimikroba pada hewan

 

Dalam kedokteran hewan, penggunaan antimikroba adalah kompleks, dan metoda pemberiannya berbeda, bergantung kepada konteks dan pertimbangan spesies hewan.   Sementara untuk hewan peliharaan mengikuti proses yang sama seperti resep untuk manusia, sedangkan hewan penghasil pangan pengendalian infeksi bakteri dapat dicapai dengan cara terapeutik, metafilaktik, dan profilaktik setelah pemberian resep dokter hewan. Dokter hewan adalah profesional medis, dan mempunyai tanggung jawab kesehatan masyarakat untuk memastikan antibiotik digunakan dengan tepat dan bijak untuk melestarikan efikasi antibiotik untuk hewan dan manusia.

 

Masalah AMR dalam kedokteran hewan

Resistensi antimikroba (AMR) adalah ketika mikroba berevolusi menjadi lebih resisten atau sepenuhnya resisten terhadap antimikroba yang sebelumnya dapat mengeliminasinya.  Kedokteran hewan memiliki masalah resistensi antimikroba yang semakin meningkat di semua bidang kegiatan, dengan dampak pada kesehatan masyarakat. Munculnya methicilin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang dikaitkan dengan ternak dan methicillin-resistan. Staphylococcus pseudintermedius (MRSP) pada hewan peliharaan hanyalah satu contoh dari kemunculan dan menyebarnya resistensi antimikroba, dengan dampak pada kesehatan manusia.

 

Resistensi antimikroba dapat menyebar antara hewan, manusia dan lingkungan

 

Akibat penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan, bakteri dan gen resisten dapat disebarluaskan antara hewan dan manusia melalui berbagai jalur, seperti kontak hewan/manusia, lewat rantai pangan, dan lingkungan sekitar (Harrison, E.M. et al., 2013; Economou, V. et al., 2015).   MRSA pada manusia pertama kali muncul di rumah sakit pada 1970- an, dan pada 1990-an meningkat secara dramatis di seluruh dunia, menjadi suatu masalah klinis yang serius di lingkungan rumah sakit.   MRSA pada hewan juga diidentifikasi akhir-akhir ini; penting untuk membedakan antara MRSA yang diisolasi pada hewan peliharaan, dan MRSA dari hewan produksi pangan.  Evolusi MRSA pada spesies hewan berbeda menjadi suatu kajian kritis terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kemunculannya dari sudut pandang kesehatan hewan dan kesehatan manusia.

 

Contoh AMR pada hewan ke manusia

Pengenalan enrofloxacin dalam kedokteran hewan dengan cepat diikuti oleh munculnya resistensi fluoroquinolone di antara isolat Campylobacter dari ayam pedaging, dan tak lama kemudian pada manusia.

 

Seperti halnya dengan avoparcin, resistensi terhadap fluoroquinolone pada populasi manusia dan hewan tetap langka di negara-negara yang belum menggunakan fluoroquinolone pada hewan penghasil pangan.

 

Peningkatan resistensi cephalosporin generasi ke-3 pada Salmonella dan E. coli juga diamati menyusul peningkatan penggunaan antibiotik ini pada hewan. Selanjutnya, penarikan dan introduksi kembali antibiotik ini kemudian diikuti dengan penurunan dan munculnya lagi masalah resistensi di antara isolat Salmonella dari hewan dan manusia.

 

Antimikroba untuk penggunaan medis veteriner: pemberian suatu antimikroba kepada individu atau sekelompok hewan untuk pengobatan, pengendalian atau pencegahan penyakit infeksius.

 

Antimikroba untuk penggunaan non medis veteriner (non veterinary medical use of antimicrobial agents): pemberian antimikroba kepada hewan untuk tujuan selain pengobatan, pengendalian atau pencegahan penyakit infeksius; termasuk pemacu pertumbuhan.

 

Pengobatan: pemberian antimikroba kepada individu atau sekelompok hewan yang menunjukkan gejala klinis dari suatu penyakit infeksius.

 

Pengendalian: pemberian antimikroba kepada sekelompok hewan yang berisikan hewan sakit dan hewan sehat (diduga terinfeksi), untuk meminimalkan atau menghentikan gejala klinis dan mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut.

 

Pencegahan: pemberian antimkiroba kepada individu atau sekelompok hewan yang berisiko yang memperoleh infeksi spesifik atau dalam situasi spesifik dimana penyakit infeksius cenderung akan terjadi jika obat tidak diberikan.

 

Pemacu pertumbuhan (growth promotor): pemberian antimikroba kepada hewan hanya untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan berat badan atau efisiensi pemanfaatan pakan. Growth Promoter merupakan zat yang dapat memacu dan mempercepat pertumbuhan hewan ternak, dengan cara pemberian dicampur dalam pakan (feed additive).

 

Upaya yang harus dilakukan dalam dunia kedokteran hewan:

· mempromosikan penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab pada hewan;

·    mengumpulkan data penggunaan antimikroba veteriner di seluruh Indonesia; dan

· menyediakan rekomendasi saintifik tentang penggunaan antimikroba tertentu pada hewan.

