Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday 19 September 2022

Prinsip Dasar Vaksinologi

 Dasar-dasar Vaksinologi dan Perkembangannya


RINGKASAN

Imunisasi merupakan landasan kebijakan kesehatan masyarakat yang terbukti sangat hemat biaya bila digunakan untuk melindungi kesehatan anak. Meskipun dapat dikatakan bahwa imunologi sejauh ini belum banyak berkontribusi pada pengembangan vaksin, karena sebagian besar vaksin yang kita gunakan saat ini dikembangkan dan diuji secara empiris, jelas bahwa ada tantangan besar ke depan untuk mengembangkan vaksin baru untuk patogen yang sulit ditargetkan, di mana kita sangat membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang kekebalan protektif. Selain itu, pengakuan akan potensi dan tantangan besar vaksin untuk mengendalikan wabah penyakit dan melindungi populasi yang lebih tua, bersama dengan ketersediaan berbagai teknologi baru, menjadikannya waktu yang tepat bagi ahli imunologi untuk terlibat dalam merancang generasi berikutnya dari imunogen kuat. Tinjauan ini memberikan gambaran awal tentang vaksin, imunisasi dan isu-isu terkait, dengan tujuan untuk menginformasikan khalayak ilmiah yang luas tentang konsep dasar imunologi.

 

LATAR BELAKANG

Vaksin telah meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat, terutama sejak program nasional untuk imunisasi pertama kali ditetapkan yang telah dikoordinasikan dengan baik sejak tahun 1960-an. Di negara dengan cakupan program vaksin yang tinggi, banyak penyakit yang sebelumnya menimbulkan sebagian besar kematian anak telah hilang[1] (Gambar 1). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 2–3  juta jiwa diselamatkan setiap tahun dengan program imunisasi saat ini.  Program ini telah berkontribusi  menurunkan secara nyata kematian anak di bawah usia 5 tahun secara global dari 93 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 39 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2018 [2].

 

Gambar 1: Dampak vaksinasi pada penyakit tertentu di Inggris



Pengenalan vaksinasi terhadap penyakit menular seperti difteri (bagian a), meningokokus kapsul kelompok C (bagian b), polio (bagian c), Haemophilus influenzae tipe B (bagian d), campak (bagian e) dan pertusis (bagian f) menyebabkan penurunan yang nyata kejadian masing-masing penyakit tersebut. Sebagai catatan, peningkatan laporan dari H. influenzae tipe B pada tahun 2001 telah mendorong vaksinasi massal terlaksana, setelah itu kejadian berkurang. Untuk pertusis, penurunan cakupan vaksin menyebabkan peningkatan kasus pada akhir 1970-an dan 1980-an, tetapi kejadian penyakit berkurang setelah cakupan vaksin meningkat. Diadaptasi dengan izin dari Green Book, informasi ditujukan kepada profesional kesehatan masyarakat tentang imunisasi, Public Health England, berisi informasi sektor publik yang didaftarkan secara resmi di bawah Open Government License v3.0.

 

Vaksin memanfaatkan kemampuan luar biasa dari sistem kekebalan manusia yang sangat baik dalam merespons dan mengingatnya ketika terjadi paparan antigen patogen. Namun, sebagian besar riwayatnya, vaksin telah dikembangkan melalui penelitian empiris kurang melibatkan ahli imunologi. Ada kebutuhan besar saat ini untuk meningkatkan pemahaman tentang dasar imunologis dalam mengembangkan vaksin terhadap patogen yang sulit (seperti Mycobacterium tuberculosis bakteri penyebab tuberkulosis (TB))[3] dan patogen dengan antigen bervariasi (seperti HIV) [4],  pengendalian wabah yang mengancam keamanan kesehatan global (seperti COVID-19 atau Ebola) [5,6] dan mencari cara untuk menghidupkan kembali respons kekebalan dalam sistem kekebalan orang tua[7] untuk melindungi populasi lansia yang terus bertambah terhadap penyakit menular.

 

Dalam kajian ini ditujukan untuk khalayak ilmiah diberikan panduan tentang sejarah (Kotak 1), perkembangan, dasar imunologi dan dampak luar biasa dari vaksin dan program imunisasi pada penyakit menular untuk memberikan wawasan masalah utama yang dihadapi ahli imunologi saat ini. Diberikan beberapa perspektif tentang tantangan saat ini dan masa mendatang dalam rangka melindungi populasi dunia dari patogen umum dan ancaman infeksi yang muncul. Mengkomunikasikan secara efektif tentang ilmu vaksinasi kepada masyarakat yang skeptis merupakan tantangan bagi semua yang terlibat dalam imunobiologi vaksin. Namun sangat dibutuhkan untuk menyelaraskan kembali dialog dalam memastikan kesehatan masyarakat[8]. Hal ini hanya dapat dicapai dengan cara transparan tentang apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui, serta mempertimbangkan strategi mengatasi kesenjangan pengetahuan yang ada.

 

Kotak 1 Sejarah singkat vaksinasi

Epidemi cacar melanda seluruh Eropa pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, terhitung sebanyak 29% dari tingkat kematian anak-anak di London[137]. Upaya awal untuk mengendalikan penyakit menyebabkan praktik variolasi pada cacar, yang diperkenalkan oleh Lady Mary Wortley Montagu di Inggris pada tahun 1722, dan telah digunakan di Timur Jauh sejak pertengahan 1500-an. Dalam variasinya, bahan dari keropeng lesi cacar digoreskan ke kulit sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit.  Variolasi tampaknya mendorong perlindungan, mengurangi tingkat serangan selama epidemi, tetapi sayangnya beberapa dari mereka yang divariolisasi timbul penyakit dan bahkan kadang-kadang meninggal. Dalam konteks inilah Edward Jenner menulis Penyelidikan Penyebab dan Dampak Vaksin Variole” pada tahun 1798.

 

Diilustrasikan dengan menggores bahan dari lesi cacar sapi yang diambil dari tangan seorang pemerah susu, Sarah Nelms, ke kulit seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, James Phipps, yang kemudian ditantang dengan cacar, memberikan bukti awal bahwa vaksinasi dapat berhasil. Kontribusi Jenner untuk pengobatan dengan demikian bukanlah teknik inokulasi tetapi pengamatannya yang mengejutkan bahwa pemerah susu yang menderita infeksi cacar sapi ringan tidak tertular cacar, dan asumsi kebetulan bahwa bahan dari lesi cacar sapi mungkin kebal terhadap cacar. Selanjutnya, Jenner dengan cemerlang meramalkan bahwa vaksinasi dapat mengarah pada pemberantasan cacar; pada tahun 1980, Majelis Kesehatan Dunia menyatakan dunia bebas dari cacar yang terjadi secara alami.

 

Hampir 100 tahun setelah Jenner, karya Louis Pasteur tentang vaksin rabies pada tahun 1880-an menandai dimulainya periode berlomba pengembangan vaksin baru, sehingga pada pertengahan abad kedua puluh, vaksin untuk berbagai penyakit (seperti difteri, pertusis dan tipus) telah dikembangkan sebagai produk patogen yang inaktif atau vaksin toksoid. Namun, koordinasi imunisasi sebagai alat kesehatan masyarakat utama sejak 1950-an dan seterusnya yang mengarah pada pengenalan program vaksin yang komprehensif dan dampaknya luar biasa pada kesehatan anak yang kita nikmati saat ini.

 

Pada tahun 1974, Organisasi Kesehatan Dunia meluncurkan Program Perluasan Imunisasi kemudian ditetapkan pada tahun 1977 dengan tujuan menjangkau setiap anak di dunia memperoleh vaksin difteri, pertusis, tetanus, poliomielitis, campak, dan TBC pada tahun 1990. Sayangnya, tujuan itu masih belum tercapai; meskipun cakupan global dari 3 dosis vaksin difteri–tetanus–pertusis telah meningkat menjadi lebih dari 85%, masih ada lebih dari 19  juta anak yang tidak menerima vaksinasi dasar pada tahun 2019 [105].

 

APA SAJA YANG TERDAPAT DALAM VAKSIN?

Vaksin merupakan produk biologis digunakan menginduksi respon imun dengan aman untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi dan/atau penyakit pada paparan patogen berikutnya. Untuk mencapai hal ini, vaksin harus mengandung antigen yang berasal dari patogen atau diproduksi secara sintetis untuk mewakili komponen patogen. Komponen penting dari sebagian besar vaksin adalah satu atau lebih antigen protein yang menginduksi respon imun untuk memberikan perlindungan. 

Namun, antigen polisakarida juga dapat menginduksi respon imun protektif menjadi dasar pembangan vaksin untuk mencegah beberapa infeksi bakteri, seperti pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, sejak akhir 1980-an[9]. Perlindungan yang diberikan oleh vaksin diukur dalam uji klinis yang menghubungkan respons imun terhadap antigen vaksin dengan titik akhir klinis (seperti pencegahan infeksi, pengurangan keparahan penyakit, atau penurunan tingkat rawat inap). Menemukan respons imun yang berkorelasi dengan perlindungan dapat mempercepat pengembangan dan akses ke vaksin baru[10] (Kotak 2).

 

Vaksin umumnya diklasifikasikan sebagai hidup atau tidak hidup ('inaktif') untuk membedakan vaksin yang mengandung strain organisme patogen yang dilemahkan dari yang hanya mengandung komponen patogen atau organisme utuh yang diinaktifkan (Gambar 1). Selain vaksin hidup dan inaktif 'tradisional', beberapa platform telah dikembangkan selama beberapa dekade terakhir, termasuk vektor virus, vaksin RNA dan DNA berbasis asam nukleat, dan partikel mirip virus.

 

Gambar 2: Berbagai jenis vaksin


 


Representasi skematis dari berbagai jenis vaksin melawan patogen; teks menunjukkan terhadap patogen mana vaksin tertentu didaftarkan secara resmi dan kapan setiap jenis vaksin pertama kali diperkenalkan BCG, Mycobacterium bovis bacillus Calmette-Guérin.

 

Perbedaan antara vaksin hidup dan inaktif adalah penting. Yang pertama mungkin memiliki potensi untuk bereplikasi secara tidak terkendali pada individu dengan gangguan sistem kekebalan (misalnya, anak-anak dengan beberapa defisiensi imun primer, atau individu dengan infeksi HIV atau mereka yang menerima obat imunosupresif), yang menyebabkan beberapa pembatasan penggunaannya[11]. Sebaliknya, vaksin inaktif tidak menimbulkan risiko bagi individu dengan gangguan kekebalan (walaupun mereka mungkin tidak memberikan perlindungan kepada mereka yang memiliki imunodefisiensi sel B atau gabungan).

 

Vaksin hidup dikembangkan sedemikian rupa sehingga, pada host yang imunokompeten, mereka bereplikasi cukup untuk menghasilkan respons imun yang kuat, tetapi tidak terlalu banyak menimbulkan manifestasi penyakit yang signifikan (misalnya, vaksin untuk campak, gondok, rubella dan rotavirus, vaksin polio oral, vaksin Mycobacterium bovis bacillus Calmette–Guérin (BCG) untuk TB dan vaksin influenza hidup yang dilemahkan).  Ada trade-off antara replikasi patogen vaksin yang cukup untuk menginduksi respon imun yang kuat dan pelemahan patogen yang cukup untuk menghindari penyakit simtomatik. Untuk alasan ini, beberapa vaksin hidup yang dilemahkan memerlukan beberapa dosis dan menginduksi kekebalan yang relatif berumur pendek (misalnya, vaksin tifoid hidup yang dilemahkan, Ty21a)[12], dan vaksin hidup yang dilemahkan lainnya dapat menyebabkan beberapa penyakit ringan (misalnya, sekitar 5 % anak akan mengalami ruam dan demam hingga 15% setelah vaksinasi campak)[13].

 

Komponen antigenik dari vaksin inaktif dapat berasal dari seluruh organisme yang diinaktifkan (misalnya, vaksin pertusis sel utuh dan vaksin polio yang tidak aktif), protein yang dimurnikan dari organisme (misalnya, vaksin pertusis aseluler), protein rekombinan (misalnya, hepatitis B), vaksin virus (HBV)) atau polisakarida (misalnya, vaksin pneumokokus terhadap S. pneumoniae) (Gambar 2). Vaksin toksoid (misalnya, untuk tetanus dan difteri) adalah racun protein yang diinaktivasi formaldehida yang telah dimurnikan dari patogen.

 

Vaksin inaktif sering ditambah adjuvant untuk meningkatkan kemampuannya dalam menginduksi respon imun (imunogenisitas). Hanya ada beberapa bahan pembantu yang digunakan secara rutin dalam vaksin terdaftar secara resmi. Namun, portofolio bahan pembantu terus dikembangkan, dengan bahan pembantu berbasis liposom dan emulsi minyak dalam air yang dilisensikan dalam beberapa dekade terakhir[14]. Mekanisme kerja garam aluminium (tawas), meskipun banyak digunakan sebagai adjuvant selama lebih dari 80 tahun, masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi semakin banyak bukti bahwa respon imun dan perlindungan dapat ditingkatkan dengan penambahan adjuvant baru yang memberikan sinyal terhadap sistem imun bawaan. Contoh bahan pembantu baru ini adalah emulsi minyak dalam air MF59, yang digunakan dalam beberapa vaksin influenza[16]; AS01, yang digunakan dalam salah satu vaksin herpes zoster dan vaksin malaria berlisensi[17]; dan AS04, yang digunakan dalam vaksin melawan human papillomavirus (HPV)[18].

 

Vaksin mengandung komponen lain yang berfungsi sebagai pengawet, pengemulsi (seperti polisorbat 80) atau penstabil (misalnya gelatin atau sorbitol). Berbagai produk yang digunakan dalam pembuatan vaksin secara teoritis juga dapat dibawa ke produk akhir dan dimasukkan sebagai komponen jejak potensial vaksin, termasuk antibiotik, protein telur atau ragi, lateks, formaldehida dan/atau gluteraldehida dan pengatur keasaman (seperti garam kalium atau natrium). Kecuali dalam kasus alergi terhadap salah satu komponen ini, tidak ada bukti risiko terhadap kesehatan manusia dari komponen jejak beberapa vaksin ini[19,20].

