Sebelah adalah tabel impor produk pertanian Jepang dari negara pemasok utama, diambil dari JETRO. Indonesia termasuk 10 negara pemasok produk pertanian ke Jepang yang menduduki urutan ke 9. Ekspor Indonesia ke Jepang tahun 2004 senilai 542 milyar US $, meningkat menjadi 633 milyar US $ pada tahun 2005 dan meningkat lebih tajam lagi menjadi 996 milyar US $ pada tahun 2006. Peningkatan nilai ekspor tahunan Indonesia ke Jepang sebanyak 57,3% meskipun share dalam pasar Jepang baru sebanyak 2,3%. Share terbesar diduduki Amerika Serikat sebanyak 30,3% diikuti China 13,2%, Australia 9,5%. Thailand menduduki urutan ke 4 dengan share 6,4%.
Tuesday, 22 January 2008
Ekspor produk pertanian Indonesia ke Jepang naik
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
20:46
2
comments
Monday, 21 January 2008
Rahasia Telur Asin Gurih dan Tahan Lama: Begini Cara Membuatnya di Rumah dengan Mudah!
Prinsip pengawetan telur adalah untuk :
1) Mencegah masuknya bakteri pembusuk ke dalam telur;
2) Mencegah keluarnya air dari dalam telur.
Beberapa proses pengawetan telur utuh yang diawetkan bersama kulitnya antara lain :
1) proses pendinginan;
2) proses pembungkusan kering;
3) proses pelapisan dengan minyak;
4) proses pencelupan dalam berbagai cairan.
Untuk menjaga kesegaran dan mutu isi telur, diperlukan teknik penanganan yang tepat, agar nilai gizi telur tetap baik serta tidak berubah rasa, bau, warna, dan isinya. Telur asin adalah telur utuh yang diawetkan dengan adonan yang dibubuhi garam. Ada 3 cara pembuatan telur asin yaitu :
1) Telur asin dengan adonan garam berbentuk padat atau kering;
2) Telur asin dengan adonan garam ditambah ekstrak daun teh;
3) Telur asin dengan adonan garam, dan kemudian direndam dalam ekstrak atau cairan teh.
2. Bahan
1) Telur bebek yang bermutu baik 30 butir
2) Abu gosok atau bubuk batu bata merah 1 ½ liter
3) Garam dapur ½ kg
4) Larutan daun teh (bila perlu) 50 gram teh / 3 liter air
5) Air bersih secukupnya
3. Alat
1) Ember plastik
2) Kuali tanah atau panci
3) Kompor atau alat pemanas
4) Alat pengaduk
5) Stoples atau alat penyimpan telur
4. Cara Pembuatan
1) Pilih telur yang bermutu baik (tidak retak atau busuk);
2) Bersihkan telur dengan jalan mencuci atau dilap dengan air hangat, kemudian keringkan;
3) Amplas seluruh permukaan telur agar pori-porinya terbuka;
4) Buat adonan pengasin yang terdiri dari campuran abu gosok dan garam, dengan perbandingan sama (1:1). Dapat pula digunakan adonan yang terdiri dari campuran bubuk bata merah dengan garam;
5) Tambahkan sedikit air ke dalam adonan kemudian aduk sampai adonan berbentuk pasta;
6) Bungkus telur dengan adonan satu persatu secara merata sekeliling permukaan telur, kira-kira setebal 1~2 mm;
7) Simpan telur dalam kuali atanah atau ember plastik selama 15 ~ 20 hari. Usahakan agar telur tidak pecah, simpan di tempat yang bersih dan terbuka;
8) Setelah selesai bersihkan telur dari adonan kemudian rendam dalam larutan teh selama 8 hari (bila perlu).
5. Keuntungan
1) Telur yang diasinkan bersifat stabil, dapat disimpan tanpa mengalami proses perusakan;
2) Dengan pengasinan rasa amis telur akan berkurang tidak berbau busuk, dan rasanya enak.
Catatan:
1) Asin tidaknya telur asin dan keawetannya, sangat tergantung pada kadar garam yang diberikan. Semakin tinggi kadar garam, akan semakin awet telur yang diasinkan, tetapi rasanya akan semakin asin.
2) Telur asin matang tahan selama 2~3 minggu, sedangkan pembubuhan larutan teh dalam adonan pengasin dapat meningkatkan ketahanan telur asin sampai 6 minggu.
3) Penggunaan ekstrak daun teh bertujuan agar zat tanin yang terkandung dalam daun teh dapat menutupi pori-pori kulit telur serta memberikan warna coklat muda yang menarik dan bau telur asin yang dihasilkan lebih disukai.
6. Daftar Pustaka
1) Pengawetan telur. Dalam : Berkas lembaran petunjuk latihan teknologi makanan. Yogyakarta : Pendidikan Guru Pertanian PGP. Kejuruan Teknologi Makanan, 1975. Hal. 59-60.
2) Sutrisno, Koswara. Perbaikan proses pengasinan telur. Ayam dan Telur, 63, 1991 : 35-36.
3) Syamsinan, S.T. dan Soekarta. Penggunaan teh pada proses pengasinan telur bebek (Muscovy sp.). Buletin Pusbangtepa, Mei 1982 : 9 – 13.
4) Sarwono, B; A. Murtidjo dan A. Daryanto. Telur : Pengawetan dan manfaatnya. Jakarta : Penebar Swadaya, 1985. 73 hal.
5) Telur asin. Dalam : Paket industri pangan. Bogor : Pusbangtepa-IPB, s.a.
Sumber : Tri Margono, Detty Suryati, Sri Hartinah, Buku Panduan Teknologi
Pangan, Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI
bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation, 1993.
Editor : Esti, Agus Sediadi
TTG Pengolahan Pangan
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
15:19
1 comments
Labels: Cara Membuat Telur Asin, DIY Kuliner, Makanan Khas Indonesia, Olahan Telur, Pengawetan Telur, Resep Tradisional, Telur Asin, Tips Dapur
Jepang Impor Telur Asin
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
09:27
21
comments
Labels: Ekspor Telur Asin, Pasar Produk Pertanian
Sunday, 20 January 2008
Penyalahgunaan Mikroorganisme dalam Kesejahteraan
Tahun-tahun terakhir abad 20 dan awal abad baru, abad 21, beberapa negara di planetini mendapat berbagai ancaman terorisme. Terorisme yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat/ orang yang ingin melaksanakan kehendak dengan berbagai bentuk ancaman baik fisik, mental, maupun tindakan kekerasan berupa perusakan, perbuatan kriminal (aksi peledakan bom), penyebaran penyakit bahkan pembunuhan. Tindakan semacam ini dapat dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan tertentu baik politik, ekonomi atau kepentingan kekuasaan lainnya untuk mendapatkan tanggapan yang diinginkan. Tidak jarang mereka melakukan tindakan teror dengan menggunakan berbagai alat atau senjata yang dapat mengakibatkan kerugian, cidera atau kerusakan dalam jumlah banyak, baik terhadap segala bentuk fasilitas kegiatan masyarakat umum dan penyakit pada hewan serta pertanian maupun kematian manusia. Ancaman terorisme yang marak dalam dekade terakhir ini seringkali dikaitkan dengan penggunaan agen hayati (mikroorganisme) sebagai sumber/penyebab penyakit yang mematikan, yang sering dikenal dengan bioterorisme.
