Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Strategi Pengendalian ASF. Show all posts
Showing posts with label Strategi Pengendalian ASF. Show all posts

Thursday, 25 March 2021

Babi Hutan Jadi Bom Waktu ASF? Ini Strategi Dunia Mengelola Populasi Demi Cegah Wabah


Banyak negara di dunia saat ini berada dalam cengkeraman wabah Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF). ASF adalah penyakit hemoragik virus yang menyebabkan kematian hingga 100% pada babi domestik dan babi hutan, yang tidak ada vaksin atau pengobatan yang efektif. Penyakit ini tidak menginfeksi manusia tetapi menyebabkan kerugian ekonomi yang mengancam ketahanan pangan dan gizi, mempengaruhi perdagangan, dan menghadirkan tantangan serius bagi produksi babi yang berkelanjutan.

 

Di Eropa dan Asia, babi hutan telah menjadi reservoir epidemiologi dari virus - tertular, membawa dan menyebarkan demam babi Afrika. Virus telah memanfaatkan peningkatan kepadatan dan distribusi populasi baru-baru ini. Dalam skenario ini, babi domestik yang hidup di daerah yang terdapat babi hutan yang terinfeksi berisiko tertular.

 

Sebuah publikasi baru dari FAO, Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE) dan Komisi Eropa (EC), bertujuan untuk membantu layanan veteriner, otoritas pengelolaan satwa liar, dan lembaga yang menangani pencegahan dan pengendalian ASF, termasuk para pemburu, yang sering menjadi bagian penting. respon ketika ASF terdeteksi pada populasi babi hutan. Demam Babi Afrika pada babi hutan: Ekologi dan biosekuriti, memberikan gambaran umum fitur epidemiologi dan ekologi demam babi Afrika dan berbagi pengalaman terkini dalam pencegahan dan pengendalian ASF pada babi hutan di Eropa.

 

Makalah ini mengidentifikasi dua pilar utama pemberantasan ASF untuk babi hutan: mencegah kontaminasi virus lingkungan dan menerapkan biosekuriti selama perburuan - sebuah konsep yang relatif baru. Keahlian yang mengarah pada strategi ini diperoleh melalui pengalaman komunitas ilmiah internasional, saat mencoba mengendalikan dan memberantas ASF pada populasi babi hutan selama setahun terakhir. Ini adalah pertama kalinya ASF terdeteksi pada populasi besar babi hutan yang tersebar luas. Awalnya, para ilmuwan merekomendasikan upaya untuk mengatasi wabah menggunakan strategi yang efektif untuk penyakit menular lainnya. Namun, karena banyaknya babi hutan dan kemampuan unik ASF untuk bertahan hidup dalam suhu beku, bangkai, dan tanah, segera terbukti bahwa layanan dan otoritas veteriner yang menangani pengendalian ASF pada babi hutan membutuhkan pemahaman dan praktik baru. Pengendalian ASF pada babi hutan harus memperhatikan hubungan ekologis antara empat komponen utama: (1) virus, (2) populasi babi hutan, (3) pengelolaan babi hutan di hutan, dan (4) antar muka babi hutan - babi domestik.

 

Manual merekomendasikan tindakan khusus untuk berbagai tahap epidemi, untuk mencegah tindakan kontraaktif seperti depopulasi total babi hutan atau pemberian makan musim dingin - praktik mendukung babi hutan selama berbulan-bulan ketika sumber daya langka. Manual tersebut juga menjelaskan bagaimana mungkin meminimalkan kemungkinan penyebaran virus saat berburu di daerah yang terinfeksi, dan bagaimana menangani bangkai babi hutan yang tetap terinfeksi selama berbulan-bulan selama musim dingin, karena sifat tahan virus.

 

Publikasi ini akan berkontribusi pada pengembangan strategi dan tindakan pengendalian ASF yang secara teknis layak, dan efisien di negara-negara yang menghadapi ASF pada babi hutan, atau di mana hal itu mengganggu pemberantasan virus pada babi domestik.

 

Sumber:

Managing wild boar populations to protect against African swine fever.  EMPRES (Emergency and Prevention System) Animal Production and Health.  http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/news_221119.html


#ASF 

#BabiHutan 

#KesehatanHewan 

#Biosekuriti 

#KetahananPangan

Tuesday, 15 October 2019

Alarm ASF! Terungkap Fakta Mengejutkan tentang Ancaman Mematikan yang Mengintai Peternakan Babi Indonesia!


1. PENGANTAR


Penyakit African Swine Fever (ASF) adalah penyakit viral yang menyerang ternak babi dan babi liar (Suidae). Penyakit ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi karena morbiditas yang tinggi (100%), mortalitas yang tinggi (10–100%), bersifat sangat menular, dapat mengganggu stabilitas perdagangan domestik maupun internasional, menimbulkan larangan ekspor-impor dan pembatasan lalu lintas antar daerah, serta memerlukan tindakan depopulasi karena hingga kini belum terdapat vaksin. ASF juga menyebabkan epidemi yang dapat berlangsung terus menerus.

 

Penyakit ini sangat sulit dikendalikan karena virus ASF sangat tahan terhadap lingkungan. Virus dapat bertahan beberapa hari di dalam feses, beberapa bulan di kandang yang terkontaminasi, hingga 18 bulan di dalam darah. Virus juga dapat bertahan selama 140 hari di dalam produk olahan daging babi serta bertahun-tahun di dalam karkas. Penularan ASF dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.

 

Strategi pencegahan meliputi karantina, biosekuriti peternakan, serta berbagai langkah lain untuk meminimalisir risiko penularan. Rencana kontingensi harus mencakup seluruh tindakan yang diperlukan untuk memastikan penularan ASF dapat dikenali dan dikendalikan sebelum mencapai fase epidemi, sekaligus memantau kemajuan program eliminasi. Karena tidak adanya vaksin, strategi pengendalian dan pemberantasan ASF yang paling memungkinkan adalah depopulasi.

 

2. ETIOLOGI


Virus ASF diklasifikasikan dalam genus Asfivirus, anggota satu-satunya dari famili Asfaviridae. ASF juga merupakan satu-satunya virus DNA yang ditransmisikan oleh artropoda. Virulensi isolat virus bervariasi dari rendah hingga tinggi.

a. Hewan Peka

Hewan yang peka terhadap ASF adalah babi domestik dan babi liar. Semua babi liar Afrika rentan namun tidak menunjukkan gejala klinis sehingga dianggap sebagai reservoir. Babi liar Eropa (Sus scrofa) rentan dengan tingkat fatalitas yang mirip babi domestik. Babi liar di Amerika Selatan dan Karibia juga memiliki kerentanan tinggi. Manusia tidak rentan terhadap ASF.

b. Penyebaran di Dunia dan Kejadian di Indonesia

ASF pertama dilaporkan di Afrika bagian selatan pada 1900–1905, kemudian menyebar ke Afrika tengah dan utara (Sub-Sahara). Pada 1957, ASF dilaporkan di Portugal dan kemudian menyebar ke Eropa tengah hingga Rusia pada 2008. Pada Agustus 2018 penyakit ini dilaporkan di China.

Setelah itu ASF ditemukan di Mongolia (Januari 2019), Vietnam (Februari 2019), Kamboja (Maret 2019), Hongkong (Mei 2019), Korea Utara (Mei 2019), Laos (Juni 2019), Myanmar (Agustus 2019), Filipina dan Timor Leste (September 2019). Hingga informasi terakhir, penyakit ini belum dikonfirmasi di Indonesia.

c. Kriteria Diagnosis

  1. Kasus Terduga ASF

Babi yang menunjukkan demam, anoreksia, lesu, kemerahan kulit, atau kematian dengan mortalitas >5%, atau kematian mendadak >30% tanpa gejala klinis khas.

  1. Kasus Terduga Kuat ASF

Disertai perubahan patologi:

• Pembengkakan limfoglandula gastrohepatika

• Pembengkakan limpa berwarna kehitaman dan rapuh

  1. Kasus Telah Dikonfirmasi ASF

Positif melalui isolasi/identifikasi virus atau deteksi gen ASF menggunakan PCR di laboratorium yang ditunjuk.

 

Tanda-Tanda Klinis (Perakut, Akut, Subakut, Kronis)

• Mati mendadak tanpa gejala (perakut)

• Demam hingga 42°C

• Hiperemia/sianosis ekstremitas (telinga, moncong)

• Hilang nafsu makan
• Tidak mampu berdiri, konvulsi
• Inkoordinasi

 

PATOLOGI

 

