Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 20 December 2012

Identifikasi Virus AI pada Itik ckade 2.3.2 di Indonesia

INVESTIGASI WABAH  PENYAKIT PADA ITIK DI JAWA TENGAH, YOGYAKARTA, DAN JAWA TIMUR : IDENTIFIKASI SEBUAH CLADE BARU VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 DI INDONESIA

ABSTARCT

The Eurasian lineage of H5N1 viruses continue to cause highly pathogenic avian influenza (HPAI) in poultry in some countries in Asia and Africa. In Indonesia, H5N1 clade 2.1 viruses have been known to cause all H5N1 HPAI outbreaks in which 2.1.3 clade viruses have predominantly circulated in poultry in this country since 2005. Most H5N1 HPAI outbreak occurs in chickens, whereas outbreak in other avian species including ducks is rare. However, between September and November 2012, several disease outbreaks were reported from duck farms in three provinces in Java (Central Java, Yogyakarta and East Java) with high morbidity and mortality seen in ducks. The majority of disease cases found in young ducks, but in some occasions, adult ducks were also affected. Neurological signs, whitish eye and death were the main clinical signs in young ducks, while reduced in egg production were frequently observed in affected laying ducks. Histopathology showed acute necrotic to chronic non-suppurative encephalitis and perivascular cuffing in dead or severe infected ducks. Immunohistochemistry result showed H5N1 viral antigen detected mainly in brain.  H5N1 virus was successfully isolated either from tissues, oropharyngeal and cloacal swabs or from feather samples. Avian influenza subtype H5 viral RNA was detected by real-time reverse transcription PCR. Phylogenetic analysis of hemagglutinin sequences of seven H5N1 virus isolates indicated that these isolates belong to clade 2.3.2, a H5N1 sublineage that previously has not been detected in Indonesia. Further analysis should be done to investigate whether the emergence of this virus in Indonesia is due to new H5N1 viral introduction or to mutation processes occurring in poultry. In addition, another study is necessary to assess the pathogenecity of the virus in ducks and other poultry, including chickens.

PENDAHULUAN

Penyakit highly pathogenic avian influenza (HPAI) yang disebabkan oleh virus avian influenza subtipe H5N1 diidentifikasi pada unggas sejak tahun 2003 (Dharmayanti et al., 2004; Wiyono et al., 2004). Menurut klasifikasi WHO/OIE/FAO, semua virus H5N1 yang diisolasi dari unggas dan manusia di Indonesia termasuk dalam clade 2.1. Virus H5N1 yang predominan ditemu-kan sejak tahun 2005 sampai saat ini ber-asal dari clade 2.1.3 (2.1.3.1, 2.1.3.2, dan 2.1.3.3). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi virus-virus H5N1 clade 2.1 pada golongan ayam (gallinaceous) seperti ayam layer, ayam broiler, ayam kampung bersifat sangat pathogen, menyebabkan sakit perakut dan kematian dalam jumlah tinggi, sedangkan itik dan unggas air lainnya relatif lebih tahan terhadap infeksi virus-virus ini (Bingham et al., 2009 ; Swayne, 2007; Wibawa et al., 2012). Hasil-hasil studi ini sesuai dengan hasil investigasi BBVet/BPPV dan beberapa sur-vei epidemiologi dan epidemiologi molekuler yang menunjukkan bahwa tingkat prevalensi virus H5N1 clade 2.1 pada itik dan unggas air lainnya di Indonesia sangat rendah dibandingkan prevalensi virus pada ayam (Henning et al., 2010; Wibawa et al., 2011; Loth et al., 2011). Pada bulan September-November 2012 dilaporkan terjadinya kasus kematian yang cukup tinggi pada itik di daerah Jawa Tengah, DI Jogjakarta dan Jawa Timur.  Balai Besar Veteriner Wates (BBVet Wates) melakukan invesitigasi di lapang dan melakukan pengambilan sampel guna mengidentifikasi agen penyebab dari kematian itik tersebut. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi agen penyebab dari penyakit infeksius yang bersifat patogen terhadap itik. 