Pada dekade yang sama Indonesia menghadapi persoalan teror, kerusuhan dan tindakan anarkhis marak di mana-mana, terjadi penculikan, pemboman dan pembunuhan, bahkan sampai kini belum diketahui dimana dan apa alasan yang benar terjadinya kasus kasus itu. Aksi teror baik yang berakibat kerusakan bangunan fisik maupun benda lainnya dan kematian manusia di seluruh pelosok nusantara, oleh provokator kerusuhan maupun pelaku utamanya. Tidak luput dari gerakan teror di dalam negeri, di berbagai manca negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Eropah lainnya telah banyak didengar berita mengenai terorisme. Tambahan, terkait dengan aksi terorisme internasional, ketika Menara Kembar World Trade Center di NewYork dan Gedung Markas Besar Pertahanan USA Pentagon pada tanggal 11 September 2001 pagi waktu setempat dengan selang beberapa menit ditabrak oleh tiga pesawat komersial yang berakibat kerugian fisik material sangat besar dan jatuhnya moral/martabat negara adidaya yang tak dapat dinilai.
Sesungguhnya terorisme dengan menggunakan senjata gas, racun hasil metabolit mikroorganisme atau tumbuhan dan bahan kimia lainnya telah lama dilarang dalam peperangan, misalnya pada zaman Yunani atau Romawi kuno dan bangsa India sekitar 500 SM. Peperangan nutfah (germ) bukanlah ancaman baru dan akan menggantikan perang nuklir (konvensional), tetapi dengan perkembangan ilmu pengetahuan mikrobiologi khususnya persenjataan nutfah makin mendapat perhatian besar yang lebih canggih dan menakutkan. Hal ini karena kemampuan membunuhnya lebih efektif daripada bentuk persenjataan api atau nuklir, juga tanpa adanya kemungkinan pengelolaan dan profilaksis lanjut. Meskipun demikian pelarangan menggunakan persenjataan kimiawi dan hayati itu telah disepakati dalam perjanjian internasional yang pertama dalam Protokol Jenewa, 1925, dan kedua pada Konvensi Persenjataan Biologi 1972 yang melarang tidak hanya penggunaan tetapi pengembangan, produksi, dan penimbunan/persediaannya.
Pada kesepakatan internasional ketiga, Konvensi Persenjataan Kimiawi, 1993, mempertegas negara-negara mana yang menuruti perjanjian persenjataan itu dan memberi sanksi bagi yang melanggar. Dalam kaitan ini, tujuan penulisan kaji-pustaka ini akan menguraikan tentang beberapa bentuk penyalahgunaan peran mikroorganisme di dalam lingkungan, kesehatan dan dalam memenuhi kebutuhan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dengan lebih menekankan pada penyalahgunaan fungsi mikroorganisme yang tidak sepatutnya, bioterorisme.
Peran Mikroorganisme dalam Lingkungan - Kesehatan
Peran penting mikrobiologi pertama kali diperkenalkan dalam karya karya Louis Pasteur, Robert Koch, Winogradsky dan lainnya yang menjadi terkenal dengan “Era Emas Mikrobiologi”, (1870-1910). Selama era ini tidak hanya sebagian besar bakteri agen-penyebab penyakit pada manusia telah diidentifikasi, tetapi juga peran mikroorganisme sebagai pendaur-ulang sebagian besar unsur- hara penting kehidupan organisme di bumi telah diketahui. Pertengahan pertama abad 20 para ahli (mikrobiologiwan) banyak mengkonsentrasikan pada identifikasi bakteri (mikroba) dan upaya-upaya perawatan penyakit yang kemungkinan disebabkan oleh jasad renik. Teknik kultur murni (monokultur) mikroba telah dikembangkan oleh Robert Koch, yang bermanfaat untuk mempelajari sifat patogen dan mengkaji interaksinya dalam lingkungan alami yang heterogen. Perkembangan bioteknologi selama paruh akhir abad 20, kemudian dipacu ledakan perkembangan biologi molekuler, memberikan kontribusi keberhasilan perkembangan DNA rekombinan, yang mempunyai banyak peran dalam penggunaannya di lingkungan.
Peran mikrobiologi lain yang menarik bagi manusia diantaranya fungsi dalam ekosistem alami sangat berdayaguna memberi kontribusi dalam perombakan dan perbaikan senyawa-senyawa kimiawi pencemar , kontaminan bahkan senyawa xenobiotik yang sangat sulit dirombak dan persisten (recalcitrant). Kemampuan ini secara alami sangat lambat dalam jangka waktu lama, makin kompleks senyawa kimiawi sintetik dan berbeda jauh dengan struktur senyawa kimia alam, makin kompleks makin sulit dan diperlukan waktu lama bagi mikroba untuk menyesuaikan pertumbuhannya dengan habitat barunya. Usaha-usaha pengembangan fungsi mikroba untuk meningkatkan daya perombakan dan perbaikan bahan-bahan kimia pencemar sering dikenal dengan bioremediasi. Berbalikan dengan kepentingan Bioterorisme, keduanya sama-sama memanfaatkan kemampuan metabolisme mikroba di alam dengan berbagai perlakuan uji-coba berulang dan teknologi yang canggih didukung perkembangan bioteknologi genetika dan biomolekuler dalam laboratorium, Bioremediasi sekarang mendapat perhatian yang makin besar dari para mikrobiologiwan untuk meningkatkan kesejahteran alam hidup manusia. Perkembangan teknologi untuk memanfaatkan peran mikroorganisme maksimum di alam makin bertambah dan makin membuka wacana baru dalam pengelolaan perannya guna mendukung dan meningkatkan dayadukung lingkungan planet ini untuk tetap lestari dan berkelanjutan.
Di pihak lain perkembangan pengetahuan mengenai genetika mikroorganisme ini lebih berkembang akan tetapi masih sedikit diketahui mengenai ekologi mikroba yang berkaitan dengan kelangsungan hidup, kompetisi, pertumbuhan, fungsi dan keamanannya di lingkungan alami.
Berkaitan dengan aspek kesehatan beberapa faktor yang bertanggungjawab terhadap timbulnya patogen baru adalah:
1)perpindahan populasi penduduk (demografi/urbanisasi) dan perilaku
2)teknologi dan industri
3)perkembangan ekonomi dan tataguna lahan
4)perjalanan dan perdagangan internasional
5)adaptasi dan perubahan mikroba
6)penurunan kualitas kesehatan masyarakat
7)kejadian alam yang abnormal yang menaikkan keseimbangan patogen-inang biasa dan akhirnya
8)situasi lain yang mengancam pemaparan jumlah banyak penyakit mapan maupun baru yang mungkin terjadi dalam peperangan hayati.
Beberapa contoh hanya mewakili sedikit cara-cara mikroorganisme dan virus yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, meski pada masa lalu mikroorganisme hanya dianggap sebagai organisme berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit.
Penyakit virus smallpox (cacar) telah diketahui merupakan salah satu pembunuh terbesar dunia. Lebih kurang 4000 tahun lampau diperkirakan 10 juta orang mati karena penyakit ini. Beberapa tahun terakhir ini tidak lahi ditemukan kasus penyakit ini setelah program faksinasi di seluruh dunia telah berhasil dilakukan sejak 1977.
Penyakit yang menjadi pembunuh besar lainnya adalah wabah pes (bubonic plague). Hampir sepertiga seluruh populasi daratan Eropa, kurang lebih 25 juta orang antara tahun 1346 dan 1350 mati karena penyakit yang disebabkan oleh bakteri, tetai kini rata- rata kuran dari 100 orang per tahun di seluruh dunia yang meninggal akibat wabah ini.
Setidaknya ada 500.000 spesies mikroba di alam, dan mungkin lebih banyak lagi tetapi hanya beberapa ratus spesies saja yang berpotensi sebagai patogen pada manusia. Banyak mikroorganisme melakukan aktivitasnya secara bebas yang esensial mendukung kehidupan, dan banyak lain yang erat berhubungan dengan tumbuhan dan hewan yang stabil dan hubungan bermanfaat. Akan tetapi pada spesies yang patogen mempunyai efek sangat negatif terhadap organissme inangnya dan akibatnya seringkali banyak menjadi obyek kajian para pemegang kekuasaan kejahatan.
Beberapa dekade waktu pada abad pertengahan wabah penyakit telah menyerang populasi bangsa Eropah. Wabah epidemi kuno datang berasal dari adanya pergantian populasi tikus dalam tengah kota dan dipengaruhi misalnya oleh variabel-variabel seperti cuaca dan hasil panenan. Kini kita mempunyai pusat wabah baru yang dapat menyerang kota-kota . Akan tetapi wabah baru itu tidak dipengaruhi oleh gejala alam, tetapi agaknya wabah ini dipengaruhi oleh variabel-variabel modern seperti: keinginan politik, ekonomik dan militer. Wabah baru ini merupakan perang biologi yakni penggunaan organisme hayati agen-agen melukai atau membunuh tentara atau populasi penduduk dalam suatu tindakan perang atau terorisme.
Propagasi massa hayati dan Bioterorisme
Pada masa yang bersamaan pengembangan keamanan mikroba di lingkungan menjadi bagian besar perhatian untuk maksud-maksud perdamaian dan pertahanan keamanan suatu negara, sebaliknya erat berkaitan dengan kemampuan mikroba sebagai sarana persenjataan perang, yang dikenal dengan senjata biologi (hayati), atau sering dikonotasikan dengan senjata pembunuh massa.
Persenjataan biologi mendapat perhatian sejumlah kalangan pada akhir-akhir ini karena berkaitan dengan kemudahan pembuatan dan propagasi massa hayati (mikroba) tidak saja oleh ahli biologi/mikrobiologiwan semata tetapi juga mereka yang berpengalaman dalam kerja laboratorium propagasi sel (kultur jaringan). Keahlian demikian diketahui atau dicurigai mendapat pasokan dana atau menjadi alat kekuasaan beberapa pejabat atau rejim pemerintahan dan kelompok radikal/ekstrimis untuk mendukung misi atau untuk penggunaan terorisme. Walaupun kenyataan bahwa senjata biologi sangat bermanfaat dalam penanganan kekuatan militer biasa, kemungkinan terbesar penggunaan senjata biologi boleh jadi oleh kelompok terorist ini merupakan bagian dari para mikrobiologiwan yang terlatih dengan ketrampilan laboratorik tinggi.
Ada organisasi bahkan negara sedang berkembang yang sangat miskin atau kelompok politik yang sangat ekstrim dapat membutuhkan keuangan sangat besar menguasai keahlian teknis untuk memeperoleh dan menggunakan senjata biologik. Jadi agen-agen ini berpotensi merusak massa yang terselubung yang ekivalen dengan bom atom oleh orang-orang di negara maju.
Adanya bakteri patogen dan atau virus yang sangat bermanfaat untuk “perang hayati” dan banyak anggotanya sangat mudah untuk memperolehnya, mengembangbiakannya dan menyebarluaskannya.
Mikroorganisme yang sangat umum menjadi agen-agen tersebut dapat disebutkan sebagaiu berikut:
1) Bacillus anthraxis agen penyebab anthrax. Oleh karena B. anthraxis menghasilkan endospora yang bila disemprotkan akan dapat menyebar luas sangat efektif Bakteri patogen melalui inhalasi berupa bentuk spora atau bakteri hidup dan menyebabkan infeksi paru-paru dengan laju mortalitas hampir 100 persen. Pencegahan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan vaksinasi, namun jarang tersedia vaksin, meskipun tidak terjadi penjalaran melalui persentuhan. Endospora Baccillus ini telah lama digunakana untuk “senjata hayati”, karena mudah diperoleh, yang bersifat endemik pada ternak dan hampir di seluruh dunia. Mudah memproduksi spora dalam jumlah besar dan bertahan lama kemampuan hasil daya-toksisnya. Seringkali bioterorisme dikaitkan dengan spora Bacillus anthraxis , dan Paul Keim, 2001, ahli dalam identifikasi strain anthrax, telah menyimpan koleksi strain sebanyak 1300 dari seluruh dunia.
Dengan teknik identifikasi yang memfokuskan pada sejumlah variasi ulangan tandem dan spot pada genom mikroba ini. Spora ini telah digunakan semenjak Perang Dunia I dan selama “ perang dingin” Ameriak Serikat dan Uni Soviet masih melanjutkan pengembangan program persenjataan hayati ini secara- besar-besaran yang melibatkan ribuan orang, teknik yang lebih canggih dan penyempurnaan daam penyediaan secara cepat maupun penyampaian kepada sasaran yang dikenai.
Spesies lain yang menghasilkan bentuk endospora dan sangat resisten adalah
2) Clostridium botullinum. Calon yang lebih eksoktik adalah agen yang berupa racun botulinum yang dihasilkan bakteri ini. Racun yang bersifar aerosol meskipun membran mukus dapat menyerap racun ini, tapi dapat digunakan sebagai “senjata hayati”. Botulisme ini dapat dicegah dengan vaksinasi, tapi seringkali tidak tersedia, tetapi antitoksin banyak tersedia dan tidak bersiat menular
3) Virus Smallpox juga menjadi calon untuk “persenjataan hayati”, walaupun vaksin smallpox (cacar) yang sangat efektif, belum digunakan secara teratur selama lebih dari 20 tahun karena smallpox telah diberantas di seluruh dunia pada 1980. Akibatnya lebih dari 90% populasi penduduk dunia kini kurang mendapat vaksin yang memadai dan mudah terjangkit penyakit ini.. Virus ini sejak diketahui tok sisitasnya dijadualkan untuk dirusak pada 1999 dan dapat diperkirakan bahwa agen ini secara tetap berpotensi.menjadi daftar calon “senjata hayati”. Penyakit variola ini telah diketahui merupakan salah satu pembunuh terbesar dunia. Lebih kurang 4000 tahun lampau diperkirakan 10 juta orang mati karena penyakit ini.
Penyakit yang menjadi pembunuh besar lainnya adalah wabah pes (bubonic plague),.
4) Yersinia pestis; mikroorganisme yang bertanggungjawab selama wabah pandemik abad pertengahan, itu Hampir sepertiga seluruh populasi daratan Eropah, kurang lebih 25 juta orang antara tahun 1346 dan 1350 mati karena penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini. Pentingnya cara penjalaran penyakit ini oleh kutu yang hidup pada hewan mengerat yang menggigit seseorang dan kemudian terinfeksi Yersinia pestis, karenanya penyakit wabah pes ini masih berpotensi disalahgunakan sebagai calon “senjata hayati”. Bakteri membelah berlipatganda dengan cepat dalam nodus limfa, tetapi tidak menular dan memiliki laju mortalitas 50 – 75%.
Beberapa calon mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai “senjata hayati” lainnya misalnya:
5) Salmonella typhi (penyakit-penyakit melalui makanan atau media air) dan tergantung dari jumlah minimum tertentu patogen dalam tubuh untuk menyebabkan gejala sakit. Salmonellosis yang disebabkan oleh bakteri jenis ini, rata-rata 47.500 kasus per tahun dijumpai di Amerika Serikat. Gejala penyakit ini umumnya dikenal dengan demam tiphus, yaitu diarhae, mual-mual, muntah dan demam tergantung dari virulensi strain Salmonella.
6) Francisella tularensis (demam kelinci) penyebab tularemia, dan
7) Brucella abortus (demam dan bacterimia), keduanya mampu menyebabkan infeksi fatal.
8) Virus Rabies dan
9) Virus Ebola.
Banyak diantara agen-agen yang menyebabkan penyakit selama beberapa hari atau minggu pemaparan dengan laju kematian yang tinggi.
Suatu sifat umum agen pembawa penyakit yang dapat disebarluaskan adalah dalam bentuk aerosol yang mudah menyebar luas serta menginfeksi secara sederhana dan cepat, Pada 1962., terjadi satu ledakan smallpox (cacar) lalu di negara-negara maju terjadi di Jerman.. Penyakit ini menginfeksi para pekerja Jerman sepulang dari Pakistan, terkena wabah cacar yang segera berkembang dan dirawat serta dikarantinakan.. Oleh karena batuk pasien tersebut, berakibat menginfeksi 19 orang menjadi tervaksinasi, setidaknya satu orang meninggal dunia,. Pada kassus lain di Sverdlovs Rusia, sekurangnya satu gram spora telah menyebar ke atmosfer dari fasilitas persenjataan, dan setiap orang disekitar area itu terimunisasi dan diberikan terapi antibiotik profilaksis segera setelah kasus anthrax pertama kali diketahui.
Sekitar 77 orang di luar fasilitas itu terjangkit anthrax sedang 66 individu lainnya mati. Pada tahun 1984 ekstrimis keagamaan di USA menginokulasi Salmonella dalam salad di 10 kedai makanan, yang telah menyebabkan 751 kasus salmonellosis makanan terjadi di daerah yang biasanya hanya 10 %.
Kabar terakhir Lembaga Genetika di Tashkent, Uzbekistan 1996 telah mengungkapkan hasil penelitiannya mengenai jenis jamur (fungi) yang menyerang sistem perakaran tanaman pertanian sebangsa opium poppies. Lembaga yang didukung oleh Dinas Militer Uni soviet ini pada masa itu ditugaskan sebagai pusat pengkajian peran mikroorganisme perusak tanaman pertanian. Pertanian opium merupakan tanaman penghasil bahan narkotika yang cukup tinggi nilai ekonominya, oleh karenanya seorang ahli penyakit tanaman berkevbangsaan Inggris Paul Rogers menyatakan adanya bukti baru penggunaan “senjata hayati” terhadap tanaman pertanian.
Dampak penyalahgunaan peran mikroorganisme
Penyalahgunaan peran mikroorganisme untuk kegiatan yang merugikan seperti halnya bioterorisme ini berdampak sangat luas. Pengawasan dan kewaspadaan terhadap bahaya bioterorisme yang harus selalu ditingkatkan dengan berbagai upaya pengembangan sidik-cepat dan upaya penanggulangannya merupakan kajian yang memerlukan biaya operasi cukup besar. Negara adidaya Amerika Serikat misalnya dalam tahun anggaran belanja 2002 harus menjatahkan dana sebesar lebih kurang 1.500. juta dolar. Dampak penyalahgunaan peran ini sangat meluas baik dari segi politik maupun ekonomi, keamanan, kesehatan dan bahkan peradaban suatu bangsa. Pemberlakuan hukum dalam rangka antisipasi keamanan warganegara dan atau undang-undang perdagangan dalam negeri negara adikuasa itu pun terhadap bahaya bioterorisme secara langsung ataupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara pengekspor komoditas ke negara maju. Rentetan administrasi dan registrasi yang harus memenuhi baku prasyarat keamanan bahaya bioterorisme itu berakibat penambahan prosedur dan beban ekonomi yang tidak saja makin berbelit dan biaya tinggi juga waktu dan tahap penyesuaian yang berlarut. Ironinya banyak dugaan dan ataupun isu yang berkembang asal muasal bioterorisme tidak lepas dari kondisi sosekpolkam negara berkembang dan kekhawatiran negara maju yang berlebihan.
Di lain pihak akhir-akhir ini digalakkan lagi pembuatan vaksinasi besar-besaran guna mengantisipasi aksi ini. engan pemberian vaksinasi dimungkinkan seseorang mengalami kekebalan permanen terhadap penyakit yang ditimbulkan spesies yang sama, meski sampai saat ini lebih kurang seperempat abad lalu penyakit ini dinyatakan telah musnah, misalnya penyakit cacar (variola).
Kesimpulan
Mikroorgansime sebagai bagian struktur biotik dalam ekosistem maupun biosfer memiliki peran besar dalam kehidupan umat manusia di planet bumi ini, yang berfungsi unik, sebagai pengurai atau dekomposer dalam tingkatan trofik ekosistem yang seringkali sangat bermanfaat bagi keberlanjutan kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Namun di pihak lain mikroorganisme dapat berakibat merusak dan kehancuran sendi-sendi kehidupan umat manusia itu sendiri bilamana manusia tidak dapat mengendalikannya ataupun diri manusia itu sendiri.