 

Kotak 2 Korelasi perlindungan

Identifikasi korelasi perlindungan sangat membantu dalam pengembangan vaksin karena dapat digunakan untuk membandingkan produk dan untuk memprediksi apakah penggunaan vaksin dengan efikasi baik pada populasi baru (misalnya, kelompok usia yang berbeda, latar belakang medis atau lokasi geografis) mungkin untuk memberikan perlindungan yang sama seperti yang diamati dalam pengaturan aslinya. Ada banyak kebingungan dalam literatur tentang definisi korelasi perlindungan. Untuk tujuan diskusi ini, akan berguna untuk memisahkan dua arti yang berbeda.

 

Suatu korelasi mekanistik perlindungan adalah mekanisme kekebalan fungsional spesifik yang diyakini memberikan perlindungan. Misalnya, antibodi antitoksin, yang diinduksi oleh vaksin toksoid tetanus, memberikan perlindungan secara langsung dengan menetralkan aktivitas toksin. Korelasi proteksi non-mekanistik tidak dengan sendirinya memberikan fungsi proteksi tetapi memiliki hubungan statistik dengan mekanisme proteksi.

 

Contoh korelasi non-mekanistik perlindungan adalah tingkat antibodi IgG total terhadap pneumokokus. Antibodi IgG ini mengandung korelasi mekanistik (dianggap sebagai bagian dari antibodi opsonophagocytic) tetapi mekanisme proteksi tidak diukur secara langsung. Korelasi perlindungan dapat diukur dalam uji klinis jika ada serum pasca-vaksinasi yang tersedia dari individu yang menimbulkan atau tidak menimbulkan penyakit, meskipun pengumpulan serum skala besar dari peserta jarang dilakukan dalam uji efikasi klinis fase III.

 

Pendekatan alternatif adalah untuk memperkirakan korelasi perlindungan dengan mengekstrapolasi dari studi sero-epidemiologi pada populasi yang divaksinasi dan menghubungkan data dengan kejadian penyakit dalam populasi. Studi tantangan manusia juga telah digunakan untuk menentukan korelasi perlindungan, meskipun dosis bakteri atau virus tantangan dan kondisi eksperimental mungkin tidak berhubungan erat dengan infeksi alami, yang dapat membatasi kegunaan pengamatan ini.

 

Vaksin menginduksi antibodi

Respon imun adaptif dimediasi oleh sel B yang menghasilkan antibodi (imunitas humoral) dan oleh sel T (imunitas seluler). Semua vaksin yang digunakan secara rutin, kecuali BCG (yang diyakini menginduksi respons sel T yang mencegah keparahan penyakit dan respons imun bawaan yang dapat menghambat infeksi; lihat nanti), dianggap terutama memberikan perlindungan melalui induksi antibodi (Gambar 3).  Ada banyak bukti yang mendukung bahwa berbagai jenis antibodi fungsional penting dalam perlindungan yang diinduksi oleh vaksin, dan bukti ini berasal dari tiga sumber utama: status imunodefisiensi, studi tentang perlindungan pasif dan data imunologi.

 

Gambar 3: Pembentukan respon imun terhadap vaksin

 

Respon imun setelah imunisasi dengan antigen protein konvensional. Vaksin disuntikkan ke otot dan antigen protein diambil oleh sel dendritik, yang diaktifkan melalui reseptor pengenalan pola (PRR) dengan sinyal bahaya di adjuvant, dan kemudian dipindahkan ke kelenjar getah bening yang mengering. Di sini, penyajian peptida antigen protein vaksin oleh molekul MHC pada sel dendritik mengaktifkan sel T melalui reseptor sel T (TCR). Dalam kombinasi dengan pensinyalan (oleh antigen terlarut) melalui reseptor sel B (BCR), sel T mendorong perkembangan sel B di kelenjar getah bening. Di sini, perkembangan sel B yang bergantung pada sel T menghasilkan pematangan respons antibodi untuk meningkatkan afinitas antibodi dan menginduksi isotipe antibodi yang berbeda. Produksi sel plasma berumur pendek, yang secara aktif mensekresi antibodi spesifik untuk protein vaksin, menghasilkan peningkatan yang cepat dalam kadar antibodi serum selama 2 minggu ke depan. Sel memori B juga diproduksi, yang memediasi memori imun. Sel plasma berumur panjang yang dapat terus memproduksi antibodi selama beberapa dekade melakukan perjalanan untuk tinggal di relung sumsum tulang. Sel T memori CD8+ dapat berkembang biak dengan cepat ketika mereka menghadapi patogen, dan sel T efektor CD8+ penting untuk eliminasi sel yang terinfeksi.

 

Keadaan imunodefisiensi

Individu dengan beberapa defek imunologis yang diketahui pada antibodi atau komponen imun terkait sangat rentan terhadap infeksi patogen tertentu, yang dapat memberikan wawasan tentang karakteristik antibodi yang diperlukan untuk perlindungan dari patogen tertentu. Misalnya, individu dengan defisiensi sistem komplemen sangat rentan terhadap penyakit meningokokus yang disebabkan oleh infeksi Neisseria meningitidis[21] karena pengendalian infeksi ini bergantung pada pembunuhan bakteri yang diperantarai komplemen, dimana komplemen diarahkan ke permukaan bakteri oleh antibodi IgG.

 

Penyakit pneumokokus sangat umum pada individu dengan penurunan fungsi limpa[22] (yang mungkin bawaan, akibat trauma atau terkait dengan kondisi seperti penyakit sel sabit); Bakteri S. pneumoniae yang telah diopsonisasi dengan antibodi dan komplemen biasanya dikeluarkan dari darah oleh fagosit di limpa, yang tidak lagi ada pada individu dengan hiposplenisme. Individu yang kekurangan antibodi rentan terhadap virus varicella zoster (yang menyebabkan cacar air) dan infeksi virus lainnya, tetapi, setelah terinfeksi, mereka dapat mengendalikan penyakit dengan cara yang sama seperti individu yang imunokompeten, selama mereka memiliki respons sel T yang normal[23].

 

Perlindungan pasif

Telah ditetapkan dengan jelas bahwa infus antibodi eksogen intramuskular atau intravena dapat memberikan perlindungan terhadap beberapa infeksi. Contoh yang paling jelas adalah transfer pasif antibodi ibu melalui plasenta, yang memberikan perlindungan pada bayi baru lahir terhadap berbagai macam patogen, setidaknya selama beberapa bulan setelah lahir. Vaksinasi ibu dengan vaksin pertusis[24], tetanus[25] dan influenza[26] memanfaatkan adaptasi protektif yang penting ini untuk mengurangi risiko penyakit segera setelah lahir dan dengan jelas menunjukkan peran antibodi dalam perlindungan terhadap penyakit ini.

 

Vaksinasi ibu hamil terhadap streptokokus grup B[27] dan virus pernapasan (RSV)[28] belum terbukti efektif dalam mencegah infeksi bayi baru lahir atau bayi, tetapi berpotensi mengurangi keparahan penyakit pada bayi baru. Contoh lain termasuk penggunaan antibodi penetralisir spesifik yang dimurnikan dari donor kekebalan untuk mencegah penularan berbagai virus, termasuk virus varicella zoster, HBV, dan virus campak[29]. Individu dengan defisiensi antibodi yang diturunkan tidak memiliki pertahanan terhadap infeksi virus dan bakteri yang serius, tetapi pemberian serum antibodi secara teratur dari donor yang imunokompeten dapat memberikan perlindungan imun yang hampir seluruhnya normal bagi individu yang kekurangan antibodi.

 

Data imunologi

Meningkatkan pengetahuan tentang imunologi memberikan wawasan tentang mekanisme perlindungan yang dimediasi oleh vaksin. Misalnya, vaksin polisakarida, yang dibuat dari polisakarida permukaan bakteri invasif seperti meningococci (N. meningitidis)[30] dan pneumococci (S. pneumoniae)[31], memberikan perlindungan yang cukup besar terhadap penyakit ini.  Sekarang diketahui bahwa vaksin ini tidak menginduksi respon sel T, karena polisakarida adalah antigen yang tidak bergantung pada sel T, dan dengan demikian mereka harus memediasi perlindungannya melalui mekanisme yang bergantung pada antibodi. 

 

Vaksin konjugasi protein-polisakarida mengandung polisakarida yang sama dari permukaan bakteri, tetapi dalam kasus ini vaksin ini secara kimiawi terkonjugasi ke pembawa protein (kebanyakan toksoid tetanus, atau toksoid difteri atau protein mutan yang diturunkan darinya, yang dikenal sebagai CRM197)[32,33, 34]. Sel T yang diinduksi oleh vaksin mengenali pembawa protein (antigen yang bergantung pada sel T) dan sel T ini memberikan bantuan kepada sel B yang mengenali polisakarida, tetapi tidak ada sel T yang diinduksi yang mengenali polisakarida dan, dengan demikian, hanya antibodi terlibat dalam perlindungan yang sangat baik yang disebabkan oleh vaksin ini[35]. 

 

Selanjutnya, studi uji tantang pada manusia menawarkan kesempatan untuk menilai secara efisien korelasi perlindungan (Kotak 2) dalam keadaan terkendali[36], dan studi tersebut telah digunakan untuk menunjukkan peran antibodi dalam perlindungan terhadap malaria[37] dan tipus[38].

 

Vaksin membutuhkan bantuan sel T

Meskipun sebagian besar bukti menunjukkan bahwa antibodi menjadi mediator utama dalam pembebasan patogen dengan kekebalan yang diinduksi dengan vaksinasi. Sebagian besar vaksin juga menginduksi respons sel T. Peran sel T dalam proteksi kurang menunjukan sufat, kecuali perannya dalam memberikan bantuan untuk perkembangan sel B dan produksi antibodi di kelenjar getah bening.

 

Dari studi individu dengan imunodefisiensi yang diturunkan atau didapat, jelas bahwa sementara defisiensi antibodi meningkatkan kerentanan terhadap akuisisi infeksi, defisiensi sel T menghasilkan kegagalan untuk mengendalikan patogen setelah infeksi. Sebagai contoh, defisiensi sel T mengakibatkan infeksi virus varicella zoster yang tidak terkontrol dan fatal, sedangkan individu dengan defisiensi antibodi mudah mengalami infeksi tetapi sembuh dengan cara yang sama seperti individu imunokompeten. Penekanan relatif dari respon sel T yang terjadi pada akhir kehamilan meningkatkan keparahan infeksi virus influenza dan varicella zoster[39].

 

Meskipun bukti keterlibatan sel T dalam perlindungan yang diinduksi vaksin terbatas, hal ini mungkin sebagian karena kesulitan dalam mengakses sel T untuk dipelajari karena hanya darah yang mudah diakses, sedangkan banyak sel T yang menetap di jaringan seperti kelenjar getah bening. Selain itu, belum sepenuhnya dipahami jenis sel T mana yang harus diukur. Secara tradisional, sel T telah dikategorikan sebagai sel T sitotoksik (pembunuh) atau sel T helper (pembantu). Subtipe sel T helper (sel TH) dapat dibedakan berdasarkan profil produksi sitokinnya. Sel T helper 1 (TH1) dan sel TH2 masing-masing penting untuk membentuk imunitas seluler dan imunitas humoral, meskipun sel TH1 juga terkait dengan pembentukan subkelas antibodi IgG IgG1 dan IgG3.

 

Subtipe sel TH lainnya termasuk sel TH17 (yang penting untuk kekebalan pada permukaan mukosa seperti usus dan paru-paru) dan sel pembantu folikel T (terletak di organ limfoid sekunder, yang penting untuk pembentukan antibodi afinitas tinggi (Gambar 3)). Studi menunjukkan bahwa mensterilkan kekebalan terhadap pembawa S. pneumoniae pada tikus dapat dicapai dengan transfer sel T dari tikus donor yang terpapar S. Pneumoniae[40], yang menunjukkan bahwa penyelidikan lebih lanjut dari kekebalan yang diperantarai sel T diperlukan untuk lebih memahami sifat dari Respon sel T yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kekebalan protektif.

 

Meskipun agak sederhana, bukti menunjukkan bahwa antibodi memiliki peran utama dalam pencegahan infeksi (didukung oleh sel TH), sedangkan sel T sitotoksik diperlukan untuk mengendalikan dan membersihkan infeksi yang sudah ada.

 

Fitur perlindungan yang diinduksi vaksin

Vaksin telah dikembangkan selama dua abad terakhir untuk memberikan perlindungan langsung dari individu yang diimunisasi melalui mekanisme yang bergantung pada sel B dan bergantung pada sel T yang dijelaskan di atas. Ketika pemahaman imunologi kita tentang vaksin telah didapat, menjadi jelas bahwa perlindungan ini sebagian besar diwujudkan melalui produksi antibodi. Fitur penting lainnya dari perlindungan yang diinduksi vaksin adalah induksi memori imun. Vaksin biasanya dikembangkan untuk mencegah manifestasi klinis infeksi. Namun, beberapa vaksin, selain mencegah penyakit, juga dapat melindungi terhadap infeksi atau kolonisasi tanpa gejala, sehingga mengurangi perolehan patogen dan dengan demikian transmisi selanjutnya, membangun kekebalan kelompok.

 

Memang, induksi kekebalan kelompok mungkin merupakan karakteristik yang paling penting dari program imunisasi, dengan setiap dosis vaksin melindungi lebih banyak individu daripada penerima vaksin. Beberapa vaksin juga dapat mendorong perubahan dalam respon terhadap infeksi pada waktu berikutnya dengan patogen yang berbeda, yang disebut efek non-spesifik, mungkin dengan merangsang perubahan berkepanjangan dalam keadaan aktivasi sistem kekebalan bawaan.

 

Memori kekebalan

Dalam menghadapi patogen, sistem kekebalan individu yang telah divaksinasi terhadap patogen spesifik tersebut mampu meningkatkan respons imun protektif dengan lebih cepat dan lebih kuat. Memori kekebalan telah terbukti cukup untuk perlindungan terhadap patogen ketika masa inkubasi cukup lama untuk mengembangkan respon imun baru (Gambar 4a).  Misalnya, dalam kasus HBV, yang memiliki masa inkubasi 6 minggu hingga 6 bulan, individu yang divaksinasi biasanya dilindungi setelah vaksinasi bahkan jika paparan virus terjadi beberapa saat setelah vaksinasi dan tingkat antibodi yang diinduksi vaksin telah berkurang[41]. Sebaliknya, diperkirakan bahwa memori kekebalan mungkin tidak cukup untuk perlindungan terhadap infeksi bakteri invasif cepat yang dapat menyebabkan penyakit parah dalam beberapa jam atau hari setelah akuisisi patogen[42] (Gambar 4b).

 

Sebagai contoh, terdapat bukti dalam kasus infeksi meningokokus Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dan kapsuler grup C bahwa individu dengan memori imun yang diinduksi vaksin masih dapat menimbulkan penyakit setelah tingkat antibodinya berkurang.  Meskipun meningkat kuat dan tidak cukup cepat respon memorinya[43,44].

 

Berkurangnya tingkat antibodi bervariasi tergantung pada usia penerima vaksin (menjadi sangat cepat pada bayi sebagai akibat dari kurangnya relung sumsum tulang untuk kelangsungan hidup sel B), sifat antigen dan jumlah dosis booster yang diberikan. Misalnya, partikel mirip virus yang digunakan dalam vaksin HPV menginduksi respons antibodi yang dapat bertahan selama beberapa dekade, sedangkan respons antibodi jangka pendek diinduksi oleh vaksin pertusis; dan vaksin campak yang inaktif menginduksi respons antibodi yang berumur pendek daripada vaksin campak hidup yang dilemahkan.

 

Gambar 4: Memori kekebalan merupakan fitur penting dari perlindungan yang diinduksi oleh vaksin.


 


Tingkat antibodi dalam sirkulasi berkurang setelah vaksinasi primer, seringkali ke tingkat di bawah yang diperlukan untuk perlindungan. Apakah memori kekebalan dapat melindungi terhadap paparan patogen di kemudian hari tergantung pada waktu inkubasi infeksi, kualitas respons memori dan tingkat antibodi yang diinduksi oleh sel B memori.

a | Respon memori mungkin cukup untuk melindungi terhadap penyakit jika ada masa inkubasi yang panjang antara paparan patogen dan timbulnya gejala untuk memungkinkan 3-4 hari yang diperlukan sel B memori untuk menghasilkan titer antibodi di atas ambang batas pelindung.

b | Respon memori mungkin tidak cukup untuk melindungi terhadap penyakit jika patogen memiliki masa inkubasi yang singkat dan ada gejala yang cepat sebelum tingkat antibodi mencapai ambang batas pelindung.

c | Dalam beberapa kasus, tingkat antibodi setelah vaksinasi primer tetap di atas ambang batas pelindung dan dapat memberikan kekebalan seumur hidup.

 

Jadi, untuk infeksi yang bermanifestasi segera setelah patogen didapat, respons memori mungkin tidak cukup untuk mengendalikan infeksi ini dan kekebalan yang berkelanjutan untuk perlindungan individu melalui vaksinasi mungkin sulit dicapai. Salah satu solusi untuk ini adalah pemberian dosis booster vaksin selama masa kanak-kanak (seperti yang terjadi, misalnya, untuk vaksin difteri, tetanus, pertusis dan polio), dalam upaya untuk mempertahankan tingkat antibodi di atas ambang batas pelindung. Diketahui bahwa pemberian lima atau enam dosis vaksin tetanus[45] atau difteri[46] pada masa kanak-kanak memberikan perlindungan seumur hidup, sehingga dosis booster vaksin ini selama masa dewasa tidak rutin di sebagian besar negara yang dapat mencapai cakupan tinggi dengan beberapa dosis masa kanak-kanak. Mengingat bahwa, untuk beberapa infeksi, beban utama adalah pada anak-anak, peningkatan lanjutan setelah tahun kedua kehidupan tidak dilakukan (misalnya, infeksi bakteri invasif termasuk Hib dan meningokokus grup B kapsuler).

 

Pengecualian adalah vaksin pertusis, dimana fokus program vaksin adalah pencegahan penyakit pada masa bayi; hal ini dicapai baik dengan vaksinasi langsung pada bayi maupun dengan vaksinasi kelompok usia yang lain, termasuk remaja dan wanita hamil di beberapa program, untuk mengurangi penularan ke bayi dan memberikan perlindungan melalui transfer antibodi melalui plasenta.

 

Khususnya, di negara-negara berpenghasilan tinggi, banyak negara (mulai tahun 1990-an) telah beralih menggunakan vaksin pertusis aseluler, yang kurang reaktogenik daripada (dan karena itu dianggap lebih disukai) vaksin pertusis sel utuh yang lebih tua yang masih digunakan di sebagian besar negara berpenghasilan rendah. Sekarang jelas bahwa vaksin pertusis aselular menginduksi durasi perlindungan yang lebih pendek terhadap pertusis klinis dan mungkin kurang efektif terhadap transmisi bakteri daripada vaksin pertusis seluruh sel[47]. Banyak negara berpenghasilan tinggi telah mengamati peningkatan kasus pertusis sejak pengenalan vaksin aseluler, sebuah fenomena yang tidak diamati di negara-negara berpenghasilan rendah yang menggunakan vaksin sel utuh[48].

 

Sebaliknya, perlindungan seumur hidup tampaknya menjadi aturan setelah dosis tunggal dengan beberapa vaksin virus hidup yang dilemahkan, seperti vaksin demam kuning[49] (Gambar 4c), meskipun jelas bahwa perlindungan tidak lengkap dengan yang lain.  Dalam kasus varicella zoster dan vaksin campak-gondong, beberapa kasus terobosan dijelaskan selama wabah penyakit di antara orang-orang yang sebelumnya telah divaksinasi, meskipun tidak jelas apakah ini mewakili kelompok di mana kekebalan telah berkurang (dan karena itu membutuhkan vaksinasi booster) atau kelompok yang vaksin awalnya tidak berhasil menginduksi respon imun. Kasus terobosan lebih kecil kemungkinannya pada orang-orang yang telah mendapat dua dosis vaksin campak-gondong-rubella[50] atau vaksin varicella zoster[51], dan kasus yang terjadi biasanya ringan, yang menunjukkan bahwa ada kekebalan yang bertahan lama terhadap patogen.

 

Sebuah ilustrasi tentang kompleksitas memori imun dan pentingnya memahami mekanisme imunologis yang mendasarinya untuk meningkatkan strategi vaksinasi diberikan oleh konsep 'dosa antigenik asal'. Fenomena ini menjelaskan bagaimana sistem kekebalan gagal untuk menghasilkan respon imun terhadap strain patogen jika tuan rumah sebelumnya terkena strain terkait erat, dan ini telah ditunjukkan pada beberapa infeksi, termasuk dengue[52] dan influenza[53]. Hal ini mungkin memiliki implikasi penting untuk pengembangan vaksin jika hanya satu strain patogen atau antigen patogen yang disertakan dalam vaksin, karena penerima vaksin mungkin akan mengalami gangguan respons imun jika kemudian terpapar dengan strain yang berbeda dari patogen yang sama, yang berpotensi menempatkan mereka pada peningkatan risiko infeksi atau penyakit yang lebih parah.

 

Strategi untuk mengatasi hal ini termasuk penggunaan adjuvant yang merangsang respon imun bawaan, yang dapat menginduksi sel B dan sel T yang cukup reaktif-silang yang mengenali strain yang berbeda dari patogen yang sama, atau memasukkan sebanyak mungkin strain dalam vaksin, pendekatan terakhir jelas dibatasi oleh potensi strain baru untuk muncul di masa mendatang[54].

 

Kekebalan Kelompok

Meskipun perlindungan langsung individu melalui vaksinasi telah menjadi fokus sebagian besar pengembangan vaksin dan sangat penting untuk menunjukkan lisensi vaksin baru, telah menjadi jelas bahwa komponen tambahan kunci dari perlindungan yang diinduksi vaksin adalah kekebalan kawanan, atau lebih tepatnya "kekebalan perlindungan kelompok" (Gambar 5). Vaksin tidak dapat melindungi setiap individu dalam suatu populasi secara langsung, karena beberapa individu tidak divaksinasi karena berbagai alasan dan yang lain tidak meningkatkan respons imun meskipun telah divaksinasi. Namun, untungnya, jika cukup banyak individu dalam suatu populasi yang divaksinasi, dan jika vaksinasi mencegah tidak hanya perkembangan penyakit tetapi juga infeksi itu sendiri, penularan patogen dapat dihentikan dan kejadian penyakit dapat turun lebih jauh. dari yang diharapkan, sebagai akibat dari perlindungan tidak langsung dari individu yang sebaliknya akan rentan.

 

Gambar 5: Kekebalan kelompok merupakan fitur penting dari perlindungan yang diinduksi oleh vaksin

 

Konsep herd immunity (Kekebalan Kelompok) untuk penyakit yang sangat menular seperti campak. Individu yang rentan termasuk mereka yang belum diimunisasi (misalnya, terlalu muda), mereka yang tidak dapat diimunisasi (misalnya, sebagai akibat dari imunodefisiensi), mereka yang vaksinnya tidak menginduksi kekebalan, mereka yang vaksin awal-kekebalan yang diinduksi telah berkurang dan mereka yang menolak imunisasi.

 

Untuk patogen yang sangat menular, seperti yang menyebabkan campak atau pertusis, sekitar 95% dari populasi harus divaksinasi untuk mencegah wabah penyakit, tetapi untuk organisme yang kurang menular, persentase cakupan vaksin yang lebih rendah mungkin cukup untuk berdampak besar pada penyakit (untuk misalnya, untuk polio, rubella, gondok atau difteri, cakupan vaksin bisa 86%). Untuk influenza, ambang batas kekebalan kelompok sangat bervariasi dari musim ke musim dan juga dikacaukan oleh variabilitas efektivitas vaksin setiap tahun[55]. Cakupan vaksin sederhana, sebesar 30–40%, kemungkinan akan berdampak pada epidemi influenza musiman, tetapi cakupan 80% kemungkinan besar akan optimal[56]. Menariknya, mungkin ada kerugian dari tingkat vaksinasi yang sangat tinggi, karena tidak adanya penularan patogen dalam kasus itu akan mencegah peningkatan alami individu yang divaksinasi dan dapat menyebabkan berkurangnya kekebalan jika dosis penguat vaksin tidak digunakan.

 

Selain vaksin tetanus, semua vaksin lain dalam jadwal imunisasi rutin menginduksi beberapa derajat kekebalan kelompok (Gambar 5), yang secara substansial meningkatkan perlindungan populasi di luar yang dapat dicapai dengan vaksinasi individu saja. Tetanus adalah penyakit yang diperantarai toksin yang didapat melalui infeksi luka pada kulit yang terkontaminasi bakteri penghasil toksin Clostridium tetani dari lingkungan — jadi, vaksinasi komunitas dengan toksoid tetanus tidak akan mencegah individu yang tidak divaksinasi tertular infeksi jika mereka terinfeksi.  Sebagai contoh keberhasilan kekebalan kelompok, vaksinasi anak-anak dan dewasa muda (hingga 19 tahun) dengan vaksin meningokokus kelompok C kapsuler dalam vaksinasi massal pada tahun 1999 menghasilkan eliminasi penyakit yang hampir lengkap dari Inggris pada orang dewasa juga anak-anak[57].

Saat ini, strategi untuk mengendalikan meningokokus kelompok kapsul A, C, W dan Y di Inggris adalah vaksinasi remaja, karena mereka terutama bertanggung jawab untuk transmisi dan perlindungan yang dimediasi vaksin dari kelompok usia ini mengarah pada perlindungan komunitas melalui kekebalan kelompok[58]. Vaksin HPV pada awalnya diperkenalkan untuk mengendalikan kanker serviks yang diinduksi HPV, dengan program vaksinasi yang ditujukan secara eksklusif pada anak perempuan, tetapi kemudian ditemukan juga memberikan perlindungan terhadap infeksi HPV pada anak laki-laki heteroseksual melalui kekebalan kawanan, yang menyebabkan penurunan yang nyata dalam jumlah total. Beban HPV pada populasi[59,60].

 

Pencegahan infeksi versus penyakit

Apakah vaksin mencegah infeksi atau, lebih tepatnya, perkembangan penyakit setelah infeksi dengan patogen seringkali sulit ditentukan, tetapi pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan ini dapat memiliki implikasi penting untuk desain vaksin. Vaksinasi BCG dapat digunakan sebagai contoh untuk menggambarkan hal ini, karena ada beberapa bukti untuk pencegahan penyakit dan infeksi. Vaksinasi BCG mencegah manifestasi penyakit yang parah seperti meningitis tuberkulosis dan TB milier pada anak-anak[61] dan penelitian pada hewan menunjukkan bahwa vaksinasi BCG mengurangi penyebaran bakteri M. tuberculosis dalam darah, yang diperantarai oleh imunitas sel T[62], sehingga dengan jelas menunjukkan bahwa vaksinasi memiliki efek perlindungan terhadap perkembangan penyakit setelah infeksi. Namun, ada juga bukti bagus bahwa vaksinasi BCG mengurangi risiko infeksi.

 

Dalam wabah TB di sebuah sekolah di Inggris, 29% anak yang sebelumnya divaksinasi BCG memiliki respons sel T memori terhadap infeksi, seperti yang ditunjukkan oleh uji pelepasan interferon-γ positif, dibandingkan dengan 47% dari anak-anak yang tidak divaksinasi[63]. Efek serupa terlihat ketika mempelajari anggota rumah tangga Indonesia dari pasien TB, yang memiliki kemungkinan 45% lebih rendah untuk mengembangkan respons uji pelepasan interferon-γ positif terhadap M. tuberculosis jika mereka sebelumnya telah divaksinasi BCG[64].

 

Kurangnya respons sel T pada individu yang sebelumnya divaksinasi menunjukkan bahwa vaksin BCG menginduksi respons imun bawaan yang menghasilkan 'pembersihan awal' bakteri dan mencegah infeksi yang menginduksi respons imun adaptif. Hal ini akan sangat berharga untuk pengembangan vaksin di masa mendatang untuk lebih memahami induksi respon imun bawaan pelindung tersebut sehingga mereka dapat direproduksi untuk patogen lain.

 

Dalam kasus pandemi virus SARS-CoV-2 saat ini, vaksin yang mencegah penyakit parah dan rawat inap akibat penyakit dapat memiliki dampak kesehatan masyarakat yang substansial. Namun, vaksin juga dapat memblokir penularan virus, dan dengan demikian mencegah infeksi asimtomatik dan ringan, akan memiliki dampak yang jauh lebih besar dengan mengurangi penularan di masyarakat dan berpotensi membangun kekebalan kelompok.

 

Efek non-spesifik

Beberapa bukti menunjukkan bahwa imunisasi dengan beberapa vaksin mengganggu sistem kekebalan sedemikian rupa sehingga ada perubahan umum dalam respons imun yang dapat meningkatkan perlindungan terhadap patogen yang tidak terkait[65]. Fenomena ini paling baik dijelaskan pada manusia dalam kaitannya dengan vaksin BCG dan campak, dengan beberapa penelitian menunjukkan penurunan yang nyata pada semua penyebab kematian ketika vaksin ini diberikan kepada anak-anak yang jauh melampaui dampak yang diharapkan dari pengurangan kematian yang dikaitkan dengan TB. atau campak, masing-masing[66]. Efek non-spesifik ini mungkin sangat penting dalam pengaturan kematian tinggi, tetapi tidak semua penelitian telah mengidentifikasi fenomena tersebut.

 

Meskipun beberapa mekanisme imunologi telah diusulkan, yang paling masuk akal adalah bahwa perubahan epigenetik dapat terjadi pada sel imun bawaan sebagai akibat dari vaksinasi, tidak ada studi definitif pada manusia yang menghubungkan perubahan imunologi setelah imunisasi dengan titik akhir klinis yang penting, dan itu masih belum jelas bagaimana jadwal imunisasi saat ini dapat disesuaikan untuk meningkatkan perlindungan populasi melalui efek non-spesifik.

 

Sangat menarik dalam perdebatan, penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa penyakit campak memberikan 'bayangan' yang berkepanjangan atas sistem kekebalan tubuh, dengan penipisan memori kekebalan yang ada, sehingga anak-anak yang menderita penyakit ini memiliki peningkatan risiko kematian akibat penyebab lain beberapa tahun ke depan[67,68].

 

Dalam situasi ini, vaksinasi campak mengurangi kematian akibat campak serta penyakit yang tidak berhubungan yang akan terjadi selama 'bayangan', menghasilkan manfaat yang tampaknya tidak spesifik tetapi sebenarnya berhubungan langsung dengan pencegahan penyakit campak dan konsekuensinya. Hal ini menggambarkan keterbatasan protokol studi vaksin: karena ini biasanya dirancang untuk menemukan efek spesifik patogen, kemungkinan efek non-spesifik penting tidak dapat dinilai.

 

Faktor-faktor yang mempengaruhi perlindungan vaksin

Tingkat perlindungan yang diberikan oleh vaksinasi dipengaruhi oleh banyak faktor genetik dan lingkungan, termasuk usia, tingkat antibodi ibu, paparan antigen sebelumnya, jadwal vaksin dan dosis vaksin. Meskipun sebagian besar faktor ini tidak dapat segera diubah, usia vaksinasi dan jadwal vaksinasi merupakan faktor penting dan kunci dalam merencanakan program imunisasi. Dosis vaksin ditetapkan selama pengembangan klinis awal, berdasarkan keamanan dan imunogenisitas yang optimal. Namun, untuk beberapa populasi, seperti orang dewasa yang lebih tua, dosis yang lebih tinggi mungkin bermanfaat, seperti yang telah ditunjukkan untuk vaksin influenza[69,70]. Selain itu, vaksinasi intradermal telah terbukti imunogenik pada dosis (fraksional) yang jauh lebih rendah daripada vaksinasi intramuskular untuk vaksin influenza, rabies dan HBV[71].

 

Usia vaksinasi

Beban tertinggi dan kematian akibat penyakit menular terjadi dalam 5 tahun pertama kehidupan, dengan bayi termuda yang paling terpengaruh. Untuk alasan ini, program imunisasi sebagian besar berfokus pada kelompok usia ini di mana ada manfaat terbesar dari perlindungan yang diinduksi vaksin. Meskipun hal ini masuk akal dari perspektif epidemiologi, ini agak merepotkan dari perspektif imunologi karena induksi respon imun yang kuat pada tahun pertama kehidupan merupakan tantangan. Memang, vaksinasi anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa akan menginduksi respon imun yang lebih kuat, tetapi akan menjadi nilai kecil jika mereka yang akan mendapat manfaat dari vaksinasi telah menyerah pada penyakit.

 

Tidak sepenuhnya dipahami mengapa respons imun terhadap vaksin tidak sekuat pada masa bayi awal seperti pada anak yang lebih besar. Salah satu faktor, yang semakin terdokumentasi dengan baik, adalah gangguan dari antibodi ibu[72] — diperoleh dalam rahim melalui plasenta — yang mungkin mengurangi ketersediaan antigen, mengurangi replikasi virus (dalam kasus vaksin virus hidup seperti campak[73]) atau mungkin mengatur respons sel B. Namun, ada juga bukti bahwa ada peningkatan fisiologis yang bergantung pada usia dalam respons antibodi pada masa bayi[72]. Lebih lanjut, relung sumsum tulang untuk mendukung sel B terbatas pada masa bayi, yang mungkin menjelaskan respons imun berumur pendek yang didokumentasikan pada tahun pertama kehidupan[74]. Misalnya, setelah imunisasi dengan 2 dosis vaksin meningokokus grup C kapsuler pada masa bayi, hanya 41% bayi yang masih memiliki tingkat antibodi protektif pada saat dosis booster, diberikan 7 bulan kemudian[75].

 

Dalam kasus antigen sel T-independen - dengan kata lain, polisakarida biasa dari Hib, bakteri penyebab tifus, meningokokus dan pneumokokus - data hewan menunjukkan bahwa respons antibodi bergantung pada perkembangan zona marginal limpa, yang diperlukan untuk pematangan sel zona B marginal, dan ini tidak terjadi sampai sekitar usia 18 bulan pada bayi manusia[76]. Vaksin polisakarida polos ini tidak menginduksi sel B memori (Gambar 6) dan, bahkan pada orang dewasa, memberikan perlindungan hanya selama 2-3 tahun, dengan perlindungan yang dihasilkan dari antibodi yang diproduksi oleh sel plasma yang berasal dari sel B zona marginal[77]. Namun, mengubah vaksin polisakarida biasa menjadi vaksin konjugasi protein-polisakarida yang bergantung pada sel T, yang imunogenik sejak usia 2 bulan dan menginduksi memori imun, telah mengubah pencegahan penyakit yang disebabkan oleh bakteri berkapsul (pneumokokus, Hib dan meningokokus) di masa lalu. tiga dekade[78]. Ini adalah bakteri patogen invasif paling penting pada masa kanak-kanak, yang menyebabkan sebagian besar kasus meningitis dan pneumonia bakteri pada masa kanak-kanak, dan perkembangan teknologi vaksin konjugasi pada 1980-an telah mengubah kesehatan anak secara global[9].

 

Gambar 6: Respon imun terhadap polisakarida dan vaksin konjugasi protein-polisakarida.


a | Vaksin polisakarida menginduksi sel plasma penghasil antibodi dengan menghubungkan reseptor sel B (BCR). Namun, pematangan afinitas dari respons antibodi dan induksi sel B memori tidak terjadi.

b | Vaksin konjugat protein-polisakarida dapat melibatkan sel T yang mengenali protein pembawa, serta sel B yang mengenali polisakarida. Sel T memberikan bantuan pada sel B, yang mengarah pada pematangan afinitas dan produksi sel plasma dan sel B memori. TCR, reseptor sel T. Diadaptasi dari [35], Springer Nature Limited.

 

Respon imun juga buruk pada populasi yang lebih tua dan sebagian besar vaksin yang digunakan pada orang dewasa yang lebih tua menawarkan perlindungan yang terbatas atau durasi perlindungan yang terbatas, terutama di antara mereka yang berusia lebih dari 75 tahun.

 

Penurunan fungsi kekebalan dengan usia (dikenal sebagai immunosenescence) telah didokumentasikan dengan baik[79] tetapi, terlepas dari beban infeksi pada kelompok usia ini dan peningkatan ukuran populasi, sejauh ini belum mendapat perhatian yang cukup di antara ahli imunologi dan ahli vaksin. Menariknya, beberapa telah mengangkat hipotesis bahwa infeksi kronis dengan sitomegalovirus (CMV) mungkin memiliki peran dalam imunosenesensi melalui efek yang tidak menguntungkan pada sistem kekebalan, termasuk ekspansi klonal populasi sel T spesifik CMV, yang dikenal sebagai 'inflasi memori', dan pengurangan keragaman. sel T naif[80,81].

 

Di negara-negara berpenghasilan tinggi, banyak orang dewasa yang lebih tua menerima vaksin influenza, pneumokokus dan varicella zoster, meskipun data yang menunjukkan manfaat substansial dari vaksin ini dalam beberapa dekade terakhir pada orang dewasa tertua (berusia lebih dari 75 tahun) masih kurang. Namun, data yang muncul setelah pengembangan dan penyebaran vaksin influenza generasi baru, dosis tinggi atau adjuvanted baru-baru ini[82] dan vaksin varicella zoster glikoprotein tambahan[83] menunjukkan bahwa pemberian sinyal tambahan ke sistem kekebalan oleh adjuvant tertentu (seperti AS01 dan MF59) dapat mengatasi immunosenescence. Sekarang penting untuk memahami bagaimana dan mengapa, dan menggunakan pengetahuan ini untuk memperluas pilihan perlindungan yang diinduksi vaksin pada kehidupan yang ekstrem.

 

Jadwal vaksinasi

Untuk sebagian besar vaksin yang digunakan pada tahun pertama kehidupan, 3-4 dosis diberikan pada usia 12 bulan. Secara konvensional, dalam vaksinologi manusia, dosis 'priming' adalah semua yang diberikan pada usia kurang dari 6 bulan dan dosis 'booster' diberikan pada usia 9-12 bulan. Jadi, misalnya, jadwal standar WHO untuk vaksin yang mengandung difteri–tetanus–pertusis (yang diperkenalkan pada tahun 1974 sebagai bagian dari Program Perluasan untuk Imunisasi[84]) terdiri dari 3 dosis awal pada usia 6, 10 dan 14 minggu tanpa booster.

 

Jadwal ini dipilih untuk memberikan perlindungan dini sebelum tingkat antibodi ibu berkurang (antibodi ibu memiliki waktu paruh sekitar 30–40 hari[85], jadi sangat sedikit perlindungan yang diberikan kepada bayi dari ibu yang berusia di atas 8–12 minggu) dan karena diketahui bahwa kepatuhan vaksin lebih baik bila dosis diberikan berdekatan. Namun, jadwal imunisasi bayi di seluruh dunia sangat bervariasi — beberapa negara berpenghasilan tinggi atau menengah menggunakan Program yang Diperluas pada jadwal Imunisasi — dan sebagian besar diperkenalkan dengan sedikit pertimbangan tentang cara terbaik untuk mengoptimalkan respons imun. Memang, jadwal yang dimulai kemudian pada usia 8-12 minggu (ketika ada sedikit gangguan dari antibodi ibu) dan memiliki jarak yang lebih lama antara dosis (8 minggu daripada 4 minggu) lebih imunogenik. Sejumlah besar vaksin baru telah diperkenalkan sejak tahun 1974 sebagai hasil dari perkembangan teknologi yang luar biasa, tetapi ini umumnya telah disesuaikan dengan jadwal yang ada tanpa memperhitungkan penjadwalan optimal untuk produk baru ini.

 

Jadwal utama yang digunakan secara global untuk vaksin difteri-tetanus-pertusis perlu disiapkan dengan baik. Perlu juga dicatat bahwa survei menunjukkan vaksin jarang dikirimkan sesuai jadwal di banyak negara dan, dengan demikian, jadwal yang diterbitkan mungkin bukan bagaimana vaksin sebenarnya dikirimkan di lapangan. Hal ini terutama terjadi di daerah terpencil (misalnya, di mana tenaga kesehatan hanya mengunjungi sesekali) dan daerah dengan sistem kesehatan yang terbatas atau tidak teratur, membuat anak-anak rentan terhadap infeksi.

 

Keamanan dan efek samping vaksin

Terlepas dari kesan publik bahwa vaksin dikaitkan dengan masalah keamanan tertentu, data yang ada menunjukkan bahwa vaksin sangat aman sebagai intervensi untuk mempertahankan kesehatan manusia. Efek samping yang umum, terutama yang terkait dengan respons imun bawaan awal terhadap vaksin, didokumentasikan dengan cermat dalam uji klinis.

 

Meskipun efek samping yang jarang mungkin tidak dapat diidentifikasi dalam uji klinis, pengembangan vaksin dikontrol dengan ketat dan sistem pengawasan pasca-pemasaran yang kuat diterapkan di banyak negara, yang bertujuan untuk mengambilnya jika memang terjadi. Hal ini dapat membuat proses pengembangan vaksin agak melelahkan tetapi tepat karena, tidak seperti kebanyakan obat, vaksin digunakan untuk profilaksis pada populasi yang sehat dan bukan untuk mengobati penyakit.

 

Mungkin karena vaksin bekerja dengan sangat baik dan penyakit yang dicegahnya tidak lagi umum, ada beberapa asosiasi palsu yang dibuat antara vaksin dan berbagai kondisi kesehatan yang tidak terkait yang terjadi secara alami dalam populasi. Menguraikan klaim yang salah tentang bahaya vaksin dari efek samping terkait vaksin yang sebenarnya membutuhkan studi epidemiologi yang sangat hati-hati.

 

Efek samping yang umum

Lisensi vaksin baru biasanya memerlukan studi keamanan yang melibatkan 3.000 hingga puluhan ribu individu. Dengan demikian, efek samping yang umum sangat terkenal dan dipublikasikan oleh regulator pada saat lisensi. Efek samping yang umum dari banyak vaksin termasuk nyeri tempat suntikan, kemerahan dan pembengkakan dan beberapa gejala sistemik seperti demam, malaise dan sakit kepala. Semua efek samping ini, yang terjadi dalam 1-2 hari pertama setelah vaksinasi, mencerminkan respons inflamasi dan kekebalan yang mengarah pada keberhasilan pengembangan perlindungan yang diinduksi vaksin. Sekitar 6 hari setelah vaksinasi campak-gondong-rubella, sekitar 10% bayi berusia 12 bulan mengalami viremia ringan, yang dapat menyebabkan demam dan ruam., dan kadang-kadang kejang demam (1 dalam 3.000)[86]. Meskipun efek samping ini dapat sembuh sendiri dan relatif ringan — dan sepele dibandingkan dengan tingginya morbiditas dan mortalitas penyakit yang dilindungi oleh vaksin — efek samping ini dapat sangat mengkhawatirkan bagi orang tua dan kepentingannya sering diremehkan oleh dokter yang memberikan konseling keluarga tentang imunisasi.