 

 

Tiga faktor penentu perilaku profesional dalam penelitian alternatif teurapetik dan manajemen untuk mengurangi penggunaan antimikroba:

·   Etika aturan sains

· Menentukan norma bagi dokter hewan yang memungkinkan regulasi penggunaan antimikroba yang benar dan rasional.

·   Komunikasi dan edukasi kepada dokter hewan di sektor produksi dan veteriner.

 

Mudah sekali mengakses antibiotik cecara online menghambat kebijakan “penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab” sehingga bisa meningkatkan risiko munculnya resistensi bakteri.

· Di Indonesia, antibiotik untuk hewan dijual melalui “tokopedia”, “bukalapak”, “shopee”, “blibli”, “Lazada”, dan lainnya.

· Jenis antibiotik yang dijual, misalnya: Limoxin, Oxylin Oksitetrasiklin, Penstrep, Medoxy-LA, Animalcylin, Roxine, dan lainnya.

·  Search Google dengan kata kunci “buy veterinary antibiotics”, ternyata 57% website beroperasi di Amerika Serikat, dan 55% di antaranya tidak perlu resep. Fluoroquinolone ditawarkan oleh 79% website (49% tanpa resep), macrolide ditawarkan 72% website (45% tanpa resep), dan generasi ke-3 dan 4 cephalosporin ditawarkan oleh 49% website (27% tanpa resep).

 

Maka penjualan antibiotik via online untuk hewan perlu diatur (Garcia JF et al., 2020).

 

Prinsip penggunaan antimikroba

 

Pembuatan resep dan dispensasi antimikroba harus dijustifikasi oleh diagnosis dokter hewan sesuai status pengetahuan ilmiah saat ini.

· Apabila perlu untuk meresepkan antimikroba, pembuatan resep harus didasarkan pada diagnosis yang dibuat setelah pemeriksaan klinis hewan oleh dokter hewan yang meresepkan. Jika memungkinkan, pengujian kepekaan antimikroba harus dilakukan untuk menentukan pilihan antimikroba.

· Antimikroba metafilaksis harus diresepkan hanya ketika ada kebutuhan nyata untuk pengobatan. Dalam kasus seperti ini, dokter hewan harus menjustifikasi dan mendokumentasikan pengobatan berdasarkan temuan klinis tentang perkembangan penyakit dalam kelompok atau flok.

 

Antimikroba metafilaksis tidak boleh digunakan untuk menggantikan praktik manajemen yang baik.

· Profilaksis rutin harus dihindari. Profilaksis harus dicadangkan hanya untuk indikasi khusus kasus yang luar biasa.

·Pemberian pengobatan kepada seluruh kelompok atau flok harus dihindari bila memungkinkan. Hewan yang sakit harus diisolasi dan dirawat secara individual (misalnya dengan memberikan suntikan).

·  Semua informasi yang berkaitan dengan hewan, penyebab dan sifat alami infeksi dan berbagai produk antimikroba yang tersedia harus diperhitungkan ketika membuat keputusan pengobatan antimikroba.

 

Antimikroba spektrum sempit harus selalu menjadi pilihan pertama kecuali kalau uji kepekaan dilakukan sebelumnya - jika tepat didukung data epidemiologis yang relevan yang menunjukkan bahwa antimikroba ini tidak akan efektif.

· Penggunaan antimikroba spektrum luas dan kombinasi antimikroba harus dihindari (dengan pengecualian kombinasi tetap yang sudah terkandung dalam produk obat hewan yang diotorisasi).

· Jika hewan atau kelompok hewan menderita infeksi berulang yang membutuhkan pengobatan antimikroba, upaya harus dilakukan untuk membasmi strain mikroorganisme dengan menentukan mengapa penyakit ini berulang, dan mengubah kondisi produksi, budidaya peternakan dan/atau manajemen.

 

Penggunaan antimikroba yang rentan menyebarkan resistensi yang dapat ditularkan harus diminimalkan.

·   Antimikroba yang tidak mendapatkan otorisasi pemasaran sebagai produk obat hewan untuk digunakan pada hewan penghasil pangan hanya bisa digunakan ‘off-label’ jika mengandung senyawa yang diperbolehkan.

· Penggunaan ‘off-label’ antimikroba yang dimaksud di atas untuk hewan bukan penghasil pangan (misalnya hewan peliharaan dan hewan untuk olahraga) harus dihindari dan sangat terbatas pada kasus yang luar biasa, misal ada alasan etik untuk melakukan itu, dan hanya jika uji kepekaan laboratorium telah mengonfirmasi bahwa tidak ada antimikroba lain yang akan efektif.

 

Pengobatan antimikroba harus diberikan kepada hewan mengikuti instruksi yang diberikan dalam resep dokter hewan.

· Kebutuhan untuk terapi antimikroba harus dinilai kembali secara reguler untuk menghindari pengobatan yang tidak perlu.

· Jika memungkinkan, strategi alternatif untuk mengendalikan penyakit yang telah terbukti sama efisien dan aman (misal vaksin) harus lebih disukai daripada pengobatan antimikroba.

