Jepang, sebagai salah satu
negara maju di dunia, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan peran penting
agama dalam kehidupan sosialnya. Masyarakat Jepang dikenal dengan
keterbukaannya terhadap berbagai aliran agama, meskipun mereka cenderung
bersikap pragmatis dalam memandang agama. Di balik itu semua, masyarakat Jepang
memiliki dua agama utama yang menjadi bagian penting dalam tradisi dan
kehidupan mereka: Shinto dan Budha. Kedua agama ini bahkan sering dipraktikkan
bersama dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan suatu fenomena yang unik dan
khas dalam tradisi keagamaan Jepang.
Menurut Dr. Hisanori
Kato, masyarakat Jepang memang dikenal memiliki agama, yang tercermin dalam
kepercayaan terhadap "amakudari", sebuah kepercayaan bahwa bangsa
Jepang memiliki rahmat dan perlindungan dari langit yang menjamin kelangsungan
hidup mereka. Kepercayaan ini mengarah pada keyakinan bahwa Jepang sebagai
bangsa yang "selalu akan survive", tidak hanya karena keberanian,
tetapi juga karena adanya bantuan dari kekuatan alam semesta. Selain itu, agama
Shinto yang merupakan agama asli Jepang, mempercayai adanya kekuatan spiritual
yang tersembunyi dalam alam, seperti gunung, batu, dan fenomena alam lainnya,
serta menghormati leluhur. Shinto tidak menganut nilai-nilai absolut dalam
ajarannya, sehingga memungkinkan pengaruh budaya dan agama asing untuk masuk
dan berbaur dengan ajaran ini.
Kehidupan keagamaan di
Jepang sangat dinamis dan menarik, mengingat pengaruh berbagai agama yang masuk
dan berkembang di negara ini. Agama Budha, yang diperkenalkan melalui Cina dan
Korea pada abad keenam, menjadi salah satu agama utama di Jepang. Sebagian
besar orang Jepang pada saat ini tidak hanya menganut satu agama, tetapi
menggabungkan ajaran Shinto dan Budha dalam kehidupan mereka. Bahkan, banyak
orang Jepang yang melaksanakan upacara pernikahan dengan tradisi Shinto,
sementara upacara pemakaman dilakukan menurut agama Budha. Di beberapa rumah,
terutama di daerah pedesaan, dapat ditemukan altar untuk Shinto dan Budha yang
berdampingan. Tidak jarang pula orang Jepang mengunjungi kuil Shinto, kuil
Budha, bahkan gereja Kristen, dalam rangka merayakan momen-momen penting dalam
kehidupan mereka.
Sikap orang Jepang
terhadap agama pun sangat pragmatis. Sebagaimana pendapat Wahyu Prasetiyawan,
bagi orang Jepang, yang terpenting bukanlah formalitas ibadah, melainkan niat
dan perbuatan baik. Menurut mereka, pergi ke tempat ibadah tidak ada gunanya
jika kelakuan sehari-hari tidak mencerminkan kebaikan. Oleh karena itu, mereka
lebih mengutamakan tindakan nyata seperti berperilaku baik terhadap tetangga,
rekan kerja, dan dalam hubungan sosial pada umumnya, daripada sekadar mengikuti
ritual keagamaan.
Pengaruh agama Budha
sangat terasa dalam budaya Jepang, terutama dalam etika kerja. Ajaran Budha,
yang mengajarkan pencapaian kesempurnaan melalui kesadaran spiritual, dalam
praktiknya juga mengedepankan kerja keras dan ketekunan. Hal ini terbukti dalam
cara orang Jepang mendekati pekerjaan mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh
dedikasi, sesuatu yang jarang terlihat di negara-negara lain, meskipun mereka
juga menganut agama Budha. Dalam konteks ini, agama Budha telah membentuk nilai
kerja keras yang sangat kuat dalam masyarakat Jepang.
