Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Keamanan Hayati. Show all posts
Showing posts with label Keamanan Hayati. Show all posts

Monday, 24 February 2020

Biological Safety Level (BSL) 1, 2, 3, 4


 

Perbedaan Biological Safety Level (BSL) 1, 2, 3 & 4

 

Tingkat Keamanan Hayati atau Biological Safety Level (BSL) adalah serangkaian perlindungan yang dikaitkan dengan aktivitas yang terkait autoklaf yang dilakukan di laboratorium biologi tertentu. Mereka adalah pengamanan individu yang dirancang untuk melindungi personel laboratorium, serta lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.

 

Level-level ini, yang diperingkat dari satu hingga empat, dipilih berdasarkan agen atau organisme yang sedang diteliti atau dikerjakan dalam pengaturan laboratorium tertentu. Sebagai contoh, pengaturan laboratorium dasar yang mengkhususkan diri dalam penelitian agen tidak mematikan yang menimbulkan potensi ancaman minimal bagi pekerja laboratorium dan lingkungan umumnya dianggap BSL-1 — level laboratorium keamanan hayati terendah. Laboratorium penelitian khusus yang berurusan dengan agen infeksi yang berpotensi mematikan seperti Ebola akan ditetapkan sebagai BSL-4 — tingkat tertinggi dan paling ketat.

 

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menetapkan tingkat laboratorium BSL sebagai cara untuk menunjukkan kontrol spesifik untuk penahanan mikroba dan agen biologis. Setiap level lab BSL dibangun di atas level sebelumnya — sehingga menciptakan lapisan demi lapisan kendala dan hambatan. Level lab ini ditentukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

a. Risiko terkait dengan penahanan

b. Tingkat keparahan infeksi

c. Penularan

d. Sifat pekerjaan yang dilakukan

e. Asal mikroba

f. Agen yang dimaksud

g. Rute paparan

 

Alasan mengapa tingkat keamanan hayati sangat penting adalah karena mereka menentukan jenis praktik kerja yang diizinkan terjadi dalam pengaturan laboratorium. Mereka juga sangat memengaruhi desain keseluruhan fasilitas yang dipermasalahkan, serta jenis peralatan keselamatan khusus yang digunakan di dalamnya.  Berikut ini adalah penjelasan singkat dari setiap tingkat keamanan hayati — apa artinya dan bagaimana BSL tersebut berbeda dalam tindakan keselamatan dan praktik terbaik.

 

BSL – 1

 

Sebagai yang terendah dari empat, tingkat keamanan hayati 1 berlaku untuk pengaturan laboratorium di mana personel bekerja dengan mikroba risiko rendah yang menimbulkan sedikit atau tidak ada ancaman infeksi pada orang dewasa yang sehat. Contoh dari mikroba yang biasanya bekerja dengan pada BSL-1 adalah strain E. coli yang nonpathogenik.

 

Pengaturan laboratorium ini biasanya terdiri dari penelitian yang dilakukan di bangku tanpa menggunakan peralatan kontaminan khusus. Laboratorium BSL-1, yang tidak perlu diisolasi dari fasilitas di sekitarnya, digunakan untuk aktivitas yang hanya membutuhkan praktik mikroba standar, seperti:

a. Hanya pemipetan mekanis (pemipetan mulut tidak diizinkan)

b. Penanganan benda tajam yang aman

c. Menghindari percikan atau aerosol

d. Dekontaminasi harian semua permukaan kerja saat pekerjaan selesai

e. Mencuci tangan

f. Larangan bahan makanan, minuman dan merokok di laboratorium

g. Alat pelindung diri, seperti; pelindung mata, sarung tangan dan jas atau gaun laboratorium

h. Tanda-tanda Biohazard

i. Laboratorium BSL-1 juga membutuhkan dekontaminasi segera setelah tumpahan.

j. Bahan infeksi juga didekontaminasi sebelum dibuang, umumnya melalui penggunaan autoklaf.

 

BSL – 2

 

Tingkat keamanan hayati ini mencakup laboratorium yang bekerja dengan agen yang terkait dengan penyakit manusia (yaitu organisme patogen atau infeksi) yang menimbulkan bahaya kesehatan sedang. Contoh agen yang biasanya bekerja dengan BSL-2 termasuk virus equine encephalitis dan HIV, serta Staphylococcus aureus (infeksi Staph).


Laboratorium BSL-2 mempertahankan praktik mikroba standar yang sama dengan laboratorium BSL-1, tetapi juga mencakup tindakan yang ditingkatkan karena potensi risiko mikroba tersebut. Personil yang bekerja di laboratorium BSL-2 diharapkan untuk mengambil perawatan yang lebih besar untuk mencegah cedera seperti luka dan pelanggaran kulit lainnya, serta konsumsi dan eksposur membran mukosa.