· Sistim farmakovigilans harus digunakan untuk mendapatkan informasi dan umpan balik kegagalan terapeutik, sehingga dapat mengidentifikasi potensi masalah resistensi dalam kasus penggunaan opsi pengobatan yang ada, yang baru atau yang alternatif.

 

Antimikroba menurut WHO dan OIE

 

Kelas antimikroba yang digunakan hewan dan manusia βlactams Penicillin, amoxicillin; ceftiofur Macrolides dan lincosamides Tylosin; tilmicosin; tulathromycin, lincomycin Aminoglycosides Gentamicin; neomycin Fluroquinolones Enrofloxacin, danofloxacin Tetracyclines Tetracycline; oxytetracycline, chlortetracycline Sulfonamides Various Streptogramins Virginiamycin Polypeptides Bacitracin Phenicols Florfenicol Pleuromultilin Tiamulin

 

WHO menentukan 5 (lima) kelompok antimikroba sebagai “highest priority critically important antimicrobials” (HP-CIA) (cephalosporin generasi ke-3, 4, dan 5, fluoroquinolone, glycopeptide, macrolide, begitu juga polymyxin). Antimikroba ini dipertimbangkan esensial untuk pengobatan infeksi spesifik pada manusia, dan penggunaannya pada ternak harus dibatasi.

 

OIE mempertimbangkan 3 (tiga) dari kelompok antimikroba di atas (cephalosporin generasi ke-3 dan 4, fluoroquinolone, dan macrolide) sebagai “Veterinary Critically Important Antimicrobial Agents” (VCIA) harus tidak digunakan sebagai pengobatan preventif yang diberikan melalui pakan dan air minum pada keadaan tidak ada gejala klinis pada hewan.

 

Peresepan oleh dokter hewan

Dokter hewan perlu mempertimbangkan secara hati-hati ketika meresepkan antibiotik, terutama antibiotik yang penting untuk kedokteran manusia, untuk membantu melestarikan obat penyelamat jiwa ini ke masa depan.

· Dalam membuat keputusan terapeutik, dokter hewan juga perlu mempertimbangkan masalah lain, misalnya masa henti obat (withdrawal time) dan interval pemotongan pada kasus hewan penghasil pangan.

· Jika memungkinkan, pilihan harus didasarkan pada kultur dan uji kepekaan (susceptibility testing) dan spektrum antibiotik tersempit yang efektif melawan infeksi.

 

Pedoman peresepan antibiotik

Australian Veterinary Association (AVA) pada 2017 memulai proyek bersama dengan Animal Medicines Australia, untuk mengembangkan pedoman praktik peresepan yang baik untuk berbagai spesies ternak.

▪ Pedoman yang sudah diterbitkan adalah untuk babi dan unggas.

▪ Pedoman yang akan dibuat menyusul untuk domba, sapi perah, sapi potong dan feedlot, dan kuda.

 

Penggunaan antibiotik yang sangat penting untuk kesehatan manusia.  Antibiotik pilihan pertama (first line antibiotics): digunakan setelah diagnosa bersamaan dengan pendekatan pengobatan alternatif lainnya.

· Antibiotik pilihan kedua (second line antibiotics) digunakan secara terbatas ketika uji kepekaan atau hasil klinis sudah membuktikan bahwa antibiotik pilihan pertama tidak efektif.

· Antibiotik pilihan ketiga (third line antibiotics) digunakan sebagai upaya terakhir. Antibiotik harus digunakan hanya apabila opsi lain tidak tersedia dan sedapat mungkin diberikan hanya setelah uji kepekaan selesai.

 

Faktor lain yang harus diperhatikan

·     Pengobatan lokal individu (mis. injeksi ambing, tetes mata atau telinga).

·     Pengobatan parenteral individu (intravena, intramuskular, subkutan).

·     Pengobatan oral individu (seperti tablet, bolus oral).

·     Pengobatan injeksi kelompok (metafilaksis), hanya apabila telah dijustifikasi.

·  Pengobatan oral kelompok lewat air minum/susu pengganti (metafilaksis), hanya  apabila telah dijustifikasi.

·  Pengobatan oral kelompok lewat pakan atau premiks (metafilaksis), hanya apabila telah dijustifikasi.

 

REKOMENDASI

Dokter hewan harus menggunakan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab dalam upaya untuk memberikan layanan yang optimal bagi pasien hewan, mengurangi perkembangan resistensi antimikroba (AMR) dan melestarikan obat-obatan penting ini untuk masa depan.  


Dokter hewan melalui Pemerintah (Ditjen PKH) dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) harus menyusun “Pedoman Penggunaan Antimikroba yang Bijak dan Bertanggung jawab untuk Dokter Hewan” sebagai langkah nyata dari peran dokter hewan dalam mengatasi masalah AMR.

 

Sumber:

Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil Ph.D. 2020. Peran Dokter Hewan dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba di Sektor Kesehatan Hewan.  Webinar “Risiko Resistensi Antimikroba dan Penggunaan Antimikroba yang Bijak dan Bertanggung Jawab” – 30 November 2020 World Antibiotic Awareness Week 2020.

 

 

No comments: