Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 31 May 2024

Mengenali Ayat Kauniyah dalam Al-Quran

Al-Quran yang terdiri atas 6.236 ayat menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat kauniyah.  Disini disarikan tulisan Miftah H. Yusufpati yang berjudul “Ayat-Ayat Kauniyah dalam Al-Quran Menurut Quraish Shihab”.

 

AL-QURAN DAN ALAM RAYA

 

Paling sedikit ada tiga hal yang dapat dikemukakan menyangkut alam raya dan fenomenanya:

 

1. Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan dan Kemahakuasaan Allah Swt.

 

Dari perintah ini tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut. Namun, pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal).

 

2. Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah Swt serta diatur dengan sangat teliti.

 

Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut --kecuali jika dikehendaki oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:

 

(a) Alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah, dipertuhankan atau dikultuskan.

(b) Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang adanya ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan mengikat bagi alam raya dan fenomenanya (hukum-hukum alam).

 

3. Redaksi ayat-ayat kauniyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penafsir.

 

Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, Quraish Shihab mengatakan, perlu digarisbawahi beberapa prinsip dasar yang dapat, atau bahkan seharusnya, diperhatikan dalam usaha memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mengambil corak ilmiah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah:

 

(1) Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami Kitab Suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat syarat-syarat tertentu.

 

(2) Al-Quran diturunkan untuk seluruh manusia hingga akhir zaman, jadi bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang Arab ummiyyin yang hidup pada masa Rasul saw. dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad ke-20.

 

Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran serta dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, dan kondisi sosial mereka serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di masanya. Maka wajarlah apabila pemahaman atau penafsiran seseorang dengan orang lain, baik dalam satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.

 

(3) Menafsirkan Al-Quran harus mengikuti kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam bidang ini. Namun manusia dapat menggunakan akalnya untuk berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan pemahaman Al-Quran.

 

(4) Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat Al-Quran. Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus kedalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kauniyah tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat yang lain.

 

Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para mufasir - khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan penafsiran ilmiah - untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Quran.

 

PENAFSIRAN ILMIAH

 

Quraish Shihab menjelaskan bahwa disepakati oleh semua pihak bahwa penemuan-penemuan ilmiah, di samping ada yang telah menjadi hakikat-hakikat ilmiah yang dapat dinilai telah memiliki kemapanan, ada pula yang masih sangat relatif atau diperselisihkan sehingga tidak dapat dijamin kebenarannya.

 

Atas dasar larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif, maka sementara ulama Al-Quran tidak membenarkan penafsiran ayat-ayat berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang sifatnya belum mapan.

 

Seorang ulama berpendapat bahwa "Kita tidak ingin terulang apa yang terjadi atas Perjanjian Lama ketika gereja menafsirkannya dengan penafsiran yang kemudian ternyata bertentangan dengan penemuan para ilmuwan."

 

Ada Pula yang berpendapat bahwa "Kita berkewajiban menjelaskan Al-Quran secara ilmiah dan biarlah generasi berikut membuka tabir kesalahan kita dan mengumumkannya."

 

Abbas Mahmud Al-Aqqad (penulis yang memiliki peran penting dalam perkembangan dunia intelektual Mesir yang karya-karyanya menjadi referensi-referensi bagi wacana beragam keilmuan pada masanya) memberikan jalan tengah. Seseorang hendaknya jangan mengatasnamakan Al-Quran dalam pendapat-pendapatnya, apalagi dalam perincian penemuan-penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Quran.

 

Dalam hal ini, Abbas Mahmud Al-Aqqad (penulis yang memiliki peran penting dalam perkembangan dunia intelektual Mesir yang karya-karyanya menjadi referensi-referensi bagi wacana beragam keilmuan pada masanya) memberikan contoh menyangkut ayat 30 Surah Al-Anbiya' yang oleh sementara ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian alam raya, yang pada satu ketika merupakan satu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan.

 

Setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan mengatasnamakan Al-Quran menyangkut pendapatnya, karena Al-Quran tidak menguraikannya.

 

Setiap Muslim berkewajiban mempercayai segala sesuatu yang dikandung oleh Al-Quran, sehingga bila seseorang mengatasnamakan Al-Quran untuk membenarkan satu penemuan atau hakikat ilmiah yang tidak dicakup oleh kandungan redaksi ayat-ayat Al-Quran, maka hal ini dapat berarti bahwa ia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai apa yang dibenarkannya itu, sedangkan hal tersebut belum tentu demikian.

 

Pendapat yang disimpulkan dari uraian Al-Aqqad di atas, bukan berarti bahwa ulama dan cendekiawan Mesir terkemuka ini menghalangi pemahaman suatu ayat berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan.

 

Tidak! Sebab, menurut Al-Aqqad lebih lanjut, "Dahulu ada ulama yang memahami arti 'tujuh langit' sebagai tujuh planet yang mengitari tata surya --sesuai dengan perkembangan pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini merupakan ijtihad yang baik sebagai pemahamannya (selama) ia tidak mewajibkan atas dirinya untuk mempercayainya sebagai akidah dan atau mewajibkan yang demikian itu terhadap orang lain."

 

Bint Al-Syathi' dalam bukunya, Al-Qur'an wa Al-Qadhaya Al-Washirah, secara tegas membedakan antara pemahaman dan penafsiran. Sedangkan Al-Thabathaba'i, mufasir besar Syi'ah kontemporer, lebih senang menamai penjelasan makna ayat-ayat Al-Quran secara ilmiah dengan nama tathbiq (penerapan).

 

Pendapat-pendapat di atas agaknya semata-mata bertujuan untuk menghindari jangan sampai Al-Quran dipersalahkan bila di kemudian hari terbukti teori atau penemuan ilmiah tersebut keliru.

 

Segi Bahasa Al-Quran

 

Seperti yang telah dikemukakan di atas, para mufasir mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran --khususnya yang berkaitan dengan penafsiran ilmiah-- seseorang dituntut untuk memperhatikan segi-segi bahasa Al-Quran serta korelasi antar ayat.

 

Sebelum menetapkan bahwa ayat 88 Surah Al-Naml (yang berbunyi, Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan), ini menginformasikan pergerakan gunung-gunung, atau peredaran bumi, terlebih dahulu harus dipahami kaitan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya.

 

Apakah ia berbicara tentang keadaan gunung dalam kehidupan duniawi kita dewasa ini atau keadaannya kelak di hari kemudian. Karena, seperti diketahui, penyusunan ayat-ayat Al-Quran tidak didasarkan pada kronologis masa turunnya, tetapi pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian.

 

Demikian pula halnya dengan segi kebahasaan. Ada sementara orang yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat Al-Quran terhadap penemuan-penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan.

 

Ayat 22 Surah Al-Hijr, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama dengan, "Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit ..."

 

Terjemahan ini, di samping mengabaikan arti huruf fa; juga menambahkan kata tumbuh-tumbuhan sebagai penjelasan sehingga terjemahan tersebut menginformasikan bahwa angin berfungsi mengawinkan tumbuh-tumbuhan.

 

Menurut Quraish Shihab, terjemahan dan pandangan di atas tidak didukung oleh fa anzalna min al-sama' ma'a yang seharusnya diterjemahkan dengan maka kami turunkan hujan. Huruf fa' yang berarti "maka" menunjukkan adanya kaitan sebab dan akibat antara fungsi angin dan turunnya hujan, atau perurutan logis antara keduanya sehingga tidak tepat huruf tersebut diterjemahkan dengan dan sebagaimana tidak tepat penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan tersebut. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa menterjemahkan lawaqiha dengan meniupkan juga kurang tepat.

 

Quraish Shihab menjelaskan kamus-kamus bahasa mengisyaratkan bahwa kata tersebut digunakan antara lain untuk menggambarkan inseminasi. Sehingga, atas dasar ini, Hanafi Ahmad menjadikan ayat tersebut sebagai informasi tentang fungsi angin dalam menghasilkan atau mengantarkan turunnya hujan, semakna dengan Firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 43: "Tidakkah kamu lihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian dijadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya ..."

 

Quraish Shihab mengatakan memang sebab-sebab kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa Al-Quran, serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek bahasan ayat.

 

"Karena itu, walaupun sudah terlambat, kita masih tetap menganjurkan kerja sama antardisiplin ilmu demi mencapai pemahaman atau penafsiran yang tepat dari ayat-ayat Al-Quran dan demi membuktikan bahwa Kitab Suci tersebut benar-benar bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Esa," demikian Quraish Shihab.

 

SUMBER

Miftah H. Yusufpati. Ayat-Ayat Kauniyah dalam Al-Quran Menurut Quraish Shihab. Sindonews 20 Maret 2023. https://kalam.sindonews.com/newsread/1050929/69/ayat-ayat-kauniyah-dalam-al-quran-menurut-quraish-shihab-1679223794

Monday, 27 May 2024

Dampak Pemanis Buatan pada Kesehatan Manusia dan Terkait Kanker


ABSTRAK

 

Pemanis buatan merupakan pengganti gula yang memberikan kekuatan pemanis tinggi yang dikaitkan dengan rendahnya kalori yang menyertainya. Dalam penelitian ini, kami bertujuan untuk meninjau data tentang penggunaan, manfaat, efek samping, dan risiko kanker dari pemanis buatan. Kami meninjau data di database PubMed, MEDLINE, Google Scholar, Embase, dan Scopus untuk mencari studi tentang pemanis buatan sejak awal database hingga 20 Juli 2023, yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. Kami membahas tinjauan sistematis dan meta-analisis, uji klinis acak, dan studi kohort observasional yang membahas penggunaan pemanis buatan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Dalam ulasan kami, kami menunjukkan bahwa pemanis buatan telah terbukti berdampak pada berbagai fungsi sistem pencernaan. Penelitian lain menunjukkan hubungan dengan gejala neurologis seperti sakit kepala dan perubahan rasa. Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan antara pemanis buatan dengan risiko kardiovaskular dan diabetes. Yang penting, sebagian besar data penelitian tidak menunjukkan hubungan antara penggunaan pemanis buatan dan risiko kanker. Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan pasti antara produk-produk ini dan risiko kanker, pemanis buatan dikaitkan dengan berbagai penyakit. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak penelitian untuk lebih mengkarakterisasi pengaruh pemanis buatan terhadap kesehatan manusia.

 

PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG

 

Pemanis buatan (AS), juga dikenal sebagai pemanis intensitas tinggi, adalah pengganti gula yang memberikan kekuatan pemanis tinggi yang dikaitkan dengan rendahnya kalori [1,2]. Saat ini, ada enam AS yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) [3]. Aditif ini dikenal karena rasa manisnya yang kuat, seringkali berkali-kali lipat lebih manis dari gula, sehingga dapat digunakan dalam jumlah yang lebih kecil untuk mencapai tingkat sakarinitas yang diinginkan [1]. Penggunaannya telah bermanfaat dalam berbagai bidang, termasuk manajemen berat badan dan diabetes [4], pemanis makanan dan minuman [5], serta produk dan obat-obatan kesehatan mulut [6].

 

Penggunaan AS terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa hampir 25% anak-anak dan lebih dari 41% orang dewasa pernah menggunakan AS antara tahun 2009 dan 2012 [7]. Selain itu, biaya AS mencapai sekitar $2,2 miliar pada tahun 2020 dan diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia [8].

 

Namun, berbagai penelitian menunjukkan berbagai efek samping yang terkait dengan penggunaan pemanis ini. Efek samping ini termasuk gejala gastrointestinal [9], perubahan neurologis [10] dan persepsi rasa [11], reaksi alergi [12], efek insulin dan metabolik [13], dan efek kardiovaskular [14]. Selain itu, AS telah terbukti mempengaruhi mikrobiota usus yang dapat memediasi efek samping tertentu [15]. Yang terpenting, banyak peneliti telah menilai potensi dampak AS terhadap risiko kanker pada orang yang mengonsumsi produk ini [16,17]. Dalam penelitian ini, kami bertujuan untuk meninjau data tentang penggunaan, manfaat, efek samping, dan risiko kanker AS. Kami menggunakan kata kunci berikut dalam pencarian kami: “pemanis buatan”, “pemanis”, dan “AS”. Kami menyertakan semua artikel yang mempelajari AS tanpa pengecualian.