MATERI DAN METODE

1. Penyidikan Kasus Penyakit

Penyidikan penyakit dilakukan dengan kegiatan aktif dimana tim BBVet Wates melakukan respon secara aktif, berdasarkan laporan dari peternak maupun dinas, untuk melakukan investigasi langsung di lokasi terjadinya kasus. Selain aktif servis juga dengan pasif servis yaitu mengevaluasi sampel kiriman dinas maupun perorangan (peternak), serta dengan kegiatan semi aktif/pasif dimana sampel diambil pada saat tim BBVet Wates mela-kukan kegiatan aktif servis pada kegiatan monitoring atau surveilan penyakit hewan yang lain. Investigasi kasus penyakit di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur dilakukan dari bulan September-November 2012 menindaklanjuti beberapa laporan kematian itik di beberapa kabupaten di ketiga propinsi tersebut. Kronologi kasus penyakit dijabarkan dalam Tabel 1.
Keterangan :     Mortalitas dihitung berdasarkan jumlah kematian itik pada total populasi dalam sebuah peternakan, tc: tidak ada catatan karena berdasarkan laporan informal peternak, td: tidak dilakukan.
Beberapa informasi dari peternak juga menyebutkan bahwa wabah kematian itik juga terjadi di beberapa kabupaten di Jawa Tengah diantaranya Boyolali, Pati dan Rembang.  Berdasarkan hasil investigasi di lapangan dan laporan kematian dari pengantar sampel itik diperoleh data bahwa rata-rata kematian itik adalah 39,3% dengan prosentase terendah 8,3% dan kematian tertinggi mencapai 100,0%. 

2. Uji Laboratorium

Pengujian laboratorium dilakukan di BBVet Wates untuk mengetahui agen utama penyakit yang menyebabkan kasus kematian pada itik. Beberapa pengujian dilakukan antara lain dengan uji bedah bangkai, Rapid Test AI, histopatologi, imunohistokimia, isolasi virus, konvensional polymerase chain reaction (PCR) untuk deteksi ND virus, realtime reverse transcription PCR (RT-PCR)  untuk deteksi influenza virus ti-pe A dan subtipe H5 virus, kultur bakteri, dan uji serologi (titer AI dan ND).

 Selain pengujian di laboratorium BBVet Wates, juga dilakukan uji sekuensing DNA untuk mengetahui urutan nukleotida (asam nukleat) yang menyusun gen hemagglutinin (HA) influenza A virus dari sampel-sampel yang positif berdasarkan hasil isolasi virus H5N1 dan RT-PCR subtipe H5. Dari beberapa sample yang positif, sebanyak 3-7 sampel dikirim ke sequencing lab partner, yaitu Pusat Veterinaria Farma (3 sampel itik), Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor (3 sampel), Balai Besar Pengujian dan Sertifikasi Obat Hewan Bogor (7 sampel) dan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional II Bukittinggi (7 sampel). Sampel itik No.1-3, dikirim kepada semua sequencing lab partner, sedangkan No. 4-7 dikirim ke BBPMSOH dan BPPV II Bukittinggi. Detil penaamaan isolat-isolat virus H5N1 dari itik seperti di bawah ini :
No. 1 : A/duck/Sukoharjo/BBVW-1428-9/2012
No. 2 : A/duck/Bantul/BBVW-1443-9/2012
No. 3 : A/duck/Sleman/BBVW-1463-10/2012
No. 4 : A/duck/Wonogiri/BBVW-1730-11/2012
No. 5 : A/duck/Blitar/BBVW-1731-11/2012
No. 6 : A/duck/Tegal/BBVW-1727-11/2012
No. 7: A/muscovy duck/Tegal/BBVW-1732-11/2012

Sekuensing DNA dilakukan dengan standard operation procedure (SOP) dari Australian Animal Health Laboratory (AAHL), Geelong Australia, menggunakan empat pasangan primer spesifik yang telah didesain oleh AAHL (AAHL, 2008). Primer-primer ini didesain untuk mensekuen keseluruhan fragment gen HA sehingga da-pat diperoleh full open reading frame (ORF) gen ini (AAHL, 2008).

3. Analisis sekuen dan filogenetik

 DNASTAR Lasergene 8.0 software digunakan untuk assembly dan editing sekuen-sekuen HA gen. Multiple alignment dilakukan dengan menggunakan program ClustalW dalam software Bioedit (Hall, 1999). Konstruksi filogenetik dilakukan dalam MEGA 4 software (Tamura et al., 2007) dengan metode Neighbour Joining (NJ) tree menggunakan 1000 bootstrap replikasi dan Tamura-Nei93 (TN93) untuk model substitusi nucleotide. Analisis jarak pasangan nukelotida dilakukan dengan p-distance model dengan 1000 bootsrap replikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian laboratorium

Untuk mengetahui kemungkinan penyebab wabah kematian itik telah dilakukan pemeriksaan dan pengujian di laboratorium baik dengan uji cepat (Rapid Test) untuk AI, pemeriksaan secara klinis, patologis anatomis, histopatologis, imunohistokimia dan pengujian secara serologis, bakteriologis, virologi dan biologi molekular dengan realtime RT-PCR menggunakan primer dan probe spesifik yang mengidentifikasi AI subtipe H5. Hasil pengujian virologi dan molekular biologi secara khusus disajikan dalam Table 2. 
 
Pada pemeriksaan secara klinis terhadap itik yang sakit, terlihat bahwa itik yang sakit menunjukkan gejala klinis syaraf seperti tortikolis (Gambar 1), tremor, kesulitan berdiri, kehilangan keseimbangan saat berjalan dan pada kasus parah disertai kematian. Hasil bedah bangkai tidak ditemukan perubahan yang spesifik kecuali adanya kornea mata yang keputihan baik unilateral maupun bilateral (Gambar 2), garis-garis keputihan pada otot jantung yang bervariasi dari ringan sampai berat serta adanya kongesti pada pembuluh darah dan malasea (nekrosis) pada otak dengan variasi dari ringan sampai berat.
 
Pemeriksaan histopatologis menunjukkan adanya infiltrasi limfosit dalam jumlah yang tinggi pada otot jantung. Pada otak terjadi peradangan akut multifocal nekrosis dan pada kasus yang lebih khronis terjadi infiltrasi limfosit pada otak (Gambar 3) yang diikuti oleh adanya peradangan perivaskular cuffing ringan sampai berat. Pada pewarnaan dengan metode imunohistokimia dengan menggunakan antibodi AI H5N1 ditemukan adanya antigen virus pada sel-sel neuron otak (Gambar 4). 

Perubahan histopatologis dan hasil imunohistokimia ini mirip dengan pengamatan pada pada perubahan mikroskopis pada itik-itik eksperimen yang diinfeksi oleh isolat virus H5N1 dari clade 1 atau 2.1 (Bingham et al., 2009; Wibawa et al., 2012). Tetapi virus-virus H5N1 yang diisolasi dari kasus itik baru-baru ini terlihat memiliki tingkat keparahan lesi yang lebih tinggi dibanding infeksi yang ditimbulkan virus-virus dari clade 2.1. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana pathogenesitas isolat-isolat baru ini pada spesies unggas yang berbeda, terutama ayam dan itik.

Pada pemeriksaan kultur bakteri dari mata, cairan mata, otak, jantung dan hati semua hasilnya negatif jamur dan bakteri pathogen. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan permasalahan kematian pada itik bukan disebabkan oleh infeksi penyakit bakteri maupun jamur. Pada uji secara serologis, dari 28 sampel serum itik yang diuji ditemukan 8 sampel (28,6%) positif antibody AI H5 dan 12 sampel (42,9%) positif antibody ND. Dengan adanya titer antibodi baik AI maupun ND pada serum itik, hal ini menunjukkan bahwa itik kemung-kinan pernah divaksin atau pernah terserang penyakit AI atau ND lapangan. Dari data hasil uji isolasi virus  ditemukan 1 kasus positif ND (sampel dari LDCC), 10 positif AI, 1 negatif isolasi  dan sisanya 5 kasus masih dalam proses isolasi virus (Tabel 2). Untuk isolat virus ND, uji coba telah dilakukan dengan menyuntikkan isolat virus yang bersangkutan pada itik se-cara intra vena, namun demikian setelah 3 minggu itik tidak mati dan timbul antibodi ND dengan titer yang cukup tinggi (titer HI 25). Hasil ini mengidikasikan bahwa isolat virus ND yang ditemukan bukan penyebab wabah kematian itik. Pada pemeriksaan dengan metode PCR, dari 17 kasus itik, 11 kasus dilakukan uji PCR dan diperoleh data sebagai berikut: 9 sampel positif H5 viral RNA, 9 negatif ND viral RNA, satu sampel yang negatif baik H5 maupun ND, dan satu sisanya masih dalam proses pengujian (Tabel 2). Hasil pengujian molekular ini memperkuat dugaan penyebab wabah kematian yang terjadi pada itik adalah virus AI subtipe H5.

Analisis Sekuen dan Filogenetik Gen Hemagglutinin

Hasil sekuen DNA menunjukkan bahwa ORF dari gen HA dari virus ini adalah 1707 pasangan basa (base pairs) dan ini mengkode 569 asam amino dari HA protein. Ketujuh isolat memiliki kesamaan genetik yang tinggi, yaitu 99% baik itu pada tingkat kesamaan genetik nucleotida maupun asam amino. Hasil analisis Basic Local Alignment Search Tools (BLAST) di Genbank dan jarak genetik menggunakan Mega 4 Software (Tamura et al., 2007) menunjukkan bahwa ketujuh isolat-isolat H5N1 itik ini memiliki tingkat homologi sebesar 97-98% dengan virus-virus H5N1 clade 2.3.2.1. Sebaliknya, berdasarkan,  tingkat homologi dengan virus-virus dari clade 2.1 rendah sekitar 91-93%. Hasil ini mengindikasikan bahwa isolat-isolat H5N1 dari itik ini bukan berasal dari Indonesian clade 2.1.

Analisis sekuen HA protein menunjukkan bahwa ketujuh isolat itik memiliki motif sekuen asam amino basic yang berulang daerah tapak pemotongan enzim protease (proteolitic cleavage site) yang identik dengan virus-virus dari clade 2.3.2.1, yaitu PQRERRRKR (Li et al., 2011)  (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan bahwa virus-virus yang diisolasi dari itik ini memiliki kharakteristik HPAI virus (Perdue et al., 1997; Senne et al., 1996).

Untuk melihat klasifikasi H5N1 isolat-isolat yang diisolasi dari itik, dilakukan analisis filogenetik menggunakan Neighbor-Joining (NJ) Tree dengan TN93 model subtitusi nekleotida menggunakan 1000 bootstrap replikasi. Hasil pohon filogenetik menunjukkan bahwa isolat-isolat itik termasuk dalam clade 2.3.2 dan berada pada cabang filogenetik dalam clade 2.3.2.1 (Gambar 6). Selanjutnya, untuk melihat apakah virus-virus ini masih dalam satu galur (lineage) dengan clade 2.3.2.1, maka dilakukan uji keragaman genetik untuk mengetahui jarak rata-rata pasangan nukleotida isolat-isolat itik ini dengan virus-virus dari clade 2.3.2.1. WHO/OIE/FAO H5N1 Evolution Working Group (WHO, 2008; WHO, 2012) telah membuat ketentuan klasifikasi H5N1 clade sebagai berikut: 1) Digolongkan sebuah clade baru jika memiliki rata-rata persentase jarak (keragaman) pasangan nucleotida antar spesies (average pairwise distance) lebih dari 1.5%  dari clade yang telah ada dan ter-definisi sebelumnya, 2)  Hasil  analisis phylogenetic dan keragaman HA sequence  menunjukkan sharing common ancestral node dengan nilai  bootstrap > 60% pada nodus filogenetik yang menunjukkan clade (setelah 1000 neighbour-joining bootstrap replicates).
Gambar 6. Pohon filogenetik dari isolat-isolat H5N1 yang diisolasi dari itik (3 isolate dipake untuk analisis). Analisis menggunakan NJ tree, dengan model substitusi nukleotida Tamura-Nei (TN93) dengan 1000 boostrap replikasi. Pohon filogenetikdirootkan pada A/goose/ Guangdong/1/96 (H5N1). Isolat-isolat H5N1 dari kasus itik diberi warna merah.

Analisis filogenetik dan keragaman genetik dengan menggunakan MEGA 4.0 software menunjukkan bahwa rata-rata jarak pasangan nucleotida antar sesama isolat itik adalah 0.3% yang berarti bahwa ketujuh isolat H5N1 dari kasus itik ini masih berada dalam satu grup, tetapi rata-rata jarak pasangan nucleotida dengan group atau kluster lain dalam clade 2.3.2.1 (grup 1, grup 2 dan grup 3) adalah lebih dari 1.5 % (2.3-4.6%) (Gambar 6). Meskipun rata-rata jarak pasangan nukletida antara isolat itik ini lebih dari 1.5% dari grup lain dalam clade 2.3.2.1, semua isolat virus ini masih share satu common ancestral node dari clade 2.3.2. Hasil ini mengindikasikan bahwa ada kemungkinan isolat-isolat itik adalah atau berasal dari sebuah group atau cluster filogenetik baru dalam clade 2.3.2 (Gambar 6). Sampai saat ini diketahui bahwa hanya virus-virus yang berasal da-ri clade 2.1 yang menyerang unggas dan manusia di Indonesia. Dengan penemuan clade H5N1 baru di Indonesia, khususnya di daerah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, menunjukkan adanya kemungkinan introduksi virus baru ke Indonesia. Tetapi terjadinya awal introduksi, spesies hewan yang terlibat, dan faktor-faktor penyebab munculnya virus ini sehingga mengakibatkan kematian pada itik-itik di ketiga daerah di Jawa tersebut belum diketahui. Untuk mengetahui hal ini perlu diadakan kajian retrospektif baik secara epidemiologi dan molekular epidemiologi. Hal yang lebih penting adalah perlu ditingkatkan perhatian (awareness) dan monitoring atas kemungkinan adanya perluasan virus ini ke wilayah lain di Indonesia melalui lalu lintas unggas ataupun produknya. Untuk mencegah penyebaran kasus, perlu dilakukan tindakan pengendalian diantaranya depopuasi atau culling pada unggas itik yang terinfeksi dan pembatasan serta pengawasan ketat lalu lintas itik dan produknya dari dan ke dalam ketiga daerah tersebut di atas.
KESIMPULAN DAN SARAN
  1. Berdasarkan data hasil uji laboratorium disimpulkan bahwa diduga penyebab wabah kematian itik yang saat ini terjadi di Provinsi Jawa tengah, D.I.Yogyakarta dan Jawa Timur adalah penyakit AI subtipe H5N1.
  2. Tujuh isolat H5N1 virus yang telah disekuensing diduga bukan berasal dari garis keturunan H5N1 virus clade 2.1 yang telah endemis pada unggas di Indonesia.
  3. Isolat-isolat H5N1 virus yang diisolasi dari itik ini memiliki tingkat kekerabatan yang lebih tinggi terhadap virus-virus dari clade 2.3.2.1 (97-98% nucleic acid similarity) dibandingkan kekerabatan terhadap virus-virus dari clade 2.1 (91-93%).
  4. Berdasarkan analisis filogenetik, isolat-isolat H5N1 virus yang diisolasi dari itik ini termasuk dalam clade 2.3.2.
  5. Berdasarkan analisis keragaman genetik sekuen nukleotida gen HA, tidak menutup kemungkinan jika isolat-isolat virus ini tergolong ke dalam sebuah group (sublineage) baru tetapi masih termasuk dalam clade 2.3.2. Hal ini perlu pembuktian dengan analisis yang lebih akurat dan komprehensif melibatkan lebih banyak isolat virus.
  6. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya clade 2.3.2 ke Indonesia perlu diteliti lebih lanjut, apakah hal ini disebabkan oleh introduksi virus baru ke Indonesia.
  7. Perlu ditingkatkan monitoring pada unggas (ayam dan unggas air) tentang sirkulasi virus-virus yang menyerupai clade 2.3.2  dan endemisitas HPAI yang diakibatkannya.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Kesehatan Hewan, Kepala BBVet Wates, Kepala BPPV Regional II Bukittingi, Kepala BBalitvet, Kepala Pusvetma dan Kepala BBPMSOH atas masukan dan dukungan yang diberikan dalam penulisan artikel ini.  Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Australian Animal Health Laboratory (AAHL), Geelong, Australia dan FAO-OIE OFFLU Project yang telah membantu peningkatan kapasitas pengujian dan pengembangan diagnosis AI dan sequensing DNA di laboratorium-laboratorium pada unit pelayanan teknis di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Indonesia. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, khususnya Dinas Pertanian/Peternakan dan Kesehatan Hewan di kabupaten dan juga peternak yang telah membantu dalam investigasi penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

AAHL. 2008. Sequencing of Avian Influenza. CSIRO-Australian Animal Health Laboratory (AAHL),Geelong, Australia.
Bingham, J., Green, D. J., Lowther, S., Klippel, J., Burggraaf, S., Anderson, D. E., Wibawa, H., Hoa, D. M., Long, N. T., Vu, P. P., Middleton, D. J. &Daniels, P. W. 2009. Infection studies with two highly pathogenic avian influenza strains (Vietnamese and Indonesian) in Pekin ducks (Anas platyrhynchos), with particular reference to clinical disease, tissue tropism and viral shedding. Avian Pathol 38(4): 267-278.
Dharmayanti, NLP.I., Damayanti, R., Wiyono, A., Indriani, R., dan Darminto. 2004. Identifikasi virus avian influenza virus isolat Indonesia dengan metode reverse transcripatese polymerase chain reaction RT-PCR. JITV. 9. 2 : 136-142
Hall, T. 1999. BioEdit: a user-friendly biological sequence alignment editor and analysis program for Windows 95/98/NT. Nucleic Acids Symp Ser 41: 95-98.
Henning, J., Wibawa, H., Morton, J., Usman, T. B., Junaidi, A. &Meers, J. 2010. Scavenging ducks and transmission of highly pathogenic avian influenza, Java, Indonesia. Emerg Infect Dis 16(8): 1244-1250.
Li, Y., Liu, L., Zhang, Y., Duan, Z., Tian, G., Zeng, X., Shi, J., Zhang, L. &Chen, H. 2011. New avian influenza virus (H5N1) in wild birds, Qinghai, China. Emerg Infect Dis 17(2): 265-267.
Loth, L., Gilbert, M., Wu, J., Czarnecki, C., Hidayat, M. &Xiao, X. 2011. Identifying risk factors of highly pathogenic avian influenza (H5N1 subtype) in Indonesia. Prev Vet Med 102(1): 50-58.
Perdue, M. L., Garcia, M., Senne, D. &Fraire, M. 1997. Virulence-associated sequence duplication at the hemagglutinin cleavage site of avian influenza viruses. Virus Res 49(2): 173-186.
Senne, D. A., Panigrahy, B., Kawaoka, Y., Pearson, J. E., Suss, J., Lipkind, M., Kida, H. &Webster, R. G. 1996. Survey of the hemagglutinin (HA) cleavage site sequence of H5 and H7 avian influenza viruses: amino acid sequence at the HA cleavage site as a marker of pathogenicity potential. Avian Dis 40(2): 425-437.
Swayne, D. E. 2007. Understanding the complex pathobiology of high pathogenicity avian influenza viruses in birds. Avian Dis 51(1 Suppl): 242-249.
Tamura, K., Dudley, J., Nei, M. &Kumar, S. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. . Molecular Biology and Evolution 24: 1596-1599.
WHO. 2008. Toward a unified nomenclature system for highly pathogenic avian influenza virus (H5N1). Emerg Infect Dis 14(7): e1.
WHO. 2012. Continued evolution of highly pathogenic avian influenza A (H5N1): updated nomenclature. WHO/OIE/FAO H5N1 Evolution Working Group. Influenza Other Respi Viruses 6(1): 1-5.
Wibawa, H., Bingham, J., Nuradji, H., Lowther, S., Payne, J., Harper, J., Wong, F., Lunt, R., Junaidi, A., Middleton, D. &Meers, J. 2012. The pathobiology of two Indonesian H5N1 avian influenza viruses representing different clade 2.1 sublineages in chickens and ducks Comp Immunol Microbiol Infect Dis. In Press.
Wibawa, H., Henning, J., Wong, F., Selleck, P., Junaidi, A., Bingham, J., Daniels, P. &Meers, J. 2011. A molecular and antigenic survey of H5N1 highly pathogenic avian influenza virus isolates from smallholder duck farms in Central Java, Indonesia during 2007-2008. Virol J 8: 425.
Wiyono, A., Indriani, R., Dharmayanti, N.L.P.I., Damayanti, R., dan Darminto.  2004. Isolasi dan Karakterisasi Virus Highly Pathogenic Avian Influenza subtipe H5 dari ayam asal Wabah di Indonesia. JITV. 9.1 : 61-71

Artikel ditulis oleh :
Hendra Wibawa, Walujo Budi Prijono dan Sri Handayani Irianingsih : Balai Besar Veteriner Wates
Ni Luh Putu Indi Dharmayanti : Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor

Yuli Miswati dan Kiki Safitria : Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Bukittinggi
Anieka Rohmah dan Rosmalina Sari Dewi Daulay : Pusat Veterinaria Farma, Surabaya
Ernes Andesyha dan Romlah : Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Bogor


No comments: