1. Sifat Alami Agen
Virus AI
mudah mati oleh panas, sinar matahari dan desinfektan (deterjen, ammonium
kuartener, formalin 2-5%, iodium kompleks, senyawa fenol, natrium/alium
hipoklorit). Panas dapat merusak infektifitas virus AI. Pada suhu 56ºC, virus
AI hanya dapat bertahan selama 3 jam dan pada 60ºC selama 30 menit. Pelarut
lemak seperti deterjen dapat merusak lapisan lemak ganda pada selubung virus.
Kerusakan selubung virus ini mengakibatkan virus influenza menjadi tidak
infektif lagi. Faktor lain adalah pH asam, nonisotonik dan kondisi kering.
Senyawa ether atau sodium dodecylsulfate akan mengganggu amplop tersebut,
sehingga merusak protein hemaglutinin
dan neuramidase. Media pembawa virus
berasal dari ayam sakit, burung, dan hewan lainnya, pakan, kotoran ayam, pupuk,
alat transportasi, rak telur (egg tray),
serta peralatan yang tercemar. Strain yang sangat ganas (virulen) dan
menyebabkan Flu Burung adalah subtype A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan
hidup di air sampai 4 haripada suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada 0°C.
2. Spesies Rentan
Burung-burung
liar, itik, burung puyuh, babi, kucing, kuda, ayam petelur, ayam pedaging, ayam
kampung, entok, angsa, kalkun, burung unta, burung merpati, burung merak putih,
dan burung perkutut serta manusia.
3. Pengaruh lingkungan
Virus AI
dikenal sebagai virus yang mudah mengalami mutasi, yaitu perubahan yang
menyangkut nukleotida atau asam amino di dalam gen. Pengaruh perjalanan waktu
dan perbedaan inang telah menyebabkan perubahan tersebut terjadi. Sebagai
contoh, subtipe H5N1 yang menginfeksi manusia di Hongkong pada 1997 mengandung
8 segmen gen virus AI yang berasal dari unggas di Eurasia. Meskipun virus ini
berhasil dimusnahkan dengan jalan membakar semua unggas yang ada di Hongkong,
tetapi gen HA muncul sebagai donor pada H5N1 angsa di Cina bagian Tenggara.
Munculnya genotipe baru ini sangat mematikan pada ayam tetapi tidak pada itik.
Selama 5 tahun berikutnya tidak ada variasi genetik dan baru pada akhir 2002
terjadi mutasi. Tampaknya mutasi H5N1 ini menjadi cikal bakal flu burung di
Asia, terbukti menimbulkan kematian ayam dan korban jiwa manusia
4. Sifat Penyakit
Berdasarkan
patotipenya, virus AI dibedakan menjadi Highly
Pathogenic Avian Influenza (HPAI) atau tipe ganas dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) atau tipe kurang ganas. Tanda
yang paling menciri untuk HPAI adalah tingkat kematian yang tinggi yang
mencapai 100%. Selama ini virus AI yang bersifat HPAI adalah H5 dan H7. Karena
mudah bermutasi maka keganasan virus AI ditentukan oleh waktu, tempat dan inang
yang terinfeksi. Artinya walaupun sama-sama H5 yang menginfeksi belum tentu
menunjukkan keganasan yang sama. Target jaringan atau organ dari virus ini
dapat mempengaruhi patogenisitasnya. Virus yang terbatas menyerang saluran
pernapasan atau pencernaan akan menyebabkan penyakit yang berbeda dengan yang
bersifat sistemik atau mencapai organ vital lainnya. Sebagian besar jenis
unggas air liar lebih resisten dibanding unggas piaraan. Virus AI pada unggas
liar mungkin tidak menimbulkan gejala sakit, tetapi dapat menjadi sangat ganas
pada ayam ras maupun bukan ras.Virus influenza tergolong virus dengan genom
bersegmen, sehinga mudah mengalami mutasi. Mutas dapat terjadi melalui proses antigenic drift dan antigenic shift, sehingga sulit dikenal oleh sistem kekebalan
inang.