 

TINJAUAN

 

Metodologi

 

Dalam tinjauan klinis ini, kami meninjau data di database PubMed, MEDLINE, Google Scholar, Embase, dan Scopus untuk mencari studi tentang AS sejak awal database hingga 20 Juli 2023, yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. Kami membahas tinjauan sistematis dan meta-analisis, uji klinis acak (RCT), dan studi kohort observasional yang membahas penggunaan AS dan dampaknya terhadap kesehatan.

 

HASIL

 

Sejarah, Manfaat, dan Kegunaan

 

Pada tahun 1879, Constantin Fahlberg, seorang ahli kimia di laboratorium Ira Remsen di Universitas Johns Hopkins, menemukan sakarin, yang menjadi AS pertama yang tersedia secara komersial [18]. Itu secara tidak sengaja disintesis ketika Fahlberg sedang mengerjakan turunan tar batubara. Kemudian, pada awal abad ke-20, lebih banyak pemanis diperkenalkan ke pasaran, termasuk siklamat dan aspartam. Namun, kekhawatiran mengenai karsinogenisitas yang serius muncul sehubungan dengan siklamat, yang mengakibatkan larangan FDA pada tahun 1970an [19]. Akhirnya, lebih banyak pemanis yang dikonsumsi di seluruh dunia. Pada tahun 1974, enam AS disetujui oleh FDA sebagai bahan tambahan makanan, yaitu aspartam (1974), sakarin (1977), acesulfame potassium (1988), sucralose (1998), neotame (2002), dan advantage (2014) (Tabel Tabel1)1) [3].

 

Tabel 1. Pemanis buatan yang disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA), rasa manisnya dibandingkan dengan gula meja, efek samping yang umum, dan risiko kanker yang terkait

*: Hanya sedikit penelitian yang menunjukkan adanya hubungan dengan risiko kanker pada hewan pengerat, namun tidak pada manusia.

**: Manisnya dibandingkan gula.

 

 


AS telah digunakan di berbagai industri makanan untuk berbagai kegunaan dan manfaat. Pertama, pemanis ini telah digunakan di berbagai bidang industri makanan dan minuman, termasuk minuman ringan, makanan penutup, produk susu, kopi, dan makanan olahan. Pemanis ini bertujuan untuk memberikan rasa manis dengan kalori minimal yang terkait dengan gula [5]. Kedua, AS memberikan manfaat medis untuk pengelolaan berat badan dan pada pasien diabetes melitus. Kurangnya kandungan gula berkalori tinggi memungkinkan pasien menghindari penambahan berat badan yang terkait dengan kalori gula. Oleh karena itu, pasien yang kelebihan berat badan dan obesitas mendapat manfaat dari produk ini untuk menghambat penambahan berat badan lebih lanjut. Selain intervensi manajemen berat badan, termasuk intervensi gaya hidup dan diet [20], pengobatan anti-obesitas [21], dan prosedur bariatrik [22], AS telah digunakan untuk membantu mencapai penurunan berat badan pada pasien yang kelebihan berat badan atau obesitas [4 ]. AS juga telah digunakan dalam diet diabetes untuk mengurangi lonjakan glukosa darah setelah makan [23]. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bukti yang bertentangan mengenai efek positif AS pada penyakit metabolik dan obesitas [24]. Ketiga, AS juga telah digunakan dalam produk kesehatan mulut, termasuk obat cair, sirup obat batuk, dan pasta gigi. Hal ini secara signifikan telah meningkatkan penggunaan produk-produk ini di seluruh dunia [6,25].

 

Peran dalam Pengelolaan Berat Badan

 

AS semakin banyak digunakan sebagai alternatif yang lebih sehat dibandingkan produk yang dimaniskan dengan gula untuk mengekang epidemi obesitas. Namun, bukti yang mendukung penggunaannya untuk penurunan berat badan atau pemeliharaan berat badan tidak meyakinkan. Dalam meta-analisis dari 56 penelitian, 17 di antaranya adalah RCT, tidak ada perubahan berat badan yang signifikan secara statistik antara orang dewasa yang diberi ASs dan mereka yang diberi berbagai gula atau plasebo [26]. Namun, analisis subkelompok penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi AS dikaitkan dengan penurunan berat badan yang lebih besar dibandingkan konsumsi pemanis berkalori atau plasebo. Dalam penelitian lain [27], konsumsi minuman dengan pemanis buatan dikaitkan dengan peningkatan indeks massa tubuh, seperti yang dicatat pada lebih dari 5.000 orang dewasa, yang diikuti selama delapan tahun, serta peningkatan obesitas perut (diukur dari lingkar pinggang) selama sembilan tahun. tahun tindak lanjut.

 

Meningkatnya penggunaan minuman dengan pemanis buatan untuk menggantikan air juga telah dipelajari secara ekstensif. Dalam sebuah RCT yang membandingkan 300 orang yang kelebihan berat badan atau obesitas [27], mengonsumsi lebih dari 24 ons minuman dengan pemanis buatan menyebabkan tingkat penurunan berat badan yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang meminum air dalam jumlah yang sama. Dalam RCT lain [28], penggantian air dengan minuman dengan pemanis buatan menyebabkan peningkatan penurunan berat badan pada 12 bulan.

 

Pasien yang berencana menjalani operasi bariatrik sering kali direkomendasikan diet rendah kalori untuk mendorong penurunan berat badan sebelum operasi dan mengurangi risiko komplikasi bedah. Dalam kasus tersebut, AS telah digunakan sebagai penambah rasa untuk makanan berenergi rendah [29].

 

Efek Samping

 

Gastrointestinal: AS berdampak pada berbagai fungsi sistem gastrointestinal, termasuk mikrobioma usus, motilitas gastrointestinal, penyerapan dan permeabilitas usus, dan anatomi saluran cerna [9].

 

Mikrobioma usus: Bakteri usus mengatur homeostasis metabolik dengan mempengaruhi proses seperti toleransi glukosa, sensitivitas insulin, penyimpanan lemak, kelaparan, dan peradangan. Komunitas mikroba usus yang sehat dapat meningkatkan nafsu makan, energi, adipogenesis, dan termoregulasi.

 

Berbagai penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pemberian AS pada tikus menyebabkan penurunan rasio anaerob terhadap aerob [30], peningkatan yang nyata dalam massa isi sekum, dan peningkatan kandungan polisakarida terlarut dalam tinja yang bergantung pada dosis, yang menyebabkan peningkatan ketersediaan karbohidrat untuk mikrobiota usus [31]. Ketika AS digunakan selama lebih dari 20 minggu, jumlah rata-rata amonia dalam isi sekum meningkat 30-50%. Pada saat yang sama, aktivitas beberapa enzim bakteri menurun, yang membuat para peneliti berpikir bahwa ini adalah salah satu cara AS mempengaruhi mikrobioma usus [31].

 

AS telah diketahui mengubah metabolisme asam amino oleh flora usus, sehingga menghasilkan zat karsinogenik. Selain itu, para peneliti telah mendalilkan bahwa sakarin berpotensi menghambat proses pencernaan protein usus, sehingga meningkatkan metabolisme bakteri [32]. Dalam RCT yang membandingkan AS (sucralose dan maltodextrin) dengan kelompok kontrol, kadar Bifidobacterium, Lactobacillus, dan Bacteroides jauh lebih rendah pada kelompok AS dibandingkan pada kelompok kontrol. Namun, hal ini tidak menunjukkan dampak nyata terhadap enterobakteri. Ketika sukralosa dan maltodekstrin digunakan bersama-sama, pH tinja meningkat, dan jumlah enzim P-glikoprotein dan CYP450 di usus lebih tinggi [33].

 

Penelitian pada manusia yang dilakukan oleh Suez dkk. mengevaluasi dampak AS pada mikrobioma manusia. Sebanyak 381 orang tanpa diabetes yang melaporkan sendiri konsumsi AS secara teratur, sebagaimana ditentukan oleh kuesioner frekuensi makanan, dilibatkan. Studi ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara konsumsi AS dan perkembangan obesitas sentral, peningkatan kadar glukosa darah puasa, peningkatan kadar hemoglobin A1c, gangguan toleransi glukosa, dan peningkatan kadar alanin aminotransferase. Selain itu, analisis subkelompok dilakukan untuk membandingkan mereka yang mengonsumsi AS dalam jumlah lebih tinggi dengan mereka yang tidak mengonsumsi AS apa pun. Hasil analisis ini menunjukkan peningkatan kadar hemoglobin A1c yang signifikan secara statistik, bahkan setelah indeks massa tubuh dikontrol. Sebanyak 172 orang dipilih secara acak dari kelompok ini, dan komposisi mikroba usus mereka menunjukkan perubahan, khususnya ditandai dengan peningkatan kadar filum Actinobacteria, Deltaproteobacteria, dan Enterobacteriaceae (34).

 

Motilitas gastrointestinal: Dampak potensial AS pada motilitas gastrointestinal terutama dimediasi secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap pelepasan hormon incretin dan serotonin. Beberapa AS telah ditemukan menyebabkan peningkatan kadar kolesistokinin, yang memperlambat pengosongan lambung, dan polipeptida penghambat lambung, yang mungkin memiliki efek penghambatan pada pengosongan lambung. AS juga telah terbukti meningkatkan glukagon-like-peptida-1 (GLP-1), yang telah diamati mengurangi motilitas di area antro-duodeno-jejunal dan menekan kompleks motilitas yang bermigrasi pada kedua individu tanpa gangguan gastrointestinal dan mereka yang tidak memiliki gangguan pencernaan. didiagnosis dengan sindrom iritasi usus besar, dan peptida YY (PYY), yang dapat menyebabkan keterlambatan transit usus [35-39]. Beberapa RCT yang dilakukan pada manusia menunjukkan bahwa AS tidak mempengaruhi sekresi GLP-1 atau PYY [40,41], namun yang menarik, AS memang meningkatkan pelepasan GLP-1 ketika diberikan dengan glukosa [42].

 

Anatomi saluran cerna: Efek AS pada saluran cerna, khususnya gejala gastrointestinal, histologi gastrointestinal, anatomi saluran cerna, dan bentuk tinja, jarang diteliti, dan hingga saat ini belum ada penelitian pada manusia.

 

AS telah diketahui meningkatkan kadar air tinja melalui efek osmotiknya [30], hiperkeratosis, papiloma, tukak pada kelenjar lambung tikus [43], dan kerusakan DNA pada lambung dan usus besar [44]. Temuan histopatologi usus besar meliputi infiltrasi limfosit ke dalam epitel, jaringan parut pada jaringan epitel, dan sedikit penurunan jumlah sel goblet [33]. AS dosis tinggi (750-1.000 mg/kg/hari) menyebabkan gejala kekotoran perianal dan pembesaran sekum pada kelinci [45].

 

Penyerapan dan permeabilitas usus: Ada data terbatas mengenai efek AS pada penyerapan dan permeabilitas usus. Dari penelitian yang dilakukan, obat ini tampaknya menghambat transpor pasif gula melalui membran basolateral, namun hal ini tidak diamati pada penelitian lanjutan oleh kelompok yang sama [46,47].

 

Manifestasi neurologis: Sebagian besar laporan mengenai dampak AS pada manifestasi neurologis sebagian besar berasal dari penelitian terhadap aspartam. Untuk bagian ini, aspartam akan digunakan secara sinonim dengan AS. Aspartam, khususnya, telah banyak terlibat dalam memicu sakit kepala. Gejala neuropsikologis lain yang terkait dengan aspartam termasuk kejang, kecemasan, depresi, dan insomnia.

 

Sakit kepala dan migrain: Aspartam terdiri dari 55% fenilalanin dan 45% aspartat. Berbeda dengan protein makanan, konsumsi aspartam dapat meningkatkan kadar fenilalanin dan asam aspartat di otak. Senyawa ini dapat menghambat sintesis dan pelepasan pengatur aktivitas neurofisiologis yang diketahui, dopamin, norepinefrin, dan serotonin. Aspartam berfungsi sebagai stressor kimia dengan meningkatkan kadar kortisol plasma dan memicu produksi radikal bebas berlebihan. Tingkat kortisol yang tinggi dan radikal bebas berlebih dapat meningkatkan kerentanan otak terhadap stres oksidatif, yang mungkin berdampak buruk pada kesehatan neurobehavioral [48].

 

Fenilalanin, suatu asam amino, diyakini berperan dalam patofisiologi migrain karena partisipasinya dalam sintesis serotonin. Serotonin berpotensi memberikan pengaruh pada perubahan serebrovaskular yang terkait dengan pengalaman nyeri pada sakit kepala migrain. Sintesis serotonin bergantung pada keberadaan L-triptofan, asam amino esensial, yang diperoleh dari protein makanan. Fenilalanin dan L-triptofan terlibat dalam proses kompetitif untuk mendapatkan akses ke otak, dengan ketersediaan terbatas. Persaingan ini diyakini menjadi faktor utama yang berkontribusi terhadap penurunan kadar serotonin di dalam otak. Penurunan kadar serotonin yang diamati diyakini menyebabkan vasodilatasi, yang dihipotesiskan menjadi mekanisme yang mendasari manifestasi nyeri migrain [49].

 

RCT yang membandingkan aspartam dengan plasebo pada pasien dengan sakit kepala telah melaporkan peningkatan frekuensi sakit kepala dengan penggunaan aspartam secara terus menerus [50,51]. Dalam sebuah penelitian berbasis survei [10], 8,2% dari 171 pasien berturut-turut melaporkan aspartam sebagai pencetus sakit kepala.

 

Perubahan rasa: Tidak diketahui apakah paparan pemanis non-nutrisi (NNS) mengubah persepsi rasa manusia, namun terdapat beberapa bukti yang mendukung kemungkinan ini. Ada hubungan terbalik antara penggunaan NNS dan respons yang bergantung pada tingkat oksigen darah di amigdala dan insula sebagai respons terhadap sukrosa [52]. Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa perubahan aktivitas di wilayah konsumen NNS berat ini mencerminkan penurunan sinyal aferen dan intensitas rangsangan manis yang dirasakan [53].

 

Reaksi alergi: Berbagai bahan pemanis telah dikaitkan dengan reaksi alergi, termasuk aspartam, xylitol, dan erythritol. Aspartam dimetabolisme menjadi formaldehida, komponen yang bertanggung jawab atas reaksi sistemik, termasuk ruam kulit dan dermatitis kontak [54-56]. Xylitol telah dikaitkan dengan alergi parah, termasuk sariawan dan reaksi kulit [57]. Erythritol juga dikaitkan dengan reaksi urtikaria [12].

 

Risiko Kardiovaskular dan Stroke

 

Penyakit kardiovaskular (CVD) adalah penyebab utama kematian global [58]. Hubungan antara AS dan risiko kardiovaskular sangatlah kompleks dan tidak sepenuhnya jelas. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan potensial dengan hasil kardiovaskular yang merugikan, sementara penelitian lainnya tidak menemukan adanya bahaya yang signifikan. Penilaian langsung terhadap dampak asupan AS pada titik akhir yang sulit, seperti risiko CVD, melalui RCT, telah dihalangi oleh pertimbangan etis.

 

Salah satu penelitian tersebut, yang dilakukan dalam kohort NutriNet-Santé [59], mengungkapkan hubungan antara minuman manis dan minuman dengan pemanis buatan dan peningkatan risiko CVD. Dalam kelompok ini, peningkatan risiko CVD dan penyakit serebrovaskular secara keseluruhan dikaitkan dengan total asupan AS. Secara khusus, konsumsi aspartam dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian serebrovaskular, sementara acesulfame potassium dan sucralose dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner. Temuan ini secara kolektif menunjukkan bahwa mengganti gula tambahan dengan AS mungkin tidak memberikan manfaat kardiovaskular apa pun.

 

Tinjauan sistematis dan meta-analisis [60,61] juga menunjukkan hubungan langsung antara minuman dengan pemanis buatan dan risiko CVD. Khususnya, laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2022 tentang dampak AS pada kesehatan menyoroti hubungan antara konsumsi minuman yang mengandung AS, yang digunakan sebagai proksi, dan penanda perantara tertentu dari CVD [62]. Penanda ini mencakup sedikit peningkatan pada rasio kolesterol total negatif terhadap kolesterol lipoprotein densitas tinggi dan peningkatan risiko hipertensi. Selain itu, otoritas kesehatan internasional mengidentifikasi peningkatan angka kematian akibat penyakit kardiovaskular dan peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular dan stroke yang terkait dengan konsumsi lebih banyak minuman ringan yang mengandung AS.

 

Aspek tambahan yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andersson dkk., di mana mereka melakukan penyelidikan cross-sectional mengenai dampak minuman manis dan soda diet terhadap remodeling jantung di kalangan konsumen [63]. Meskipun para peneliti mengakui pengaruh peningkatan berat badan sebagai faktor perancu, temuan mereka mengungkapkan hubungan penting antara konsumsi soda, khususnya soda diet, dan peningkatan dimensi atrium kiri dan massa ventrikel kiri dibandingkan dengan individu yang tidak mengonsumsi soda [63 ]. Namun, penting untuk dicatat bahwa studi prospektif mengenai hal ini masih terbatas, dan tingkat bukti yang mendukung hubungan ini masih dikategorikan rendah oleh WHO.

 

Diabetes Melitus Tipe 2

 

Insiden diabetes melitus telah mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama disebabkan oleh pilihan makanan dan gaya hidup yang kurang gerak [64]. Dalam studi kohort berbasis populasi ekstensif baru-baru ini yang melibatkan 105.588 orang dewasa di Perancis, konsumsi AS ditemukan berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2 (T2DM). Secara khusus, korelasi positif diidentifikasi untuk berbagai pemanis, termasuk pemanis total, aspartam, acesulfame-K, dan sucralose [2].

 

Beberapa meta-analisis telah mengeksplorasi hubungan antara AS dan diabetes. Meta-analisis yang dilakukan oleh Azad et al. [65] mengungkapkan hubungan positif antara risiko AS dan T2DM. Demikian pula, Qin dkk. [66] melaporkan hubungan langsung antara AS dan T2DM. Analisis terbaru, yang dilakukan oleh WHO pada tahun 2022 [62], menemukan insiden DMT2 yang lebih tinggi terkait dengan konsumsi AS dan pemanis meja. Secara kolektif, temuan-temuan ini memberikan argumen yang kuat terhadap meluasnya konsumsi AS sebagai alternatif yang aman selain gula. Sebaliknya, mereka menggarisbawahi pentingnya menargetkan pengurangan prevalensi rasa manis dalam pola makan masyarakat Barat. Mengingat data ini, disarankan untuk tidak merekomendasikan penggunaan AS secara ekstensif, dan menekankan perlunya pendekatan yang lebih luas untuk mengurangi asupan gula dalam pola makan orang Barat.

 

Risiko Kanker

 

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menilai hubungan potensial antara AS dan risiko kanker. Salah satu penelitian pertama yang meningkatkan kekhawatiran tentang AS dilakukan pada tahun 1977, yang menunjukkan hubungan antara AS dan kanker kandung kemih. Howe dkk. menunjukkan bahwa dalam studi kasus-kontrol, terdapat rasio risiko 1,6 bagi setiap pengguna AS untuk terkena kanker kandung kemih dibandingkan dengan individu yang tidak pernah menggunakan pemanis ini [67].

 

Dalam penelitian lebih lanjut untuk menilai hubungan antara AS dan kanker kandung kemih, beberapa penelitian menemukan tidak adanya hubungan serupa [68-74]. Faktanya, dalam tinjauan sistematis dan meta-analisis, tidak ditemukan korelasi antara AS dan semua jenis kanker (rasio odds (OR) = 0,91, interval kepercayaan 95% (CI) = 0,75-1,11). Menariknya, penelitian ini menemukan korelasi terbalik antara risiko kanker sistem saluran kemih dan penggunaan AS pada wanita (OR = 0,76, 95% CI = 0,60-0,97) [16].

 

Dalam studi observasional lainnya, hanya konsumsi minuman dengan pemanis buatan yang sering pada wanita pascamenopause (yaitu, lebih dari satu gelas per hari) dapat dikaitkan dengan risiko kanker ginjal yang lebih tinggi [74]. Selain itu, dalam meta-analisis studi prospektif dengan sekitar 4 juta peserta, asupan AS tidak dikaitkan dengan jenis kejadian atau kematian kanker apa pun [75].

 

Namun, temuan baru pada hewan pengerat menunjukkan bahwa aspartam mungkin merupakan bahan kimia karsinogen pada hewan pengerat, dan paparan sebelum melahirkan dapat meningkatkan risiko kanker pada keturunan hewan pengerat [76]. Namun demikian, hasil ini belum ditunjukkan dalam penelitian pada manusia. Oleh karena itu, FDA tetap menegaskan bahwa semua AS yang disetujui aman dikonsumsi tanpa ada kaitannya dengan risiko kanker.

 

Yang penting, lebih banyak penelitian terus mengevaluasi dampak potensial AS pada berbagai aspek kesehatan (misalnya mikrobiota usus dan respons insulin), yang secara tidak langsung dapat berdampak pada risiko kanker. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak penelitian dengan kekuatan yang memadai untuk memahami efek penggunaan AS terhadap perkembangan kanker dan apakah efek dosis dapat memediasi hubungan ini.

 

KESIMPULAN

 

Penggunaan AS terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun penggunaan AS berbeda-beda, banyak laporan mengindikasikan berbagai efek samping yang terkait dengan penggunaannya. Dalam tinjauan komprehensif kami, kami menunjukkan bahwa AS dapat berdampak pada berbagai fungsi sistem gastrointestinal, neurologis, dan kardiovaskular. Meskipun banyak penelitian mengaitkan AS dengan peningkatan risiko kanker, sebagian besar data penelitian terbaru, termasuk tinjauan sistematis dan meta-analisis, tidak menunjukkan hubungan antara penggunaan AS dan risiko kanker. Namun, studi prospektif jangka panjang diperlukan untuk lebih mengkarakterisasi efek AS pada kesehatan manusia.

 

REFERENSI

 

1.Artificial sweeteners: safe or unsafe? Qurrat-ul-Ain Qurrat-ul-Ain, Khan SA. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25842566/ J Pak Med Assoc. 2015;65:225–227.

2. Artificial sweeteners and cancer risk: results from the NutriNet-Santé population-based cohort study. Debras C, Chazelas E, Srour B, et al. PLoS Med. 2022;19:0.

3.FDA. How sweet it is: all about sweeteners. [ Nov; 2023 ];FDA. FDA. https://www.fda.gov/consumers/consumer-updates/how-sweet-it-all-about-sweeteners 2023 Is::2023.

4. Counterpoint: artificial sweeteners for obesity-better than sugary alternatives; potentially a solution. Nadolsky KZ. https://doi.org/10.1016/j.eprac.2021.06.013. Endocr Pract. 2021;27:1056–1061.

5. Artificial sweeteners: perceptions and realities. Samreen H, Dhaneshwar S. Curr Diabetes Rev. 2023;19:0.

6. What is the role of over 100 excipients in over the counter (OTC) cough medicines? Eccles R. Lung. 2020;198:727–734.

7. Consumption of low-calorie sweeteners among children and adults in the United States. Sylvetsky AC, Jin Y, Clark EJ, Welsh JA, Rother KI, Talegawkar SA. J Acad Nutr Diet. 2017;117:441–448.

8. Trends in the consumption of low-calorie sweeteners. Sylvetsky AC, Rother KI. Physiol Behav. 2016;164:446–450.

9. Artificial sweeteners: a systematic review and primer for gastroenterologists. Spencer M, Gupta A, Dam LV, Shannon C, Menees S, Chey WD. J Neurogastroenterol Motil. 2016;22:168–180.

10. Aspartame as a dietary trigger of headache. Lipton RB, Newman LC, Cohen JS, Solomon S. Headache. 1989;29:90–92.

11. The effect of artificial sweeteners use on sweet taste perception and weight loss efficacy: a review. Wilk K, Korytek W, Pelczyńska M, Moszak M, Bogdański P. Nutrients. 2022;14:1261.

12. A case of allergic urticaria caused by erythritol. Hino H, Kasai S, Hattori N, Kenjo K. J Dermatol. 2000;27:163–165.

13. Effect of artificial sweeteners on insulin resistance among type-2 diabetes mellitus patients. Mathur K, Agrawal RK, Nagpure S, Deshpande D. J Family Med Prim Care. 2020;9:69–71.

14. Artificial sweeteners and risk of cardiovascular diseases in the prospective NutriNet-Santé cohort. Debras C, Chazelas E, Sellem L, et al. Eur J Public Health. 2022;32:0.

