INVESTIGASI WABAH PENYAKIT PADA ITIK DI JAWA TENGAH,
YOGYAKARTA, DAN JAWA TIMUR : IDENTIFIKASI SEBUAH CLADE BARU VIRUS AVIAN
INFLUENZA SUBTIPE H5N1 DI INDONESIA
ABSTARCT
The Eurasian lineage of H5N1 viruses continue to cause highly
pathogenic avian influenza (HPAI) in poultry in some countries in Asia
and Africa. In Indonesia, H5N1 clade 2.1 viruses have been known to
cause all H5N1 HPAI outbreaks in which 2.1.3 clade viruses have
predominantly circulated in poultry in this country since 2005. Most
H5N1 HPAI outbreak occurs in chickens, whereas outbreak in other avian
species including ducks is rare. However, between September and
November 2012, several disease outbreaks were reported from duck farms
in three provinces in Java (Central Java, Yogyakarta and East Java)
with high morbidity and mortality seen in ducks. The majority of
disease cases found in young ducks, but in some occasions, adult ducks
were also affected. Neurological signs, whitish eye and death were the
main clinical signs in young ducks, while reduced in egg production
were frequently observed in affected laying ducks. Histopathology
showed acute necrotic to chronic non-suppurative encephalitis and
perivascular cuffing in dead or severe infected ducks.
Immunohistochemistry result showed H5N1 viral antigen detected mainly
in brain. H5N1 virus was successfully isolated either from tissues,
oropharyngeal and cloacal swabs or from feather samples. Avian
influenza subtype H5 viral RNA was detected by real-time reverse
transcription PCR. Phylogenetic analysis of hemagglutinin sequences of
seven H5N1 virus isolates indicated that these isolates belong to clade
2.3.2, a H5N1 sublineage that previously has not been detected in
Indonesia. Further analysis should be done to investigate whether the
emergence of this virus in Indonesia is due to new H5N1 viral
introduction or to mutation processes occurring in poultry. In
addition, another study is necessary to assess the pathogenecity of the
virus in ducks and other poultry, including chickens.
PENDAHULUAN
Penyakit highly pathogenic avian influenza (HPAI) yang disebabkan oleh virus avian influenza subtipe H5N1 diidentifikasi pada unggas sejak tahun 2003 (Dharmayanti et al., 2004; Wiyono et al.,
2004). Menurut klasifikasi WHO/OIE/FAO, semua virus H5N1 yang diisolasi
dari unggas dan manusia di Indonesia termasuk dalam clade 2.1. Virus
H5N1 yang predominan ditemu-kan sejak tahun 2005 sampai saat ini
ber-asal dari clade 2.1.3 (2.1.3.1, 2.1.3.2, dan 2.1.3.3). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa infeksi virus-virus H5N1 clade 2.1 pada
golongan ayam (gallinaceous) seperti ayam layer, ayam broiler,
ayam kampung bersifat sangat pathogen, menyebabkan sakit perakut dan
kematian dalam jumlah tinggi, sedangkan itik dan unggas air lainnya
relatif lebih tahan terhadap infeksi virus-virus ini (Bingham et al., 2009 ; Swayne, 2007; Wibawa et al., 2012).
Hasil-hasil studi ini sesuai dengan hasil investigasi BBVet/BPPV dan
beberapa sur-vei epidemiologi dan epidemiologi molekuler yang
menunjukkan bahwa tingkat prevalensi virus H5N1 clade 2.1 pada itik dan
unggas air lainnya di Indonesia sangat rendah dibandingkan prevalensi
virus pada ayam (Henning et al., 2010; Wibawa et al., 2011; Loth et al., 2011).
Pada bulan September-November 2012 dilaporkan terjadinya kasus kematian
yang cukup tinggi pada itik di daerah Jawa Tengah, DI Jogjakarta dan
Jawa Timur. Balai Besar Veteriner Wates (BBVet Wates) melakukan
invesitigasi di lapang dan melakukan pengambilan sampel guna
mengidentifikasi agen penyebab dari kematian itik tersebut. Makalah ini
bertujuan untuk mengidentifikasi agen penyebab dari penyakit infeksius
yang bersifat patogen terhadap itik.