Patologi Anatomi

a. Bentuk Akut
• Hemoragi limfoglandula (ginjal, usus halus, gastrohepatika, submandibular)
• Pembesaran limpa 2–3 kali ukuran normal, gelap, lunak, mudah hancur
• Hemoragi hampir di semua organ
• Udema septa paru-paru
• Cairan dalam rongga tubuh

b. Bentuk Subakut
• Hemoragi limfoglandula dan ginjal
• Pembesaran limpa tanpa penyumbatan
• Konsolidasi lobular paru bagian kranial
• Hemoragi pada intestinal, limfoglandula, ginjal

c. Bentuk Kronis
• Pembesaran limfoglandula
• Perikarditis fibrinosa dan pleurisy
• Perlekatan lobular paru-paru, dapat menjadi nekrosis
• Paru mengecil, keras, dengan nodular putih
• Arthritis
• Ulser kulit
• Kondisi tubuh buruk

 

HISTOPATOLOGI

 

Nekrosis jaringan limfatik umum terjadi, terutama limfoglandula, dengan karioreksis dan hemoragi. Nekrosis lebih berat dibandingkan CSF. Terdapat vasculitis dengan degenerasi endotel dan perubahan fibrinoid arteri. Dapat ditemukan inflamasi pada otak, sumsum tulang belakang, dan saraf spinal tanpa nanah.

a. Uji Laboratorium
Deteksi dan karakterisasi:
• RT-PCR, isolasi virus, ELISA antigen, PCR konvensional, sequencing
Uji serologi:
• ELISA, imunoperoksidase

b. Spesimen
• Identifikasi agen: darah berantikoagulan, jaringan organ (tonsil, limpa, limfoglandula, paru, ginjal, usus halus)
• Serologi: serum
• Histopatologi: jaringan dalam PBS

c. Pengiriman Spesimen
Sampel harus didinginkan dan dikirim menggunakan gel beku.

d. Diagnosis Laboratorium
Deteksi virus menggunakan PCR, isolasi virus, ELISA. Karakterisasi dengan sequencing. Serologi menggunakan imunoperoksidase.

e. Diagnosis Banding
• CSF
• Penyakit Aujeszky
• Erysipelas
• Salmonellosis
• Keracunan (warfarin)
• Pasteurellosis/pneumonia
• Aborsi/mumifikasi/stillbirth
• Mulberry heart disease
• Isoimmune thrombocytopenia
• Viral encephalomyelitis

 

RESISTENSI DAN IMUNITAS

 

Virus ASF adalah virus DNA besar dengan 165 gen dan 50 protein.

Imunitas Bawaan
Populasi babi yang belum terpapar sangat rentan. Populasi yang pernah terpapar memiliki resistensi lebih tinggi. Di Mozambik, sekitar 40% babi menunjukkan variasi imunitas bawaan.

Imunitas Dapatan
Perbedaan gejala lebih disebabkan variasi virulensi strain dibandingkan status imun.
Babi yang selamat terlindung terhadap strain homolog tetapi rentan terhadap strain heterolog. Virus ASF dapat menghindari respons imun dengan bereplikasi pada makrofag.

a. Vaksinasi dan Penanganan Hewan Terinfeksi
• Belum ada vaksin komersial
• Vaksin hidup dilemahkan memberi perlindungan homolog, tetapi belum aman
• Vaksin inaktif menghasilkan antibodi tetapi tidak cukup protektif
• Tidak ada pengobatan efektif

 

EPIDEMIOLOGI

 

a. Siklus ASF
• Siklus silvatik (babi liar–caplak)
• Siklus caplak–babi domestik
• Siklus domestik (babi–produk babi)

b. Masa Inkubasi
5–15 hari, kadang hingga 20 hari

c. Persistensi Virus dan Transmisi
• Bertahan pada pH 4–10
• Bertahan berbulan-bulan pada daging mentah/beku
• Bertahan 1 bulan di kandang terkontaminasi
• Diinaktivasi Cresol, NaOH 2%, Formalin 1%, sodium carbonate, iodofor, asam fosfor, deterjen non-ionik, pelarut lemak

d. Transmisi
• Kontak langsung antar babi, termasuk melalui semen
• Kontak tidak langsung melalui feses, urine, pakan, kendaraan, peralatan
• Penularan melalui caplak

e. Vektor
Ornithodorus spp., Phacochoerus spp., Potamochoerus spp., Hylochoerus spp.; nyamuk dan lalat sebagai penyebar mekanis.

 

RISIKO MASUKNYA ASF KE INDONESIA

 

Risiko terbesar berasal dari daging babi dan produk babi terkontaminasi, bahan genetik babi, serta masuknya babi hidup. Produk babi ilegal yang dibawa penumpang kapal, pesawat, atau barang kiriman merupakan rute utama. Sampah kapal pesiar dan bahan genetik impor ilegal juga menjadi jalur risiko.


#ASF 

#SwineFever 

#Biosecurity 

#PigHealth 

#DiseaseAlert