a. Antigenic drift
Antigenic drift merupakan keadaan di mana virus AI
mengalami mutasi dengan adanya perubahan urutan nukleotida pada gen HA atau NA
atau keduanya. Sifat virus ini selalu dikaitkan dengan timbulnya suatu epidemi
dari penyakit tersebut. Walaupun subtipenya sama, tetapi mempunyai nilai
homologi yang berbeda di antara subtipe tersebut. Berkaitan dengan reaksi
netralisasi yang dilakukan oleh antibodi maka terlihat sangat erat hubungannya
dengan epitop (antigenic determinant)
yang dimiliki oleh protein HA dan NA. Protein permukaan HA memiliki 5 epitop
dan protein NA memiliki 4 epitop. Bila terjadi mutasi pada gen HA dan NA,
karena sifat antigenic drift, maka
dapat merubah susunan atau bahkan menghilangkan epitop yang terdapat pada HA
dan NA, sehingga tidak dapat dikenali oleh antibodi yang sudah ada di dalam
tubuh unggas dan tidak bisa diatasi oleh vaksin yang ada.
b. Antigenic shift
Antigenic shift merupakan aktivitas rekombinan dari
dua macam virus influenza A yang menghasilkan segmen gen baru. Aktivitas ini
mengakibatkan antibodi yang sudah terbentuk di dalam tubuh tidak dapat
menetralkan sama sekali virus baru tersebut. Hasil dari rekombinasi ini akan
menghasilkan subtipe baru yang dapat menimbulkan pandemi.
5. Cara Penularan
Penularan
dapat terjadi melalui kontak langsung dari unggas terinfeksi dan unggas peka
melalui saluran pernapasan, konjungtiva, lendir dan feses; atau secara tidak
langsung melalui debu, pakan, air minum, petugas, peralatan kandang, sepatu,
baju dan kendaraan yang terkontaminasi virus AI serta ayam hidup yang
terinfeksi. Unggas air seperti itik dan entog dapat bertindak sebagai carrier (pembawa virus) tanpa menujukkan
gejala klinis. Unggas air biasanya berperan sebagai sumber penularan terhadap
suatu peternakan ayam atau kalkun.
Penularan
secara vertikal atau konginetal belum diketahui, karena belum ada bukti ilmiah
maupun empiris. Masa inkubasi bervariasi dari beberapa jam sampai 3 (tiga) hari
pada individual unggas terinfeksi atau sampai 14 hari di dalam flok. Burung migrasi, manusia dan peralatan
pertanian merupakan faktor beresiko masuknya penyakit. Pasar burung dan pedagang pengumpul juga
berperanan penting bagi penyebaran penyakit. Media pembawa virus berasal dari ayam sakit,
burung, dan hewan lainnya, pakan, kotoran ayam, pupuk, alat transportasi, rak
telur (egg tray), serta peralatan
yang tercemar. Manusia menyebarkan virus ini dengan memindahkan dan menjual
unggas sakit atau mati.
6. Distribusi Penyakit
Di
Indonesia, avian influenza mewabah sejak pertengahan tahun 2003. Selain
menyerang unggas, virus AI juga menginfeksi manusia, sehingga membuat Indonesia
menjadikan satu-satunya negara dengan angka kejadian dan kematian tertinggi di
dunia. Jenis hewan yang tertular adalah ayam layer di peternakan komersial.
Penyebaran secara cepat terutama melalui perdagangan unggas. Dari bulan Agustus
2003 sampai Februari 2004 terjadi wabah penyakit unggas yang menyebabkan
kematian unggas sebesar 6,4% dari populasi unggas di wilayah seluruh Propinsi
yang ada di Pulau Jawa, Propinsi Kalimantan Selatan, Propinsi Bali, Propinsi
Kalimantan Tengah dan Propinsi Lampung. Spesies unggas tertular yang dilaporkan
adalah ayam petelur (layer), ayam
pedaging (broiler), ayam buras, itik,
entok, angsa, burung unta, burung puyuh, burung merpati, burung merak putih,
burung perkutut.
Pada bulan
April 2005 dilaporkan meningkat secara sporadis dan lebih banyak menyerang ayam
buras dan burung puyuh di beberapa daerah tertular di P. Jawa, Sumatera Utara,
dan Kaltimantan Timur, hingga akhir bulan Juli 2005, terjadi di 21 propinsi,
136 kabupaten/kota. Sementara itu berdasarkan laporan dari Dinas Peternakan
Propinsi Sumatera Utara, di Kabupaten Tapanuli Utara masih terdapat kasus
kematian pada ayam buras sejumlah 200 ekor, sedangkan di Kota Jambi dan
Kabupaten Batanghari jumlah kematian unggas pada bulan Juli 2005 sebanyak 233
ekor. Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Kep. Riau, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara,
dilaporkan masih terdapat kasus kematian unggas hinnga bulan Desember 2005.
Penetapan
daerah tertular avian influenza dilakukan berdasarkan adanya laporan kasus
kematian unggas yang disebabkan oleh virus avian influenza dengan diagnosa
klinis, patologi anatomi, epidemiologis, dan dikonfirmasi secara laboratoris.
A. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Gejala
klinis yang terlihat pada ayam penderita HPAI antara lain adalah, jengger,
pial, kelopak mata, telapak kaki dan perut yang tidak ditumbuhi bulu terlihat
berwarna biru keunguan. Adanya perdarahan pada kaki berupa bintik-bintik merah
(ptekhie) atau biasa disebut kerokan
kaki. Keluarnya cairan dari mata dan hidung, pembengkakan pada muka dan kepala,
diare, batuk, bersin dan ngorok. Nafsu makan menurun, penurunan produksi telur,
kerabang telur lembek. Adanya gangguan syaraf, tortikolis, lumpuh dan
gemetaran. Kematian terjadi dengan cepat. Sementara itu pada LPAI, kadang
gejala klinis tidak terlihat dengan jelas. Gejala klinis pada ayam.terdapat : a) cyanosis
pada kepala, b) perdarahan pada kaki, c) keluarnya cairan dari hidung dan
paruh, d) pebengkakan pada kepala.
2. Patologi
Pada
nekropsi (bedah bangkai) yang terlihat adalah perdarahan umum, edema, hiperemi
atau ptekhie pada hampir seluruh bagian tubuh, kondisi ini sangat sulit
dibedakan dari ND ganas. Selain itu ditemukan edema subkutan. Perubahan pada
nekropsi mungkin sangat bervariasi sejalan dengan umur, spesies, dan
patogenisitas virus. Beberapa ciri lesi tipikal dapat berupa, edema subkutan
pada daerah kepala dan leher, kongesti dan ptekhie
konjunctiva, trakea dilapisi mukus atau hemorragik, kongesti dan timbunan urat
dalam ginjal, ptekhie pada
proventrikulus, tembolok, usus, lemak abdominal dan peritoneum. Ovarium pada
ayam petelur terlihat hemorragik atau nekrotik, kantung telur terisi dengan
kuning telur yang ruptur sehingga sering terlihat adanya peritonitis dan
peradangan pada kantung udara. Sering pada ayam muda yang mati perakut terlihat
adanya dehidrasi dan kongesti otot yang parah.
Perubahan patologi ayam broiler terserang HPAI terdapat : a) perdarahan
pada otot, b) kongesti paru, c) ptechi pada kloaka.
Bentuk Ringan
Terjadi
radang nekrotik pada proventikulus dekat perbatasan dengan ventrikulus,
pankreas bewarna merah tua dan kuning muda, terdapat eksudat (kataralis,
fibrinous, serofibrinous, mukopurulen atau kaseus) pada trachea, penebalan
kantong udara berisi eksudat fibrinous atau kaseus, peritonitis fibrinous dan
peritonitis, enteritis kataralis sampai fibrinous dan terdapat eksudat di dalam
oviduct.
Bentuk Akut
Bila mati
dalam waktu singkat tidak akan ditemukan perubahan makroskopik tertentu. Pada
stadium awal terlihat edema kepala yang disertai dengan pembengkakan sinus,
sianosis, kongesti dan hemorragik pada pial dan jengger, kongesti dan
haemorrhagi pada kaki, dan nekrosis pada hati, limpa, ginjal serta paru-paru.
3. Diagnosa
Diagnosa
lapangan dengan melihat gejala klinis dan patologi anatomi. Secara laboratorium
diagnosa dapat ditegakkan secara virologis dengan cara inokulasi suspensi
spesimen (suspensi swab hidung dan trakea, swab kloaka dan feses atau organ
berupa trakea, paru, limpa, pankreas dan otak) pada telur berembrio umur 9 – 11
hari (3 telur per spesimen). Identifikasi dapat dilakukan secara serologis,
antara lain dengan uji Agar Gel
Immunodifusion (AGID), uji Haemagglutination
Inhibition (HI). Penentuan patogenisitas virus dilakukan dengan cara
menyuntikkan isolat virus dari cairan alantois secara intravena (IV) pada 10
ekor anak ayam umur 6 minggu atau 4 – 8 minggu. Jika mati 6 ekor atau lebih
dalam 10 hari, atau Intravena patogenicity index (IVPI) > 1,2 dianggap HPAI.