MATERI DAN METODE
1. Penyidikan Kasus Penyakit
Penyidikan penyakit dilakukan dengan kegiatan aktif dimana tim BBVet
Wates melakukan respon secara aktif, berdasarkan laporan dari peternak
maupun dinas, untuk melakukan investigasi langsung di lokasi terjadinya
kasus. Selain aktif servis juga dengan pasif servis yaitu mengevaluasi
sampel kiriman dinas maupun perorangan (peternak), serta dengan
kegiatan semi aktif/pasif dimana sampel diambil pada saat tim BBVet
Wates mela-kukan kegiatan aktif servis pada kegiatan monitoring atau
surveilan penyakit hewan yang lain. Investigasi kasus penyakit di Jawa
Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur dilakukan dari bulan
September-November 2012 menindaklanjuti beberapa laporan kematian itik
di beberapa kabupaten di ketiga propinsi tersebut. Kronologi kasus
penyakit dijabarkan dalam Tabel 1.
Keterangan : Mortalitas dihitung berdasarkan jumlah kematian itik pada total populasi dalam sebuah peternakan, tc: tidak ada catatan karena berdasarkan laporan informal peternak, td: tidak dilakukan.
Beberapa informasi dari peternak juga menyebutkan bahwa wabah
kematian itik juga terjadi di beberapa kabupaten di Jawa Tengah
diantaranya Boyolali, Pati dan Rembang. Berdasarkan hasil investigasi
di lapangan dan laporan kematian dari pengantar sampel itik diperoleh
data bahwa rata-rata kematian itik adalah 39,3% dengan prosentase
terendah 8,3% dan kematian tertinggi mencapai 100,0%.
2. Uji Laboratorium
Pengujian laboratorium dilakukan di BBVet Wates untuk mengetahui
agen utama penyakit yang menyebabkan kasus kematian pada itik. Beberapa
pengujian dilakukan antara lain dengan uji bedah bangkai, Rapid Test AI, histopatologi, imunohistokimia, isolasi virus, konvensional polymerase chain reaction (PCR) untuk deteksi ND virus, realtime reverse transcription PCR (RT-PCR) untuk deteksi influenza virus ti-pe A dan subtipe H5 virus, kultur bakteri, dan uji serologi (titer AI dan ND).
Selain pengujian di laboratorium BBVet Wates, juga dilakukan uji
sekuensing DNA untuk mengetahui urutan nukleotida (asam nukleat) yang
menyusun gen hemagglutinin (HA) influenza A virus
dari sampel-sampel yang positif berdasarkan hasil isolasi virus H5N1
dan RT-PCR subtipe H5. Dari beberapa sample yang positif, sebanyak 3-7
sampel dikirim ke sequencing lab partner, yaitu Pusat
Veterinaria Farma (3 sampel itik), Balai Besar Penelitian Veteriner
Bogor (3 sampel), Balai Besar Pengujian dan Sertifikasi Obat Hewan
Bogor (7 sampel) dan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional
II Bukittinggi (7 sampel). Sampel itik No.1-3, dikirim kepada semua
sequencing lab partner, sedangkan No. 4-7 dikirim ke BBPMSOH dan BPPV
II Bukittinggi. Detil penaamaan isolat-isolat virus H5N1 dari itik
seperti di bawah ini :
No. 1 : A/duck/Sukoharjo/BBVW-1428-9/2012No. 2 : A/duck/Bantul/BBVW-1443-9/2012
No. 3 : A/duck/Sleman/BBVW-1463-10/2012
No. 4 : A/duck/Wonogiri/BBVW-1730-11/2012
No. 5 : A/duck/Blitar/BBVW-1731-11/2012
No. 6 : A/duck/Tegal/BBVW-1727-11/2012
No. 7: A/muscovy duck/Tegal/BBVW-1732-11/2012
Sekuensing DNA dilakukan dengan standard operation procedure (SOP) dari Australian Animal Health Laboratory (AAHL), Geelong Australia, menggunakan empat pasangan primer spesifik yang telah didesain oleh AAHL (AAHL, 2008). Primer-primer ini didesain untuk mensekuen keseluruhan fragment gen HA sehingga da-pat diperoleh full open reading frame (ORF) gen ini (AAHL, 2008).
DNASTAR Lasergene 8.0 software digunakan untuk assembly dan editing
sekuen-sekuen HA gen. Multiple alignment dilakukan dengan menggunakan
program ClustalW dalam software Bioedit (Hall, 1999). Konstruksi filogenetik dilakukan dalam MEGA 4 software (Tamura et al., 2007)
dengan metode Neighbour Joining (NJ) tree menggunakan 1000 bootstrap
replikasi dan Tamura-Nei93 (TN93) untuk model substitusi nucleotide.