 

Defisiensi imun dan vaksinasi

Sebagian besar vaksin yang digunakan saat ini adalah organisme yang inaktif, dimurnikan atau dibunuh atau komponen protein dan/atau polisakarida patogen; karena mereka tidak dapat mereplikasi pada penerima vaksin, mereka dengan demikian tidak mampu menyebabkan efek samping yang signifikan, sehingga sangat sedikit kontraindikasi untuk penggunaannya. Bahkan pada individu dengan gangguan kekebalan, tidak ada risiko dari penggunaan vaksin ini, meskipun induksi kekebalan mungkin tidak dapat dilakukan, tergantung pada sifat defek sistem kekebalan. Lebih hati-hati diperlukan untuk penggunaan vaksin replikasi hidup yang dilemahkan (seperti vaksin demam kuning, varicella zoster, BCG dan campak) dalam konteks individu dengan imunodefisiensi sel T karena ada risiko teoritis replikasi yang tidak terkontrol, dan vaksin hidup umumnya dihindari dalam situasi ini[87].

 

Risiko khusus yang perlu diperhatikan adalah dari vaksin demam kuning, yang dikontraindikasikan pada individu dengan imunodefisiensi sel T dan kadang-kadang menyebabkan penyakit viscerotropic atau neurotropic yang parah pada individu dengan penyakit timus atau setelah thymectomy, pada bayi muda dan orang dewasa berusia lebih dari 60 tahun[88] . Pada individu dengan defisiensi antibodi, mungkin ada beberapa manfaat dalam penggunaan vaksin hidup rutin, karena memori sel T dapat diinduksi yang, meskipun tidak mungkin untuk mencegah infeksi di masa depan, dapat meningkatkan pengendalian penyakit jika infeksi terjadi.

 

Mitos antigenik yang berlebihan

Kekhawatiran orang tua yang penting adalah bahwa vaksin mungkin membanjiri sistem kekebalan anak-anak mereka. Dalam survei telepon di AS, 23% orang tua setuju dengan pernyataan 'Anak-anak mendapatkan lebih banyak imunisasi daripada yang baik untuk mereka', dan 25% menunjukkan bahwa mereka khawatir bahwa sistem kekebalan anak mereka dapat melemah karena terlalu banyak imunisasi[89]. Namun, ada banyak bukti untuk menyangkal keyakinan ini.

 

Meskipun jumlah vaksin dalam program imunisasi telah meningkat, jumlah total antigen sebenarnya telah menurun dari lebih dari 3.200 menjadi sekitar 320 sebagai akibat dari penghentian vaksin cacar dan penggantian vaksin pertusis seluruh sel dengan vaksin aseluler[90,91]. Vaksin hanya terdiri dari sebagian kecil antigen yang terpapar pada anak-anak sepanjang kehidupan normal, dengan kolonisasi bakteri yang cepat pada saluran pencernaan setelah lahir, infeksi virus multipel, dan antigen lingkungan.

 

Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak yang menerima vaksinasi memiliki risiko yang sama, atau bahkan berkurang, infeksi tidak berhubungan pada periode berikutnya[92,93,94,95]. Melihat anak-anak yang datang ke unit gawat darurat dengan infeksi yang tidak termasuk dalam program vaksin, tidak ada perbedaan dalam hal paparan antigen sebelumnya melalui vaksinasi[96].

 

Efek samping langka yang signifikan

Efek samping yang serius dari vaksin sangat jarang, dengan anafilaksis menjadi yang paling umum dari efek samping langka ini untuk vaksin parenteral, terjadi setelah kurang dari satu dalam satu juta dosis[97]. Individu dengan alergi yang diketahui (seperti telur atau lateks) harus menghindari vaksin yang mungkin memiliki sisa produk ini dari proses produksi dengan alergen spesifik, meskipun sebagian besar kasus anafilaksis tidak dapat diprediksi sebelumnya tetapi dapat segera ditangani jika vaksin diberikan oleh petugas kesehatan yang terlatih.

 

Efek samping yang sangat jarang dari vaksin biasanya tidak diamati selama pengembangan klinis, dengan sangat sedikit yang didokumentasikan, dan mereka hanya dikenali melalui pengawasan yang cermat pada populasi yang divaksinasi. Misalnya, ada risiko yang sangat rendah untuk purpura trombositopenik idiopatik (1 dari 24.000 penerima vaksin) setelah vaksinasi campak[86]. Dari 1 dalam 55.000 hingga 1 dari 16.000 penerima vaksin influenza H1N1 pandemi 2009 AS03-adjuvanted 2009 [98,99], yang memiliki kerentanan genetik tertentu (HLA DQB1*0602)[100], mengembangkan narkolepsi, meskipun perdebatan terus berlanjut tentang apakah pemicunya adalah vaksin, adjuvant atau kombinasi, mungkin dengan virus yang beredar juga memiliki peran.

 

Meskipun laporan menyesatkan yang tersebar luas tentang hubungan antara vaksin campak-gondong-rubella dan autisme dari akhir 1990-an, tidak ada bukti bahwa vaksin atau komponennya menyebabkan autisme[101.102]. Memang, bukti sekarang sangat menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan risiko autisme pada populasi yang divaksinasi. Thiomersal (juga dikenal sebagai thimerosal) adalah pengawet yang mengandung etil merkuri yang telah digunakan secara luas dalam vaksin sejak tahun 1930-an tanpa bukti efek samping yang terkait dengannya, dan juga tidak ada bukti ilmiah tentang hubungan antara keduanya omersal dan autisme meskipun klaim palsu tentang ini[102]. Thiomersal telah ditarik secara sukarela dari sebagian besar vaksin oleh produsen sebagai tindakan pencegahan daripada karena bukti ilmiah tentang kurangnya keamanan dan saat ini digunakan terutama dalam produksi vaksin pertusis sel utuh.

 

Risiko rawat inap, kematian atau morbiditas jangka panjang dari penyakit yang vaksinnya telah dikembangkan sangat tinggi sehingga risiko efek samping lokal dan sistemik yang umum (seperti nyeri lengan dan demam) dan efek samping yang lebih serius yang jarang terjadi jauh sebanding dengan pengurangan besar-besaran penyakit yang dicapai melalui vaksinasi. Penilaian berkelanjutan terhadap keamanan vaksin pasca lisensi penting untuk mendeteksi efek samping jangka panjang dan langka, dan sistem pelaporan yang efisien perlu tersedia untuk memfasilitasi hal ini[103]. Ini sangat penting dalam situasi pandemi, seperti pandemi COVID-19, karena pengembangan klinis yang cepat dari beberapa vaksin kemungkinan akan terjadi dan sejumlah besar orang kemungkinan akan divaksinasi dalam waktu singkat.

 

Tantangan keberhasilan vaksinasi

Vaksin hanya berfungsi jika digunakan. Mungkin tantangan terbesar untuk program imunisasi adalah memastikan bahwa hambatan yang kuat terhadap penyebaran, mulai dari infrastruktur yang buruk dan kurangnya dana hingga keraguan vaksin dan prioritas komersial, tidak mencegah keberhasilan perlindungan yang paling rentan di masyarakat. Patut dicatat bahwa ini bukan tantangan ilmiah klasik, meskipun pengetahuan terbatas tentang antigen mana yang protektif, respons imun mana yang diperlukan untuk perlindungan dan bagaimana meningkatkan respons imun yang tepat, terutama pada populasi yang lebih tua, juga merupakan pertimbangan penting.

 

Akses memperoleh vaksin

Tantangan terbesar untuk perlindungan populasi manusia terhadap penyakit menular yang serius melalui vaksinasi tetap akses ke vaksin dan ketidakadilan terkait yang besar dalam akses. Akses ke vaksin saat ini terbatas, pada berbagai tingkat di berbagai wilayah, dengan tidak adanya infrastruktur kesehatan untuk memberikan vaksin, kurangnya penyediaan vaksin yang nyaman bagi keluarga, kurangnya sumber daya keuangan untuk membeli vaksin yang tersedia (di tingkat nasional, lokal atau tingkat individu) dan marginalisasi masyarakat yang membutuhkan.

Hal ini mungkin masalah yang paling mendesak untuk kesehatan masyarakat, dengan cakupan vaksin global terhenti; misalnya, cakupan vaksin yang mengandung difteri–tetanus–pertusis hanya meningkat dari 84% menjadi 86% sejak 2010 [104]. Namun, angka ini menyembunyikan variasi regional yang besar, dengan cakupan hampir 100% di beberapa daerah dan hampir tidak ada anak yang divaksinasi di daerah lain. Untuk negara-negara termiskin di dunia, Gavi, Aliansi Vaksin menyediakan dana untuk membantu pengenalan vaksin baru dan telah sangat mempercepat perluasan akses ke vaksin baru yang sebelumnya hanya dapat diakses oleh negara-negara berpenghasilan tinggi. Namun, ini masih menyisakan tantangan keuangan besar bagi negara-negara yang tidak memenuhi kriteria untuk memenuhi syarat untuk pendanaan Gavi tetapi masih tidak mampu membeli vaksin baru. Ketidaksetaraan tetap ada, dengan sekitar 14 juta anak tidak menerima vaksinasi apa pun dan 5,7 juta anak lainnya hanya divaksinasi sebagian pada tahun 2019 [105].

 

Masalah penting lainnya dapat membahayakan ketersediaan dan akses vaksin. Misalnya, sebagian besar vaksin harus didinginkan pada suhu 2–8 °C, memerlukan infrastruktur dan kapasitas untuk penyimpanan dingin dan rantai dingin ke klinik tempat vaksin dikirim, yang terbatas di banyak negara berpenghasilan rendah. Rute administrasi juga dapat membatasi akses; vaksin oral (seperti vaksin rotavirus, polio atau kolera) dan vaksin hidung (seperti vaksin influenza hidup yang dilemahkan) dapat diberikan dengan cepat dalam skala besar oleh pekerja yang kurang terampil, sedangkan sebagian besar vaksin disuntikkan, yang membutuhkan lebih banyak pelatihan untuk diberikan dan membutuhkan waktu lebih lama. Namun demikian, rintangan ini dapat diatasi: di Provinsi Sindh, Pakistan, 10  juta dosis vaksin konjugat tifoid yang disuntikkan diberikan kepada anak-anak untuk mengendalikan wabah tifus yang resistan terhadap obat secara ekstensif hanya dalam beberapa minggu di akhir tahun 2019 [106 ].

 

Gerakan anti-vaksinasi

Meskipun akses menjadi masalah utama yang mempengaruhi cakupan vaksin global, fokus yang cukup besar saat ini adalah pada tantangan yang ditimbulkan oleh gerakan anti-vaksinasi, sebagian besar sebagai akibat dari tren yang mengkhawatirkan dari penurunan cakupan vaksin di rangkaian berpenghasilan tinggi, yang mengarah ke wabah penyakit jiwa. penyakit menular yang mengancam, seperti campak. Pada tahun 2018, terdapat 140.000 kematian akibat campak di seluruh dunia, dan jumlah kasus pada tahun 2019 merupakan yang tertinggi sejak tahun 2006 [107]. Banyak yang telah ditulis tentang peran berbahaya media sosial dan mesin pencari online dalam penyebaran informasi yang salah tentang vaksin dan munculnya gerakan anti-vaksinasi, tetapi para ilmuwan juga bersalah karena gagal mengkomunikasikan secara efektif manfaat vaksinasi kepada orang awam.

 

Para ilmuwan tidak perlu melawan atau terlibat dengan gerakan anti-vaksinasi tetapi menggunakan keahlian dan pemahaman mereka untuk memastikan komunikasi yang efektif tentang ilmu pengetahuan yang mendukung kemampuan luar biasa kita untuk memanfaatkan kekuatan sistem kekebalan melalui vaksinasi untuk mempertahankan kesehatan anak-anak kami.

 

Kelangsungan hidup komersial

Isu penting ketiga adalah kurangnya vaksin untuk beberapa penyakit yang tidak memiliki insentif komersial untuk pengembangannya. Biasanya, ini adalah penyakit yang memiliki penyebaran geografis terbatas (seperti Demam Rift Valley, Ebola, penyakit Marburg atau wabah) atau terjadi dalam wabah sporadis dan hanya mempengaruhi masyarakat miskin atau pengungsi (seperti Ebola dan kolera). Daftar patogen wabah telah diterbitkan oleh berbagai lembaga termasuk WHO[108], dan inisiatif pendanaan baru-baru ini, termasuk dari pemerintah AS dan Eropa, telah meningkatkan investasi dalam pengembangan vaksin Orphan.  Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI) diatur untuk memiliki peran utama dalam mendanai dan mendorong pengembangan vaksin melawan patogen ini.

 

Tantangan imunologis

Untuk patogen lain, kemungkinan akan ada pasar komersial tetapi ada tantangan imunologis untuk pengembangan vaksin baru. Misalnya, patogen yang sangat bervariasi, termasuk beberapa dengan distribusi global yang besar seperti HIV dan virus hepatitis C, menimbulkan tantangan khusus. Keragaman genetik patogen ini, yang terjadi baik di antara dan di dalam host, membuat sulit untuk mengidentifikasi antigen yang dapat digunakan untuk mengimunisasi terhadap infeksi.

 

Dalam kasus HIV, antibodi dapat dihasilkan untuk menetralisir virus, tetapi mutasi yang cepat dari genom virus berarti bahwa virus dapat menghindari respons ini dalam host yang sama. Beberapa individu memang menghasilkan antibodi penetralisir yang luas secara alami, yang menargetkan wilayah virus yang lebih terkonservasi, yang mengarah ke pengendalian virus, tetapi tidak jelas bagaimana menginduksi antibodi ini dengan vaksin.

 

Memang, beberapa vaksin HIV telah diuji dalam uji klinis yang mampu menginduksi tanggapan antibodi (misalnya, vaksin RV[144] menunjukkan perlindungan 31%[109]) dan/atau tanggapan sel T, tetapi vaksin ini belum menunjukkan bukti perlindungan yang konsisten dalam tindak lanjut. penelitian, dan beberapa penelitian menemukan peningkatan risiko infeksi di antara penerima vaksin[110].

