Bayangkan sejenak. Seorang konsultan
asing baru tiga bulan berada di Indonesia. Lalu menyusun laporan yang disebut
“komprehensif.” Isinya penuh istilah populer: tingkatkan SDM, percepat transisi
hijau, perkuat tata kelola. Presentasinya elegan. Slide PowerPoint dipenuhi
grafik warna-warni dan kutipan dari laporan Bank Dunia. Para pengguna konsultan
asing mengangguk-angguk. Terpukau. Honor dibayar penuh. Kontrak diperpanjang. Sang
konsultan pulang dengan rasa puas, merasa telah berkontribusi bagi kemajuan
Indonesia.
Tapi bagaimana dengan Indonesia? Masih di
situ-situ saja. Korupsi masih langgeng. Ketimpangan makin nyata. Rakyat kecil tetap berjuang sendiri. Indonesia
Emas 2045? Semakin mirip dongeng pengantar tidur. Sementara itu,
konsultan terus datang dan pergi, meninggalkan tumpukan laporan yang tak pernah
benar-benar dijalankan.
Indonesia seolah telah berubah menjadi laboratorium hidup. Tempat uji coba bagi para konsultan internasional. Mereka datang silih berganti. Membawa rekomendasi yang tampak rapi, tapi sejatinya hanya hasil copy-paste. Template-nya selalu sama. Ada grafik pertumbuhan ekonomi. Ada narasi tentang bonus demografi. Ada solusi generik yang bisa dipakai di mana saja. Di Lagos bisa. Di Manila pun sama. Jakarta? Tinggal ganti nama kota di slide.
Tak ada ruang
untuk memahami konteks lokal. Tak ada upaya menyelami budaya, sejarah, dan
realitas politik Indonesia. Seolah-olah negeri ini bisa disederhanakan jadi
beberapa poin bullet di presentasi PowerPoint. Dan anehnya, kita pun sering
kali menerimanya tanpa banyak tanya.
Para konsultan ini memang piawai. Mereka pandai menyusun laporan tebal. Isinya penuh istilah teknis dan analisis yang terlihat ilmiah. Tapi sayangnya, sering tak menyentuh realitas di lapangan. Mereka bicara soal "penguatan institusi". Tapi tak paham bagaimana politik patronase membentuk banyak keputusan di negeri ini. Mereka menyarankan "formalisasi sektor informal". Tapi tak sadar, sektor itu justru jadi penyelamat bagi jutaan orang. Tempat bertahan hidup saat ekonomi formal menutup pintu. Akhirnya, rekomendasi yang dibuat terasa asing. Jauh dari kenyataan. Seolah Indonesia hanya data di Excel, bukan negeri dengan dinamika sosial yang rumit dan penuh nuansa.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah optimisme palsu yang mereka jual. Para konsultan ini datang dengan janji-janji besar. Mereka bicara tentang Indonesia Emas 2045. Disajikan dalam warna cerah, grafik naik, dan perbandingan manis dengan negara yang sudah “lepas landas.” Tapi semua itu dibangun di atas fondasi rapuh. Ketika diajak bicara soal hambatan nyata, soal tarik-menarik kepentingan di sektor tambang, atau soal daerah yang menolak kebijakan pusat, mereka menghindar. Jawabannya kabur. Normatif. Tidak menyentuh akar persoalan. Optimisme tanpa strategi konkret hanyalah ilusi. Dan celakanya, ilusi itu kerap dijadikan pegangan dalam menyusun kebijakan.
Ambil saja satu
contoh: transisi hijau.
Mereka dengan mudah menulis, "hentikan batu bara, manfaatkan energi terbarukan." Terdengar indah. Masuk akal di atas kertas. Tapi mereka jarang, bahkan enggan, bicara tentang siapa yang harus dikalahkan dalam proses ini. Tak ada pembahasan tentang kekuatan para raja batu bara. Tak ada strategi untuk menghadapi kepentingan besar di balik industri ekstraktif. Daerah-daerah yang hidup dari tambang pun nyaris tak disebut. Istilah “just transition” dilontarkan seolah ini hanya soal teknis. Padahal kenyataannya, ini pertarungan politik besar. Nilainya triliunan rupiah. Taruhannya ribuan pekerjaan. Tapi semua itu luput dari laporan yang tebal dan rapi itu.