Analisis jarak pasangan nukelotida dilakukan dengan p-distance model dengan 1000 bootsrap replikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui kemungkinan penyebab wabah kematian itik telah
dilakukan pemeriksaan dan pengujian di laboratorium baik dengan uji
cepat (Rapid Test) untuk AI, pemeriksaan secara klinis,
patologis anatomis, histopatologis, imunohistokimia dan pengujian
secara serologis, bakteriologis, virologi dan biologi molekular dengan
realtime RT-PCR menggunakan primer dan probe spesifik yang
mengidentifikasi AI subtipe H5. Hasil pengujian virologi dan molekular
biologi secara khusus disajikan dalam Table 2.
Pada
pemeriksaan secara klinis terhadap itik yang sakit, terlihat bahwa itik
yang sakit menunjukkan gejala klinis syaraf seperti tortikolis (Gambar
1), tremor, kesulitan berdiri, kehilangan keseimbangan saat berjalan
dan pada kasus parah disertai kematian. Hasil bedah bangkai tidak
ditemukan perubahan yang spesifik kecuali adanya kornea mata yang
keputihan baik unilateral maupun bilateral (Gambar 2), garis-garis
keputihan pada otot jantung yang bervariasi dari ringan sampai berat
serta adanya kongesti pada pembuluh darah dan malasea (nekrosis) pada
otak dengan variasi dari ringan sampai berat.
Pemeriksaan
histopatologis menunjukkan adanya infiltrasi limfosit dalam jumlah yang
tinggi pada otot jantung. Pada otak terjadi peradangan akut multifocal
nekrosis dan pada kasus yang lebih khronis terjadi infiltrasi limfosit
pada otak (Gambar 3) yang diikuti oleh adanya peradangan perivaskular
cuffing ringan sampai berat. Pada pewarnaan dengan metode
imunohistokimia dengan menggunakan antibodi AI H5N1 ditemukan adanya
antigen virus pada sel-sel neuron otak (Gambar 4).
Perubahan histopatologis dan hasil imunohistokimia ini mirip dengan
pengamatan pada pada perubahan mikroskopis pada itik-itik eksperimen
yang diinfeksi oleh isolat virus H5N1 dari clade 1 atau 2.1 (Bingham et al., 2009; Wibawa et al., 2012).
Tetapi virus-virus H5N1 yang diisolasi dari kasus itik baru-baru ini
terlihat memiliki tingkat keparahan lesi yang lebih tinggi dibanding
infeksi yang ditimbulkan virus-virus dari clade 2.1. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana
pathogenesitas isolat-isolat baru ini pada spesies unggas yang berbeda,
terutama ayam dan itik.
Pada
pemeriksaan kultur bakteri dari mata, cairan mata, otak, jantung dan
hati semua hasilnya negatif jamur dan bakteri pathogen. Hal ini
menunjukkan bahwa kemungkinan permasalahan kematian pada itik bukan
disebabkan oleh infeksi penyakit bakteri maupun jamur. Pada uji secara
serologis, dari 28 sampel serum itik yang diuji ditemukan 8 sampel
(28,6%) positif antibody AI H5 dan 12 sampel (42,9%) positif antibody
ND. Dengan adanya titer antibodi baik AI maupun ND pada serum itik, hal
ini menunjukkan bahwa itik kemung-kinan pernah divaksin atau pernah
terserang penyakit AI atau ND lapangan. Dari data hasil uji isolasi
virus ditemukan 1 kasus positif ND (sampel dari LDCC), 10 positif AI,
1 negatif isolasi dan sisanya 5 kasus masih dalam proses isolasi virus
(Tabel 2). Untuk isolat virus ND, uji coba telah dilakukan dengan
menyuntikkan isolat virus yang bersangkutan pada itik se-cara intra
vena, namun demikian setelah 3 minggu itik tidak mati dan timbul
antibodi ND dengan titer yang cukup tinggi (titer HI 25).