 

Untuk patogen lain, seperti Neisseria gonorrhoeae (yang menyebabkan gonore) dan Treponema pallidum (yang menyebabkan sifilis), target antigenik untuk respons imun protektif belum ditentukan, sebagian karena investasi yang terbatas dan pemahaman yang buruk tentang mekanisme imunitas pada permukaan mukosa, atau sejauh ini hanya menghasilkan perlindungan terbatas. Misalnya, vaksin malaria berlisensi, RTSS, hanya memberikan perlindungan 30–40% dan pekerjaan lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan produk yang sesuai[111]. Vaksin malaria baru dalam pengembangan menargetkan antigen yang lebih terkonservasi pada permukaan parasit atau menargetkan berbagai tahap siklus hidup parasit. Kombinasi pendekatan ini dalam vaksin (mungkin menargetkan beberapa tahap siklus hidup), bersama dengan strategi anti-vektor seperti penggunaan nyamuk rekayasa genetika atau bakteri Wolbachia untuk menginfeksi nyamuk dan mengurangi kemampuannya membawa parasit nyamuk[112], serta penghindaran gigitan nyamuk, memiliki potensi untuk secara nyata mengurangi penularan parasit malaria.

 

Vaksin influenza musiman, dalam beberapa dekade terakhir, telah digunakan untuk melindungi individu yang rentan di negara-negara berpenghasilan tinggi, termasuk orang dewasa yang lebih tua, anak-anak, dan individu dengan penyakit penyerta yang meningkatkan risiko influenza parah. Vaksin ini dibuat dari virus yang dikembangkan dalam telur tertunas; antigen murni, virion terbelah atau virion utuh dapat dimasukkan dalam produk vaksin akhir.

 

Pembuatan vaksin membutuhkan waktu sekitar 6 bulan dan memiliki kemanjuran yang sangat bervariasi dari satu musim ke musim lainnya, sebagian karena sulitnya memprediksi jenis virus mana yang akan beredar di musim influenza berikutnya, sehingga jenis vaksin mungkin tidak cocok dengan jenis yang menyebabkan penyakit[113].

 

Isu lain yang semakin dikenal adalah adaptasi telur tertunas, di mana galur vaksin virus menjadi beradaptasi dengan telur tertunas yang digunakan untuk produksi, yang menyebabkan mutasi kunci yang berarti tidak cocok dengan baik, dan tidak melindungi terhadap galur virus yang beredar[114]. Perlindungan yang diinduksi vaksin dapat ditingkatkan dengan pengembangan sistem kultur sel mamalia atau serangga untuk menumbuhkan virus influenza untuk menghindari adaptasi telur, dan penggunaan vaksin adjuvant MF59 dan vaksin influenza dosis tinggi untuk meningkatkan respons imun. Karena biaya pembelian vaksin influenza musiman setiap tahun, dan masalah variabilitas antigenik, pencarian vaksin influenza universal mendapat perhatian yang cukup besar, dengan fokus khusus pada vaksin yang menginduksi sel TH atau antibodi terhadap epitop yang dilestarikan[115], tetapi saat ini tidak ada produk dalam pengembangan tahap akhir.

 

Meskipun BCG adalah vaksin yang paling banyak digunakan secara global, dengan 89% populasi dunia menerimanya pada tahun 2018 [105], masih ada beban global TB yang sangat besar dan jelas bahwa vaksin TB yang lebih efektif diperlukan. Namun, karakteristik optimal dari vaksin TB profilaksis, antigen mana yang harus dimasukkan dan sifat kekebalan protektif tetap tidak diketahui, meskipun penelitian vaksin TB lebih dari 100 tahun.

 

Vektor virus yang mengekspresikan protein TB, 85A, telah diuji dalam uji coba pencegahan TB besar di Afrika Selatan tetapi vaksin ini tidak menunjukkan perlindungan, yang oleh penulis dikaitkan dengan imunogenisitas yang buruk pada anak-anak yang divaksinasi[116].

 

Namun, publikasi penelitian pada tahun 2019 yang menunjukkan bahwa vaksin TB baru, M72/AS01E (vaksin adjuvant AS01 yang mengandung antigen M. tuberculosis MTB32A dan MTB39A), dapat membatasi perkembangan penyakit TB aktif pada individu yang terinfeksi secara laten dengan kemanjuran 50% selama 3 tahun memberikan secercah harapan bahwa pengendalian TB dapat diwujudkan di masa depan dengan pendekatan vaksin baru[117].

 

Masih ada pertanyaan tentang durasi efeknya, tetapi efikasi yang ditunjukkan sekarang dapat diinterogasi secara menyeluruh untuk menentukan sifat kekebalan protektif terhadap TB.

 

Pengembangan vaksin masa mendatang

Ada beberapa penyakit penting yang membutuhkan vaksin baru untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas secara global, yang kemungkinan besar memiliki pasar di negara-negara berpenghasilan tinggi dan rendah, termasuk vaksin untuk Streptococcus grup B (penyebab utama meningitis neonatal), RSV dan CMV.

 

Vaksin Streptococcus grup B saat ini sedang dalam uji coba vaksinasi ibu, dengan tujuan menginduksi antibodi ibu yang melintasi plasenta dan melindungi bayi baru lahir secara pasif[118]. RSV menyebabkan infeksi saluran pernapasan bawah, bronkiolitis, pada masa bayi dan merupakan penyebab paling umum rawat inap bayi di negara maju dan secara global salah satu penyebab utama kematian pada mereka yang berusia kurang dari 12 bulan.

 

Sebanyak 60 kandidat vaksin RSV baru sedang dalam pengembangan baik sebagai vaksin ibu atau vaksin bayi, atau melibatkan imunisasi dengan antibodi monoklonal spesifik RSV yang memiliki waktu paruh yang diperpanjang. Vaksin RSV berlisensi akan berdampak besar pada kesehatan bayi dan penerimaan rumah sakit anak.

 

CMV adalah virus herpes di mana-mana yang bertanggung jawab atas beban penyakit yang signifikan pada bayi; 15-20% dari anak-anak yang terinfeksi secara kongenital mengembangkan gejala sisa jangka panjang, yang paling penting gangguan pendengaran sensorineural, dan CMV dengan demikian menyebabkan lebih banyak penyakit kongenital daripada agen infeksi tunggal lainnya.

 

Vaksin yang secara efektif mencegah infeksi kongenital akan memberikan manfaat kesehatan individu dan masyarakat yang signifikan. Kurangnya pemahaman tentang sifat kekebalan protektif terhadap CMV telah menghambat pengembangan vaksin di masa lalu, tetapi jalurnya sekarang lebih menjanjikan[119.120].

 

Jalur utama lain dari pengembangan vaksin baru adalah untuk memerangi infeksi yang didapat di rumah sakit, terutama dengan bakteri Gram-positif yang resisten antibiotik (seperti Staphylococcus aureus) yang terkait dengan infeksi luka dan kateter intravena dan berbagai organisme Gram-negatif (seperti Klebsiella spp. dan Pseudomonas aeruginosa). Kemajuan telah lambat di bidang ini dan pertimbangan penting akan menargetkan produk ke kelompok pasien berisiko sebelum masuk rumah sakit atau operasi.

 

Mungkin area pertumbuhan terbesar untuk pengembangan vaksin adalah untuk orang dewasa yang lebih tua, dengan beberapa produk yang ditujukan khusus untuk populasi ini saat ini. Dengan populasi orang dewasa yang lebih tua akan meningkat secara substansial (proporsi populasi yang berusia lebih dari 60 tahun diperkirakan akan meningkat dari 12% menjadi 22% pada tahun 2050 [121]), pencegahan infeksi pada populasi ini harus menjadi prioritas kesehatan masyarakat. Upaya untuk lebih memahami imunosenesensi dan bagaimana meningkatkan respons vaksin pada orang dewasa tertua merupakan tantangan utama bagi ahli imunologi saat ini.

 

Teknologi baru

Tantangan penting yang harus diatasi di tahun-tahun berikutnya adalah keragaman genetik (misalnya, virus seperti HIV, virus hepatitis C dan influenza), persyaratan untuk respon imun yang lebih luas termasuk sel T untuk perlindungan terhadap penyakit seperti TB dan malaria, dan perlu dengan cepat menanggapi patogen yang muncul dan situasi wabah.

 

Secara tradisional, pengembangan vaksin membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun[122], tetapi pandemi COVID-19 telah menunjukkan urgensi untuk teknologi vaksin yang fleksibel dan memfasilitasi pengembangan, produksi, dan peningkatan yang cepat[123].

 

Teknologi baru untuk memerangi rintangan ini akan mencakup platform yang memungkinkan peningkatan pengiriman antigen dan kemudahan serta kecepatan produksi, penerapan biologi struktural dan pengetahuan imunologi untuk membantu peningkatan desain antigen dan penemuan bahan pembantu yang lebih baik untuk meningkatkan imunogenisitas. Untungnya, kemajuan terbaru dalam imunologi, biologi sistem, genomik, dan bio-informatika menawarkan peluang besar untuk meningkatkan pemahaman kita tentang induksi imun menyatukan respons oleh vaksin dan mengubah pengembangan vaksin melalui rancangan yang semakin rasional[124].

 

Platform baru termasuk vaksin vektor virus dan vaksin berbasis asam nukleat. Sel host antigen seperti sel dendritik, vaksin berbasis sel T dan vektor bakteri juga sedang dieksplorasi, tetapi masih dalam tahap awal pengembangan untuk digunakan melawan patogen infeksius. Sedangkan platform vaksin seluruh organisme klasik memerlukan budidaya patogen, vektor virus generasi berikutnya atau vaksin berbasis asam nukleat dapat dibuat hanya menggunakan urutan genetik patogen, sehingga secara signifikan meningkatkan kecepatan pengembangan dan proses pembuatan vaksin[125].

 

Vaksin vektor virus didasarkan pada virus rekombinan (baik mereplikasi atau tidak), di mana genom diubah untuk mengekspresikan antigen patogen target. Presentasi antigen patogen dalam kombinasi dengan rangsangan dari vektor virus yang meniru infeksi alami mengarah pada induksi respons imun humoral dan seluler yang kuat tanpa memerlukan adjuvant.

 

Kerugian potensial dari vaksin vektor virus adalah adanya kekebalan yang sudah ada sebelumnya ketika vektor seperti adenovirus manusia digunakan yang biasanya menyebabkan infeksi pada manusia. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan vektor seperti adenovirus simian, yang hampir tidak memiliki kekebalan sebelumnya pada manusia[126]. Apakah respon imun terhadap vektor akan membatasi penggunaannya untuk vaksinasi berulang dengan antigen yang berbeda perlu diselidiki.

 

Vaksin berbasis asam nukleat terdiri dari DNA atau RNA yang mengkode antigen target, yang berpotensi memungkinkan induksi respons imun humoral dan seluler setelah antigen yang dikodekan diekspresikan oleh penerima vaksin setelah penyerapan asam nukleat oleh sel mereka. Sebuah keuntungan besar dari vaksin ini adalah bahwa mereka sangat serbaguna dan cepat dan mudah untuk beradaptasi dan diproduksi dalam kasus patogen yang muncul. Memang, vaksin berbasis mRNA SARS-CoV-2 mRNA-1273 memasuki pengujian klinis hanya 2 bulan setelah urutan genetik SARS-CoV-2 diidentifikasi[127] dan vaksin RNA yang diformulasikan dengan nanopartikel lipid BNT162b2, dimodifikasi nukleosida adalah SARS pertama-Vaksin CoV-2 akan dilisensikan[128].

 

Salah satu kelemahan dari vaksin ini adalah bahwa vaksin tersebut harus dikirim langsung ke dalam sel, yang memerlukan perangkat injeksi khusus, elektroporasi atau molekul pembawa dan membawa serta risiko tingkat transfeksi yang rendah dan imunogenisitas yang terbatas[129]. Selain itu, penerapan vaksin RNA telah dibatasi oleh kurangnya stabilitas dan persyaratan untuk rantai dingin, tetapi upaya terus-menerus untuk meningkatkan formulasi menjanjikan untuk mengatasi keterbatasan ini[130.131].

 

Contoh bagus tentang bagaimana wawasan imunologis dapat merevolusi pengembangan vaksin adalah vaksin RSV baru DS-Cav1. Protein fusi permukaan (F) RSV dapat ada baik dalam konformasi pra-fusi (pra-F), yang memfasilitasi masuknya virus, atau bentuk pasca-fusi (pasca-F). Sedangkan vaksin sebelumnya terutama mengandung bentuk pasca-F, wawasan tentang struktur tingkat atom protein telah memungkinkan ekspresi protein pra-F yang stabil, yang mengarah pada respons imun yang sangat ditingkatkan dan memberikan bukti konsep untuk vaksin berbasis struktur. Desain[132.133].

 

Selain platform vaksin baru yang disebutkan di atas, ada upaya berkelanjutan untuk mengembangkan metode pengiriman antigen yang lebih baik, seperti liposom (lapisan ganda lipid bulat), partikel polimer, partikel anorganik, vesikel membran luar dan kompleks imunostimulan. Ini, dan metode lain seperti nanopartikel protein yang merakit sendiri, memiliki potensi untuk secara optimal meningkatkan dan membelokkan respons imun terhadap patogen yang pendekatan vaksin tradisionalnya terbukti tidak berhasil[129,134].

 

Selanjutnya, metode pengiriman inovatif, seperti patch jarum mikro, sedang dikembangkan, dengan potensi keuntungan dari peningkatan termostabilitas, kemudahan pengiriman dengan rasa sakit yang minimal dan administrasi dan pembuangan yang lebih aman[135]. Satu vaksin influenza yang tidak aktif yang diberikan melalui microneedle patch terbukti dapat ditoleransi dengan baik dan imunogenik dalam uji coba fase I [136]. Ini memungkinkan pemberian sendiri, meskipun penting untuk menyediakan perawatan medis profesional jika ada risiko efek samping yang parah seperti anafilaksis.

 

KESIMPULAN DAN ARAH MASA DEPAN

Imunisasi melindungi populasi dari penyakit yang sebelumnya merenggut nyawa jutaan orang setiap tahun, kebanyakan anak-anak. Di bawah Konvensi PBB tentang Hak Anak, setiap anak berhak atas kesehatan yang sebaik mungkin, dan dengan ekstrapolasi hak untuk divaksinasi.

 

Terlepas dari keberhasilan luar biasa vaksinasi dalam melindungi kesehatan anak-anak kita, ada kesenjangan pengetahuan dan tantangan penting yang harus diatasi. Pemahaman yang tidak lengkap tentang mekanisme perlindungan kekebalan dan kurangnya solusi untuk mengatasi variabilitas antigenik telah menghambat desain vaksin yang efektif melawan penyakit utama seperti HIV/AIDS dan TB. Upaya besar telah menghasilkan lisensi vaksin yang sebagian efektif melawan malaria, tetapi vaksin yang lebih efektif akan diperlukan untuk mengalahkan penyakit ini.

 

Selain itu, menjadi jelas bahwa variasi dalam respons host merupakan faktor penting untuk diperhitungkan. Teknologi baru dan metode analisis akan membantu penggambaran mekanisme kekebalan kompleks yang terlibat, dan pengetahuan ini akan penting untuk merancang vaksin yang efektif untuk masa depan.

 

Terlepas dari tantangan ilmiah, hambatan sosial politik menghalangi vaksinasi yang aman dan efektif untuk semua. Akses ke vaksin adalah salah satu hambatan terbesar, dan meningkatkan infrastruktur, melanjutkan pendidikan dan meningkatkan keterlibatan masyarakat akan sangat penting untuk meningkatkan ini, dan platform pengiriman baru yang menghilangkan kebutuhan akan rantai dingin dapat memiliki implikasi yang besar.

 

Ada sebagian besar populasi yang skeptis tentang vaksinasi dan ini membutuhkan tanggapan dari komunitas ilmiah untuk memberikan transparansi tentang kesenjangan pengetahuan yang ada dan strategi untuk mengatasinya. Kolaborasi konstruktif antara ilmuwan dan antara lembaga ilmiah, pemerintah dan industri akan sangat penting untuk bergerak maju.

 

Pandemi COVID-19 memang menunjukkan bahwa, dalam keadaan darurat, banyak pihak dengan insentif yang berbeda dapat bersatu untuk memastikan bahwa vaksin dikembangkan dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi juga menyoroti beberapa tantangan kepentingan nasional dan komersial. Para Ahli Imunologi memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana imunisasi adalah hal yang normal, ilmu pengetahuan dapat diakses dengan baik, dan akses ke vaksinasi merupakn hak dan harapan.

 

DAFTAR PUSTAKA

1.            World Health Organization. Global vaccine action plan 2011–2020. WHO https://www.who.int/immunization/global_vaccine_action_plan/GVAP_doc_2011_2020/en/ (2013).

2.            World Health Organization. Child mortality and causes of death. WHO https://www.who.int/gho/child_health/mortality/mortality_under_five_text/en/ (2020).

3.            Hatherill, M., White, R. G. & Hawn, T. R. Clinical development of new TB vaccines: recent advances and next steps. Front. Microbiol. 10, 3154 (2019).

4.            Bekker, L. G. et al. The complex challenges of HIV vaccine development require renewed and expanded global commitment. Lancet 395, 384–388 (2020).

5.            Matz, K. M., Marzi, A. & Feldmann, H. Ebola vaccine trials: progress in vaccine safety and immunogenicity. Expert Rev. Vaccines 18, 1229–1242 (2019).

6.            Ahmed, S. F., Quadeer, A. A. & McKay, M. R. Preliminary identification of potential vaccine targets for the COVID-19 coronavirus (SARS-CoV-2) based on SARS-CoV immunological studies. Viruses 12, 254 (2020).

7.            Pawelec, G. Age and immunity: what is “immunosenescence”? Exp. Gerontol. 105, 4–9 (2018).

8.            Larson, H. J. The state of vaccine confidence. Lancet 392, 2244–2246 (2018).

9.            Robbins, J. B. et al. Prevention of invasive bacterial diseases by immunization with polysaccharide–protein conjugates. Curr. Top. Microbiol. Immunol. 146, 169–180 (1989).

10.       Plotkin, S. A. Updates on immunologic correlates of vaccine-induced protection. Vaccine 38, 2250–2257 (2020). This paper presents a review of immune correlates of protection for specific infections, their immunological basis and relevance for vaccinology.

11.       Rubin, L. G. et al. 2013 IDSA clinical practice guideline for vaccination of the immunocompromised host. Clin. Infect. Dis. 58, e44–e100 (2014).

12.       Milligan, R., Paul, M., Richardson, M. & Neuberger, A. Vaccines for preventing typhoid fever. Cochrane Database Syst. Rev. 5, CD001261 (2018).

13.       WHO. Measles vaccines: WHO position paper — April 2017. Wkly. Epidemiol. Rec. 92, 205–227 (2017).

14.       Rappuoli, R., Mandl, C. W., Black, S. & De Gregorio, E. Vaccines for the twenty-first century society. Nat. Rev. Immunol. 11, 865–872 (2011). This paper presents a review of the role of vaccines in the twenty-first century, with an emphasis on increased life expectancy, emerging infections and poverty.

15.       Marrack, P., McKee, A. S. & Munks, M. W. Towards an understanding of the adjuvant action of aluminium. Nat. Rev. Immunol. 9, 287–293 (2009).

16.       Wilkins, A. L. et al. AS03- and MF59-adjuvanted influenza vaccines in children. Front. Immunol. 8, 1760 (2017).

17.       Kaslow, D. C. & Biernaux, S. RTS,S: toward a first landmark on the Malaria Vaccine Technology Roadmap. Vaccine 33, 7425–7432 (2015).

18.       Pedersen, C. et al. Immunization of early adolescent females with human papillomavirus type 16 and 18 L1 virus-like particle vaccine containing AS04 adjuvant. J. Adolesc. Health 40, 564–571 (2007).

19.       Mitkus, R. J., Hess, M. A. & Schwartz, S. L. Pharmacokinetic modeling as an approach to assessing the safety of residual formaldehyde in infant vaccines. Vaccine 31, 2738–2743 (2013).

20.       Eldred, B. E., Dean, A. J., McGuire, T. M. & Nash, A. L. Vaccine components and constituents: responding to consumer concerns. Med. J. Aust. 184, 170–175 (2006).

21.       Fijen, C. A., Kuijper, E. J., te Bulte, M. T., Daha, M. R. & Dankert, J. Assessment of complement deficiency in patients with meningococcal disease in The Netherlands. Clin. Infect. Dis. 28, 98–105 (1999).

22.       Wara, D. W. Host defense against Streptococcus pneumoniae: the role of the spleen. Rev. Infect. Dis. 3, 299–309 (1981).

23.       Gershon, A. A. et al. Varicella zoster virus infection. Nat. Rev. Dis. Prim. 1, 15016 (2015).

24.       Sandmann, F. et al. Infant hospitalisations and fatalities averted by the maternal pertussis vaccination programme in England, 2012–2017: post-implementation economic evaluation. Clin. Infect. Dis. 71, 1984–1987 (2020).

25.       Demicheli, V., Barale, A. & Rivetti, A. Vaccines for women for preventing neonatal tetanus. Cochrane Database Syst. Rev. 7, CD002959 (2015).

26.       Madhi, S. A. et al. Influenza vaccination of pregnant women and protection of their infants. N. Engl. J. Med. 371, 918–931 (2014).

27.       Madhi, S. A. & Dangor, Z. Prospects for preventing infant invasive GBS disease through maternal vaccination. Vaccine 35, 4457–4460 (2017).

28.       Madhi, S. A. et al. Respiratory syncytial virus vaccination during pregnancy and effects in infants. N. Engl. J. Med. 383, 426–439 (2020).

29.       Young, M. K. & Cripps, A. W. Passive immunization for the public health control of communicable diseases: current status in four high-income countries and where to next. Hum. Vaccin. Immunother. 9, 1885–1893 (2013).

30.       Patel, M. & Lee, C. K. Polysaccharide vaccines for preventing serogroup A meningococcal meningitis. Cochrane Database Syst. Rev. 3, CD001093 (2005).

31.       Moberley, S., Holden, J., Tatham, D. P. & Andrews, R. M. Vaccines for preventing pneumococcal infection in adults. Cochrane Database Syst. Rev. 1, CD000422 (2013).

32.       Andrews, N. J. et al. Serotype-specific effectiveness and correlates of protection for the 13-valent pneumococcal conjugate vaccine: a postlicensure indirect cohort study. Lancet Infect. Dis. 14, 839–846 (2014).

33.       Borrow, R., Abad, R., Trotter, C., van der Klis, F. R. & Vazquez, J. A. Effectiveness of

34.       Ramsay, M. E., McVernon, J., Andrews, N. J., Heath, P. T. & Slack, M. P. Estimating haemophilus influenzae type b vaccine effectiveness in England and Wales by use of the screening method. J. Infect. Dis. 188, 481–485 (2003).

35.       Pollard, A. J., Perrett, K. P. & Beverley, P. C. Maintaining protection against invasive bacteria with protein-polysaccharide conjugate vaccines. Nat. Rev. Immunol. 9, 213–220 (2009). This paper presents a review of the mechanism of action of polysaccharide vaccines and their role in establishing long-term protection against invasive bacteria.

36.       Darton, T. C. et al. Design, recruitment, and microbiological considerations in human challenge studies. Lancet Infect. Dis. 15, 840–851 (2015). This paper presents an overview of human challenge models, their potential use and their role in improving our understanding of disease mechanisms and host responses.

37.       Suscovich, T. J. et al. Mapping functional humoral correlates of protection against malaria challenge following RTS, S/AS01 vaccination. Sci. Transl Med. 12, eabb4757 (2020).

38.       Jin, C. et al. Efficacy and immunogenicity of a Vi–tetanus toxoid conjugate vaccine in the prevention of typhoid fever using a controlled human infection model of Salmonella Typhi: a randomised controlled, phase 2b trial. Lancet 390, 2472–2480 (2017).

39.       Kourtis, A. P., Read, J. S. & Jamieson, D. J. Pregnancy and infection. N. Engl. J. Med. 370, 2211–2218 (2014).

40.       Malley, R. et al. CD4+ T cells mediate antibody-independent acquired immunity to pneumococcal colonization. Proc. Natl Acad. Sci. USA 102, 4848–4853 (2005).

41.       Henry, B. & Baclic, O. & National Advisory Committee on Immunization (NACI). Summary of the NACI update on the recommended use of hepatitis B vaccine. Can. Commun. Dis. Rep. 43, 104–106 (2017).

42.       Kelly, D. F., Pollard, A. J. & Moxon, E. R. Immunological memory: the role of B cells in long-term protection against invasive bacterial pathogens. JAMA 294, 3019–3023 (2005).

43.       McVernon, J., Johnson, P. D., Pollard, A. J., Slack, M. P. & Moxon, E. R. Immunologic memory in Haemophilus influenzae type b conjugate vaccine failure. Arch. Dis. Child. 88, 379–383 (2003).

44.       McVernon, J. et al. Immunologic memory with no detectable bactericidal antibody response to a first dose of meningococcal serogroup C conjugate vaccine at four years. Pediatr. Infect. Dis. J. 22, 659–661 (2003).

45.       World Health Organization. Tetanus vaccines: WHO position paper, February 2017 — recommendations. Vaccine 36, 3573–3575 (2018).

46.       World Health Organization. Diphtheria vaccine: WHO position paper, August 2017 — recommendations. Vaccine 36, 199–201 (2018).

47.       Chen, Z. & He, Q. Immune persistence after pertussis vaccination. Hum. Vaccin. Immunother. 13, 744–756 (2017).

48.       Burdin, N., Handy, L. K. & Plotkin, S. A. What is wrong with pertussis vaccine immunity? The problem of waning effectiveness of pertussis vaccines. Cold Spring Harb. Perspect. Biol. 9, a029454 (2017).

49.       WHO. Vaccines and vaccination against yellow fever: WHO Position Paper, June 2013 — recommendations. Vaccine 33, 76–77 (2015).

50.       Paunio, M. et al. Twice vaccinated recipients are better protected against epidemic measles than are single dose recipients of measles containing vaccine. J. Epidemiol. Community Health 53, 173–178 (1999).

51.       Zhu, S., Zeng, F., Xia, L., He, H. & Zhang, J. Incidence rate of breakthrough varicella observed in healthy children after 1 or 2 doses of varicella vaccine: results from a meta-analysis. Am. J. Infect. Control. 46, e1–e7 (2018).

52.       Halstead, S. B., Rojanasuphot, S. & Sangkawibha, N. Original antigenic sin in dengue. Am. J. Trop. Med. Hyg. 32, 154–156 (1983).

53.       Kim, J. H., Skountzou, I., Compans, R. & Jacob, J. Original antigenic sin responses to influenza viruses. J. Immunol. 183, 3294–3301 (2009).

54.       Vatti, A. et al. Original antigenic sin: a comprehensive review. J. Autoimmun. 83, 12–21 (2017).

55.       Statista Research Department. Herd immunity threshold for selected global diseases as of 2013.  Statista https://www.statista.com/statistics/348750/threshold-for-herd-immunity-for-select-diseases/ (2013).

56.       Plans-Rubio, P. The vaccination coverage required to establish herd immunity against influenza viruses. Prev. Med. 55, 72–77 (2012).

57.       Trotter, C. L., Andrews, N. J., Kaczmarski, E. B., Miller, E. & Ramsay, M. E. Effectiveness of meningococcal serogroup C conjugate vaccine 4 years after introduction. Lancet 364, 365–367 (2004).

58.       Trotter, C. L. & Maiden, M. C. Meningococcal vaccines and herd immunity: lessons learned from serogroup C conjugate vaccination programs. Expert. Rev. Vaccines 8, 851–861 (2009).

59.       Tabrizi, S. N. et al. Assessment of herd immunity and cross-protection after a human papillomavirus vaccination programme in Australia: a repeat cross-sectional study. Lancet Infect. Dis. 14, 958–966 (2014).

60.       Brisson, M. et al. Population-level impact, herd immunity, and elimination after human papillomavirus vaccination: a systematic review and meta-analysis of predictions from transmission-dynamic models. Lancet Public Health 1, e8–e17 (2016).

61.       Trunz, B. B., Fine, P. & Dye, C. Effect of BCG vaccination on childhood tuberculous meningitis and miliary tuberculosis worldwide: a meta-analysis and assessment of cost-effectiveness. Lancet 367, 1173–1180 (2006).

62.       Barker, L. & Hussey, G. The Immunological Basis for Immunization Series: Module 5: Tuberculosis (World Health Organization, 2011).

63.       Eisenhut, M. et al. BCG vaccination reduces risk of infection with Mycobacterium tuberculosis as detected by γ interferon release assay. Vaccine 27, 6116–6120 (2009).

64.       Verrall, A. J. et al. Early clearance of Mycobacterium tuberculosis: the INFECT case contact cohort study in Indonesia. J. Infect. Dis. 221, 1351–1360 (2020).

65.       Pollard, A. J., Finn, A. & Curtis, N. Non-specific effects of vaccines: plausible and potentially important, but implications uncertain. Arch. Dis. Child. 102, 1077–1081 (2017).

66.       Higgins, J. P. et al. Association of BCG, DTP, and measles containing vaccines with childhood mortality: systematic review. BMJ 355, i5170 (2016).

67.       Mina, M. J. et al. Measles virus infection diminishes preexisting antibodies that offer protection from other pathogens. Science 366, 599–606 (2019).

68.       Mina, M. J., Metcalf, C. J., de Swart, R. L., Osterhaus, A. D. & Grenfell, B. T. Long-term measles-induced immunomodulation increases overall childhood infectious disease mortality. Science 348, 694–699 (2015). This paper is an analysis of population-level data from high-income countries, showing a protective effect of measles vaccination on mortality from non-measles infectious diseases.

69.       Falsey, A. R., Treanor, J. J., Tornieporth, N., Capellan, J. & Gorse, G. J. Randomized, double-blind controlled phase 3 trial comparing the immunogenicity of high-dose and standard-dose influenza vaccine in adults 65 years of age and older. J. Infect. Dis. 200, 172–180 (2009).

70.       DiazGranados, C. A. et al. Efficacy of high-dose versus standard-dose influenza vaccine in older adults. N. Engl. J. Med. 371, 635–645 (2014).

71.       Schnyder, J. L. et al. Fractional dose of intradermal compared to intramuscular and subcutaneous vaccination—a systematic review and meta-analysis. Travel. Med. Infect. Dis. 37, 101868 (2020).

72.       Voysey, M. et al. The influence of maternally derived antibody and infant age at vaccination on infant vaccine responses: an individual participant meta-analysis. JAMA Pediatr. 171, 637–646 (2017).

73.       Caceres, V. M., Strebel, P. M. & Sutter, R. W. Factors determining prevalence of maternal antibody to measles virus throughout infancy: a review. Clin. Infect. Dis. 31, 110–119 (2000).

74.       Belnoue, E. et al. APRIL is critical for plasmablast survival in the bone marrow and poorly expressed by early-life bone marrow stromal cells. Blood 111, 2755–2764 (2008).

75.       Pace, D. et al. Immunogenicity of reduced dose priming schedules of serogroup C meningococcal conjugate vaccine followed by booster at 12 months in infants: open label randomised controlled trial. BMJ 350, h1554 (2015).

76.       Timens, W., Boes, A., Rozeboom-Uiterwijk, T. & Poppema, S. Immaturity of the human splenic marginal zone in infancy. Possible contribution to the deficient infant immune response. J. Immunol. 143, 3200–3206 (1989).

77.       Peset Llopis, M. J., Harms, G., Hardonk, M. J. & Timens, W. Human immune response to pneumococcal polysaccharides: complement-mediated localization preferentially on CD21-positive splenic marginal zone B cells and follicular dendritic cells. J. Allergy Clin. Immunol. 97, 1015–1024 (1996).

78.       Claesson, B. A. et al. Protective levels of serum antibodies stimulated in infants by two injections of Haemophilus influenzae type b capsular polysaccharide–tetanus toxoid conjugate. J. Pediatr. 114, 97–100 (1989).

79.       Crooke, S. N., Ovsyannikova, I. G., Poland, G. A. & Kennedy, R. B. Immunosenescence and human vaccine immune responses. Immun. Ageing 16, 25 (2019).

80.       Nikolich-Žugich, J. Ageing and life-long maintenance of T-cell subsets in the face of latent persistent infections. Nat. Rev. Immunol. 8, 512–522 (2008).

81.       Kadambari, S., Klenerman, P. & Pollard, A. J. Why the elderly appear to be more severely affected by COVID-19: the potential role of immunosenescence and CMV. Rev. Med. Virol. 30, e2144 (2020).

82.       Domnich, A. et al. Effectiveness of MF59-adjuvanted seasonal influenza vaccine in the elderly: a systematic review and meta-analysis. Vaccine 35, 513–520 (2017).

83.       Lal, H. et al. Efficacy of an adjuvanted herpes zoster subunit vaccine in older adults. N. Engl. J. Med. 372, 2087–2096 (2015).

84.       World Health Assembly. The Expanded Programme on Immunization: the 1974 resolution by the World Health Assembly. Assign. Child. 69-72, 87–88 (1985).

85.       Voysey, M., Pollard, A. J., Sadarangani, M. & Fanshawe, T. R. Prevalence and decay of maternal pneumococcal and meningococcal antibodies: a meta-analysis of type-specific decay rates. Vaccine 35, 5850–5857 (2017).

86.       Farrington, P. et al. A new method for active surveillance of adverse events from diphtheria/tetanus/pertussis and measles/mumps/rubella vaccines. Lancet 345, 567–569 (1995).

87.       Pinto, M. V., Bihari, S. & Snape, M. D. Immunisation of the immunocompromised child. J. Infect. 72 (Suppl), S13–S22 (2016).

88.       Seligman, S. J. Risk groups for yellow fever vaccine-associated viscerotropic disease (YEL-AVD). Vaccine 32, 5769–5775 (2014).

89.       Gellin, B. G., Maibach, E. W. & Marcuse, E. K. Do parents understand immunizations? A national telephone survey. Pediatrics 106, 1097–1102 (2000).

90.       Offit, P. A. et al. Addressing parents’ concerns: do multiple vaccines overwhelm or weaken the infant’s immune system? Pediatrics 109, 124–129 (2002).

91.       Centers for Disease Control and Prevention. Multiple vaccinations at once. CDC https://www.cdc.gov/vaccinesafety/concerns/multiple-vaccines-immunity.html (2020).

92.       Stowe, J., Andrews, N., Taylor, B. & Miller, E. No evidence of an increase of bacterial and viral infections following measles, mumps and rubella vaccine. Vaccine 27, 1422–1425 (2009).

93.       Otto, S. et al. General non-specific morbidity is reduced after vaccination within the third month of life — the Greifswald study. J. Infect. 41, 172–175 (2000).

94.       Griffin, M. R., Taylor, J. A., Daugherty, J. R. & Ray, W. A. No increased risk for invasive bacterial infection found following diphtheria–tetanus–pertussis immunization. Pediatrics 89, 640–642 (1992).

95.       Aaby, P. et al. Non-specific beneficial effect of measles immunisation: analysis of mortality studies from developing countries. BMJ 311, 481–485 (1995).

96.       Glanz, J. M. et al. Association between estimated cumulative vaccine antigen exposure through the first 23 months of life and non-vaccine-targeted infections from 24 through 47 months of age. JAMA 319, 906–913 (2018).

97.       Bohlke, K. et al. Risk of anaphylaxis after vaccination of children and adolescents. Pediatrics 112, 815–820 (2003).

98.       Nohynek, H. et al. AS03 adjuvanted AH1N1 vaccine associated with an abrupt increase in the incidence of childhood narcolepsy in Finland. PLoS ONE 7, e33536 (2012).

99.       Miller, E. et al. Risk of narcolepsy in children and young people receiving AS03 adjuvanted pandemic A/H1N1 2009 influenza vaccine: retrospective analysis. BMJ 346, f794 (2013).

100.  Hallberg, P. et al. Pandemrix-induced narcolepsy is associated with genes related to immunity and neuronal survival. EBioMedicine 40, 595–604 (2019).

101.  DeStefano, F. & Shimabukuro, T. T. The MMR vaccine and autism. Annu. Rev. Virol. 6, 585–600 (2019).

102.  DeStefano, F., Bodenstab, H. M. & Offit, P. A. Principal controversies in vaccine safety in the United States. Clin. Infect. Dis. 69, 726–731 (2019).

103.  Moro, P. L., Haber, P. & McNeil, M. M. Challenges in evaluating post-licensure vaccine safety: observations from the Centers for Disease Control and Prevention. Expert Rev. Vaccines 18, 1091–1101 (2019).

104.  Peck, M. et al. Global routine vaccination coverage, 2018. MMWR Morb. Mortal. Wkly. Rep. 68, 937–942 (2019).

105.  World Health Organization. Immunization coverage. WHO https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/immunization-coverage (2020).

106.  World Health Organization. More than 9.4 million children vaccinated against typhoid fever in Sindh. WHO http://www.emro.who.int/pak/pakistan-news/more-than-94-children-vaccinated-with-typhoid-conjugate-vaccine-in-sindh.html (2019).

107.  World Health Organization. More than 140,000 die from measles as cases surge worldwide. WHO https://www.who.int/news-room/detail/05-12-2019-more-than-140-000-die-from-measles-as-cases-surge-worldwide (2019).

108.  World Health Organization. Disease outbreaks. WHO https://www.who.int/emergencies/diseases/en/ (2020).

109.  Rerks-Ngarm, S. et al. Vaccination with ALVAC and AIDSVAX to prevent HIV-1 infection in Thailand. N. Engl. J. Med. 361, 2209–2220 (2009).

110.  Fauci, A. S., Marovich, M. A., Dieffenbach, C. W., Hunter, E. & Buchbinder, S. P. Immunology. Immune activation with HIV vaccines. Science 344, 49–51 (2014).

111.  Agnandji, S. T. et al. A phase 3 trial of RTS,S/AS01 malaria vaccine in African infants. N. Engl. J. Med. 367, 2284–2295 (2012).

112.  Killeen, G. F. et al. Developing an expanded vector control toolbox for malaria elimination. BMJ Glob. Health 2, e000211 (2017).

113.  Osterholm, M. T., Kelley, N. S., Sommer, A. & Belongia, E. A. Efficacy and effectiveness of influenza vaccines: a systematic review and meta-analysis. Lancet Infect. Dis. 12, 36–44 (2012).

114.  Skowronski, D. M. et al. Low 2012–13 influenza vaccine effectiveness associated with mutation in the egg-adapted H3N2 vaccine strain not antigenic drift in circulating viruses. PLoS ONE 9, e92153 (2014).

115.  Raymond, D. D. et al. Conserved epitope on influenza-virus hemagglutinin head defined by a vaccine-induced antibody. Proc. Natl Acad. Sci. USA 115, 168–173 (2018).

116.  Tameris, M. D. et al. Safety and efficacy of MVA85A, a new tuberculosis vaccine, in infants previously vaccinated with BCG: a randomised, placebo-controlled phase 2b trial. Lancet 381, 1021–1028 (2013).

117.  Tait, D. R. et al. Final analysis of a trial of M72/AS01(E) vaccine to prevent tuberculosis. N. Engl. J. Med. 381, 2429–2439 (2019).

118.  Kobayashi, M. et al. WHO consultation on group B streptococcus vaccine development: report from a meeting held on 27–28 April 2016. Vaccine 37, 7307–7314 (2019).

119.  Inoue, N., Abe, M., Kobayashi, R. & Yamada, S. Vaccine development for cytomegalovirus. Adv. Exp. Med. Biol. 1045, 271–296 (2018).

120.  Schleiss, M. R., Permar, S. R. & Plotkin, S. A. Progress toward development of a vaccine against congenital cytomegalovirus infection. Clin. Vaccine Immunol. 24, e00268–e00317 (2017).

121.  World Health Organization. Ageing and health. WHO https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/ageing-and-health (2018).

122.  Rauch, S., Jasny, E., Schmidt, K. E. & Petsch, B. New vaccine technologies to combat outbreak situations. Front. Immunol. 9, 1963 (2018).

123.  Jeyanathan, M. et al. Immunological considerations for COVID-19 vaccine strategies. Nat. Rev. Immunol. 20, 615–632 (2020). This paper is an overview of COVID-19 vaccine development, with emphasis on underlying immunological mechanisms and potential scenarios for global development.

124.  Koff, W. C. & Schenkelberg, T. The future of vaccine development. Vaccine 38, 4485–4486 (2020).

125.  van Riel, D. & de Wit, E. Next-generation vaccine platforms for COVID-19. Nat. Mater. 19, 810–812 (2020).

126.  Rollier, C. S., Reyes-Sandoval, A., Cottingham, M. G., Ewer, K. & Hill, A. V. Viral vectors as vaccine platforms: deployment in sight. Curr. Opin. Immunol. 23, 377–382 (2011).

127.  Corbett, K. S. et al. SARS-CoV-2 mRNA vaccine design enabled by prototype pathogen preparedness. Nature 586, 567–571 (2020).

128.  Polack, F. P. et al. Safety and efficacy of the BNT162b2 mRNA Covid-19 vaccine. N. Engl. J. Med. https://doi.org/10.1056/NEJMoa2034577 (2020).

129.  Wallis, J., Shenton, D. P. & Carlisle, R. C. Novel approaches for the design, delivery and administration of vaccine technologies. Clin. Exp. Immunol. 196, 189–204 (2019).

130.  Zhang, C., Maruggi, G., Shan, H. & Li, J. Advances in mRNA vaccines for infectious diseases. Front. Immunol. 10, 594 (2019).

131.  Pardi, N., Hogan, M. J., Porter, F. W. & Weissman, D. mRNA vaccines — a new era in vaccinology. Nat. Rev. Drug Discov. 17, 261–279 (2018).

132.  Crank, M. C. et al. A proof of concept for structure-based vaccine design targeting RSV in humans. Science 365, 505–509 (2019). This paper presents a phase I trial demonstrating enhanced immunogenicity of the pre-F conformation of RSV surface protein, thereby providing a proof of concept for successful structure-based vaccine design.

133.  Mascola, J. R. & Fauci, A. S. Novel vaccine technologies for the 21st century. Nat. Rev. Immunol. 20, 87–88 (2020).

134.  Kanekiyo, M., Ellis, D. & King, N. P. New vaccine design and delivery technologies. J. Infect. Dis. 219, S88–S96 (2019).

135.  Peyraud, N. et al. Potential use of microarray patches for vaccine delivery in low- and middle-income countries. Vaccine 37, 4427–4434 (2019).

136.  Rouphael, N. G. et al. The safety, immunogenicity, and acceptability of inactivated influenza vaccine delivered by microneedle patch (TIV-MNP 2015): a randomised, partly blinded, placebo-controlled, phase 1 trial. Lancet 390, 649–658 (2017).

137.  Davenport, R. J., Satchell, M. & Shaw-Taylor, L. M. W. The geography of smallpox in England before vaccination: a conundrum resolved. Soc. Sci. Med. 206, 75–85 (2018).

SUMBER:

Andrew J. Pollard and Else M. Bijker. 2021.  A guide to vaccinology: from basic principles to new developments. Nature Reviews Immunology Voluve 21, Page 83-100.

 

 

No comments: