Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, 29 July 2008

Belajar Ekspor Mangga kepada Mindano Selatan

Mindano bangga dengan dua Instalasi Vapor Heat Treatment (VHT) yang baru

Instalasi baru VHT di Mindano Selatan telah meningkatkan kemampuan pemasok mangga lokal dalam meningkatkan mutu pasca panen bisa memenuhi standar karantina sehingga mampu masuk ke pasar ekspor. Southern Philippine Fresh Fruits Corporation mulai mengoperasikan dua peralatan baru VHT sejak akhir tahun lalu. Instalasi VHT senilai P52-juta ini mampu mentreatment 12 metrik ton mangga yang dioperasikan selama 18 jam.

Pada pengiriman uji coba ke Jepang Desember tahun lalu Southern Philippine Fresh Fruits Corporation mengekspor 21 metrik ton mangga segar yang telah ditreatment dengan VHT, kata Chritine Legaspi, Wakil Pimpinan perusahaan tersebut. “Jepang mempunyai standar yang ketat baik dalam hal kesehatan maupun mutu buah. Sehingga kami merasa senang ketika seluruh pengiriman uji coba tersebut dapat melewati karantina” kata Legaspi.

Ia menambahkan bahwa Southern Philippine Fresh Fruits Corporation dibantu oleh USAid's Growth with Equity in Mindanao (GEM) Program dalam pemantapan hubungan dengan pembudidaya yang menghasilkan mangga bermutu bagus.

Menurut Kantor Statistik Nasional, Jepang merupakan pasar terbesar mangga Mindano. Pada tahun 2007, wilayah pulau ini mengirim langsung ke Jepang 1.092 metrik ton mangga segar dengan mutu bagus dengan nilai US$ 2.750.328.

Dalam periode 2006-2007, total volume ekspor mangga segar dari Mindano naik sebanyak 46.8% (dari 1.357 metrik ton menjadi 1.992 metrik ton), sementara nilai ekspor mangga menjadi dua kali lipat (dari US$1,795,653 menjadi US$3,592,770), kata pejabat Pusat Statistik Nasional. Jumlah negara yang mengimpor mangga dari Philipina meningkat dari 11 menjadi 14.

Negara pengimpor utama mangga Mindanao yang lain pada tahun 2007 adalah Korea Selatan (484 MT - US$484,408), Amerika Serikat (28 MT- US$154,810), Hong Kong (185 MT - US$88,850), Iran (17 MT - US$43,950), Malaysia (4 MT - US$23,149), dan China (128 MT - US$21,439).

Beberapa Negara seperti China, menerima impor mangga yang telah ditreatment dengan air panas. Akan tetapi vapor heat treatment dipersyaratkan bagi semua mangga yang masuk ke Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Sampai sekarang, hanya 20% mangga Mindano yang sesuai dengan standar yang dipersyaratkan Jepang, akan tetapi Southern Philippines Fresh Fruits Corporation dan perusahaan sejenis lainnya telah membantu peningkatan volume ekspor mangga asal Mindano.

Diamond Star, satu diantara eksportir mangga segar terbesar di Philiphina telah membangun Instalasi Vapor Heat Treatment di Mindano berlokasi di Carmen, Davao del Norte.

Keuntungan daerah Mindanao adalah tidak ada topan, kata Antonio Teh, Pimpinan Southern Mindanao Mango Council. “Petani mangga Mindano dapat memproduksi mangga dari bulan Juli sampai dengan bulan Desember, waktu dimana produksi mangga di Luzon dan Visayas jatuh akibat banyaknya angin topan”, kata Teh. Mindanao Fruit Industry Council (Minfruit), bermitra dengan GEM Program, telah membantu petani dalam pengembangan produksi mangga ketika produksi berkurang dan bekerja sama dengan kalangan industri mangga untuk memperkuat rantai pasokan produksi.

Budidaya mangga di musim hujan memerlukan biaya yang lebih besar. Tetapi telah dapat diatasi dengan cara memenuhi standar impor tinggi seperti Jepang yang membayar sebanyak P85 per kg. “Dengan fasilitas VHT baru dan masuknya instalasi pemrosesan yang lain, mangga Mindano mempunyai kesempatan yang lebih baik memasuki pangsa pasar luar negeri yang menguntungkan. Masa-masa yang menggembirakan bagi industri mangga” Teh menambahkan.

Harapan kami dari Tokyo, Indonesia dapat membangun dan mengoperasikan Instalasi VHT secepatnya karena pintu masuk ke Jepang dengan fasilitas bebas tarif telah dibuka sejak 1 Juli 2008. Mari kita pergunakan momentum ini dengan sebaik-baiknya.

Sumber: sunstar.com.ph; 6/13/2008

Jambu Mete Varietas Meteor YK

Kelebihan dari varietas Meteor YK ini terdapat keseragaman pertumbuhan baik pada tanaman yang lama dan yang baru. Pertumbuhan tanaman tetap menghijau pada musim kemarau disaat tanaman lainnya mengering, rasa kacangnya gurih dan manis sehingga sangat disukai oleh konsumen. Keunggulan spesifik lainnya adalah produksi gelondong, rendemen kacang, kadar protein kacang dan rasa kacang mete lebih baik dari varietas jambu mete yang ditetapkan sebelumnya seperti Gunung Gangsir 1 (GG 1) dan Segayung Muktiharjo 9 (SM 9).

A.PENDAHULUAN

Tanaman jambu mete merupakan salah satu tanaman yang mampu hidup baik pada lahan marginal beriklim kering seperti di daerah Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Tanaman ini diperkenalkan pertama kali di Desa Semuluhlor, Kabupaten Gunung Kidul pada tahun 1922 oleh seorang pamong desa. Lama kelamaan tanaman ini menyebar luas di daerah tersebut seiring dukungan dari program pemerintah dalam membangun subsektor perkebunan yang memberi tekanan pada pengembangan tanaman jambu mete.

Masyarakat di DI Yogyakarta dalam mengembangkan tanaman jambu mete kebanyakan menggunakan bahan tanaman dari pohon induk di Semuluhlor, Kabupaten Gunung Kidul. Secara umum buah jambu mete mempunyai manfaat seperti : buah semu dapat dipergunakan untuk abon dan makanan ternak golongan ruminansia, biji sebagai kacang mete dan kulit biji dapat menghasilkan ”Cashew Nut Shell Liquid (CNSL)” suatu minyak yang dapat dipergunakan sebagai pelumas mesin jet, kosmetik dan lainnya.

B. ASAL USUL DAN CARA SELEKSI

Pada tahun 1972/1973 tanaman ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai tanaman penghijauan untuk wilayah DI Yogyakarta dan sekitarnya. Benih tanaman jambu mete yang berasal dari Semuluhlor ini mulai menyebar ke daerah lainnya seperti ke provinsi Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sjawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Kemudian tahun 1980, melalui Proyek P4 dan Tahun 1990 Proyek P2WK, Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY mengembangkan tanaman jambu mete ini di Kabupaten Gunung Kidul, Bantul dan Kulonprogo. Akibatnya banyak industri kecil di masyarakat bermunculan dan mulai tumbuh cepat seperti pengacipan, pengolahan kacang mete yang mampu memenuhi kebutuhan didaerah sekitar, bahkan mampu diekspor ke India, Jepang dan Eropa. Kulit bijinya selain menghasilkan ”CNSL” ampas/kulitnya kacang mete dipres menjadi bahan bakar dalam pembuatan bata merah.

Melihat penampilan dan produksi tanaman ini cukup menjajikan, tahun 1996 Direktorat jenderal Perkebunan menetapkan Blok penghasil Tinggi (BPT) untuk kebun petani yang ada di Semuluhlor, Gunungkidul dan Bantul, DIY.