Hasil ini mengidikasikan bahwa isolat virus ND yang ditemukan bukan
penyebab wabah kematian itik. Pada pemeriksaan dengan metode PCR, dari
17 kasus itik, 11 kasus dilakukan uji PCR dan diperoleh data sebagai
berikut: 9 sampel positif H5 viral RNA, 9 negatif ND viral RNA, satu
sampel yang negatif baik H5 maupun ND, dan satu sisanya masih dalam
proses pengujian (Tabel 2). Hasil pengujian molekular ini memperkuat
dugaan penyebab wabah kematian yang terjadi pada itik adalah virus AI
subtipe H5.
Hasil sekuen DNA menunjukkan bahwa ORF dari gen HA dari virus ini adalah 1707 pasangan basa (base pairs)
dan ini mengkode 569 asam amino dari HA protein. Ketujuh isolat
memiliki kesamaan genetik yang tinggi, yaitu 99% baik itu pada tingkat
kesamaan genetik nucleotida maupun asam amino. Hasil analisis Basic Local Alignment Search Tools (BLAST) di Genbank dan jarak genetik menggunakan Mega 4 Software (Tamura et al., 2007)
menunjukkan bahwa ketujuh isolat-isolat H5N1 itik ini memiliki tingkat
homologi sebesar 97-98% dengan virus-virus H5N1 clade 2.3.2.1.
Sebaliknya, berdasarkan, tingkat homologi dengan virus-virus dari
clade 2.1 rendah sekitar 91-93%. Hasil ini mengindikasikan bahwa
isolat-isolat H5N1 dari itik ini bukan berasal dari Indonesian clade
2.1.
Analisis sekuen HA protein menunjukkan bahwa ketujuh isolat itik
memiliki motif sekuen asam amino basic yang berulang daerah tapak
pemotongan enzim protease (proteolitic cleavage site) yang identik dengan virus-virus dari clade 2.3.2.1, yaitu PQRERRRKR (Li et al., 2011) (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan bahwa virus-virus yang diisolasi dari itik ini memiliki kharakteristik HPAI virus (Perdue et al., 1997; Senne et al., 1996).
Untuk
melihat klasifikasi H5N1 isolat-isolat yang diisolasi dari itik,
dilakukan analisis filogenetik menggunakan Neighbor-Joining (NJ) Tree
dengan TN93 model subtitusi nekleotida menggunakan 1000 bootstrap
replikasi. Hasil pohon filogenetik menunjukkan bahwa isolat-isolat itik
termasuk dalam clade 2.3.2 dan berada pada cabang filogenetik dalam
clade 2.3.2.1 (Gambar 6). Selanjutnya, untuk melihat apakah virus-virus
ini masih dalam satu galur (lineage) dengan clade 2.3.2.1,
maka dilakukan uji keragaman genetik untuk mengetahui jarak rata-rata
pasangan nukleotida isolat-isolat itik ini dengan virus-virus dari
clade 2.3.2.1. WHO/OIE/FAO H5N1 Evolution Working Group (WHO, 2008; WHO, 2012)
telah membuat ketentuan klasifikasi H5N1 clade sebagai berikut: 1)
Digolongkan sebuah clade baru jika memiliki rata-rata persentase jarak
(keragaman) pasangan nucleotida antar spesies (average pairwise distance) lebih dari 1.5% dari clade yang telah ada dan ter-definisi sebelumnya, 2) Hasil analisis phylogenetic dan keragaman HA sequence menunjukkan sharing common ancestral node dengan nilai bootstrap > 60% pada nodus filogenetik yang menunjukkan clade (setelah 1000 neighbour-joining bootstrap replicates).
Gambar 6. Pohon
filogenetik dari isolat-isolat H5N1 yang diisolasi dari itik (3 isolate
dipake untuk analisis). Analisis menggunakan NJ tree, dengan model
substitusi nukleotida Tamura-Nei (TN93) dengan 1000 boostrap replikasi.
Pohon filogenetikdirootkan pada A/goose/ Guangdong/1/96 (H5N1). Isolat-isolat H5N1 dari kasus itik diberi warna merah.
Analisis filogenetik dan keragaman genetik dengan menggunakan MEGA
4.0 software menunjukkan bahwa rata-rata jarak pasangan nucleotida
antar sesama isolat itik adalah 0.3% yang berarti bahwa ketujuh isolat
H5N1 dari kasus itik ini masih berada dalam satu grup, tetapi rata-rata
jarak pasangan nucleotida dengan group atau kluster lain dalam clade
2.3.2.1 (grup 1, grup 2 dan grup 3) adalah lebih dari 1.5 % (2.3-4.6%)
(Gambar 6). Meskipun rata-rata jarak pasangan nukletida antara isolat
itik ini lebih dari 1.5% dari grup lain dalam clade 2.3.2.1, semua
isolat virus ini masih share satu common ancestral node dari
clade 2.3.2. Hasil ini mengindikasikan bahwa ada kemungkinan
isolat-isolat itik adalah atau berasal dari sebuah group atau cluster
filogenetik baru dalam clade 2.3.2 (Gambar 6). Sampai saat ini
diketahui bahwa hanya virus-virus yang berasal da-ri clade 2.1 yang
menyerang unggas dan manusia di Indonesia. Dengan penemuan clade H5N1
baru di Indonesia, khususnya di daerah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa
Timur, menunjukkan adanya kemungkinan introduksi virus baru ke
Indonesia. Tetapi terjadinya awal introduksi, spesies hewan yang
terlibat, dan faktor-faktor penyebab munculnya virus ini sehingga
mengakibatkan kematian pada itik-itik di ketiga daerah di Jawa tersebut
belum diketahui. Untuk mengetahui hal ini perlu diadakan kajian
retrospektif baik secara epidemiologi dan molekular epidemiologi. Hal
yang lebih penting adalah perlu ditingkatkan perhatian (awareness)
dan monitoring atas kemungkinan adanya perluasan virus ini ke wilayah
lain di Indonesia melalui lalu lintas unggas ataupun produknya. Untuk
mencegah penyebaran kasus, perlu dilakukan tindakan pengendalian
diantaranya depopuasi atau culling pada unggas itik yang
terinfeksi dan pembatasan serta pengawasan ketat lalu lintas itik dan
produknya dari dan ke dalam ketiga daerah tersebut di atas.
KESIMPULAN DAN SARAN
- Berdasarkan data hasil uji laboratorium disimpulkan bahwa diduga penyebab wabah kematian itik yang saat ini terjadi di Provinsi Jawa tengah, D.I.Yogyakarta dan Jawa Timur adalah penyakit AI subtipe H5N1.
- Tujuh isolat H5N1 virus yang telah disekuensing diduga bukan berasal dari garis keturunan H5N1 virus clade 2.1 yang telah endemis pada unggas di Indonesia.
- Isolat-isolat H5N1 virus yang diisolasi dari itik ini memiliki tingkat kekerabatan yang lebih tinggi terhadap virus-virus dari clade 2.3.2.1 (97-98% nucleic acid similarity) dibandingkan kekerabatan terhadap virus-virus dari clade 2.1 (91-93%).
- Berdasarkan analisis filogenetik, isolat-isolat H5N1 virus yang diisolasi dari itik ini termasuk dalam clade 2.3.2.
- Berdasarkan analisis keragaman genetik sekuen nukleotida gen HA, tidak menutup kemungkinan jika isolat-isolat virus ini tergolong ke dalam sebuah group (sublineage) baru tetapi masih termasuk dalam clade 2.3.2. Hal ini perlu pembuktian dengan analisis yang lebih akurat dan komprehensif melibatkan lebih banyak isolat virus.
- Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya clade 2.3.2 ke Indonesia perlu diteliti lebih lanjut, apakah hal ini disebabkan oleh introduksi virus baru ke Indonesia.
- Perlu ditingkatkan monitoring pada unggas (ayam dan unggas air) tentang sirkulasi virus-virus yang menyerupai clade 2.3.2 dan endemisitas HPAI yang diakibatkannya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Kesehatan Hewan,
Kepala BBVet Wates, Kepala BPPV Regional II Bukittingi, Kepala
BBalitvet, Kepala Pusvetma dan Kepala BBPMSOH atas masukan dan dukungan
yang diberikan dalam penulisan artikel ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Australian Animal
Health Laboratory (AAHL), Geelong, Australia dan FAO-OIE OFFLU Project
yang telah membantu peningkatan kapasitas pengujian dan pengembangan
diagnosis AI dan sequensing DNA di laboratorium-laboratorium pada unit
pelayanan teknis di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Indonesia. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak, khususnya Dinas Pertanian/Peternakan dan Kesehatan Hewan di
kabupaten dan juga peternak yang telah membantu dalam investigasi
penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Bingham, J., Green, D. J., Lowther, S., Klippel, J., Burggraaf, S., Anderson, D. E., Wibawa, H., Hoa, D. M., Long, N. T., Vu, P. P., Middleton, D. J. &Daniels, P. W. 2009. Infection studies with two highly pathogenic avian influenza strains (Vietnamese and Indonesian) in Pekin ducks (Anas platyrhynchos), with particular reference to clinical disease, tissue tropism and viral shedding. Avian Pathol 38(4): 267-278.