Ada keajaiban tersendiri dalam slide PowerPoint para konsultan ini. Mereka ahli meramu data mentah menjadi cerita yang memukau. Grafik GDP per kapita naik tajam. Angka layanan kesehatan melonjak. Jalan tol dan pelabuhan baru ditampilkan seolah menjadi simbol kemajuan. Semua dirangkai dalam narasi manis tentang "momentum pertumbuhan" dan "peluang emas." Indonesia digambarkan sedang bangkit. Siap menjemput masa depan. Tapi itu semua hanya di layar. Hanya dalam ruangan ber-AC. Di luar sana, di lapangan, cerita yang sama sekali berbeda sedang berlangsung. Ketimpangan masih tinggi. Layanan publik masih bolong. Dan banyak warga yang bahkan tak tahu bahwa mereka sedang ada dalam “window of opportunity.”
Para konsultan ini melihat Indonesia dari balik jendela hotel mewah di Jakarta. Mereka tak pernah duduk di warung kopi di pelosok Nusa Tenggara Timur. Tak pernah singgah di gubuk nelayan di pesisir Sulawesi. Mereka bicara tentang “ekspansi kelas menengah”. Tapi tak pernah bertanya, kenapa justru kelas menengah kita menyusut, dari 23% pada 2018 menjadi hanya 17% di 2023. Mereka bangga dengan istilah “bonus demografi”. Tapi lupa, bonus itu tak akan bertahan lama. Sementara kualitas pendidikan masih jauh dari cukup. Anak-anak kita belum siap bersaing di dunia global. Tapi semua itu tak masuk dalam laporan yang penuh jargon dan optimisme palsu.
Yang paling memprihatinkan dari fenomena ini adalah analisis tanpa akar dan solusi tanpa konteks. Para konsultan ini datang membawa resep dari luar. Mereka mengimpor best practices dari Korea Selatan atau Singapura. Tapi lupa, Indonesia bukan Seoul atau Singapura. Struktur politik kita berbeda. Budaya birokrasi kita punya logika sendiri. Modal sosial kita unik dan rumit. Tapi mereka tetap memberi saran seperti "perkuat tata kelola". Seolah-olah governance itu cuma software. Tinggal klik, langsung update. Padahal, di lapangan, membenahi tata kelola butuh waktu, keberanian, dan pemahaman yang dalam akan realitas lokal.
Contoh paling jelas ada pada rekomendasi soal formalisasi ekonomi. Dengan mudah mereka bilang, "bawa pekerja informal masuk ke sektor formal." Kedengarannya rapi. Rasional. Tapi mereka tak paham, informalitas di Indonesia bukan sekadar masalah aturan. Bagi tukang ojek atau pedagang kaki lima, bekerja di sektor informal adalah cara bertahan hidup. Masuk ke sektor formal bukan berarti naik kelas. Justru bisa berarti terjerat birokrasi rumit, kena pajak, dan kehilangan fleksibilitas yang selama ini jadi andalan.
Para konsultan
ini tak pernah duduk bersama mereka. Tak pernah mendengar cerita dari para
pelaku ekonomi kecil. Tak pernah mencoba memahami logika ekonomi-politik yang
mereka jalani setiap hari. Yang mereka tahu hanyalah model, bukan realitas.
Para konsultan ini sering terjebak dalam arogansi metodologis. Mereka yakin bahwa realitas Indonesia bisa dipetakan lewat survei, wawancara dengan elite, dan grafik makroekonomi. Semua dihitung, dikalkulasi, lalu disimpulkan dari balik meja. Mereka jarang turun ke lapangan. Tak pernah menyelami kehidupan warga biasa. Tak melakukan observasi mendalam yang bisa membuka mata terhadap logika politik lokal.
Akibatnya,
rekomendasi yang mereka hasilkan sering tak nyambung. Bertabrakan dengan
kenyataan. Mereka bicara seolah tahu segalanya, padahal yang mereka lihat hanya
permukaan. Dan yang lebih parah, mereka sering lupa sejarah panjang bagaimana
kebijakan di Indonesia dibentuk, oleh tarik-menarik kepentingan, bukan hanya
angka di spreadsheet.
Lebih parah lagi, mereka menderita amnesia historis yang kronis. Mereka bicara tentang “reformasi institusi” seolah-olah Indonesia belum pernah mencobanya. Padahal, kita sudah berkali-kali melakukan reformasi. Banyak yang gagal. Banyak yang tak pernah dievaluasi. Mereka tak belajar dari masa lalu. Dari proyek transmigrasi yang berakhir jadi bencana. Dari program one village one product yang mandek di tengah jalan. Bagi mereka, sejarah Indonesia dimulai dari tahun 1998. Sebelum itu dianggap masa gelap. Tak penting untuk dipahami. Padahal, justru di situlah banyak pelajaran penting yang mestinya jadi dasar berpikir.
Yang paling ironis adalah paradoks ketergantungan itu sendiri. Indonesia seolah tak percaya pada kemampuannya sendiri. Para pengguna konsultan asing lebih nyaman menunggu laporan dari konsultan asing ketimbang menggali ide dari dalam negeri. Analisis dianggap kredibel hanya jika datang dari lembaga internasional. Rekomendasi terasa meyakinkan hanya jika dibungkus dalam bahasa Inggris dan dicetak di kertas glossy. Seolah-olah pemikiran lokal tak cukup pintar. Tak cukup canggih untuk memahami persoalan bangsanya sendiri. Padahal, justru di sanalah sumber solusi yang paling relevan dan membumi.
Padahal, seperti kata pepatah Betawi: “Elang terbang tinggi, tapi tetep makan bangkai.” Para konsultan ini memang tampak hebat. Mereka datang dengan metodologi yang canggih, bahasa yang keren, dan presentasi yang memukau. Tapi ujung-ujungnya, mereka hanya mengulang hal yang sudah lama diketahui. Masalah yang mereka soroti bukanlah temuan baru. Sudah sejak dulu dibahas oleh akademisi lokal. Sudah lama dirasakan oleh praktisi di lapangan. Mereka hanya membungkus ulang bangkai lama, lalu menjualnya sebagai temuan baru. Bedanya cuma satu: datang dari luar, maka terdengar lebih dipercaya.
Fenomena konsultan abal-abal ini telah melahirkan industri konsultansi yang bekerja seperti excavator anggaran negara. Triliunan rupiah dihabiskan setiap tahun. Dibayar untuk laporan-laporan tebal yang ujung-ujungnya hanya berdebu di rak kementerian. Tidak dibaca. Tidak dijalankan. Hanya jadi formalitas. Sementara itu, peneliti lokal yang paham konteks Indonesia justru kekurangan dana. Mereka sulit melakukan riset mendalam karena akses anggaran minim.
Yang lebih tragis, banyak dari mereka akhirnya direkrut juga, sebagai “konsultan lokal.” Gajinya kecil. Tapi ide dan analisanya diambil. Lalu dikemas ulang dengan label “keahlian internasional.” Inilah bentuk baru kolonialisme intelektual. Pengetahuan lokal diekstrak, dikemas, dan dijual kembali kepada kita sendiri. Dengan harga yang berkali-kali lipat.
Para konsultan ini ikut melanggengkan narasi top-down yang sudah lama mengakar dalam birokrasi Indonesia. Mereka memandang negeri ini seperti mesin besar yang bisa dikendalikan dari Jakarta. Mereka tak pernah benar-benar turun mendengar suara rakyat. Tak mendengar petani di Lombok yang menjual tanah karena gagal panen terus-menerus. Tak melihat nelayan di Riau yang kehilangan mata pencaharian karena laut tercemar industri.
Rekomendasi mereka terdengar mulia, "perkuat inklusi sosial," "tingkatkan kualitas SDM." Tapi semua itu kosong, karena tidak lahir dari pemahaman nyata tentang kehidupan di akar rumput. Mereka tak paham bahwa eksklusi sosial di Indonesia bukan hanya soal layanan publik yang sulit dijangkau. Tapi soal struktur kekuasaan. Soal siapa yang punya akses ke tanah, laut, dan modal. Dan siapa yang terus-menerus tersingkir dari sistem.
Pertanyaannya sederhana, tapi
penting: mengapa Indonesia begitu mudah percaya pada ilusi yang dibuat para
konsultan abal-abal?
Pertama, karena
kita mengalami krisis kepercayaan diri intelektual. Banyak pengguna konsultan asing merasa
bahwa analisis berbahasa Inggris dengan referensi jurnal luar negeri pasti
lebih hebat. Sementara analisis dalam bahasa Indonesia, meski paham konteks
lokal, sering dianggap kurang bergengsi.
Kedua, karena budaya jalan pintas
dalam birokrasi. Para pengambil kebijakan ingin solusi cepat untuk masalah yang
rumit. Mereka lebih suka beli "best practices internasional"
ketimbang membangun proses belajar yang panjang dan melelahkan. Tak ada waktu
untuk trial and error.
Ketiga, karena lemahnya
akuntabilitas. Tak banyak yang bertanya apakah rekomendasi dari konsultan itu
benar-benar berdampak. Yang penting, proyek sudah jalan. Ada laporan
tebal. Ada presentasi untuk atasan. Dan bisa dilaporkan ke donor. Soal hasil? Itu urusan nanti.
Jalan keluar dari jebakan konsultan abal-abal
bukan dengan menolak bantuan luar, tapi dengan kembali pada akar sendiri, pada
epistemologi lokal.
Pertama, kita
harus membangun kembali kepercayaan diri intelektual. Kita perlu percaya bahwa
pemahaman terbaik tentang Indonesia datang dari mereka yang hidup, tumbuh, dan
bermimpi di tanah ini. Mereka yang melihat langsung masalah, bukan hanya
membaca datanya.
Kedua, kita
perlu mengubah cara pikir birokrasi. Para pengguna konsultan asing harus
berhenti bersikap seperti klien yang tinggal beli solusi. Sudah saatnya bertindak sebagai
pemilik masalah, yang terlibat penuh, bertanggung jawab, dan mau belajar dalam
proses panjang mencari jalan keluar.
Ketiga, kita
harus serius memperkuat ekosistem riset dan kebijakan lokal. Perlu investasi
jangka panjang untuk membangun kapasitas, kelembagaan, dan infrastruktur riset.
Bukan hanya demi laporan yang rapi, tapi demi kebijakan yang kontekstual,
tajam, dan berpihak pada rakyat.
Indonesia hari
ini berdiri di persimpangan antara ilusi dan realitas.
Di satu sisi,
ada ilusi bahwa visi Indonesia Emas 2045 bisa dicapai hanya dengan mengikuti
saran para konsultan asing. Rekomendasi yang rapi, tapi tak paham medan. Di
sisi lain, ada realitas yang menuntut kerja keras, proses belajar tanpa henti,
dan keberanian menghadapi rumitnya politik dan kenyataan di lapangan.
Seperti pepatah Minang bilang, “Alam takambang jadi guru.” Indonesia harus belajar dari dirinya sendiri. Dari tanahnya, dari rakyatnya, dari sejarah dan kerumitannya. Bukan dari template universal yang dibawa orang luar. Para konsultan asing tak akan pernah mampu menggantikan kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman nyata. Mereka bisa memberi masukan, tapi tidak bisa memahami dengan utuh.
Maka
pertanyaannya: sampai kapan kita terus membeli ilusi yang dibungkus jargon
internasional? Kapan kita mulai percaya pada pikiran kita sendiri, pada suara
rakyat, dan pada kekuatan lokal? Ataukah kita akan terus terjebak dalam siklus
laporan-laporan mewah, yang tampak cerdas, tapi lumpuh di hadapan realitas?
Tentang
Konsultan yang Sesungguhnya Diperlukan
Agar tidak salah
paham, kritik ini bukan serangan membabi buta terhadap semua
konsultan. Bukan pula penolakan terhadap kolaborasi global. Ada konsultan yang
benar-benar memberi nilai. Terutama mereka yang membawa transfer teknologi dan keahlian teknis di
bidang-bidang yang memang belum cukup kuat di Indonesia.
Konsultan dalam pengembangan
teknologi finansial, energi terbarukan, manufaktur canggih, atau infrastruktur
digital, mereka datang dengan solusi nyata. Dengan keahlian spesifik. Dengan
pendekatan yang bisa langsung diterapkan. Mereka membantu mempercepat proses
belajar. Mereka adalah jembatan yang penting.
Yang perlu dikritisi adalah jenis
konsultan yang berbeda. Mereka datang membawa analisis makro yang generik. Rekomendasi
kebijakan yang abstrak. Tapi minim pemahaman tentang ekonomi-politik Indonesia.
Mereka menjual “policy advice” seolah bisa ditransplantasi begitu saja. Padahal
tubuh politik kita tidak selalu cocok dengan organ luar yang mereka tawarkan.
Bedanya jelas.
Konsultan teknis datang untuk menjawab masalah nyata dengan solusi konkret. Konsultan kebijakan yang bermasalah
datang dengan template global untuk tantangan struktural yang kompleks. Yang
pertama membangun kapasitas. Yang kedua menciptakan ketergantungan.
Ini seperti membedakan dokter
spesialis dengan paranormal. Dokter datang dengan diagnosis, keahlian, dan
tindakan medis. Paranormal datang dengan mantra. Indonesia butuh lebih banyak
dokter spesialis, dan lebih sedikit paranormal kebijakan.
Karena
masalah-masalah besar kita bukan hanya soal teknis. Tapi juga soal adaptasi.
Soal bagaimana kita belajar, menyesuaikan, dan membentuk solusi dari dalam. Ini
tidak bisa dibeli. Tidak bisa diimpor. Tapi harus tumbuh melalui proses politik
yang jujur dan berkelanjutan.
Jadi, mari kita
hargai konsultan yang datang dengan kerendahan hati dan keahlian nyata. Tapi
tetap waspada pada mereka yang datang membawa arogansi, seolah-olah Indonesia
bisa diselamatkan hanya dengan template universal dan presentasi PowerPoint.