15. Effects of sweeteners on the gut microbiota: a review of experimental studies and clinical trials. Ruiz-Ojeda FJ, Plaza-Díaz J, Sáez-Lara MJ, Gil A. Adv Nutr. 2019;10:0–48.

16. The relationship between the use of artificial sweeteners and cancer: a meta-analysis of case-control studies. Liu L, Zhang P, Wang Y, Cui W, Li D. Food Sci Nutr. 2021;9:4589–4597.

17. Artificial sweeteners--do they bear a carcinogenic risk? Weihrauch MR, Diehl V. Ann Oncol. 2004;15:1460–1465.

18. Saccharin: past, present, and future. Cohen SM. J Am Diet Assoc. 1986;86:929–931.

19. Cyclamates: a review of the current position. Cook CE. Curr Med Res Opin. 1975;3:218–224.

20. Phenotype tailored lifestyle intervention on weight loss and cardiometabolic risk factors in adults with obesity: a single-centre, non-randomised, proof-of-concept study. Cifuentes L, Ghusn W, Feris F, et al. EClinicalMedicine. 2023;58:101923.

21. Weight loss outcomes associated with semaglutide treatment for patients with overweight or obesity. Ghusn W, De la Rosa A, Sacoto D, et al. JAMA Netw Open. 2022;5:0.

22. Diabetes mellitus remission in patients with BMI > 50 kg/m(2) after bariatric surgeries: a real-world multi-centered study. Ghusn W, Ikemiya K, Al Annan K, et al. Obes Surg. 2023;33:1838–1845.

23. Sucralose enhances GLP-1 release and lowers blood glucose in the presence of carbohydrate in healthy subjects but not in patients with type 2 diabetes. Temizkan S, Deyneli O, Yasar M, et al. https://doi.org/10.1038/ejcn.2014.208. Eur J Clin Nutr. 2015;69:162–166.

24. Effects of artificial sweetener consumption on glucose homeostasis and its association with type 2 diabetes and obesity. Alsunni AA. Int J Gen Med. 2020;13:775–785.

25. Sweetener content of common pediatric oral liquid medications. Hill EM, Flaitz CM, Frost GR. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/3348227/ Am J Hosp Pharm. 1988;45:135–142.

26. Association between intake of non-sugar sweeteners and health outcomes: systematic review and meta-analyses of randomised and non-randomised controlled trials and observational studies. BMJ. 2019;364:0.

27. The effects of water and non-nutritive sweetened beverages on weight loss and weight maintenance: a randomized clinical trial. Peters JC, Beck J, Cardel M, et al. Obesity (Silver Spring) 2016;24:297–304.

28. Medical nutrition therapy for post-bariatric hypoglycemia: practical insights. Suhl E, Anderson-Haynes SE, Mulla C, Patti ME. Surg Obes Relat Dis. 2017;13:888–896.

29. Assessment of non-nutritive sweetener use by bariatric patients. Stone A, Ng J, Seip R, Strange S, Papasavas P, Tishler D. https://doi.org/10.1016/j.soard.2017.09.454 Surg Obesity Relat Dis. 2017;13:0–4.

30. The effect of sodium saccharin in the diet on caecal microflora. Anderson RL, Kirkland JJ. Food Cosmet Toxicol. 1980;18:353–355.

31. Some changes in gastro-intestinal metabolism and in the urine and bladders of rats in response to sodium saccharin ingestion. Anderson RL. Food Chem Toxicol. 1985;23:457–463.

32. The urinary excretion of bacterial amino-acid metabolites by rats fed saccharin in the diet. Lawrie CA, Renwick AG, Sims J. Food Chem Toxicol. 1985;23:445–450.

33. Splenda alters gut microflora and increases intestinal p-glycoprotein and cytochrome p-450 in male rats. Abou-Donia MB, El-Masry EM, Abdel-Rahman AA, McLendon RE, Schiffman SS. J Toxicol Environ Health A. 2008;71:1415–1429.

34. Artificial sweeteners induce glucose intolerance by altering the gut microbiota. Suez J, Korem T, Zeevi D, et al. Nature. 2014;514:181–186.

35. GLP-1 suppresses gastrointestinal motility and inhibits the migrating motor complex in healthy subjects and patients with irritable bowel syndrome. Hellström PM, Näslund E, Edholm T, et al. Neurogastroenterol Motil. 2008;20:649–659.

36. Role of cholecystokinin in the regulation of gastrointestinal motility. Grider JR. J Nutr. 1994;124:1334–1339.

37. The effect of gastric inhibitory polypeptide on intestinal glucose absorption and intestinal motility in mice. Ogawa E, Hosokawa M, Harada N, et al. Biochem Biophys Res Commun. 2011;404:115–120.

38. Mechanism of action of peptide YY to inhibit gastric motility. Wiley JW, Lu YX, Chung OY. Gastroenterology. 1991;100:865–872.

39. Weight-centric treatment of type 2 diabetes mellitus. Ghusn W, Hurtado MD, Acosta A. Obes Pillars. 2022;4:100045.

40. Effects of oral ingestion of sucralose on gut hormone response and appetite in healthy normal-weight subjects. Ford HE, Peters V, Martin NM, Sleeth ML, Ghatei MA, Frost GS, Bloom SR. Eur J Clin Nutr. 2011;65:508–513.

41. Effects of carbohydrate sugars and artificial sweeteners on appetite and the secretion of gastrointestinal satiety peptides. Steinert RE, Frey F, Töpfer A, Drewe J, Beglinger C. Br J Nutr. 2011;105:1320–1328.

42. Ingestion of diet soda before a glucose load augments glucagon-like peptide-1 secretion. Brown RJ, Walter M, Rother KI. Diabetes Care. 2009;32:2184–2186.

43. Morphologic changes in the urinary bladder and stomach after long-term administration of sodium saccharin in F344 rats. Hibino T, Hirasawa Y, Arai M. Cancer Lett. 1985;29:255–263.

44. The comet assay with 8 mouse organs: results with 39 currently used food additives. Sasaki YF, Kawaguchi S, Kamaya A, et al. Mutat Res. 2002;519:103–119.

45. Sucralose: assessment of teratogenic potential in the rat and the rabbit. Kille JW, Tesh JM, McAnulty PA, et al. Food Chem Toxicol. 2000;38 Suppl 2:0–52.

46. Inhibition of the serosal sugar carrier in isolated intestinal epithelial cells by saccharin. Kimmich GA, Randles J, Anderson RL. Food Chem Toxicol. 1988;26:927–934.

47. Effect of saccharin on the ATP-induced increase in Na+ permeability in isolated chicken intestinal epithelial cells. Kimmich GA, Randles J, Anderson RL. Food Chem Toxicol. 1989;27:143–149.

48. Neurophysiological symptoms and aspartame: what is the connection? Choudhary AK, Lee YY. Nutr Neurosci. 2018;21:306–316.

49. Koehler SM. Dietary Phenylalanine and Brain Function. Boston, MA: Birkhäuser Boston; 1988. The effect of aspartame consumption on migraine headache: preliminary results; pp. 313–316.

50. The effect of aspartame on migraine headache. Koehler SM, Glaros A. Headache. 1988;28:10–14.

51. Aspartame ingestion and headaches: a randomized crossover trial. Van den Eeden SK, Koepsell TD, Longstreth WT Jr, van Belle G, Daling JR, McKnight B. Neurology. 1994;44:1787–1793.

52. Amygdala response to sucrose consumption is inversely related to artificial sweetener use. Rudenga KJ, Small DM. Appetite. 2012;58:504–507.

53. Physiological mechanisms by which non-nutritive sweeteners may impact body weight and metabolism. Burke MV, Small DM. Physiol Behav. 2015;152:381–388.

54. Systemic contact dermatitis of the eyelids caused by formaldehyde derived from aspartame? Hill AM, Belsito DV. Contact Dermatitis. 2003;49:258–259.

55. Systematized contact dermatitis and montelukast in an atopic boy. Castanedo-Tardan MP, González ME, Connelly EA, Giordano K, Jacob SE. Pediatr Dermatol. 2009;26:739–743.

56. Evaluation of reactions to food additives: the aspartame experience. Bradstock MK, Serdula MK, Marks JS, Barnard RJ, Crane NT, Remington PL, Trowbridge FL. Am J Clin Nutr. 1986;43:464–469.

57. Xylitol as a causative agent of oral erosive eczema. Hanakawa Y, Hanakawa Y, Tohyama M, Yamasaki K, Hashimoto K. Br J Dermatol. 2005;152:821–822.

58. Cardiovascular disease as a leading cause of death: how are pharmacists getting involved? Mc Namara K, Alzubaidi H, Jackson JK. Integr Pharm Res Pract. 2019;8:1–11.

59. Sugary drinks, artificially-sweetened beverages, and cardiovascular disease in the NutriNet-Santé cohort. Chazelas E, Debras C, Srour B, et al. J Am Coll Cardiol. 2020;76:2175–2177.

60. Sugar- and artificially sweetened beverages consumption linked to type 2 diabetes, cardiovascular diseases, and all-cause mortality: a systematic review and dose-response meta-analysis of prospective cohort studies. Meng Y, Li S, Khan J, et al. Nutrients. 2021;13:2636.

61. Intake of sugar-sweetened and low-calorie sweetened beverages and risk of cardiovascular disease: a meta-analysis and systematic review. Yin J, Zhu Y, Malik V, et al. Adv Nutr. 2021;12:89–101.

62. Rios-Leyvraz M, Montez J. Geneva: World Health Organization; 2022. Health Effects of the Use of Non-sugar Sweeteners: A Systematic Review and Meta-Analysis.

63. Association of soda consumption with subclinical cardiac remodeling in the Framingham heart study. Andersson C, Sullivan L, Benjamin EJ, Aragam J, Jacques P, Cheng S, Vasan RS. Metabolism. 2015;64:208–212.

64. Prevalence of diabetes in India: a review of IDF Diabetes Atlas 10th edition [in press] Kumar A, Gangwar R, Ahmad Zargar A, Kumar R, Sharma A. Curr Diabetes Rev. 2023.

65. Nonnutritive sweeteners and cardiometabolic health: a systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials and prospective cohort studies. Azad MB, Abou-Setta AM, Chauhan BF, et al. CMAJ. 2017;189:0–39.

66. Sugar and artificially sweetened beverages and risk of obesity, type 2 diabetes mellitus, hypertension, and all-cause mortality: a dose-response meta-analysis of prospective cohort studies. Qin P, Li Q, Zhao Y, et al. Eur J Epidemiol. 2020;35:655–671.

67. Artificial sweeteners and human bladder cancer. Howe GR, Burch JD, Miller AB, et al. Lancet. 1977;2:578–581.

68. Artificial sweeteners and human bladder cancer. Preliminary results. Hoover RN, Strasser PH. Lancet. 1980;1:837–840.

69. Artificial sweeteners and absence of bladder cancer risk in Copenhagen. Møller-Jensen O, Knudsen JB, Sørensen BL, Clemmesen J. Int J Cancer. 1983;32:577–582.

70. Artificial sweeteners and cancer of the lower urinary tract. Morrison AS, Buring JE. N Engl J Med. 1980;302:537–541.

71. A review of epidemiological studies on artificial sweeteners and bladder cancer. Morgan RW, Wong O. Food Chem Toxicol. 1985;23:529–533.

72. Artificial sweeteners and bladder cancer in Manchester, U.K., and Nagoya, Japan. Morrison AS, Verhoek WG, Leck I, Aoki K, Ohno Y, Obata K. Br J Cancer. 1982;45:332–336.

73. Saccharin, cyclamate, and human bladder cancer. No evidence of an association. Kessler II, Clark JP. JAMA. 1978;240:349–355.

74. Association of artificially sweetened beverage consumption and urinary tract cancers in the women's health initiative observational study. Ringel NE, Hovey KM, Andrews CA, et al. Eur Urol Open Sci. 2023;47:80–86.

75. Can artificial sweeteners increase the risk of cancer incidence and mortality: evidence from prospective studies. Yan S, Yan F, Liu L, Li B, Liu S, Cui W. Nutrients. 2022;14:3742.

76. Aspartame and cancer - new evidence for causation. Landrigan PJ, Straif K. Environ Health. 2021;20:42.

 

SUMBER

 

Wissam Ghusn, Roopa Naik, and Marcel Yibirin. 2023. The Impact of Artificial Sweeteners on Human Health and Cancer Association: A Comprehensive Clinical Review. Cureus. 2023 Dec; 15(12): e51299.