Bentuk penyalahgunaan peran mikroorganisme yang tidak sepatutnya seperti bioterorisme, dan sebaliknya yang seharusnya untuk kemaslahatan umat manusia, dapat berdampak sangat luas memasuki sendi-sendi kehidupan manusia
Daftar Pustaka
Atlas, RM and R. Bartha. 1999. Microbial Ecology : Fundamentals and Applications. Benjamin Cummings Publisher, USA.
Bioterorisme : URL http://www.ncid.htm 23 Mei 2003
Bioterrorism: URL: http://www.Cdc.gov/ncidod/EID/vol3no2/kaufman.htm 30 Maret 2003 ;
Enserink M and E. Marshall, 2002. News of the Week: Biodefense,Eternal-Universe Idea Comes Full
Circle, Science, Vol 296 – 26 April 2002
Enserink M, 2002, News of the Week: Biological and Chemical Warfare, Science, Vol 298 – 18 October 2002
Jenifer Couzin, 2002. Focus: Bioterrorism, A Call for restraint on Biological data. Science, Vol. 297 - 2 August 2002
Kaiser, J, 2002. News of the Week: 2003 Budget, Bioterrorism Drives Record NIH Request. Science, Vol 295 – 1 February 2002
Madigan, MT, JM Martinko and J. Parker. 2000. Brock Biology of Microorganisms. Prentice. Hall Publishers USA.
Michell, R. 1992. Environmental Microbiology. John Wiley and Sons Inc Publisher NY.
Nester, E.W. and CN Sawyer, 2003. Microbiology: A Human Perspective. Mc GrawHill Inc. Publisher NewYork
Ollsnes S and Wesche, 2001. Science’s Compass: Perspectives Microbiology, Fighting Anthrax with a Mutant Toxin. Science, Vol 292 – 27 April 2001
Stone, R, 2000, News of the Week: BioterrorismExperts Call Fungus Threat Poppycock, Science, Vol 290 – 13 October 2000
SUMBER
Edwi Mahajoeno. Penyalahgunaan mikroorganisme dalam kesejahteraan manusia.
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
17:42
0
comments
Labels: Tulisan Ilmiah
REVEALED! The Japan–US Rice War Drama That Shook the World: From Crop Crisis to GATT Tariffication!
A.
IDENTIFICATION
1. The Issue
This case
involves the United States, which demanded that Japan replace all of its import
bans and quotas on rice with tariffs—a policy known as “tariffication”—through
the GATT Uruguay Round of multilateral negotiations.
On September
30, 1993, the Japanese government decided to enter the international rice
market on a major scale for the first time in three decades. Due to a cool, wet
summer and an outbreak of blight, Japan faced its worst rice harvest in the
postwar period—only 74% of the previous year’s harvest—and was forced to
purchase, on an emergency basis, foreign rice over the next 12 months (two
metric tons, about one-fifth of annual consumption) to bridge the supply
shortfall.
Consequently,
Japan became the largest rice importer in the world. On December 14, 1993, the
Japanese government accepted a limited opening of the rice market under the
GATT plan. However, the bumper rice crop in 1994 resulted in much of the
imported rice piling up unused in warehouses nationwide.
In 1994,
Japan harvested 11.98 million tons of rice, compared with 7.83 million tons the
previous year. (This situation is similar to the Japan Apple Imports case; see
the APPLE case for comparison.)
[Source:
Cordy, Jennifer. “Growing Japanese Rice Glut is Causing a Sticky Situation for
Foreign Growers,” Asian Wall Street Journal Weekly, September 5, 1994,
p.A4.]
2.
Description
This dispute
emerged in the context of bilateral trade negotiations between the United
States and Japan. The logic behind the U.S. demand for Japan’s market opening
was largely derived from the U.S.’s US$50 billion trade deficit with Japan.
[Smith,
Charles. “Staple of Dispute: Tokyo Hints at Concessions on Rice Trade,” Far
Eastern Economic Review, vol.155, no.40, October 28, 1993, p.33.]
Thus, the
GATT proposal became one element in the broader U.S.–Japan trade dispute. It
represented a symbolic issue, reflecting Japan’s “sagging, heavily regulated”
market, alongside sectors such as medical equipment, telecommunications,
insurance, and auto parts.
[Sapsford,
Jathon and Williams, Michael. “Panel Proposes Basic Shift in Japan Economic
Policy,” Asian Wall Street Journal Weekly, December 20, 1993, p.A7.]
Rice
protectionism became a global symbol of Japanese market rigidity and a frequent
target of criticism for Japan’s large trade surplus.
[The
Economist, “The Voice of Rice: Korean for Protection,” vol.7841, no.329,
December 11, 1993, p.34.]
Japanese
manufacturers, major beneficiaries of multilateral trade regimes, were
concerned that a Japanese-instigated collapse of the Uruguay Round would harm
their interests.
[Far
Eastern Economic Review, “Away from the Brink: Japan on Defensive as GATT
Talks Look to Restart,” December 23, 1992, p.53.]
In contrast,
Japan argued that foreign rice imports must be restricted to ensure
self-sufficiency in the country’s staple food. Globally, only 3–4% of world
rice production (around 14 million tons) enters international trade. The U.S.
share of world production is about 2%.
[The
Economist, “Starters-and-Stripes Sushi: Rice Production,” November 27,
1993, p.30.]
The U.S. Rice
Millers Association (RMA) initially requested a quota of up to 2.5% of the
Japanese market. Although the U.S. Trade Representative (USTR) rejected this
request in October 1986, it agreed to include the issue in the 1987 Uruguay
Round negotiations.
By 1993, the
Clinton administration signaled it would act under Section 301 sanctions if
Japan maintained its rice import ban. Japan’s Central Union of Agricultural
Cooperatives and other domestic groups strongly opposed the move. Resistance
came not only from farmers but also from consumers, sparking a nationwide
debate in late 1993.
From Japan’s
perspective, the issue extended beyond economics—it involved food
self-sufficiency and cultural identity. In 1989, Japan was the world’s largest
net agricultural importer, with a self-sufficiency ratio that had declined to
46% by 1991 (France: 143%; U.S.: 113%; West Germany: 94%).
Rice
accounted for 26% of total caloric intake in Japan, down from 50% in 1960.
[Soda, Osamu.
Fact about Japan: Japanese Agriculture, International Society for
Educational Information, Tokyo, 1993, p.6.]
Calorie
self-sufficiency declined steadily after World War II—73% (1965), 52% (1985),
and 46% (1991). Among major food items such as wheat (12%), soybean (4%), beef
(52%), and sugar (36%), only rice remained fully self-sufficient (100%).
[Soda, 1993,
p.4.]
As of 1990,
Japan’s total agricultural production value was 11.42 trillion yen, consisting
of rice (28%), livestock (27%), vegetables (23%), fruit (9%), and others (13%).
Since
domestic rice prices were about seven times higher than international prices,
tariffication threatened to push farmers out of business and endanger rice
self-sufficiency in the 21st century—a matter tied to national security.
Culturally,
rice is central to Japanese life. The word gohan means both “rice” and
“meal.” Thus, “Did you eat a meal?” literally translates to “Did you eat rice?”
Japan’s
government predicted that substantial rice imports would not begin until late
1995 due to surplus stocks from the 1994 bumper harvest.
[Journal
of Commerce, “Japanese Say Substantial Imports of Rice Unlikely Until Late
1995,” April 11, 1995, p.A5.]
3. Related
Cases
Korean Case:
Korea also
negotiated through GATT for rice market liberalization, accepting the same
agreement as Japan with a 10-year moratorium. Prime Minister Kim Young Sam
apologized to farmers for ending government protection and subsidies.
[Islam,
Shanda. “A Deal, of Sorts: GATT Comes up with an 11th-Hour Global Trade
Accord,” Far Eastern Economic Review, vol.156, no.50, December 23, 1993,
p.54.]
However, the
impact on Korea was more severe. In 1991, rice production accounted for 3.1% of
Korea’s GNP, compared with Japan’s 0.6%. Korean farmers derived one-fourth of
their income from rice, compared to one-eighth in Japan. The Korean Foreign
Economic Institute estimated that the agreement would reduce Korea’s trade
surplus with the U.S. by US$1.4 billion annually but cause losses of US$50
million per year for farmers.
[Hasegawa,
Hiroshi, “Read the Six Years; After the Opening Rice Market,” Asahi Shinbun
Weekly AREA, December 20, 1993, p.16–17.]
Keyword
Clusters:
(1) Trade
Product: Rice
(2)
Bio-geography: Temperate
(3)
Environmental Problem: Habitat Loss
Draft Author: Junko Saito
B. LEGAL
CLUSTERS
5. Discourse
and Status: Agreement and Complete
An agreement
was reached on December 15, 1993. It stipulated that tariffication would take
effect after a six-year period during which Japan would import between 4% (4
million tons) and 8% (8 million tons) of total consumption.
[Smith, Charles. “Rice Resolve: Tokyo Makes Last-Minute Concession on Imports,”
Far Eastern Economic Review, vol.156, no.50, December 23, 1993, p.14.]
This
agreement affected the Food Control Law, which granted the government
broad powers over rice markets and import restrictions. Originally enacted
during World War II, the law might need revision or reinterpretation to permit
market liberalization.
6–8. Forum,
Scope, and Legal Standing
- Forum and Scope: Japan and multilateral
- Decision Breadth: MULTI (USA, Thailand, Myanmar, etc.)
- Legal Standing: Treaty (GATT provision invoked; Japan
lifted the rice import ban in December 1993)
Japan’s
participation in the world rice trade significantly influenced global prices.
Iwakura, Director General for Agricultural Policy at the Liberal Democratic
Party, warned that Japan’s import of 1 million tons could sharply increase
prices. Indeed, international prices rose steadily as Japan became a major
player in the thin global rice market.
[Smith,
Charles. “Steamed Up: Japan's Rice-Import Ban Stays, Despite Shortfall,” Far
Eastern Economic Review, vol.156, no.41, October 14, 1993, p.73.]
At the same
time, exports of Japanese rice-polishing equipment surged as Asian nations
prepared for expanded global trade following the Uruguay Round. In 1995,
Japanese manufacturers expected a 30–50% increase in export value.
[Japan
Agrinfo Newsletter, vol.12, no.6, International Agricultural Council,
Tokyo, February 1995, p.5.]
C. GEOGRAPHIC
CLUSTERS
- Geographic Domain: Asia
- Geographic Site: East Asia
- Geographic Impact: Japan
- Sub-National Factors: No
- Type of Habitat: Temperate
D. TRADE
CLUSTERS
Japan agreed
to import 4–8% of its total rice consumption between 1994 and 2000 under a
“minimum access clause,” representing a transition toward tariffication.
Economic Data
(1991–1992):
- Farmers as % of total population: 10.9%
- Number of farming households: 3.8 million
(3.1%)
- Agricultural GDP share: 2.4%
- Rice production share: 0.6%
- Rice income share per household: 4%
- Full-time vs. part-time farmers: 12.1%
- Rice paddy area share: 13.7% of total
land
Japan planned
to import 200,000 metric tons of foreign rice by late 1993, mainly from
Thailand. By 1994, imports reached 500,000–600,000 metric tons, with the
remainder sourced from the U.S. and China.
[Owens,
Cynthia. “Thai Could Get Big Boost if Japan Opens Rice Market,” Asian Wall
Street Journal Weekly, December 13, 1993, p.A20.]
E.
ENVIRONMENT CLUSTERS
Environmental
Problem Type: Source problem—potential rice paddy loss (DEFOR).
Rice paddies
in Japan play an essential role in maintaining environmental balance, acting as
greenbelts, water purifiers, and groundwater reservoirs.
Species:
- Name: Rice (Oryza sativa)
- Type: Japonica (short-grain, sticky when
cooked)
- Diversity: N/A
Impact: Low–medium
scale, lasting several years.
Substitutes: Conservation
(CONSV).
VI. OTHER
FACTORS
25. Culture:
Yes
For the
Japanese, the symbolic importance of rice is deeply rooted in their cosmology —
rice as soul, rice as pure money, and ultimately, rice as self. During the Edo
era (1603–1867), rice circulated as an intermediate form of currency. Sushi,
one of Japan’s traditional dishes, originally emerged as a way to preserve fish
by layering rice and fish alternately in a wooden pail for fermentation. Today,
this traditional form is known as oshi-zushi.
Although the
Japanese have eaten rice since ancient times, it was only after the nineteenth
century that rice became the national staple food. Consequently, rice has been
valued as a special food closely associated with rituals. Rice harvest
ceremonies, both among the common people and at the imperial court, have long
been a major cultural institution.
In ancient
times, the Japanese emperor himself was the shaman who presided over
rice harvest rituals. These ceremonies symbolized cosmic rejuvenation through
an exchange of souls — that is, selves — as embodied in rice. People believed
rice possessed mysterious supernatural powers. One ancient custom, for example,
involved shaking rice inside bamboo so that a dying person could hear its sound
at their deathbed. In mountain regions, rice was even referred to as “the
Buddhist Saint (Bosatsu).” The Japanese word for “offering to the gods,” osonae,
was used to describe rice cakes prepared for ritual services, reflecting the
central role of rice in formal offerings to deities.
Rice was
never regarded as a mere grain but as a personified being with a soul.
Cultivating rice was viewed not simply as an economic activity but as a deeply
spiritual and religious practice. Farmers embraced the notion of ina-dama,
the soul of rice, and personified the crop itself. Even today, many people
believe that the spirit of rice — known as the God of the Rice Paddy — dwells
in the last rice stubble remaining after harvest. The person who reaps this
final stalk traditionally brings it home and performs a small ceremony. This
custom continues to be practiced in rice harvest rituals today.
Rice paddies
have long been a recurring theme in Japanese art — depicted in woodblock
prints, paintings, and even modern travel posters designed to entice urban
residents to visit the countryside. They serve as intimate representations of
agriculture, rural life, the changing seasons, and the nation’s past. As a
metaphor for self, rice paddies embody one’s ancestral land, village, region,
and ultimately, Japan itself. Thus, the Japanese people maintain a deep and
enduring cultural attachment to rice.
26.
Trans-Border: No
27. Rights:
No
28. Relevant
Literature
- Ohunuki-Tierney, Emiko. Rice as Self.
Princeton University Press, 1993.
- Avery, P. William. World Agriculture
and the GATT. Lynne Reinner Publishers, 1993.
- Inoue, Hisashi. Inoue Hisashi no Kome
Koza [Mr. Inoue's Lecture on Rice]. Tokyo: Iwanami Shoten, 1989.
- Inoue, Hisashi. Zoku-Inoue Hisashi no Kome Koza [Mr. Inoue's Lecture on Rice: Part II]. Tokyo: Iwanami Shoten, 1991.
References
- Asahi Nenkan
1994 [Asahi Yearbook 1994]. Asahi Shinbun Sha, Tokyo, 1993: 164–167.
- The Economist. “Starters-and-Stripes Sushi: Rice
Production,” November 27, 1993: 30.
- The Economist. “The Voice of Rice: Korean for
Protection,” Vol. 7841, No. 329, December 11, 1993: 33–34.
- The Economist. “Ricable: World Trade,” Vol. 7831, No.
329, October 2, 1993: 75–76.
- Freidland, Jonathan and Smith, Charles.
“Staple of Dispute: Tokyo Hits at Concessions on Rice Trade,” Far
Eastern Economic Review, Vol. 156, No. 43, October 28, 1993: 22.
- Cramer, Gail L., Waules, Eric J., and
Shui, Shangna. “Impact of Liberalizing Trade in the World Rice Market,” American
Journal of Agricultural Economy, Vol. 75, February 1993: 219–226.
- Fukui, Yuki. “Japan Agriculture on the
Rips,” Tokyo Business Today, Vol. 62, No. 12, December 1994: 28–29.
- Hasegawa, Hiroshi. “Read the Six Years;
After the Opening Rice Market (Kome Koaiho Rokunengo O Yomu),” Asahi
Shinbun Weekly AERA, December 20, 1993: 16–17.
- Hasegawa, Hiroshi. “Jiritsu Seyo Kome
Noumin [Rice Farmers, Be Independent],” Asahi Shinbun Weekly AERA,
November 22, 1993: 26–28.
- Machight, Susan. “Short Rice Crop Posed
Challenges, Opportunities for Tokyo,” Japan Economic Institute Report,
No. 37b, October 8, 1993: 8–10.
- Japan Agrinfo Newsletter, Vol. 11, No. 12, International
Agricultural Council, Tokyo, August 1994: 5–6.
- Islam, Shanda. “A Deal of Sorts: GATT
Comes Up with an 11th-Hour Global Trade Accord,” Far Eastern Economic
Review, Vol. 156, No. 50, December 23, 1993: 54.
- Japan Agrinfo Newsletter, Vol. 12, No. 6, International
Agricultural Council, Tokyo, February 1995: 5.
- Smith, Charles. “Rice Resolve: Tokyo
Makes Last-Minute Concession on Imports,” Far Eastern Economic Review,
Vol. 156, No. 50, December 23, 1993: 14.
- Smith, Charles. “Steamed Up: Japan’s
Rice-Import Ban Stays Despite Shortfall,” Far Eastern Economic Review,
Vol. 156, No. 41, October 14, 1993: 73.
- Soda, Osamu. Fact about Japan:
Japanese Agriculture. International Society for Educational
Information, Tokyo, 1993: 1–8.
- Yamagata, Yuichiro. “Probing the Impact
of the Uruguay Round,” Tokyo Business Today, April 1993: 34–36.
- Wander, Berber. “Rice Decision Strains
Coalition Unity, Jeopardizes Political Reform,” Japan Economic
Institute Report, No. 46b, December 17, 1993: 5–7.
#JapanRiceTrade
#GATTTariffication
#USJapanDispute
#FoodSecurity
#GlobalTradeIssues
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
16:32
0
comments
Labels: Food Security Japan, GATT Uruguay Round, global rice market, Japan Rice Trade, Japanese Agriculture, Rice Tariffication, Trade Policy Analysis, US–Japan Trade Dispute
Monday, 14 January 2008
Terungkap! Regulasi Impor Rempah Jepang yang Wajib Dipahami Eksportir Indonesia—Jangan Sampai Salah Langkah!
1. Tinjauan Pasar Jepang
Orang Jepang banyak menggunakan rempah-rempah (HS.090..) Karena dianggap selain untuk menambah cita rasa makanan juga untuk melancarkan pencernaan. Sehingga Jepang mengimpor rempah-rempah dalam jumlah cukup signifikan. Bentuk rempah-rempah yang biasa digunakan rumah tangga di Jepang adalah dalam bentuk powder (bubuk) dan pasta yang dikemas dalam tube dan dalam kemasan lainnya.
Rempah-rempah yang paling banyak digunakan orang Jepang adalah olahan wasabi (green horseradish), mustard, lada hitam, lada putih, cabe bubuk, bumbu kari. Sedangkan rempah-rempah lainnya yang juga biasa diimpor adalah: cardamom (kapulaga), cinnamon (kayu manis), cloves (cengkeh), coriander (ketumbar), nutmeg (pala), turmeric (kunyit) dan biji vanilla.
Produksi dari rempah-rempah yang dapat diimpor dikategorikan dalam 2 kategori yaitu produk yang sudah diolah (processed) dan semi olahan (semi-processed). Produk yang sudah diolah (final) adalah produk yang sudah dimasukkan kedalam kemasan dan siap untuk dipasarkan sedangkan pada produk semi olahan, rempah-rempah mentah (belum diolah) yang dicampur dengan rempah-rempah lainnya untuk diolah kembali oleh industri makanan. Informasi dari the Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF) permintaan akan rempah-rempah semi olahan peningkatannya cukup proposional.
Jepang mengimpor rempah dari beberapa negara, yang terbanyak dari Malaysia sedangkan Indonesia berada pada urutan ke 4 setelah China dan India. Jenis komoditi rempah-rempah yang mempunyai nilai dan volume terbesar adalah lada dan cabe bubuk. Impor dari Indonesia yang paling banyak adalah pala, lada dan kunyit.
2. Peraturan Impor
Peraturan dan prosedur impor rempah-rempah untuk makanan mengacu pada the Plant Protection Law and the Food Sanitation Law.
a. Plant Protection Law
Bertujuan untuk mengimpor dan mengekspor tumbuh-tumbuhan, seperti pada tanaman domestic diawasi dari penggunaan pestisida yang membahayakan, dan menjaga dari penyebaran penyakit tanaman. Sedangkan rempah-rempah yang diimpor dari luar negeri diwajibkan untuk menjalani pengawasan impor (karantina tanaman) sebagaimana ditentukan dalam peraturan ini.