Selain itu, perpaduan
antara Shinto dan Budha juga menciptakan fenomena unik yang dikenal dengan istilah
Shinbutsu Shuugo. Istilah ini merujuk pada penyatuan antara Shinto dan
Budha dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Misalnya, dalam kuil-kuil
Shinto, sering ditemukan unsur-unsur ajaran Budha, dan sebaliknya, di kuil
Budha, sering kali ada patung-patung dewa-dewa yang berasal dari ajaran Shinto.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam praktiknya, kedua agama tersebut saling
berbaur, dan masyarakat Jepang lebih fokus pada harmoni antar kedua agama
daripada memisahkannya secara kaku.
Kehidupan keagamaan
Jepang juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh agama-agama lain yang masuk ke
negara ini. Konfusianisme, yang memperkenalkan nilai-nilai etika dan moral,
juga memberikan dampak besar dalam pembentukan sistem sosial dan politik
Jepang. Agama Kristen, yang masuk setelah Perang Dunia II, meskipun tidak
sebesar Shinto dan Budha, juga menjadi bagian dari lanskap keagamaan Jepang.
Meskipun demikian, sebagian besar orang Jepang lebih memilih untuk mengabaikan
agama atau tidak terikat pada satu agama tertentu. Hal ini tercermin dalam
survei yang dilakukan oleh Winston Davis dalam bukunya Japan Religion and
Society Paradigms of Structure and Change (1992), yang menunjukkan bahwa
hanya sekitar 12% orang Jepang yang menganggap kepercayaan agama penting,
sementara 44% menganggapnya tidak penting.
Sikap pragmatis ini
mungkin terkait dengan konstitusi Jepang yang sangat menjaga kebebasan
beragama. Sejak setelah Perang Dunia II, Jepang mengadopsi konstitusi yang
tidak mencantumkan kehidupan beragama sebagai bagian dari kewajiban negara. Hal
ini memberi kebebasan bagi warga Jepang untuk menjalani agama atau kepercayaan
mereka tanpa campur tangan negara. Konstitusi Jepang, dalam pasal 20,
menegaskan bahwa kebebasan beragama dijamin bagi setiap individu, dan negara
tidak boleh terlibat dalam kegiatan keagamaan. Bahkan, tidak ada agama yang
diberi status istimewa oleh negara, yang menjadikan Jepang sebagai negara
dengan kebebasan beragama yang tinggi.
Sikap pemerintah
terhadap agama-agama di Jepang telah berubah secara drastis setelah Perang
Dunia II. Sebelum perang, agama Shinto bahkan dijadikan sebagai agama negara
yang mendukung nasionalisme dan militarisme Jepang. Namun, setelah ketetapan
yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 4 Oktober 1945, yang menghapuskan segala
pembatasan terhadap kebebasan beragama, agama-agama di Jepang mulai berkembang
dengan bebas. Pada bulan Desember 1945, pemerintah juga mencabut dukungan
terhadap agama Shinto sebagai agama negara, yang dikenal dengan istilah Pedoman
Shinto. Pedoman ini memisahkan agama dari negara, memastikan bahwa tidak ada
agama yang diutamakan, dan menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara.
Sebagai akibatnya,
berbagai agama berkembang di Jepang, mulai dari agama Shinto dan Budha, hingga
agama-agama baru dan Islam. Pemerintah Jepang secara resmi tidak membedakan
agama-agama tersebut, memberikan ruang bagi setiap orang untuk memeluk agama
dan kepercayaan mereka sesuai dengan kehendak pribadi. Hal ini menjadikan
Jepang sebagai negara dengan pluralitas agama yang sangat tinggi, di mana
agama-agama yang ada hidup berdampingan secara damai tanpa adanya pemaksaan
atau diskriminasi.
Kehidupan keagamaan di
Jepang, meskipun terlihat kurang terlihat dalam aktivitas sehari-hari,
menunjukkan bagaimana sebuah negara dapat menjaga keseimbangan antara kebebasan
beragama dan integrasi sosial. Walaupun agama tidak menjadi pusat kehidupan
mereka, nilai-nilai agama tetap memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat
Jepang, terutama dalam aspek etika, kerja keras, dan toleransi terhadap perbedaan.
Keberagaman agama di Jepang, yang mencakup Shinto, Budha, Kristen, dan Islam,
menjadi bukti bahwa kebebasan beragama dapat berkembang dalam suatu masyarakat
yang harmonis dan toleran.