Klamidiosis Unggas
(Psittakosis, Ornithosis, Demam Burung Nuri)
Klamidiosis unggas merupakan infeksi bakteri sistemik yang paling sering disebabkan oleh Chlamydia psittaci. Kalkun dan itik lebih rentan dibandingkan ayam. Penyakit ini memiliki variasi tingkat keparahan, mulai dari subklinis hingga sangat virulen. Tanda-tanda klinis bersifat tidak spesifik, meliputi anoreksia, apati, penurunan produksi telur, diare, leleran mata, serta gangguan pernapasan. Diagnosis dapat dilakukan melalui uji serologis, kultur bakteri, atau pemeriksaan PCR. Penanganan dilakukan dengan pemberian antimikroba, seperti tetrasiklin. Klamidiosis unggas bersifat zoonotik dan dapat menyebabkan pneumonia atipikal pada manusia.
Klamidiosis
unggas dapat berupa infeksi subklinis yang tidak tampak secara klinis, atau
berkembang menjadi penyakit akut, subakut, maupun kronis pada burung liar dan
burung domestik yang ditandai dengan gangguan pernapasan, pencernaan, atau
infeksi sistemik. Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi di berbagai belahan
dunia.
Klamidiosis
unggas bersifat zoonotik dan dapat menyebabkan pneumonia atipikal pada manusia.
Penyakit ini disebut psittakosis atau demam burung nuri pada kelompok burung
psitasin, dan ornitosis pada burung nonpsitasin.
ETIOLOGI
DAN PATOGENESIS KLAMIDIOSIS UNGGAS
Chlamydia
psittaci, patogen utama penyebab klamidiosis unggas, merupakan
bakteri intraseluler obligat. Berdasarkan ikatan antibodi monoklonal terhadap
epitop protein membran luar utama (major outer membrane protein), telah
dikenali delapan serotipe unggas; enam di antaranya (A–F) menginfeksi spesies
unggas dan berbeda dari serotipe Chlamydia pada mamalia.
Strain
C. psittaci diklasifikasikan ke dalam sembilan genotipe berdasarkan
perbedaan genetik pada gen omp1. Tujuh genotipe di antaranya (A, B, C,
D, E, F, dan E/B) ditemukan pada spesies unggas dan umumnya sesuai dengan
serotipe yang ekuivalen. Enam genotipe tambahan kemudian dilaporkan.
Setiap
serotipe atau genotipe unggas cenderung berasosiasi dengan jenis burung
tertentu (lihat Tabel Hubungan antara Genotipe Chlamydia psittaci pada
Unggas dan Jenis Burung). Serotipe A dan D
bersifat sangat virulen pada kalkun dan dapat menyebabkan tingkat kematian ≥
30%. Serotipe B dan E paling sering diisolasi dari burung
liar. Serotipe unggas,
khususnya A, B, dan E/B, dapat menginfeksi manusia dan mamalia lainnya.
Siklus hidup C. psittaci melibatkan empat tahap, yaitu:
• Badan elementer (elementary bodies),
berupa partikel infeksius ekstraseluler yang resisten terhadap lingkungan
• Badan intermediat (intermediate bodies),
yaitu fase transisi intraseluler dengan morfologi di antara badan elementer dan
badan retikulat
• Badan retikulat (reticulate bodies),
merupakan tahap replikasi intraseluler
• Badan aberan (aberrant bodies),
yaitu partikel intraseluler yang tidak bereplikasi dan terbentuk pada kondisi
stres tertentu (misalnya akibat perlakuan antimikroba), yang dapat kembali
menjadi badan retikulat setelah faktor stres tersebut menghilang.
Chlamydia psittaci,
badan elementer
Gambar
(Sumber: Dr. Jean
Sander.)
Setelah badan elementer terhirup
atau tertelan dari lingkungan, partikel tersebut melekat pada sel epitel mukosa
dan masuk ke dalam sel melalui proses endositosis. Badan elementer yang berada
di dalam endosom pada sitoplasma sel menghambat pembentukan fagolisosom dan
kemudian berdiferensiasi menjadi badan retikulat yang aktif secara metabolik
namun tidak infeksius. Badan retikulat ini membelah dan berkembang biak melalui
pembelahan biner, hingga akhirnya membentuk sejumlah besar badan elementer yang
infeksius tetapi tidak aktif secara metabolik. Badan elementer yang baru
terbentuk selanjutnya dilepaskan dari sel inang melalui proses lisis.
HUBUNGAN ANTARA GENOTIPE UNGGAS CHLAMYDIA
PSITTACI DAN JENIS BURUNG
|
Jenis
Burung |
A |
B |
C |
D |
E |
E/B |
F |
|
Ayam |
+++ |
+++ |
+ |
+ |
|||
|
Burung
passerin |
+ |
++ |
|||||
|
Merpati,
tekukur |
+ |
++ |
++ |
+ |
|||
|
Spesies
psitasin (burung paruh bengkok) |
++ |
+ |
+ |
+ |
|||
|
Ratita
(burung tak terbang besar) |
++ |
||||||
|
Kalkun |
+ |
+ |
+ |
++ |
+ |
+ |
+ |
|
Unggas
air |
+ |
+ |
++ |
+ |
++ |
||
|
Burung
liar |
+ |
++ |
++ |
Keterangan:
+++ = Genotipe yang paling sering
berasosiasi dengan spesies atau kelompok burung tersebut
++ = Genotipe yang berasosiasi dengan
spesies atau kelompok burung tersebut
+ = Genotipe yang lebih jarang berasosiasi
dengan spesies atau kelompok burung tersebut
Spesies lain dalam famili Chlamydiaceae
umumnya memiliki jumlah inang unggas yang lebih terbatas. Spesies Chlamydia
lain yang diketahui menginfeksi burung antara lain:
• Chlamydia gallinacea: umum
pada ayam; juga menginfeksi kalkun dan ayam Mutiara
• Chlamydia
avium: merpati dan spesies psitasin
• Chlamydia buteonis: burung
pemangsa
• Candidatus Chlamydia ibidis:
burung ibis
Infeksi C. gallinacea bersifat
subklinis, namun dapat menyebabkan penurunan pertambahan bobot badan pada ayam
pedaging serta kematian pada telur ayam berembrio yang terinfeksi secara
eksperimental. Infeksi C. avium umumnya juga subklinis; meskipun
demikian, telah dilaporkan kasus langka penyakit pernapasan pada spesies
psitasin dan satu laporan penyakit fatal pada merpati picazuro. Strain Chlamydia
abortus yang berkerabat dekat dengan C. psittaci ditemukan pada
unggas dan burung liar, namun belum dikaitkan dengan kejadian penyakit. Potensi
zoonotik dari spesies Chlamydia tersebut masih perlu ditentukan.
EPIDEMIOLOGI KLAMIDIOSIS UNGGAS
Klamidiosis unggas merupakan
penyakit yang wajib dilaporkan; peraturan pemerintah daerah dan nasional harus
dipatuhi sesuai ketentuan yang berlaku. Penyakit ini memiliki distribusi
geografis global.
Infeksi klamidia telah
diidentifikasi pada sedikitnya 465 spesies burung, terutama burung dalam
sangkar (khususnya spesies psitasin), burung yang bersarang secara koloni
(misalnya kuntul dan cangak), ratita, burung pemangsa, serta unggas. Di antara
spesies domestik, kalkun dan itik paling sering terdampak.
Penularan
terutama terjadi melalui rute fekal–oral atau melalui inhalasi. Sekret
pernapasan dan feses burung terinfeksi mengandung badan elementer yang resisten
terhadap pengeringan dan dapat tetap infeksius selama beberapa bulan apabila
terlindungi oleh bahan organik (misalnya litter dan feses). Partikel di udara
dan debu berperan dalam penyebaran agen.
Setelah badan
elementer terhirup atau tertelan, masa inkubasi umumnya berkisar 3–10 hari,
namun dapat mencapai beberapa minggu pada burung yang lebih tua atau setelah
paparan dengan dosis rendah. Perjalanan klinis ditentukan oleh faktor inang dan
mikroba, rute serta intensitas paparan, dan penanganan yang diberikan.
Penularan
melalui artropoda pengisap darah (ektoparasit) dimungkinkan. Penularan vertikal
telah didokumentasikan pada beberapa spesies burung, termasuk kalkun, ayam, dan
itik.
Sumber
potensial C. psittaci meliputi:
• kontak
dengan burung terinfeksi yang menunjukkan gejala klinis maupun pembawa tanpa
gejala
• penularan
vertikal dari burung terinfeksi
• mamalia
terinfeksi
• artropoda
terinfeksi
• lingkungan
yang terkontaminasi
Faktor stres
(misalnya transportasi, kepadatan tinggi, masa reproduksi, cuaca dingin atau
basah, perubahan pakan, atau berkurangnya ketersediaan pakan) serta infeksi
penyerta—terutama yang menyebabkan imunosupresi—dapat memicu pelepasan
(shedding) agen pada burung yang terinfeksi laten dan menyebabkan kekambuhan
gejala klinis. Pada
kalkun, infeksi C. psittaci sering terjadi bersamaan dengan Ornithobacterium
rhinotracheale. Burung pembawa sering melepaskan agen secara intermiten
dalam jangka waktu lama. Persistensi C. psittaci pada kelenjar hidung
burung yang terinfeksi kronis diduga menjadi sumber penting pelepasan agen yang
berkelanjutan.
Infeksi laten jangka panjang tanpa
gejala yang berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun umum terjadi dan
dianggap sebagai hubungan normal antara Chlamydia dan inangnya.
Prevalensi infeksi sangat bervariasi antarspesies dan antarwilayah geografis,
dengan karakteristik sebagai berikut:
• Spesies psitasin paling sering
mengalami infeksi yang tampak secara klinis.
• Infeksi bersifat endemik pada
flok kalkun komersial; umumnya tanpa gejala atau hanya menunjukkan gejala
pernapasan ringan dengan tingkat kematian rendah. Kejadian wabah jarang
terjadi.
• Ayam relatif resisten terhadap
perkembangan gejala klinis klamidiosis, dan infeksi subklinis sering dijumpai.
• Burung liar sering menunjukkan
hasil seropositif terhadap C. psittaci.
TEMUAN
KLINIS DAN LESI PADA KLAMIDIOSIS UNGGAS
Derajat keparahan gejala klinis
dan lesi pada klamidiosis unggas bergantung pada virulensi agen penyebab, dosis
infeksius, faktor stres, serta tingkat kerentanan spesies burung. Infeksi
subklinis sering terjadi.
Gejala klinis meliputi:
• sekret hidung dan mata
• konjungtivitis
• sinusitis
• feses berwarna hijau hingga
hijau kekuningan, konsistensi lunak hingga berair (diare)
• demam
• inaktivitas
• bulu mengembang/kusam
• kelemahan
• penurunan nafsu makan
• distensi rongga koelom akibat
hepatosplenomegali
• penurunan bobot badan
• penurunan produksi telur
Pada burung
paruh bengkok (nuri/kakatua), gejala pernapasan, kelesuan, kelemahan, feses
hijau, dan distensi koelom sering ditemukan. Banyak burung paruh bengkok
terinfeksi secara subklinis.
Pada kalkun
dan ayam, gejala pernapasan lebih dominan. Diare berair sering dijumpai pada itik. Burung muda
lebih rentan mengalami penyakit berat. Ayam relatif resisten terhadap penyakit,
dan kematian terutama terjadi pada burung muda. Anak itik dapat menunjukkan
gemetar, gangguan keseimbangan saat berjalan, diare berair, konjungtivitis,
rinitis, anoreksia, dan penurunan bobot badan.
Konjungtivitis
dan rinitis dapat ditemukan pada merpati dewasa. Pada anak merpati (squab),
sering dijumpai poliseroitis fibrinosa, hepatitis, dan enteritis.
Hasil
pemeriksaan klinikopatologis bervariasi tergantung organ yang terlibat dan
tingkat keparahan penyakit. Perubahan hematologis yang paling sering dijumpai
adalah anemia dan leukositosis dengan heterofilia dan monositosis. Konsentrasi
asam empedu plasma, aktivitas AST, aktivitas LDH, serta kadar asam urat dapat
meningkat.
Pemeriksaan
radiografi, CT scan, ultrasonografi, dan laparoskopi dapat menunjukkan
pembesaran hati dan limpa serta penebalan kantung udara.
Temuan
nekropsi pada infeksi klamidiosis akut pada burung meliputi:
• poliseroitis
serofibrinosa (airsakulitis, perikarditis, periheitis, peritonitis)
•
bronkopneumonia
• nekrosis
hati
• hepatomegali
• splenomegali
Lihat gambar
klamidiosis akut dengan poliseroitis pada merpati serta klamidiosis dengan
hepatomegali pada burung lori.
Gambar
(Sumber: Dr. A. J.
Van Wettere.)
Klamidiosis
akut pada merpati
Gambar
(Sumber: Dr.
A. J. Van Wettere.)
Klamidiosis pada burung lori
(lorikeet)
Gambar
(Sumber: Dr. A. J.
Van Wettere.)
Lesi serupa juga dapat ditemukan
pada infeksi bakteri sistemik lainnya dan tidak bersifat spesifik untuk
klamidiosis unggas. Inklusi bakteri intrasitoplasmik kecil berbentuk granular
dan bersifat basofilik dapat diamati pada berbagai jenis sel (misalnya sel
epitel dan makrofag) melalui pemeriksaan sitologi dan histologi.
Pada infeksi
kronis, dapat ditemukan pucat serta pembesaran limpa atau hati. Nekrosis dan
inklusi bakteri umumnya tidak dijumpai. Pada burung yang terinfeksi laten, lesi
biasanya tidak terlihat, meskipun C. psittaci dapat tetap dikeluarkan
melalui sekresi saluran pernapasan dan feses.
DIAGNOSIS KLAMIDIOSIS UNGGAS
Untuk populasi/kawanan:
• uji serologis,
• nekropsi, dan
• uji PCR
Untuk individu:
• uji PCR atau
kultur bakteri,
• pengukuran
titer antibodi dari sampel berpasangan, atau
• kombinasi
uji serologis dengan PCR atau kultur
Karena variasi
gejala klinis yang luas serta seringnya ditemui pembawa laten, tidak ada satu
pun uji diagnostik yang dapat secara andal menentukan infeksi Chlamydia
spp. Oleh karena itu, digunakan prosedur untuk mendeteksi keberadaan agen
penyebab atau antibodi.
Secara umum,
semakin akut penyakit, semakin banyak organisme infeksius yang ada dan semakin
mudah diagnosis ditegakkan. Pada burung dengan kondisi akut, temuan
klinis—termasuk pemeriksaan hematologi, analisis biokimia, evaluasi radiologis,
atau lesi makroskopis yang khas—dapat digunakan sebagai dasar diagnosis
sementara.
Kombinasi uji
serologis dengan deteksi antigen, uji PCR, atau kultur merupakan skema
diagnostik yang praktis untuk mengonfirmasi klamidiosis. Pada burung individu,
sampel yang direkomendasikan untuk kultur bakteri atau PCR adalah swab
konjungtiva, koana, dan kloaka. Pengambilan sampel berulang selama 3–5 hari
dianjurkan untuk mendeteksi pengeluaran agen yang bersifat intermiten pada
burung dengan infeksi subklinis.
Antibodi
mungkin tidak terdeteksi, tergantung pada jenis uji yang digunakan serta
tingkat dan fase infeksi. Uji antibodi sering digunakan untuk membedakan
paparan sebelumnya dengan infeksi aktif. Interpretasi titer dari satu sampel
serum tunggal sulit dilakukan. Peningkatan titer empat kali lipat antara sampel
fase akut dan konvalesen bersifat diagnostik, dan titer tinggi pada sebagian
besar sampel dari beberapa burung dalam satu populasi cukup untuk diagnosis
presumtif.
Metode
serologis meliputi fiksasi komplemen langsung dan modifikasinya, aglutinasi
badan elementer, ELISA antibodi, dan imunofluoresensi tidak langsung. Uji
aglutinasi badan elementer mendeteksi IgM dan berguna untuk menentukan infeksi
baru. Metode fiksasi komplemen lebih sensitif dibandingkan metode aglutinasi.
Titer antibodi yang tinggi dapat bertahan selama bertahun-tahun setelah
pengobatan dan menyulitkan evaluasi pemeriksaan selanjutnya.
Infeksi oleh spesies Chlamydiaceae
lain, seperti C. gallinacea pada ayam serta C. avium pada merpati
dan burung paruh bengkok, dapat menyulitkan interpretasi uji serologis karena
antibodi yang terdeteksi kemungkinan tidak spesifik terhadap C. psittaci.
Metode deteksi
antigen meliputi analisis imunohistokimia (misalnya imunofluoresensi dan
imunoperoksidase) serta ELISA. In situ hybridization (ISH) juga dapat
digunakan untuk mendeteksi asam nukleat pada irisan jaringan.
Spesifisitas
dan sensitivitas kit ELISA yang dikembangkan untuk mendeteksi Chlamydia
trachomatis pada manusia masih belum pasti bila digunakan untuk mendeteksi C.
psittaci pada burung. Kit tersebut tampak memiliki spesifisitas yang baik
namun sensitivitas relatif rendah, sehingga tidak direkomendasikan untuk
diagnosis. Kit ini paling berguna pada burung yang menunjukkan gejala klinis.
Uji PCR merupakan metode yang
paling sensitif dan spesifik. Tersedia uji PCR untuk Chlamydiaceae
maupun C. psittaci. Namun, hasil pemeriksaan dapat berbeda antar
laboratorium akibat belum adanya standar primer PCR dan variasi metode
laboratorium. Hasil positif palsu juga perlu diwaspadai karena kontaminasi
silang dapat terjadi relatif mudah selama pengambilan sampel burung individu di
dalam satu kandang atau aviari.
Lesi makroskopis dan histologis
tidak bersifat patognomonik. Agen penyebab kadang-kadang dapat diidentifikasi
pada sediaan apus tekan dari jaringan yang terlibat (misalnya hati, limpa, dan
paru). Klamidia akan berwarna ungu dengan pewarnaan Giemsa dan merah dengan
pewarnaan Macchiavello serta Gimenez. Pemeriksaan imunohistokimia lebih
sensitif dibandingkan pewarnaan histokimia dalam mendeteksi bakteri pada
jaringan, namun reaktivitas silang dengan organisme nonklamidia dapat terjadi.
In situ hybridization dan mikroskop
elektron juga dapat digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis.
Isolasi dan identifikasi C.
psittaci dapat dilakukan pada embrio ayam atau kultur sel (misalnya BGM,
L929, Vero) di laboratorium yang memenuhi syarat. Swab kloaka, koana,
orofaring, konjungtiva, atau feses (menggunakan media transport khusus Chlamydia)
dari burung hidup, atau jaringan (terutama hati dan limpa) dari burung mati,
harus disimpan dalam kondisi dingin dan segera dikirim ke laboratorium.
Pembekuan, pengeringan, penanganan yang tidak tepat, serta penggunaan media
transport yang tidak sesuai dapat memengaruhi viabilitas agen. Laboratorium
sebaiknya dihubungi terlebih dahulu untuk petunjuk pengiriman sampel.
Infeksi bersamaan dengan penyakit
lain yang lebih mudah didiagnosis (misalnya kolibasillosis, pasteurelosis,
infeksi herpesvirus, dan penyakit mikotik) dapat menutupi keberadaan infeksi
klamidia. Oleh karena itu, temuan laboratorium harus dikorelasikan
dengan gambaran klinis. Klamidiosis harus dibedakan dari penyakit pernapasan
dan sistemik lainnya pada burung.
PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN KLAMIDIOSIS UNGGAS
Pendekatan
utama:
• tetrasiklin
• manajemen all-in all-out, biosekuriti,
sanitasi, dan karantina
Pengobatan klamidiosis unggas dapat mencegah
kematian dan mengurangi pengeluaran agen, tetapi tidak selalu mampu
mengeliminasi infeksi laten; pengeluaran agen dapat muncul kembali.
Tetrasiklin (klortetrasiklin, oksitetrasiklin,
doksisiklin) merupakan antimikroba pilihan. Resistensi terhadap tetrasiklin
jarang terjadi; namun, penurunan sensitivitas yang memerlukan dosis lebih
tinggi semakin sering dilaporkan. Tetrasiklin bersifat bakteriostatik dan hanya
efektif terhadap organisme yang sedang aktif membelah, sehingga memerlukan
durasi pengobatan yang panjang (2–8 minggu), dengan konsentrasi hambat minimum
dalam darah harus dipertahankan secara konsisten.
Doksisiklin saat ini merupakan obat pilihan karena
daya serapnya lebih baik, afinitasnya terhadap kalsium lebih rendah, distribusi
jaringan lebih luas, dan waktu paruh lebih panjang dibandingkan tetrasiklin
lainnya. Pemberian doksisiklin melalui pakan atau air minum juga dapat
menghasilkan kadar darah yang memadai serta lebih sedikit mengganggu flora
normal usus dibandingkan klortetrasiklin.
Dosis dan lama pengobatan bervariasi antarspesies.
Protokol yang berasal dari studi terkontrol pada spesies yang ditangani
sebaiknya digunakan bila tersedia. Rujukan tambahan dapat dilihat pada Compendium
of Measures to Control Chlamydophila psittaci Infection Among Humans
(Psittacosis) and Pet Birds (Avian Chlamydiosis) tahun 2017.
Pada sebagian
besar spesies, pengobatan harus dilakukan tanpa jeda selama 45 hari agar
antimikroba dapat mencapai C. psittaci pada fase replikasi siklus
hidupnya. Pada fase badan elementer di dalam makrofag, bakteri tidak dapat
dijangkau oleh antimikroba dan harus berada dalam kondisi aktif membelah agar
obat efektif. Apabila tetrasiklin diberikan secara oral, sumber kalsium tambahan
dalam pakan (misalnya blok mineral, suplemen, tulang sotong) perlu dikurangi
untuk meminimalkan gangguan absorpsi obat.
Pada parkit
(budgerigar), pengobatan selama 30 hari dapat efektif; studi terbaru
menunjukkan bahwa durasi lebih singkat, yaitu 21–30 hari, juga mungkin efektif.
Namun, mengingat parkit dapat membawa dan mengeluarkan C. psittaci tanpa
menunjukkan gejala klinis, banyak klinisi tetap memilih pemberian doksisiklin
selama 45 hari penuh.
Kejadian wabah
klinis pada flok unggas jarang terjadi. Pengobatan flok terinfeksi dengan pakan
mengandung klortetrasiklin (441–827 g/ton metrik pakan) selama minimal 2 minggu
terbukti efektif menurunkan risiko infeksi bagi pekerja rumah potong. Pakan berobat
harus diganti dengan pakan tanpa obat setidaknya 2 hari sebelum pemotongan dan
pengolahan. Suplementasi kalsium
harus dihentikan selama pengobatan klortetrasiklin, dengan kadar kalsium pakan
diturunkan hingga ≤0,7%. Jika eliminasi agen diupayakan, pakan berobat
sebaiknya diberikan selama 45 hari.
Residu oksitetrasiklin pada telur ayam petelur
dapat bertahan hingga 9 hari, sedangkan residu doksisiklin dapat bertahan
hingga 26 hari setelah pemberian 0,5 g/L dalam air minum selama 7 hari.
Penggunaan doksisiklin pada unggas pangan merupakan penggunaan extra-label
dan tidak disetujui untuk unggas penghasil pangan di Amerika Serikat. Dokter
hewan yang akan meresepkan obat ini pada hewan pangan harus memperoleh
persetujuan pemerintah terlebih dahulu.
Burung paruh bengkok (psittacine) merupakan
kelompok yang paling sering menunjukkan gejala klinis klamidiosis. Merpati juga
dapat terinfeksi C. psittaci; meskipun sering tidak menunjukkan gejala
klinis seberat burung paruh bengkok, merpati berperan penting sebagai reservoir
penularan zoonotik.
Burung terinfeksi umumnya diobati dengan
doksisiklin oral selama 45 hari tanpa jeda atau dengan doksisiklin injeksi
kerja panjang. Klinisi yang menggunakan doksisiklin injeksi perlu memastikan
formulasi yang digunakan, karena beberapa sediaan dilaporkan menyebabkan reaksi
jaringan, dan sediaan racikan tertentu dikaitkan secara anekdot dengan kematian
mendadak.
Validasi dosis doksisiklin untuk pengobatan
klamidia pada burung masih terbatas. Rekomendasi umum menunjukkan dosis oral
awal 25 mg/kg setiap 24 jam pada burung paruh bengkok, dengan rentang dosis
yang bervariasi antarspesies. Compendium memberikan kisaran dosis
sebagai berikut:
• kokatil: 25–35 mg/kg setiap 24 jam
• nuri Senegal serta nuri Amazon dahi biru dan
sayap oranye: 25–50 mg/kg setiap 24 jam
• nuri abu-abu Afrika, kakatua Goffin, macaw
biru-emas, dan macaw sayap hijau: 25 mg/kg setiap 24 jam
Dosis doksisiklin yang paling sering digunakan
untuk pengobatan nuri dan merpati adalah 25–50 mg/kg per oral setiap 12–24 jam.
Obat ini dapat menyebabkan regurgitasi, terutama pada macaw dan kakatua,
sehingga dianjurkan menggunakan dosis terendah pada spesies tersebut.
Selain doksisiklin, azitromisin oral (40 mg/kg
setiap 48 jam selama masa terapi) telah dilaporkan efektif untuk pengobatan
pada kokatil.
Doksisiklin injeksi efektif untuk mengobati
psittakosis bila diberikan dengan dosis 60–100 mg/kg secara subkutan atau
intramuskular setiap 5–7 hari selama 45 hari. Namun, pemberian intramuskular
dapat menyebabkan inflamasi dan nekrosis jaringan, sehingga rute subkutan
umumnya lebih disarankan.
Semua burung yang pernah kontak dengan burung
sakit, meskipun tidak menunjukkan gejala klinis, sebaiknya turut diobati untuk
mencegah reinfeksi oleh pembawa subklinis.
Pada flok terinfeksi, penggunaan pakan
berklortetrasiklin selama 45 hari secara historis merupakan rekomendasi
standar, terutama pada burung impor. Namun, keterbatasan palatabilitas pakan
dan tingginya dosis antimikroba yang dibutuhkan untuk mencapai kadar darah
terapeutik membatasi penggunaannya.
Bila informasi spesifik tidak tersedia, dosis awal
empiris doksisiklin yang disarankan adalah 400 mg/L air minum atau 25–50 mg/kg
per oral setiap 12–24 jam selama 45 hari.
PENCEGAHAN
KLAMIDIOSIS UNGGAS
Saat ini belum
tersedia vaksin yang efektif untuk klamidiosis unggas.
Penerapan
biosekuriti yang tepat sangat penting untuk mencegah masuk dan penyebaran
klamidia dalam populasi burung. Standar biosekuriti minimal meliputi:
• karantina dan
pemeriksaan semua burung baru
• pencegahan
kontak dengan burung liar
• pengaturan
lalu lintas untuk meminimalkan kontaminasi silang
• isolasi dan
pengobatan burung sakit serta burung kontak
• pembersihan
dan disinfeksi menyeluruh terhadap kandang dan peralatan (idealnya dengan
sistem all-in all-out)
• penyediaan
pakan yang tidak terkontaminasi
• pencatatan pergerakan semua burung
• pemantauan berkelanjutan terhadap keberadaan
infeksi klamidia
Agen penyebab
peka terhadap panas (dapat diinaktivasi dalam <5 menit pada suhu 56°C) dan
sebagian besar disinfektan (misalnya amonium kuarterner 1:1.000, larutan
pemutih 1:100, alkohol 70%), tetapi resisten terhadap asam dan basa. Agen ini
dapat bertahan selama berbulan-bulan dalam bahan organik seperti litter dan
bahan sarang, sehingga pembersihan menyeluruh sebelum disinfeksi sangat
diperlukan.
RISIKO
ZOONOTIK KLAMIDIOSIS UNGGAS
Klamidiosis
unggas merupakan penyakit zoonotik yang dapat menginfeksi manusia melalui
paparan aerosol yang mengandung agen dari saluran pencernaan atau pernapasan
burung hidup maupun mati, atau melalui penanganan burung terinfeksi, jaringan
(misalnya di rumah potong), atau alas kandang.
Pada manusia,
penyakit paling sering terjadi akibat paparan burung paruh bengkok peliharaan
dan dapat terjadi meskipun hanya ada kontak singkat dengan satu burung
terinfeksi. Kelompok berisiko lainnya meliputi penghobi merpati, dokter hewan,
peternak, rehabilitator satwa liar, penjaga kebun binatang, serta pekerja rumah
potong dan unit penetasan. Penularan
zoonotik C. psittaci pada pekerja industri perunggasan kemungkinan masih
kurang terlaporkan.
Individu dianjurkan mengambil tindakan pencegahan
(misalnya penggunaan masker debu, pelindung wajah atau kacamata, sarung tangan,
penggunaan disinfektan deterjen untuk membasahi bulu, serta meja pemeriksaan
dengan sistem ventilasi buang) saat menangani burung hidup atau mati yang
terinfeksi.
Infeksi pada manusia bervariasi dari tanpa gejala
hingga munculnya gejala mirip influenza dan penyakit pernapasan seperti
pneumonia. Dalam kasus jarang, dapat terjadi endokarditis, miokarditis,
hepatitis, dan ensefalitis. Individu dengan gangguan sistem imun memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami gejala klinis klamidiosis unggas.
POIN
PENTING
• Klamidiosis
unggas merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh Chlamydia
psittaci.
• Diagnosis pada
burung dilakukan melalui uji serologis, nekropsi, dan PCR.
• Klortetrasiklin dan doksisiklin digunakan dalam
pengobatan klamidiosis.
• Klamidiosis merupakan penyakit yang wajib
dilaporkan, dan kasus pada manusia paling sering terkait dengan paparan burung
paruh bengkok peliharaan.
Untuk
Informasi Lebih Lanjut
Vanrompay D. Avian
chlamydiosis. Dalam: Swayne DE (ed.); Boulianne M, Logue CM,
McDougald LR, Nair V, Suarez DL (associate eds.). Diseases of Poultry.
Edisi ke-14. Wiley Blackwell; 2020:1086–1108.
Balsamo G, Maxted AM, Midla JW, dkk. Compendium of
measures to control Chlamydia psittaci infection among humans (psittacosis) and
pet birds (avian chlamydiosis), 2017. Journal of Avian Medicine and
Surgery. 2017;31(3):262–282.
Ravichandran K, Anbazhagan S, Karthik K, Angappan M,
Dhayananth B. A comprehensive review on avian chlamydiosis: a neglected
zoonotic disease. Tropical Animal Health and Production.
2021;53(4):414.
Zwijnenberg RJG, Vulto AG, Van Miert ASJPAM, Lumeij JT. Evaluation
of antibiotics for racing pigeons (Columba livia var. domestica) available in
The Netherlands. Journal of Veterinary Pharmacology and Therapeutics.
1992;15(4):364–378.
Gonzalez MS. Psittacine neonatology and pediatrics. Veterinary
Clinics of North America: Exotic Animal Practice. 2024;27(2):263–293.
REFERENSI
- Guzman,
DSM, Diaz-Figueroa O, Tully T Jr, et al. Evaluating
21-day doxycycline and azithromycin treatments for experimental
Chlamydophila psittaci infection in cockatiels (Nymphicus hollandicus). J
Avian Med Surg. 2010;24(1);2010:35-45. doi:10.1647/2009-009R.1
- Flammer
K, Papich M. Assessment of plasma concentrations and effects of
injectable doxycycline in three psittacine species. J Avian
Med Surg, 2005;19(3):216-224. doi:10.1647/2004-007.1
- Sanchez-Megallon
Guzman D, Beaufrere H, Welle KR, Heatley JJ, Visser M, Harms CA. Birds.
In: Carpenter JW, Harms CA, eds. Carpenter's Exotic Animal
Formulary. 6th ed. Elsevier Saunders; 2023:232.
SUMBER:
Arnaud J. Van Wettere, DVM, PhD,
DACVP & Mohamed El-Gazzar, DVM, MAM, PhD, DACPV 2025. Klamidiosis Unggas (Psittacosis,
Ornithosis, Parrot Fever). MSD Manual I Veterinari Manual. https://www.msdvetmanual.com/poultry/avian-chlamydiosis/avian-chlamydiosis.
#KlamidiosisUnggas
#Psittakosis
#PenyakitZoonotik
#KesehatanUnggas
#ChlamydiaPsittaci