Saat pengimporan, aplikasi Pengawasan Karantina Impor berikut sertifikat pengawasan yang dikeluarkan oleh pemerintah di Negara pengekspor harus diserahkan pada pos karantina tanaman saat kedatangan. Jika dalam pengawasan ditemukan serangga yang berbahaya, barang yang dipesan akan dikapalkan kembali ke Negara pengekspor. Namun, kunyit dan biji lada yang dikeringkan dibebaskan dari the Plant Protection Law, sama seperti rempah-rempah yang dikeringkan dan sudah dikemas untuk eceran.
b. Food Sanitation Law
Bertujuan untuk mencegah dari kondisi yang tidak sehat dan membahayakan yang mungkin timbul dari makanan dan minuman dan untuk meningkatkan dan mempromosikan sanitasi
kepada masyarakat.
Saat pengimporan, rempah-rempah diajukan ke pos karantina di pelabuhan pada saat melalui bea dan cukai berikut lampiran formulir Pemberitahuan Importasi Makanan.
Jika pengawasan kesehatan dianggap perlu sebagai hasil pengujian pada pemberitahuan dari importasi makanan, rempah-rempah akan diperiksa di bonded area dan importasi rempah-rempah diijinkan hanya apabila telah lolos uji. Pengawasan sanitari mungkin akan dibebaskan jika rempah-rempah sudah diawasi secara sukarela oleh organisasi pengawas domestik yang ditunjuk dan organisasi pengawas umum di negara pengekspor.
3. Prosedur dan Peraturan Penjualan
Pada saat spices dikemas dalam kemasan untuk eceran di Jepang, berikut adalah informasi yang diperlukan pada pelabelan untuk semua produk sesuai dengan Food Sanitary Law the Measurement Law and the Law Concerning Standarization and Forestry Products :
a. Nama produk
b. Bahan baku (Jika hanya satu bahan yang digunakan, dapat diabaikan)
c. Berat bersih
d. Tanggal kadaluarsa
e. Bahan tambahan (jika ada)
f. Metode penyimpanan
g. Nama dan alamat importer atau distributor
h. Negara asal (Jika spices langsung diimpor) Label harus dicantumkan pada kemasan dan dapat terlihat tanpa harus membuka kemasan atau pembungkus.
4. Rekomendasi
Saat eksportir mempertimbangkan untuk memperkenalkan produknya ke Jepang, sangat perlu untuk membentuk sistim kerjasama dengan importer Jepang atau pabrik/industri rempah-rempah yang mengerti secara baik pasar rempah-rempah Jepang, konsumen yang membutuhkan, system distribusi, dan peraturan yang berlaku. Melalui komunikasi yang terbuka dengan importer domestik dan industri rempah-rempah, eksportir akan mengetahui dan memahami kebutuhan konsumen Jepang dan memperoleh petunjuk dan cara yang lebih efektif untuk memperkenalkan produknya.
Pada saat merencanakan untuk menjual rempah-rempah dan hanya sedikit mengetahui pasar Jepang, dimana di negara tersebut rempah-rempah digunakan dalam jumlah besar dan harus melayani begitu banyak referensi.
Jika alasan-alasan mengapa spices diterima dan dapat dipakai di Jepang, pengenalan pasar sangat bermanfaat untuk studi lebih lanjut. Jika spices digunakan untuk memelihara kesehatan dimana pasar, eksportir membangun sebuah kesempatan untuk memperkenalkan rempah-rempah kepada pasar Jepang, dimana para konsumen akan berorientasi pada peningkatan kesehatan.
5. Instansi dan Organisasi Terkait
Instansi pemerintah terkait :
a. Food Industry Promotion Division General Food Policy Bureau Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries 1-2-1 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-0013, Phone : +81-03-3502-8111
b. Plant Protection Division Agricultural Production Bureau Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries 1-2-1 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-0013, Phone : +81-03-3502-8111
c. Plicy Planning Division, Departement of Food Sanitation Ministry of Health, Labor and Welfare 1-2-2 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-0013, Phone : +81-03-5253-1111
d. Weight and Measures Administration Council Industrial Science and Technology Policy and Environtment Bureau Ministry of Economy, Trade and Industry 1-1 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-0013, Phone : +81-03-3501-8111
Organisasi Perdagangan Terkait:
a. Japan Flavor & Fragrance Manufactures’ Association (JFFMA)
Ninjin Bldg, 6F, 4-7-1 Nihonbashihon-cho, Chou-ku Tokyo 103-0023, Phone +81-03-3663-2471
b. Ali Nippon Spice Association (ANSA)
c/o Tokyo Sales Office,K, Kobayashi & Co, Ltd. 2-13-1 Nishigahara, Kita-ku, Tokyo 114-0024, Phone : +81- 03-3940-2791
c. Japan Mustard Co-operative
c/o Nihon Shokuryo Shinbun Co, Ltd. 1-9-9 Yaesu, Chou-ku, Tokyo 103-0028, Phone : +81-03-3271- 4815
d. Japan Dried Vegetables Association (JDVA)
M-1 Bldg, 3F,3-4-1 Nihonbashi Kayaba-cho, Chuo-ku, Tokyo 103-0025, Phone : +81-03-3669-0286
Industri Rempah-rempah dan Importir:
a. House Food Industrial Co, Ltd
6-3 Kioi-cho, Chiyoda-ku, Tokyo 102-8560, Phone : +81-03-3668-0551
b. S&B Food Inc
18-6 Nihonbashi Kabuto-cho, Chuo-ku, Tokyo 103-0026, Phone : +81-03-3668- 0551
c. Yasuma Co, Ltd.
5-23-2 Nishi-Gotanda, Shinagawa-ku, Tokyo 141-0031, Phone : +81-03-3490-5211
d. Gaban Spice Co, Ltd
Tsukiji Shimizu Bldg, 3F, 3-7-10 Tsukiji, Chou-ku, Tokyo 104-0045, Phone : +81-03-3345-6741
e. Kaneka Sun Spice Co, Ltd.
1-10-19 Juso-Higashi, Yodogawa-ku, Osaka-shi, Osaka 532-0023, Phone : +81-06-6306-0311
f. Amari Koshin Shokuhin Co, Ltd.
13-295 Shin-machi, Fushimi-ku, Kyoto-shi, Kyoto Pref, 612-8081, Phone : +81-075-621-2447
SUMBER :
Japan External Trade Organization (JETRO)
#RegulasiImporJepang
#EksporRempah
#PasarJepang
#MAFFJapan
#FoodSanitationLaw
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
11:58
1 comments
Labels: Aturan MAFF Jepang, Ekspor Rempah Indonesia, Food Sanitation Law, Pasar Rempah Jepang, Peluang Ekspor Asia., Plant Protection Law, Regulasi Impor Jepang. Rempah-rempah Indonesia