Dharmayanti, NLP.I., Damayanti, R., Wiyono, A., Indriani, R., dan Darminto. 2004. Identifikasi virus avian influenza virus isolat Indonesia dengan metode reverse transcripatese polymerase chain reaction RT-PCR. JITV. 9. 2 : 136-142
Hall, T. 1999. BioEdit: a user-friendly biological sequence alignment editor and analysis program for Windows 95/98/NT. Nucleic Acids Symp Ser 41: 95-98.
Henning, J., Wibawa, H., Morton, J., Usman, T. B., Junaidi, A. &Meers, J. 2010. Scavenging ducks and transmission of highly pathogenic avian influenza, Java, Indonesia. Emerg Infect Dis 16(8): 1244-1250.
Li, Y., Liu, L., Zhang, Y., Duan, Z., Tian, G., Zeng, X., Shi, J., Zhang, L. &Chen, H. 2011. New avian influenza virus (H5N1) in wild birds, Qinghai, China. Emerg Infect Dis 17(2): 265-267.
Loth, L., Gilbert, M., Wu, J., Czarnecki, C., Hidayat, M. &Xiao, X. 2011. Identifying risk factors of highly pathogenic avian influenza (H5N1 subtype) in Indonesia. Prev Vet Med 102(1): 50-58.
Perdue, M. L., Garcia, M., Senne, D. &Fraire, M. 1997. Virulence-associated sequence duplication at the hemagglutinin cleavage site of avian influenza viruses. Virus Res 49(2): 173-186.
Senne, D. A., Panigrahy, B., Kawaoka, Y., Pearson, J. E., Suss, J., Lipkind, M., Kida, H. &Webster, R. G. 1996. Survey of the hemagglutinin (HA) cleavage site sequence of H5 and H7 avian influenza viruses: amino acid sequence at the HA cleavage site as a marker of pathogenicity potential. Avian Dis 40(2): 425-437.
Swayne, D. E. 2007. Understanding the complex pathobiology of high pathogenicity avian influenza viruses in birds. Avian Dis 51(1 Suppl): 242-249.
Tamura, K., Dudley, J., Nei, M. &Kumar, S. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. . Molecular Biology and Evolution 24: 1596-1599.
WHO. 2008. Toward a unified nomenclature system for highly pathogenic avian influenza virus (H5N1). Emerg Infect Dis 14(7): e1.
WHO. 2012. Continued evolution of highly pathogenic avian influenza A (H5N1): updated nomenclature. WHO/OIE/FAO H5N1 Evolution Working Group. Influenza Other Respi Viruses 6(1): 1-5.
Wibawa, H., Bingham, J., Nuradji, H., Lowther, S., Payne, J., Harper, J., Wong, F., Lunt, R., Junaidi, A., Middleton, D. &Meers, J. 2012. The pathobiology of two Indonesian H5N1 avian influenza viruses representing different clade 2.1 sublineages in chickens and ducks Comp Immunol Microbiol Infect Dis. In Press.
Wibawa, H., Henning, J., Wong, F., Selleck, P., Junaidi, A., Bingham, J., Daniels, P. &Meers, J. 2011. A molecular and antigenic survey of H5N1 highly pathogenic avian influenza virus isolates from smallholder duck farms in Central Java, Indonesia during 2007-2008. Virol J 8: 425.
Wiyono, A., Indriani, R., Dharmayanti, N.L.P.I., Damayanti, R., dan Darminto. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Virus Highly Pathogenic Avian Influenza subtipe H5 dari ayam asal Wabah di Indonesia. JITV. 9.1 : 61-71
Artikel ditulis oleh :
Hendra Wibawa, Walujo Budi Prijono dan Sri Handayani Irianingsih : Balai Besar Veteriner Wates
Ni Luh Putu Indi Dharmayanti : Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor
Yuli Miswati dan Kiki Safitria : Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Bukittinggi
Anieka Rohmah dan Rosmalina Sari Dewi Daulay : Pusat Veterinaria Farma, Surabaya
Ernes Andesyha dan Romlah : Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Bogor
No comments:
Post a Comment