Secara molekuler keberadaan virus AI dapat dideteksi dengan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RT-PCR), real time RT-PCR
atau sekuensing genetik.
4. Diagnosa Banding
Avian
Influenza sering dikelirukan dengan Newcastle
Disease (ND), Infectious
Laryngotrachaetis (ILT), Infectious
Bronchitis (IB), Fowl cholera dan infeksi Escherichia
coli.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen
yang diambil untuk uji serologi adalah serum, sedangkan untuk uji virologi
adalah swab hidung dan trakea, swab kloaka dan feses, paru, limpa, pankreas dan
otak. Baik jaringan organ segar maupun spesimen swab harus dikirim dalam media
transpor ke laboratorium. Pengiriman spesimen harus dijaga dalam keadaan dingin
dan dikirimkan ke Laboratorium Veteriner setempat .
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Belum
ditemukan obat yang dapat menyembuhkan Avian Influenza. Usaha yang dapat
dilakukan adalah membuat kondisi badan ayam cepat membaik dan merangsang nafsu
makannya dengan memberikan tambahan vitamin dan mineral, serta mencegah infeksi
sekunder dengan pemberian antibiotik. Dapat
pula diberikan pemanasan tambahan pada kandang.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan
Pemberantasan
a. Pelaporan
Jika
ditemukan kasus AI dapat dilaporkan kepada Dinas yang membidangi fungsi
Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dan selanjutnya diteruskan kepada
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Peneguhan diagnosa
dilakukan oleh Laboratorium Veteriner terakreditasi.
b. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Pelaksanaan
pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit dilakukan berdasarkan
Kepdirjennak No: 17/Kpts/PD.640/F/02.04 tanggal 4 Februari 2004 tentang Pedoman
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Influenza
pada Unggas (Avian Influenza (Kepdirjennak No: 46/Kpts/PD.640/F/04.04
Kepdirjennak No: 46/PD.640/F/08.05), terdapat 9 Strategi pengendalian Avian
Influenza, yaitu:
1) Biosekuriti
Biosekuriti
merupakan suatu tindakan untuk mencegah semua kemungkinan penularan (kontak)
dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit melalui: pengawasan lalu
lintas dan tindak karantina (isolasi) lokasi peternakan tertular dan lokasi
tempat-tempat penampungan unggas yang tertular, dekontaminasi (desinfeksi).
Jenis desinfektan yang dapat digunakan misalnya asam parasetat, hidroksi
peroksida, sediaan amonium quartener, formaldehide (formalin 2-5%), iodoform
kompleks (iodine), senyawa fenol, natrium (kalium) hipoklorit.
2) Pemusnahan unggas selektif (depopulasi) di
daerah tertular
Pemusnahan
selektif (depopulasi) merupakan suatu tindakan untuk mengurangi populasi unggas
yang menjadi sumber penularan penyakit dengan jalan eutanasia dengan
menggunakan gas CO2 atau menyembelih semua unggas hidup yang sakit
dan unggas sehat yang sekandang. Cara yang kedua adalah disposal, yaitu
prosedur untuk melakukan pembakaran dan penguburan terhadap unggas mati
(bangkai), karkas, telur, kotoran (feses), bulu, alas kandang (sekam), pupuk
atau pakan ternak yang tercemar serta bahan dan peralatan terkontaminasi
lainnya yang tidak dapat didekontaminasi (didesinfeksi) secara efektif. Lubang
tempat penguburan atau pembakaran harus berlokasi di dalam areal peternakan
tertular dan berjarak minimal 20 meter dari kandang tertular dengan kedalaman
1,5 meter. Apabila lubang tempat penguburan atau pembakaran terletak di luar
peternakan tertular, maka harus jauh dari pemukiman penduduk dan mendapat ijin
dari Dinas Peternakan setempat.
3) Vaksinasi
Vaksinasi
dilakukan karena kebanyakan masyarakat Indonesia memelihara ayam tanpa
dikandangkan, sehingga kemungkinan terinfeksi virus dari alam akan lebih besar.
Tujuan pelaksanaan vaksinasi adalah untuk mengurangi jumlah hewan yang peka
terhadap infeksi dan mengurangi sheding virus atau virus yang dikeluarkan dari
hewan tertular sehingga mengurangi kontaminasi lingkungan (memutus mata rantai
penyebaran virus AI). Dalam pelaksanaan vaksinasi, daerah yang divaksinasi
harus dipastikan bukan daerah tertular, atau baru terjadi kejadian kasus aktif
HPAI, mengikuti acuan teknis penggunaan vaksin yang dikeluarkan oleh produsen
vaksin yg tertulis dlm brosur, memastikan unggas yang akan divaksin berada pada
flok dan lingkungan yg sehat, serta unggas dalam keadaan sehat, jarum suntik
harus diganti dan disucihamakan dalam alkohol 70% serta mencatat detail
vaksinasi pada lembar registrasi. Dosis vaksinasi yang disarankan adalah 0,5 ml
untuk unggas dewasa dengan rute intra musculer, sedangkan unggas muda 0,2 ml
dengan rute sub kutan. Jenis vaksin yang digunakan berdasarkan rekomendasi OIE,
yaitu vaksin konvensional berupa vaksin inaktif, atau vaksin rekombinan (vaksin
dengan vektor virus Fowlpox (Pox-AI:H5) atau vaksin subunit yang dihasilkan
oleh ekspresi Baculovirus yang hanya mengandung antigen H5 atau H7. Kebijakan vaksinasi saat ini adalah
menggunakan vaksin yang sudah mendapatkan registrasi, diperuntukkan peternakan
sektor 1, 2 dan 3 swadaya, serta peternakan sektor 4 dibantu pemerintah.
Evaluasi program vaksinasi AI
dilakukan melalui:
a). Rasional
Vaksinasi: Vaksinasi menurunkan kepekaan terhadap infeksi dan mengurangi
pengeluaran virus dari tubuh unggas (baik dalam waktu dan jumlah), sehingga
merupakan alat yang tepat untuk menurunkan insidens kasus baru dan sirkulasi
virus di lingkungan;
b). Syarat
Suksesnya Program Vaksinasi: Vaksinasi harus dianggap sebagai alat untuk
memaksimalkan tindakan biosekriti dan bisa dikombinasikan dengan surveilans
untuk mendeteksi secara cepat setiap perubahan dari antigenik virus yang
bersirkulasi.
4) Pengendalian lalu lintas
Pengendalian
lalulintas ini meliputi pengaturan secara ketat terhadap pengeluaran dan
pemasukan unggas hidup, telur (tetas dan konsumsi) dan produk unggas lainnya
(karkas / daging unggas dan hasil olahannya), pakan serta limbah peternakan;
pengawasan lalu lintas antar area; pengawasan terhadap pelarangan maupun
pembatasan lalu lintas.
5) Surveilans dan Penelusuran
Surveilans
merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur untuk mengetahui status
kesehatan hewan pada suatu populasi. Sasarannya adalah semua spesies unggas
yang rentan tehadap penyakit dan sumber penyebaran penyakit. Dalam melakukan
surveilans harus dilakukan penelusuran untuk menentukan sumber infeksi dan
menahan secara efektif penyebaran penyakit dan dilakukan minimum mulai dari
periode 14 hari sebelum timbulnya gejala klinis sampai tindak karantina mulai
diberlakukan. Tujuan utama dari surveilan AI adalah untuk memberikan informasi
yang akurat tentang tingkat penyakit AI dan faktor faktor penyebabnya dalam
populasi untuk tujuan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan.
6) Peningkatan kesadaran masyarakat
(Public Awareness)
Merupakan
sosialisasi (kampanye) penyakit AI kepada masyarakat dan peternak. Sosialisasi
dilakukan melalui media elektronik, media massa maupun penyebaran brosur
(leaflet) dan pemasangan spanduk, agar masyarakat tidak panik
7) Pengisian kembali (Restocking)
unggas
Pengisian
kembali (restocking) unggas ke dalam kandang dapat dilakukan sekurang-kurangnya
1 (satu) bulan setelah dilakukan pengosongan kandang dan semua tindakan
dekontaminasi (desinfeksi) dan disposal selesai dilaksanakan sesuai prosedur.