Untuk melengkapi data karakteristik tanaman yang ada di BPT Yogyakarta, maka pada tahun 2007 dilakukan evaluasi ulang untuk menetapkan kembali BPT dan pohon induk yang telah ditetapkan sebelumnya. Penggagas ide untuk melaksanakan penelitian, pengkajian, evaluasi dan mempersiapkan pelepasan varietas Meteor YK ini difasilitasi oleh Pemda DIY, Balittri Bogor dan BPTP Yogyakarta.

C. KARAKTER SPESIFIK METEOR YK

Bila dibandingkan dengan pendahulunya seperti varietas Gunung Gangsir 1 (GG 1) dan Segayung Muktiharjo 9 (SM 9), Meteor YK memiliki sifat yang khas seperti bentuk buah bulat segitiga, aroma buah harum segar, rasa buah manis, daging buah lembut berserat, rasa kacang gurih dan manis.

Sekilas digambarkan sebagian keunggulan Meteor YK dibandingkan dengan GG 1 dan SM 9 antara lain :

1. Bentuk batang
Meteor YK: bulat silindris; GG1: Bulat; SM9: bulat agak gepeng

2. Bentuk buah semu
Meteor GG: lonjong segitiga; GG1: Lonjong panjang; SM9: Lonjong

3. Bentuk kacang mete
Meteor YK: ginjal ujung tumpul; GG1: ginjal gepeng kecil; SM9: ginjal

4. Rasa kacang mete
Meteor: Gurih dan nyaman; GG1: Gurih; SM9: Tawar

5. Tebal biji gelondong basah
Meteor YK: 6,0 - 6,2 ; GG1: 1,5 – 1,9 ; SM9: 2,1 – 2,55

6. Berat biji kacang mete
Meteor YK:1,7 -1,9 gr ; GG1: 1,66 gr; SM9: 3,32 gr

7. Kadar gula (% brix)
Meteor YK: 11-16 ; GG1: 10,24; SM9: 12,7

8. Hasil/phn/Thn umur 10 Thn
Meteor YK:15 Kg; GG1: 8,9 Kg; SM9: 10 Kg

9. Rasa daging buah
Meteor YK: Manis ; GG1:- ; SM9: -

B. STRATEGI YANG GEMILANG

Dengan kemampuan dan inisitaif yang cukup kreatif dari Pemda DIY yang difasilitasi oleh para peneliti dari BPTP Yogyakarta dan Balittri, Bogor, sehingga potensi daerah yang selama ini belum terungkap dapat diusung menjadi potensi daerah sekaligus potensi nasional. Jambu mete varietas Meteor YK ditetapkan sebagai benih bina dan varietas unggul melalui Surat Keputusan menteri Pertanian Nomor : 338/Kpts/SR.120/3/2008 tanggal 28 Maret 2008. Secara konstitusi varietas tersebut sudah dapat dilepas ke masyarakat dengan label benih unggul dan bermutu. Kebun yang menghasilkan varietas metor YK terlebih dahulu harus ditetapkan sebagai sumber benih oleh Direktur Jenderal Perkebunan. Selain itu juga Varietas Meteor YK telah didaftarkan ke Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (PPVT), Dep Pertanian dengan Surat No. 595/LB.240/A.11/11/2007 tanggal 19 November 2007, untuk mendapatkan perlindungan dari negara.

Salah satu keuntungan yang dinikmati oleh petani yang kebunnya ditetapkan sebagai sumber benih jambu mete Metor YK adalah royalty dari hasil penjualan benih selain komponen hasil lainnya.

Kemungkinan masih banyak potensi-potensi daerah yang belum tergali oleh para peneliti dan pemda setempat, kesempatan seperti Meteor YK ini dapat memberikan motivasi bagi daera-daerah lain untuk segera melaksanakan persiapan pelepasan varietas lokal yang potensial.Tidak ada yang sulit, asalkan ada kemauan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam melestarikan sumber daya genetik yang begitu banyak di negeri ini.

Sumber: Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi, Ditjen Perkebunan, Deptan, 26 Juni 2008

Forum Perlindungan Varietas Tanaman bagi Negara-negara Asia Timur Diresmikan di Tokyo

Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) telah mendapat perhatian masyarakat dunia termasuk negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur. Negara ASEAN+3 yang terdiri atas Brunei, Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Philipina, Singapura, Thailand, Vietnam, China, Jepang, dan Korea Selatan, akhirnya sepakat membentuk forum yang berhubungan dengan PVT dengan nama East Asia Plant Variety Protection Forum (EAPVP Forum).

Sebenarnya forum ini telah digagas tahun lalu ketika diselenggarakannya Workshop on the Cooperation and Harmonization in Plant Variety Protection in the Asian Region di Tokyo, pada 5 Oktober 2007. Saat itu dilakukan pertukaran pendapat dan pandangan antara perwakilan pemerintah dan organisasi dari negara-negara ASEAN+3 untuk membentuk sistem perlindungan varietas tanaman yang lebih kuat. Pada saat itu telah disepakati pernyataan bersama termasuk kerjasama bidang perlindungan varietas tanaman.

Kemudian pada 2 November 2007 dalam 7th Meeting of the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry plus 3 (AMAF+3) di Bangkok proposal Jepang tentang pembentukan Forum EAPVPF ini diterima yang kemudian melahirkan pertemuan pertama kalinya pada 23 Juli 2008 di Tokyo. Pertemuan perdana Forum EAPVP ini yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah dari negara-negara ASEAN+3 untuk mengukuhkan pembentukan Forum EAPVP. Indonesia diwakili oleh Dr. Mulyanto Inspektur Jenderal Departemen Pertanian dan Ir. Hindarwati, MSc Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Departemen Pertanian.

Ada 3 landasan dasar operasinal forum EAPVP yaitu: (1) kepentingan sistem perlindungan varietas tanaman, (2) kegunaan pengembangan dan harmonisasi sistem perlindungan varietas tanaman, (3) Pembentukan East Asia Plant Variety Protection Forum. Aktivitas yang akan dikerjakan forum dititikberatkan pada: (1) kebijakan kegiatan operasional dan (2) pertukaran informasi perlindungan varietas tanaman antar negara-negara anggota.

Kerangka kerja forum ini meliputi: (1) partisipasi negara anggota forum dan negara organisasi yang diundang, (2) pelaksanaan pertemuan-pertemuan, (3) penyusunan rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan, (4) pelaksanaan kegiatan kesekretariatan.
Forum ini menetapkan lima kerangka kerja yaitu: (1) kerjasama dalam capacity building, (2) kegiatan kerjasama untuk pengembangan dan harmonisasi sistem perlindungan varietas tanaman, (3) kegiatan kerjasama yang berhubungan dengan pengujian, (4) kerjasama penelitian dan pengembangan tehnik identifikasi varietas tanaman dengan analisis DNA, dan (5) pembuatan website resmi.

Khusus untuk kerjasama dalam capacity building, ada tiga hal yang dijadikan fokus. Pertama, program pelatihan internasional dengan mengundang trainee dari negara-negara peserta. Enam program akan direncanakan oleh negara China, Jepang dan Korea Selatan. Kedua, workshop, seminar dan pelatihan dengan mengundang petugas bidang perlindungan varietas tanaman dari negara-negara peserta. Tujuh program ini akan disiapkan oleh Indonesia, Myanmar, Philipina, Thailand dan Vietnam. Ketiga, pengiriman tenaga ahli ke negara-negara peserta. Untuk itu, China, Jepang dan Korea akan menyediakan tenaga ahli bidang perlindungan varietas tanaman.

Kerjama teknis meliputi (1) harmonisasi garis besar pengujian termasuk pengujian kebaruan, keunikan, keseragaman dan kestabilan, (2) pengembangan dan penggunaan data base yang berhubungan dengan perlindungan varietas tanaman, (3) pengembangan sistem aplikasi secara elektronik. Pada kerjasama dalam pengujian, negara peserta dengan kepentingan yang sama akan memulai penyelidikan dan pengkajian pemanfaatan data pengujian umum.

Forum ini menyadari perlunya website resmi yang merupakan sarana untuk mencapai tujuan bersama anggota forum. Melalui tukar pikiran dan informasi dalam Forum EAPVP akan mendorong perluasan dan peningkatan hubungan kegiatan kerjasama di negara ASEAN+3 dan mendukung realisasi landasan umum sistem perlindungan varietas tanaman di setiap negara. Akhirnya harmonisasi sistem perlindungan varietas tanaman di negara ASEAN+3 dapat terealisasi.

Dari 13 negara ASEAN+3 yang telah masuk menjadi anggota International Union for Protection New Varieties of Plants (UPOV) yang berkedudukan di Genewa, Swis tercatat baru 5 negara yaitu China (Act of 1978), Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam (Act of 1991). Pada November 2007 jumlah anggota UPOV seluruhnya tercatat 65 negara.

Pada Juni 2008, Indonesia, Malaysia, Philipina, dan Jepang masih melindungi semua tanamannya. Akan tetapi Korea Selatan telah membuat daftar tanaman yang dilindungi sebanyak 223 varietas, sedangkan China 152 varietas, Thailand 33 varietas, dan Vietnam 27 varietas.

Melalui forum ini, Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan diri menjadi anggota UPOV. Dengan menjadi anggota forum ini, di dalam negeri sendiri diharapkan para peneliti dan breeder akan terdorong untuk meningkatkan kerjasama dalam pengembangan varietas unggul tanaman Indonesia. Para petani dapat meningkatkan mutu dan kwantitas produksinya dengan menggunakan varietas bibit unggul, di pihak lain breeder dapat memperoleh intensif melalui hak atas kekayaan intelektualnya.

Para breeder akan diberikan hak PVT sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian sertifikat hak PVT dilakukan apabila suatu varietas telah memenuhi persyaratan baru, unik, seragam dan stabil berdasarkan hasil pemeriksaan substantif. Pemerintah Indonesia melaksanakan pengembangan penerbitan sertifikasi hak PVT untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat pertanian secara nasional maupun internasional.

Sumber: Berita Iptek online 28 Juli 2008

Budidaya Jambu Mete ( Anacardium occidentale L. )

1. SEJARAH SINGKAT

Jambu mete merupakan tanamnan buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut Portugis ke India 425 tahun yang lalu, kemudian menyebar ke daerah tropis dan subtropis lainnya seperti Bahana, Senegal, Kenya, Madagaskar, Mozambik, Srilangka, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Di antara sekian banyak negara produsen, Brasil, Kenya, dan India merupakan negara pemasok utama jambu mete dunia. Jambu mete tersebar di seluruh Nusantara dengan nama berbeda-beda (di Sumatera Barat: jambu erang/jambu monye, di Lampung dijuluki gayu, di daerah Jawa Barat dijuluki jambu mede, di Jawa Tengah dan Jawa Timur diberi nama jambu monyet, di Bali jambu jipang atau jambu dwipa, dan di Sulawesi Utara disebut buah yaki.

2. JENIS TANAMAN

Jambu mete mempunyai puluhan varietas, di antaranya ada yang berkulit putih, merah, merah muda, kuning, hijau kekuningan dan hijau.

3. MANFAAT TANAMAN

Tanaman jambu mete merupakan komoditi ekspor yang banyak manfaatnya, mulai dari akar, batang, daun, dan buahnya. Selain itu juga biji mete (kacang mete) dapat digoreng untuk makanan bergizi tinggi. Buah mete semu dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan seperti sari buah mete, anggur mete, manisan kering, selai mete, buah kalengan, dan jem jambu mete.
Kulit kayu jambu mete mengandung cairan berwarna coklat. Apabila terkena udara, cairan tersebut berubah menjadi hitam. Cairan ini dapat digunakan untuk bahan tinta, bahan pencelup, atau bahan pewarna. Selain itu, kulit batang pohon jambu mete juga berkhasiat sebagai obat kumur atau obat sariawan. Batang pohon mete menghasilkan gum atau blendok untuk bahan perekat buku. Selain daya rekatnya baik, gum juga berfungsi sebagai anti gengat yang sering menggerogoti buku. Akar jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut. Daun Jambu mete yang masih muda dimanfaatkan sebagai lalap, terutama di daerah Jawa Barat. Daun yang tua dapat digunakan untuk obat luka bakar.

4. SENTRA PENANAMAN

Tanaman jambu mete banyak tumbuh di Jawa Tengah (Jepara, Wonogiri), Jawa Timur (Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pasuruan, dan Ponorogo), dan di Yogyakarta (Gunung Kidul, Bantul, dan Sleman). Di luar Pulau Jawa, Jambu mete banyak ditanam di Bali (Karangasem), Sulawesi Selatan (Kepulauan Pangkajene, Sidenreng, Soppeng, Wajo, Maros, Sinjai, Bone, dan Barru), Sulawesi Tenggara (Muna). dan NTB (Sumbawa Besar, Dompu, dan Bima).

5. SYARAT TUMBUH

5.1. Iklim

1) Tanaman jambu mete sangat menyukai sinar matahari. Apabila tanaman jambu mete kekurangan sinar matahari, maka produktivitasnya akan menurun atau tidak akan berbuah bila dinaungi tanaman lain.

2) Suhu harian di sentra penghasil jambu mete minimun antara 15-25 derajat C dan maksimun antara 25-35 derajat C. Tanaman ini akan tumbuh baik dan produktif bila ditanam pada suhu harian rata-rata 27 derajat C.

3) Jambu mete paling cocok dibudidayakan di daerah-daerah dengan kelembaban nisbi antara 70-80%. Akan tetapi tanaman jambu mete masih dapat bertoleransi pada tingkat kelembaban 60-70%.

4) Angin kurang berperan dalam proses penyerbukan putik tanaman jambu mete. Dalam penyerbukan bunga jambu mete, yang lebih berperan adalah serangga karena serbuk sari jambu mete pekat dan berbau sangat harum.
5) Daerah yang paling sesuai untuk budi daya jambu mete ialah di daerah yang mempunyai jumlah curah hujan antara 1.000-2.000 mm/tahun dengan 4-6 bulan kering (<60>
6. PEDOMAN BUDIDAYA

6.1. Pembibitan

Budidaya jambu mete dapat diperbanyak secara generatif melalui biji dan secara vegetatif dengan cara pencangkokan, okulasi, dan penyambungan. Biji yang akan ditanam harus berasal dari pohon induk pilihan. Cara penanganan biji mete untuk benih adalah :

a) Buah mete/calon bibit dipanen pada pertengahan musim panen.
b) Buah mete tersebut harus sudah matang dan tidak cacat.
c) Biji mete segera dikeluarkan dari buah semu lalu dicuci bersih, kemudian disortir.
d) Biji mete dijemur sampai kadar air 8-10%.
e) Bila dikemas dalam kantong plastik, aliran udara di ruang penyimpanan harus
lancar dengan suhu antara 25-30 derajat C dan kelembaban: 70 -80%.
f) Lama penyimpanan bibit 6 bulan, paling lama 8 bulan.
g) Sebelum ditanam, benih (biji mete) harus disemai dahulu.


6.2. Pengolahan Media Tanam

1) Persiapan

Sebelum ditanami lahan harus dibersihkan dahulu, pH harus 4-6, tanah tanaman jambu mete sangat toleran terhadap lingkungan yang kering ataupun lembab, juga terhadap tanah yang kurang subur. Daerah dengan tanah liat pun jambu mete dapat tetap bisa hidup dan berproduksi dengan baik. saat tanam jambu mete adalah awal musim hujan, pengolahan tanah sudah dimulai di musim kemarau.

2) Pembukaan lahan

Lahan yang akan ditanami jambu mete harus terbuka atau terkena sinar matahari dan disiapkan sebaik-baiknya.Tanah dibajak/dicangkul sebelum musim hujan. Batang-batang pohon disingkirkan dan dibakar, untuk tanah yang pembuangan airnya kurang baik dibuatkan parit-parit drainase.

3) Pemupukan

Pemberian pupuk kandang dimulai sejak sebelum penanaman. Sebaiknya disaat tanaman masih kecil, pemupukan dengan pupuk kandang itu diulangi barang dua kali setahun. Caranya dengan menggali lubang sekitar batang, sedikit diluar lingkaran daun. pupuk atau kompos dimasukkan kedalam lubang galian itu. Pemupukan berikutnya dilakukan dengan menggali lubang, diluar lubang sebelumnya. Pemberian pupuk kandang dan kompos, kecuali dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan fisik tanah.

6.3. Teknik Penanaman

1) Penentuan Pola dan Jarak Tanam

Pada budi daya monokultur jarak tanam dianjurkan 12 x 12 m. Maka dalam setiap satu ha lahan jumlah total tanaman yang dibutuhkan sebanyak 69 batang. Jarak tanam dapat dibuat dengan ukuran 6 X 6 m sehingga jumlah total tanaman yang dibutuhkan adalah 276 batang/ha. Kerapatan tanaman kemudian dijarangkan pada umur 6-10 tahun. Untuk efisiensi lahan, dapat diterapkan budidaya polikultur. Beberapa jenis tanaman bernilai ekonomis dapat dimanfaatkan sebagai tanaman sela. Sebagai contoh adalah tanaman palawija, rumput setaria, dan jambu mete. Bibit jambu mete yang berasal dari pencangkokan dapat ditanam dengan jarak 5 x 5 m, bila jarak tanam jambu mete 10 x 10 m. Kedua bentuk ini hanya dapat diterapkan di lahan datar. Di lahan miring harus disesuaikan dengan garis kontur.

2) Pembuatan Lubang Tanam

Cara membuat lubang tanam:

a) Tanah digali dengan ukuran : 30 x 30 x 30 cm. Bila jenis tanahnya sangat liat, ukuran lubang tanam dibuat: 50 x 50 x 50 cm. Bila di lubang tanam terdapat lapisan cadas, harus ditembus, agar akar dapat tumbuh sempurna dan terhindar dari genangan air.

b) Pada waktu penggalian lubang, lapisan tanah bagian atas dipisahkan ke arah Utara dan Selatan serta lapisan bawah ke arah Timur dan Barat.
d) Lubang tanam dibiarkan terbuka 4 minggu. Pada waktu penutupan lubang, tanah lapisan bawah dikembalikan ke tempat semula, disusul lapisan atas yang telah bercampur dengan pupuk kandang 1 pikul.

e) Di lubang tanam yang telah ditimbun dibuat ajir agar lubang tanam mudah
ditemukan kembali.

3) Cara Penanaman

Penanaman dapat dilakukan 4–6 minggu setelah lubang tanam disiapkan. Untuk mengurangi keasaman tanah, pembuatan lubang tanam sebaiknya dilakukan pada musim kemarau.Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

a) Bibit yang akan ditanam dilepas dari polybag. Tanah yang melekat pada akar dijaga jangan sampai berantakan agar perakaran bibit tidak rusak.
b) Penanaman dilakukan sampai sebatas leher akar atau sama dalamnya seperti sewaktu masih dalam persemaian. Bila menggunakan bibit dari okulasi dan sambung, diusahakan akar tunggangnya tetap lurus. Letak akar cabang diusahakan tersebar kesegala arah. Ujung-ujungnya yang patah/rusak sebaiknya dipotong.
c) Tanah disekitar batang dipadatkan dan diratakan agar tidak dapat terdapat rongga-rongga udara diantara akar dan tidak terjadi genangan air. Tanaman perlu diberi penyangga dari bambu agar dapat tumbuh tegak.

6.4. Pemeliharaan Tanaman

1) Penyiraman

Bibit yang baru ditanam memerlukan banyak air. Oleh karena itu tanaman perlu disiram pada pagi dan sore hari. Penyiraman dilakukan secukupnya dan air siraman jangan sampai menggenangi tanaman.

2) Penyulaman

Penyulaman dilakukan setalah tanaman berumur 2-3 tahun. Apabila tanaman berumur ≥3 tahun maka pertumbuhan tanaman sulaman umumnya kurang baik atau akan terhambat.

3) Penyiangan dan Penggemburan

Bibit jambu mete mulai berdaun dan bertunas setelah 2-3 bulan ditanam. Pembasmian gulma sebaiknya dilakukan sekali dalam 45 hari. Tanah yang disiram setiap hari tentu semakin padat dan udara di dalamnya semakin sedikit. Akibatnya, akar tanaman tidak leluasa menyerap unsur hara. Untuk itu tanah di sekitar tanaman perlu digemburkan.

4) Pemupukan

Tanaman jambu mete dipupuk dengan pupuk kandang, kompos, atau pupuk buatan. Pemberian pupuk kandang/ kompos dilakukan dengan cara menggali parit melingkar, di luar tajuk sebanyak 2 blek minyak tanah (20 kg). Pupuk dituangkan ke dalam parit dan ditutup dengan tanah. Pemupukan berikutnya dilakukan dengan pupuk buatan.

5) Pemangkasan

Cara pemangkasan tanaman jambu mete dilakukan sebagai berikut:

a) Tunas-tunas samping pada bibit terus-menerus dipangkas sampai tinggi cabang mencapai 1 - 1,5 m dari tanah.
b) Pilih 3 - 5 cabang sehat dan baik posisinya terhadap batang pokok .
c) Pemangkasan ini dilakukan sebelum tanaman berbunga. Pemangkasan untuk pemeliharaan dilakukan setelah tanaman berbuah.

6) Penjarangan

Penjarangan dilakukan bertahap pada saat tajuk tanaman saling menutupi. Apabila jarak tanaman 6 x 6 m dan ditanam secara monokultur maka tajuk tanaman diperkirakan sudah bersentuhan pada tahun 6 - 10 tahun. Pada saat itu penjarangan mulai dilakukan.

7. HAMA DAN PENYAKIT

7.1. Hama

Hama yang sering menyerang tanaman jambu mete adalah hama pengisap daun, nyamuk daun, penggerek daun, penggulung daun, ulat kipat, ulat hijau, dan ulat perusak bunga. Insektisida yang dianjurkan antara lain: Tamaron, Folidol, Lamnate, Basudin dan Dimecron dengan dosis 2cc atau 2 gram/liter air.

1) Ulat kipat (Cricula trisfenestrata Helf)

Pada tanaman terlihat kepompong bergelantungan. Ulat berwarna hitam bercak- bercak putih, kepala dan ekor warna merah nyala, seluruh tubuhnya ditumbuhi rambut putih. Telurnya berwarna putih, oval. Fase pupa berlangsung 4 minggu, fase kepompong 3-5 minggu. Gejala: daun-daun tidak utuh dan terdapat bekas gigitan; pada serangan yang hebat, daun dapat habis sama sekali, tetapi tanaman tidak mati; tanaman tidak akan menghasilkan buah, dan baru pulih setelah 18 bulan. Pengendalian: dengan menyemprotkan insektisida Symbush 50 EC atau Pumicidin dengan dosis 1,0 - 1,5 ml/liter air.

2) Helopeltis sp.

Tubuh imago berwarna hitam, kecuali abdomen bagian belakang sebelah bawah berwarna putih. Gejala: pada tunas-tunas daun muda, tangkai daun terdapat bercak-bercak hitam tidak merata; daun dan ranting segera mengering dan diikuti dengan gugurnya daun. Pengendalian: (1) melalui teknik bercocok tanam, misalnya dengan mengurangi tanaman inang atau tanaman peneduh; (2) dengan insektisida Agroline dengan dosis 0,2 % atau Thiodan dengan dosis 0,02 %.

3) Ulat penggerek batang (Plocaederus feeeugineus L)

Gejala: mula-mula daun berubah warna menjadi kuning; lama-kelamaan daun akan gugur/rontok dan tanaman dapat mati. Pengendalian: (1) dengan menangkap ulat penggerek tersebut; (2) dengan mengolesi sekitar permukaan batang/akar dengan larutan BMC 1-2% (20 gram/liter air).

4) Hama penggerek buah dan biji (Nephoteryx sp.)

Gejala: buah muda yang diserang hama ini akan berjatuhan dan kering, sedang buah tua isinya belum penuh. Pengendalian: belum didapatkan cara yang tepat, sebab larva instar yang jatuh terakhir dan menjadi pupa di tanah, maka hama dapat diberantas secara mekanis atau kimiawi, yaitu dengan menggunakan Karbaril 0,15%.

7.2. Penyakit

Penyakit yang sering menyerang adalah penyakit busuk batang dan akar, penyakit bunga dan putik, dan Antracnossis. Penyakit ini dapat dibasmi dengan Fungisida Zinc Carmamate, Captacol dan Theophanatea.

1) Penyakit layu

Penyakit ini muncul bila tempat pembibitan terlalu lembab dan jenuh air. Penyebab: jamur Phytophthora palmivora, Fusarium sp. dan Phytium sp. Gejala: bila tanaman tiba-tiba menjadi layu. Pengendalian: (1) dengan memperbaiki lingkungan pembibitan, seperti memperdalam parit pembuangan air dan mengurangi naungan yang terlalu rapat; (2) dengan penyemprotan Dithane M 45 secara teratur dan terencana.

2) Daun layu dan kering

Penyebab: bakteri Phytophthora solanacearum. Gejala: secara mencolok daun-daun berubah warna dari hijau menjadi kuning lalu gugur; beberapa cabang meranggas dan tanaman akhirnya mati; jaringan kayu pada batang yang terserang di bawah kulit berwarna hitam atau biru tua dan berbau busuk.

Pengendalian: tanaman yang terserang penyakit ini harus dibongkar sampai ke akar-akarnya supaya penyakit tidak menular ke tanaman lain; pencegahan harus secara terpadu; bibit dan alat-alat pertanian harus bebas dari kontaminasi bakteri dan karantina tanaman dilakukan secara konsekuen.

3) Bunga dan buah busuk

(1) Penyebab: Colletrichum sp., Botryodiplodia sp., Pestalotiopsis sp. Gejala: kulit buah hitam dan busuk.

(2) Penyebab: Pestalotiopsis sp, Colletrichum sp, Pestalotiopsis sp., Botryodiplodia sp., Fusarium sp. Gejala: permukaan kulit buah & kulit biji, kering kecoklatan & pecah-pecah, bunga & tangkainya busuk.

(3)Penyebab : Botryodiplodia sp. , Fusarium sp., Pestalotiopsis sp. Gejala: kulit biji busuk dan hitam. Pengendalian: (1) perlu dilakukan secara terpadu; (2) untuk memberantas jamur parasit ini beberapa fungisida yang efektif adalah Dithane M- 45, Delsene MX 200, Difolan 4F, Cobox, dan Cuproxy Chloride.

8. PANEN

8.1. Ciri dan Umur Panen

Ciri-ciri buah jambu mete yang sudah tua adalah sebagai berikut:
a) Warna kulit buah semu menjadi kuning, oranye, atau merah tergantung pada jenisnya.
b) Ukuran buah semu lebih besar dari buah sejati.
c) Tekstur daging semu lunak, rasanya asam agak manis, berair, dan aroma buahnya mirip aroma stroberi.
d) Warna kulit bijinya menjadi putih keabu-abuan dan mengilat.
Ketepatan masa panen dan penanganan buah mete selama masa pemanenan merupakan faktor penting. Tanaman jambu mete dapat dipanen untuk pertama kali pada umur 3-4 tahun. Buah mete biasanya telah dapat dipetik pada umur 60-70 hari sejak munculnya bunga. Masa panen berlangsung selama 4 bulan, yaitu pada bulan November sampai bulan Februari tahun berikutnya. Agar mutu gelondong/kacang mete baik, buah yang dipetik harus telah tua.

8.2. Cara Panen
Sampai saat ini ada dua cara panen yang lazim dilakukan di berbagai sentra jambu mete di dunia, yaitu cara lelesan dan cara selektif.

a) Cara lelesan
Dilakukan dengan membiarkan buah jambu mete yang telah tua tetap di pohon dan jatuh sendiri atau para petani menggoyang-goyangkan pohon agar buah yang tua berjatuhan.

b) Cara selektif
Dilakukan secara selektif (buah langsung dipilih dan dipetik dari pohon). Apabila
buah tidak memungkinkan dipetik secara langsung, pemanenan dapat dibantu
dengan galah dan tangga berkaki tiga.

8.3. Prakiraan Produksi

Banyaknya hasil panen tergantung dari umur tanam. Jambu mete yang berumur 3-4 tahun dapat menghasilkan gelondong kering 2-3 kg/pohon. Hasil ini meningkat menjadi 15-20 kg/pohon pada umur 20-30 tahun. Tanaman jambu mete sebenarnya masih dapat berproduksi sampai umur 50 tahun, tetapi masa paling produktifnya adalah pada umur 25-30 tahun.

9. PASCAPANEN

9.1. Pengumpulan

Mutu kacang mete di pasaran cukup bervariasi. Variasi mutu kacang mete tersebut
antara lain dipengaruhi oleh varietas tanaman jambu mete yang berbeda dan
perlakuan serta pengawasan selama proses pengolahan berlangsung. Banyaknya
varietas tanaman jambu mete yang ditanam oleh para petani indonesia
menyebabkan mutu mete yang dihasilkan sangat beragam baik mengenai ukuran
gelondong, warna, rasa, maupun rendamen kacang metenya.

9.2. Pengolahan Gelondong Mete

Pengolahan gelondong mete dapat dilakukan melalui tahapan berikut ini:
a) Pemisahan gelondong dengan buah semu
b) Pencucian
c) Sortasi dan pengelasan mutu
d) Pengeringan
e) Penyimpanan

9.3. Pengolahan Kacang Mete

Urutan pengolahan kacang mete adalah:
a) Pelembaban gelondong mete
b) Penyangraian gelondong mete
c) Pengupasan kulit gelondong mete
d) Pelepasan kulit ari
e) Sortasi dan pengelasan mutu
f) Pengemasan

10. ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA TANAMAN

10.1.Analisis Usaha Budidaya

10.2.Gambaran Peluang Agribisnis

Jambu mete mulai berbuah pada umur 5 tahun. Panen setiap tahun, hasilnya meningkat mulai umur 8 - 10 tahun. Setelah itu berbuah lebat hingga lebih dari 20 tahun. Dengan menanam jambu mete, disamping menjaga kelestarian tanah dan air, setiap hektar akan diperoleh 100 pohon x 5 kg/pohon x Rp. 500,- = Rp. 250.000,- (tahun 1988)

11. STANDAR PRODUKSI

11.1.Ruang Lingkup

Mutu kacang mete dinilai dari bentuk, ukuran biji, bobot biji dan warna. Selain itu juga faktor rasa, bau, dan tekstur ikut mem-pengaruhi mutu kacang mete, terutama dalam hubungannya dengan penerimaan konsumen. Rasa kacang mete dipengaruhi oleh faktor intrinsik alami, varietas tanaman dan faktor ekstrinsik seperti tumbuhnya jamur pada kacang dan proses pengolahannya.

11.2.Diskripsi

Biji Mete kupas (Cashew Kernels) adalah biji dari buah tanaman jambu mete yang telah dikupas kulitnya dan telah dikeringkan. Standar mutu kacang mete di Indonesia tercantum dalam Standar Nasional Indonesia SNI 01-2906-1992.

11.3.Klasifikasi dan Standar Mutu

Jenis/kelas mutu kacang mete terbagi menjadi 4 kelas (I, II, III dan IV). Adapun
standar atau syarat mutu kacang mete dilihat dari:
a) Kulit ari
b) Biji terkena CNSL
c) Serangga
c) Biji berulat
d) Biji busuk
e) Biji bercendawan/jamur
f) Benda-benda asing
g) Warna (Kelas I: ke-putih-putihan)
h) Bobot maksimum dalam gram/biji: I = 5 gram/biji; II = 5 gram/biji; III = 10 gram/biji.
h) Kadar air dalam maksimum %: I = 16%; II = 15% ; III = 15%.
i) Keutuhan biji mete ( utuh, belah, pecah, tidak termasuk biji utuh)

11.4.Pengambilan Contoh

Contoh diambil secara acak sebanyak akar pangkat dua dari jumlah peti/karton dengan maksimum 30 peti/karton dari tiap partai barang, kemudian tiap peti/karton diambil contoh kurang lebih 500 gram Contoh-contoh tersebut diaduk/dicampur sehingga merata, kemudian dibagi empat dan dua bagian diambil secara diagonal. Cara ini dilakukan beberapa kali sampai mencapai contoh seberat 1000 gram. Contoh kemudian disegel dan diberi label.

11.5.Pengemasan

Pengemasan tidak dapat meningkatkan atau memperbaiki mutu, tetapi hanya mempertahankan atau melindungi mutu produk yang dikemas. Oleh karena itu hanya produk yang baik yang perlu dikemas. Produk yang rusak atau busuk yang ada dalam kemasan akan menjadi kontaminasi dan infeksi bagi produk yang masih sehat. Akibatnya produk tidak akan laku di pasaran. Kacang mete yang diekspor biasanya dalam bentuk mentah dengan kadar air antara 4-6%, yang dikemas dalam kaleng hampa udara dan diisi dengan karbondioksida. Kaleng kemasan yang digunakan sama dengan kaleng minyak tanah atau minyak goreng, tetapi sebaiknya yang masih baru, bersih, kering, kedap udara dan tidak bocor, serta harus bebas dari infeksi serangga dan jamur serta tidak karatan.
Bagian luar peti/karton pembungkus ditulis dengan cat yang tidak mudah luntur dan jelas terbaca antara lain:
a) Produksi Indonesia.
b) Nama barang.
c) Nama perusahaan/eksportir.
d) Jenis mutu.
e) Nomor kemasan.
f) Berat kotor.
g) Berat bersih.
h) Negara/tempat tujuan.

12. DAFTAR PUSTAKA

1) Liptan (1988). Jambu Mete Sebagai tanaman penghijauan. Balai Informasi
Pertanian Banjarbaru. Hal. 12/ 12
2) Liptan. (1990). Budidaya Jambu Mete. Lembar Informasi Pertanian. Proyek
Informasi Pertanian Kalimantan Tengah. 2 hal.
3) Saragih, Yan Pieter; Haryadi, Yadi. (1994). METE. Budidaya Jambu Mete.
Pengupasan Gelondong. Bogor, Penebar Swadaya. 86 halaman
Jakarta, Februari 2000

Sumber : Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, BAPPENAS
Editor: Kemal Prihatman

Friday, 25 July 2008

Mengenal Budidaya dan Pemasaran Mangga Apel dari Kumamoto, Jepang

Pertanian Mangga Apel di pertanian milik Mr. Keiichi Ueno terletak di wilayah Jepang Selatan, jarang sekali turun salju, ketinggian 50 m di atas permukaan air laut. Alamatnya 5064 Nonoshima, Koshi-shi, Kumamoto 861-1103. Dalam kegiatan budidaya mangga ini keluarga Ueno dibantu oleh petani muda magang dari Indonesia Sdr. Ramdan Triwiguno yang berasal dari Garut, Jawa Barat.

Disebut mangga apel karena warnanya merah-kuning mirip warna apel. Aromanya harum, rasanya manis. Bibit pohon mangga ini diperoleh dari Okinawa, biasa dibeli 10.000 yen per pohon. Pohon mangga di tanam dalam green house yang dilengkapi dengan pembuka dan penutup dinding dan van secara otomatis untuk pengaturan suhu. Suhu dijaga sekitar 24 – 30 C. Mangga ditanam dengan jarak antar pohon 4 m. Di atas lahan seluas 4000 m2 dibudidayakan 450 pohon mangga, 150 pohon berumur 6 tahun, 150 pohon berumur 8 tahun dan 150 pohon berumur 10 tahun.

Untuk memudahkan dalam perawatan dan pemanenan mangga, tinggi pohon dipertahankan sekitar 2 m dengan cara memangkas cabang dahan pohon secara teratur. Untuk mengatur jumlah buah supaya besarnya seragam, setiap cabang dahan pohon yang akan mengeluarkan buah diusahakan hanya berranting dua. Untuk menjaga mangga menyebar merata dengan posisi mudah dijangkau untuk perawatannya, setiap ranting pohon yang terdapat mangga digantung dengan tali.

Untuk membuat buah mangga matang dipohon dengan kwalitas bagus, setiap buah dilindungi dengan jaring lentur yang digantung dengan tali putih berkait hijau. Buah yang sudah matang akan terlepas dari tangkainya secara alami tanpa dipetik dan tetap terbungkus jaring lentur yang masih menggantung. Dengan demikian kulit mangga yang telah matang tersebut tetap mulus dan tidak rusak. Pada masa panen tiba, pengambilan mangga matang dilakukan setiap hari.

Satu pohon mangga dapat menghasilkan 150 – 200 buah. Masa panen mangga pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus. Mangga dipilih sehingga berukuran seragam dengan mutu prima, dikemas dalam kardus yang kuat, rapih dan bercorak menarik. Harga sebuah mangga seberat 350 gram sekitar 2.000 yen, ada juga yang mencapai 2.500 yen.

Cara pemasarannya sangat mudah yaitu dengan memenuhi pesanan per telepon atau fax. Para pemesan sudah tahu benar mutu mangga apel dari Kumamoto ini, mereka memesan untuk dikirimkan ke relasi dan handai tolannya sebagai hadiah. Mr. Ueno petani mangga ini mengirimkan ke alamat yang dipesan pembelinya menggunakan Takyubin (jasa pengiriman barang). Satu paket isi dua buah harganya 4000 yen sedangkan yang isi 5 buah 7.500 yen.

Untuk memenuhi permintaan masyarakat sekitarnya di dekat rumahnya juga disediakan kios mangga untuk melayani mereka yang datang langsung ke tempat pertaniannya. Setiap musim panen mangga laris terjual habis, Mr. Keiichi Ueno sering mengucapkan permohonan maaf kepada pelanggan karena tidak dapat mengirimkan pesanannya.

Mangga-mangga RI yang rasanya eunak, dipersilahkan bersaing sejak 1 Juli tahun ini (2008) masuk pasar Jepang bebas bea masuk, jangan disia-siakan kesempatan ini.


Dinding green house dapat dibuka tutup untuk mengatur suhu udara yang disertai dengan van
















Ranting tangkai buah digantung dengan tali putih menggunakan pengait hijau agar posisi mangga mudah dijangkau ketika pembungkusan dan pemanenan
















Setiap buah yang sudah besar dilindungi dengan jaring lentur agar dapat menghasilkan mangga yang matang, kulit mulus warna merah-kuning merata
















Mangga menjelang matang belum terlepas dari tangkainya


























Mangga yang sudah matang terlepas dari tangkainya secara alami (tidak dipetik dengan tangan), masih terbungkus rapih di tempatnya, siap dipanen secepatnya






















Satu paket isi 5 buah mangga seharga 7.500 yen bisa dikirim ke seluruh penjuru Jepang menggunakan jasa pengiriman Takyubin
















Kios mangga apel di dekat rumah untuk masyarakat sekitar Kumamoto

Thursday, 24 July 2008

Harga belut di Jepang naik 10%

Harga belut Jepang yang dijual di restoran meningkat sampai sekitar 10% disebabkan hasil tangkapan dalam negeri sedikit dan belut murah yang di budidayakan di China dihindari karena masalah keamanan. Harga belut bakar meningkat ketika menjelang hari puncak musim panas yang jatuh pada tanggal 24 Juli 2008, waktu kebiasaan masyarakat Jepang makan belut bakar untuk mencegah keletihan musim panas.

Restoran Kiyokawa, sebuah restoran belut yang telah berumur ratusan tahun di Kawasan Nihonbashi, Tokyo merupakan salah satu restoran yang akhir-akhir ini telah menaikan harga belut yang disajikannya. “Harga beli belut Jepang mulai naik sejak bulan Oktober tahun 2007 dan kami tidak ada pilihan untuk menaikan harga jual” kata pemilik Restoran Yoshi Watanabe, yang telah menaikkan harga belut bakar beserta nasi dari 3.200 yen menjadi 3.500 yen pada bulan April 2008.

Pada jaringan "Convenience Store" am/pm Japan Co., menaikan harga belut bakar sebanyak 11%, harganya menjadi 980 yen setelah mengganti belut China menjadi belut Jepang. Akan tetapi di pihak lain jaringan Supermarket Aeon Co., memutuskan untuk memperoleh belut China lebih banyak dalam rangka memperluas hidangan makanan-belut. Aeon menjual belut bakar China 880 yen per 200 gram, dan mengaku bahwa produknya berkwalitas baik dan bebas dari bahan kimia.

Menurut Fisheries Agency, tahun lalu Jepang telah mensuplai sekitar 103.000 ton belut. Sekitar 20% berasal dari dalam negeri Jepang dan 60% diimpor dari China. Akan tetapi impor belut dari China menurun drastis setelah terjadi kasus keracunan-makanan pada bulan Januari 2008 diusut tercemar dari "Gyoza" beku diimpor dari China. Terjadi peningkatan perhatian kemanan terhadap produk makan yang diimpor dari China setelah terjadi skandal pemalsuan label dari sebuah perusahaan yang diduga menjual belut bakar yang dibudidayakan di China sebagai produk buatan Jepang.

Saran kami dari Jepang untuk menggunakan momentum ini dengan baik agar pembudidaya belut di Indonesia mengembangkan produknya baik secara kwalitas maupun kwantitas untuk memenuhi pasar Jepang.

Sumber : www.beritaiptek.com dari The Japan Times 20 Juli 2008

Wednesday, 23 July 2008

Menyusui anak sapi dengan mesin

Telah dilakukan kunjungan ke peternakan sapi pedaging milik Mr. Keio Soma di 3-17-15 Suizenji, Kumamoto 862-0950 pada tanggal 22 Juli 2008. Dalam kandang seperti terlihat pada gambar disebelah dipelihara 20 ekor anak sapi (pedet). Di peternakan ini pedet diberikan air susu menggunakan mesin secara otomatis. Mesin tersebut disimpan pada bagian luar terlihat seperti almari warna hitam (tengah). Untuk pedet umur tertentu diberikan minum air susu sebanyak 4000 ml setiap hari. Pedet diberikan 500 ml air susu setiap dua jam sekali sehingga dalam sehari pedet minum sebanyak 8 kali.

Dalam mesin tersebut terdapat tempat penyimpanan susu bubuk dan tempat penyimpanan air hangat matang yang terpisah (Gambar ke 4 dari atas). Pada saat pedet mau minum air susu, sapi akan mendekat ke tempat air susu keluar (Gambar ke 3 dari atas). Ketika masuk didepan mesin tempat pengeluaran air susu, dalam waktu singkat sekitar 10 detik secara otomatis mesin mempersiapkan air susu dengan cara mencampur air matang hangat dan 100 gram susu bubuk sehingga volumenya menjadi 500 ml.

Pedet akan minum air susu tersebut tepat 500 ml. Pedet yang sudah minum akan tercatat oleh mesin dengan cara merekam nomor yang terdapat pada leher pedet (Gambar ke 2 dari atas) sehingga dalam waktu kurang dua jam pedet tidak dapat minum lagi air susu. Pedet dapat minum kembali setelah 2 jam kemudian. Karena jatah minum sehari sebanyak 4000 ml maka pedet diberikan kesempatan minum sebanyak 8 kali.

Dari alat ini bisa diketahui pedet mana yang napsu minumnya berkurang karena mesin dapat memonitor pedet mana yang minum air susunya kurang dari 4000 ml. Pedet yang mengalami penurunan napsu minum air susu akan diukur suhu badan, berat badan, dan seterusnya untuk mendiagnosa apakah sapi yang napsu minumnya turun terkena penyakit.

Jadi mesin ini selain digunakan untuk mengontrol jumlah air susu yang diberikan juga sekali gus sebagai alat untuk memonitor kesehatan pedet.


Dari atas ke bawah berturut-turut adalah Gambar ke 1, 2, 3 dan 4 dari atas.

Gambar ke 1 dari atas. Dua puluh ekor sapi yang seumur ditempatkan dalam satu kandang.















Gambar ke 2 dari atas. Setiap sapi terdapat nomor identitas dipasang pada leher agar mudah direkam oleh mesin.















Gambar ke 3 dari atas. Anak sapi yang sedang minum air susu didepan mesin menunduk posisi kepala di sebelah kiri.






















Gambar ke 4 dari atas. Mesin terdapat di luar kandang yang menyediakan air susu secara otomatis ketika pedet datang. Terlihat sebelah kiri terdapat tempat penyimpanan susu bubuk, sebelah kanan penyimpanan air hangat dan di tengah tempat pengadukan air hangat dan susu bubuk. Di balik dinding yang berwarna coklat terdapat keluarnya air susu berada di dalam kandang.

Friday, 11 July 2008

Alsomitra macrocarpa

High Fliers

Scott Zona, Ph.D., Former Palm Biologist

The winged seed of Alsomitra macrocarpa is one of the largest winged seeds in the Plant Kingdom. Every now and then, field botanists are treated to transcendental moments when the light is golden, the air is fresh, interesting plants are at hand, and the hardships of field work just melt away. During those times, scientific insights arrive with astonishing clarity and grace. One such moment for me came on a sunny afternoon in the Kebun Raya Botanic Garden, in Bogor, Indonesia, some years ago. On that memorable day, I was transfixed as I watched dozens of winged seeds of Alsomitra macrocarpa (Cucurbitaceae, the squash family) glide to the ground in broad, lazy spirals. The seeds spilled out from a fruit hanging on the liana climbing on one of the enormous old trees in the garden. All the principles of aerodynamics as they relate to seed dispersal were manifest in that one lovely moment.

The gliding seeds of Alsomitra exhibit two kinds of motion: The forward gliding motion, which takes the seed on a helical, downward path, and phugoid oscillations, in which the gliding seed gains lift, stalls, drops briefly until it accelerates enough to generate lift, starting the process over again. Phugoid oscillations are well known to aviation engineers and model airplane fliers, because they can destabilize mechanized flight, but in the seeds of Alsomitra, phugoid oscillations add a graceful rhythm to the descent, and more importantly, slow the descent of the seeds giving them more time aloft. Time aloft is the sine qua non of successful dispersal by wind.

Seed dispersal is an essential part of any plant's life cycle. Plants must colonize new areas to escape the competition and smothering shade of the mother plant. Also, many habitats are short-lived or unstable — light gaps in the rainforest, for example — so plants adapted to those habitats must always find new ones in order for their offspring to survive. Plants disperse their seeds (or fruits with the seeds inside) in a variety of ways. Bats, birds, monkeys and other animals that eat fruits and transport the seeds are one way. Other plants rely on burs and hooks that catch on passing animals. If you have ever pulled a sandbur (Cenchrus sp.) from your sock (or toe), you know how effective that method of dispersal is. But many plants don't need animals to disperse their seeds; they rely on the wind. Seeds and fruits go wherever the wind takes them, yet despite that inherent uncertainty, wind-dispersed plants have been quite successful in colonizing large areas of the world.

The fruits of Triplaris (Polygonaceae) have three wings and spin as they drift to the ground. There are three kinds of wind-dispersed seeds and fruits, three strategies to ride the wind currents and, with luck, find a new home. All three strategies have been shaped by evolution to maximize time aloft. The longer a seed can stay in the air, the farther it can fly. That fundamental relationship between time aloft and dispersal distance is the overriding selective force in the evolution of wind-dispersed seeds and fruits.

The first strategy is to employ a wing of the sort I saw on the seeds of Alsomitra in Bogor. Wings can be very effective at airlifting seeds and fruits. Wings are found on the seeds of Tabebuia and Casuarina and on the fruits of Gyrocarpus and Triplaris. (If you ever see me in Plot 142 throwing the helicopter fruits of Triplaris into the air and watching them spin to the ground, please be assured that I am doing science.) The wing increases drag by catching the wind and slowing descent. Evolution has refilled these structures so that seed weight and wing surface are in aerodynamic balance. In a few seeds and fruits, wings can generate lift as well, maintaining the seed aloft. Lift and drag work in concert to slow the descent of the seed and give it a longer flight.

The seed of a milkweed temporarily lodges on a leaf as it awaits another gust of wind to catch its silky parachute and send it on its way. The second kind of wind-dispersal mechanism is the parachute or plume. A familiar example of a northern plant that employs this sort of dispersal structure is the dreaded dandelion (Taraxacum spp.), a member of the sunflower family (Asteraceae), whose members are almost always parachutists. Examples of tropical species with parachutes are the seeds of milkweeds (Asclepias and their kin) and our native Tillandsia bromeliads. These plants have fruits that split open when ripe, releasing seeds equipped with tufts of air-catching hairs. The kapok trees (Ceiba spp.) and willows (Salix spp.) are two more examples. Their fruits open to release bits of fluff in which their seeds are embedded.

The cottony mass slows the descent and allows the seeds to drift on the wind currents, proving that The Wind in the Willows is not just a memorable children's book, but a way of life. The parachutes and cottony fluff do not generate lift, but they do increase drag very effectively.
The third strategy for wind dispersal does away with drag and lift entirely. Instead, evolution has fashioned seeds so small and so light that the fluid movements of air can substantially overcome the force of gravity. These are the dust seeds; an example of a plant group known for dust seeds is that tropical family par excellence, the orchid family. Orchid seeds are the smallest seeds in the Plant Kingdom, but orchids compensate for the small size of their seeds by producing thousands of seeds in every pod. The seeds are little more than specks of dust and, like dust, they can remain aloft for hours at a time. The best testimony to the effectiveness of dust seeds are the orchids that grow on islands.

The Galapagos Islands, 600 miles from the South American mainland, have five indigenous orchids. The Falkland Islands, 300 miles from Patagonia, have four. Hawaii, thousands of miles from any continent, has only three indigenous orchids. Orchids arrived on these islands by riding the wind currents. Wind dispersal may not be the most efficient way of getting around - untold millions of seeds must fall into the oceans - but given enough time, orchids can colonize just about anywhere.

It is no mere coincidence that the two most species-rich plant families - the orchids (Orchidaceae) and the sunflowers (Asteraceae), each with about 20,000 species — are mostly wind-dispersed. Their ability to maximize time aloft must surely have allowed them to colonize distant lands and fill new niches. Effective dispersal allowed new populations, isolated from their source populations, to diverge genetically over time. How did so many species evolve? The answer is blowing in the wind.
Garden Views July 2001

"Pohon Tomat Raksasa" berbuah 20.000 buah di Eniwa, Hokkaido, Jepang

Di sela-sela G8 Summit di Toyako Hokkaido, pada 9 Juli 2008 Ibu Ani Bambang Yudhoyono berkenan melakukan kunjungan kerja ke Ainu Village, Eco-link Village Eniva dan “Pohon Tomat Raksasa” dalam Ladies Program yang dikoordinir oleh Atase Pertanian KBRI Tokyo, Drh. Pudjiatmoko, Ph.D

Selain mempelajari budaya masyarakat Ainu di Ainu Village, pada kesempatan itu Ibu Negara mengunjungi kebun sayuran dan kebun tomat yang terdapat di Eco-link Village Eniwa. Kebun sayuran terdiri dari berbagai macam tanaman sayuran termasuk jagung yang ditanam dengan rapi sehingga menjadi taman yang indah. Kebun ini dibanggakan oleh Walikota setempat sebagai sarana pendidikan masyarakat dalam meningkatkan kesadaran lingkungan hidup.

Sedangkan “Pohon Tomat Raksasa” satu pohon tomat yang berukuran besar sekali sehingga dapat berbuah sekitar 20.000 buah setahun. Pohon ditanaman dengan sistem hydrophonic di dalam green house.




















Gambar 1. Rumah Ainu yang terdapat di dalam Ainu Village.




















Gambae 2. Ibu Ani Bambang Yudhoyono berkenan mendengarkan penjelasan dari pimpinan Eco-link Village Eniva tentang taman sayuran.




















Gambar 3. Taman yang terdiri dari berbagai macam tanaman sayuran.




















Gambar 4. Penjelasan teknik bertanam tomat dengan metoda hydrophonic.




















Gambar 5. Cabang pohon tomat disangga dan disebarkan dengan teratur dan merata.




















Gambar 6. Pohon tomat berumur 7 bulan ini pangkal batangnya bergaris-tengah sekitar 15 cm.




















Gambar 7. Satu pohon dapat menghasilkan sekitar 20.000 buah tomat