8) Pemusnahan unggas secara
menyeluruh (stamping out) di daerah
tertular baru
Apabila
timbul kasus AI di daerah bebas atau terancam dan telah didiagnosa secara
klinis, patologi anatomis dan epidemiologis serta dikonfirmasi secara
laboratoris maka dilakukan pemusnahan (stamping out) yaitu memusnahkan seluruh
ternak unggas yang sakit maupunyang sehat dalam radius 1 km dari peternakan
tertular tersebut.
9) Monitoring, Pelaporan dan
Evaluasi
Monitoring
adalah usaha yang terus menerus yang ditujukan untuk mendapatkan taksiran
kesehatan dan penyakit pada populasi yang dilakukan oleh pusat dan daerah serta
laboratorium (BPPV/BBV). Pelaporan meliputi laporan situasi penyakit dan
perkembangan pelaksanaan, pengendalian dan pemberantasan penyakit. Pelaksanaan
evaluasi dilakukan setelah selesai kegiatan operasional lapangan. Materi yang
penting diantaranya adalah penyediaan dan distribusi sarana (vaksin, obat,
peralatan dan lain-lain), realisasi pelaksanaan opersional (vaksinasi,
pengamatan, diagnosa, langkah-langkah/tindakan yang telah diambil dalam
pengendalian dan pemberantasan) serta situasi penyakit (sakit,mati, stamping
out, kasus terakhir) dan lain-lain.
F. DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2005.
Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular,Seri Penyakit Avian Influenza (AI)
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen
Pertanian Jakarta. Hal 43 – 49.
Anonim 2005.
Manual Standar Kesehatan Hewan, Edisi Pedoman Surveilans dan Monitoring Avian
Influenza di Indonesia, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. Hal 1-4.
Beard CW
2003. Avian Influenza (Fowl Plaque).Shouthest Poultry Research Laboratory,
Athens, GA.
Chen H, G
Deng, Z Li, G Tiam, Y Li, P Jiao, L Zhang, Z Liu, RG Webster, and K
Yu 2004. The
evolution of H5N1 influenza viruses in ducks in Southern China. Microbiology
101 : 10451-10457.
Fouchier
RAM, V Munster, A Wallenstens, TM Bestebroer, S Hersfst, D Smith, GF
Rimmelzwaan, B Olsen, and ADME Osterhaus 2005. Characterization of novel
influenza A virus hemagglutinin subtype (H16) obtained black-headed gulls. J
Virol 79 (5) : 2814-2822.
Horimoto T,
and Y Kawaoka 2001. Pandemic threat posed by avian influenza A viruses. Clin
Microbiol Rev. 14 : 129-149.
Howes J, D
Bakewell, dan YR Noor 2003. Panduan studi burung pantai. Wetlands International
– Indonesia Programme, Bogor.
Karasin AI,
K West, S Carman, and CW Olson 2004. Characterization of avian H3N3 and H1N1
influenza A viruses isolated from pigs in Canada. J Clin Microbiol 42 : 4349 - 4354.
Krafft, AE,
KL Russell, AW Hawksworth, S McCall, M Irvine, LT Daum, JL Taubenberger 2005.
Evaluation of PCR testing of ethanol-fixed nasal swab specimens as an augmented
surveillance strategy for influenza virus and adenovirus identification. J Clin
Microbiol 43 : 1768-1775.
Lipatov, AS,
EA Govorkova, RJ Webby, H Ozaki, M Peiris, Y Guan, L Poon, and RG Webster 2004.
Influenza : emergence and control. J Virol 78 : 8951-8959.
OIE 2002.
Highly pathogenic avian influenza. World Organization for Animal Health.
Terhubung berkala : http://.oie.int/.
Anonim 1996.
Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines. Office International des
Epizooties. World organization for animal health. 161-169.
Herendra D
1994. Manual on Meat Inspection for Developing Countries, Food and Agriculture
Organization of The United Nations, Rome.
Tabbu CR
2000. Penyakit ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral.
Volume 1. Penerbit kanisius, Yogyakarta.
Sumber :
Manual Penyakit Unggas, Direktorat
kesehatan Hewan, Direktorat jenderal Peternakan dan Kesehatan hewan, tahun
2012.