Selain persyaratan BSL 1, praktik berikut ini diperlukan dalam pengaturan lab BSL 2:

a. Alat pelindung diri (APD) yang tepat harus dikenakan, termasuk mantel laboratorium dan sarung tangan. Pelindung mata dan pelindung wajah juga dipakai, sesuai kebutuhan.

b. Semua prosedur yang dapat menyebabkan infeksi dari aerosol atau percikan dilakukan di dalam kabinet keselamatan biologis (BSC).

c. Autoklaf atau metode dekontaminasi alternatif tersedia untuk pembuangan yang tepat.

d. Laboratorium memiliki pintu yang dapat ditutup sendiri (otomatis) dan dikunci.

e. Tempat cuci tangan dan tempat cuci mata harus tersedia.

f. Tanda-tanda peringatan Biohazard

g. Akses ke lab BSL-2 jauh lebih ketat daripada lab BSL-1.

h. Personel luar, atau mereka yang memiliki risiko kontaminasi yang meningkat, sering kali dilarang masuk ketika pekerjaan sedang dilakukan.

 

BSL-3

 

Sekali lagi membangun pada dua tingkat biosafety sebelumnya, sebuah laboratorium BSL-3 biasanya mencakup kerja pada mikroba yang origin atau eksotis, dan dapat menyebabkan penyakit serius atau berpotensi mematikan melalui penghirupan. Contoh-contoh mikroba yang bekerja dengan BSL-3 termasuk; demam kuning, virus West Nile, dan bakteri yang menyebabkan TBC.


Mikroba itu sangat serius sehingga pekerjaannya sering dikontrol secara ketat dan terdaftar di lembaga pemerintah yang sesuai. Personil laboratorium juga di bawah pengawasan medis dan memperoleh imunisasi untuk mikroba tempat mereka bekerja.

 

Persyaratan umum di laboratorium BSL-3 meliputi:

a. Perlengkapan pelindung pribadi standar harus dikenakan, dan respirator mungkin diperlukan

b. Penutup Gaun depan padat-rapat, baju scrub, atau coverall sering dibutuhkan

c. Semua pekerjaan dengan mikroba harus dilakukan dalam Biosafety cabinet (BSC) yang sesuai

d. Akses wastafel dan pencuci tangan hands-free tersedia di dekat pintu keluar

e. Aliran udara langsung berkelanjutan untuk mengalirkan udara ke laboratorium dari area bersih ke area yang berpotensi terkontaminasi (udara knalpot tidak dapat diedarkan kembali)

f. Seperangkat pintu pengunci yang menutup sendiri dengan akses jauh dari koridor gedung umum

g. Akses ke laboratorium BSL-3 dibatasi dan dikendalikan setiap saat.

 

BSL-4

 

Laboratorium BSL-4 sangat jarang. Namun beberapa memang ada di sejumlah kecil tempat di AS dan di seluruh dunia. Sebagai tingkat keamanan biologis tertinggi, laboratorium BSL-4 terdiri dari pekerjaan dengan mikroba yang sangat berbahaya dan eksotik. Infeksi yang disebabkan oleh mikroba jenis ini seringkali berakibat fatal, dan datang tanpa pengobatan atau vaksin. Dua contoh mikroba tersebut termasuk virus Ebola dan Marburg.

 

Selain pertimbangan BSL-3, laboratorium BSL-4 memiliki persyaratan ketat sebagai berikut:

a. Personil diharuskan untuk berganti pakaian sebelum masuk, mandi saat keluar

b. Dekontaminasi semua bahan sebelum keluar

c. Personil harus mengenakan peralatan pelindung pribadi yang sesuai dari level BSL sebelumnya, serta setelan tekanan positif positif yang disuplai udara penuh

d. Kabinet keamanan biologis Kelas III

e. Laboratorium BSL-4 sangat terisolasi — sering terletak di gedung yang terpisah atau di zona bangunan yang terisolasi dan terbatas. Laboratorium ini juga dilengkapi dengan pasokan khusus dan udara buangan, serta jalur vakum dan sistem dekontaminasi.

f. Mengetahui perbedaan dalam tingkat lab biosafety dan persyaratan keselamatan yang sesuai sangat penting bagi siapa pun yang bekerja dengan mikroba dalam pengaturan laboratorium.


#BSL 
#Biosafety 
#LabSafety 
#Biohazard 
#CDCStandards

Monday, 17 May 2010

Istilah Penting Keamanan Hayati dan Pangan

 
 

 Istilah Penting Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan di Indonesia

 
 
Sebagai pengantar mengenal Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan di negara tercinta Republik Indonesia diperkenalkan beberapa istilah teknik yang berkaitan dengan Kemanan Hayati dan Keamanan Pangan. Dalam Keputusan Bersama empat Menteri tahun 1999 (Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura) telah didefinisikan istilah penting yang dipergunakan dalam Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan adalah sebagai berikut:

1. Produk pertanian hasil rekayasa genetik yang selanjutnya disingkat PPHRG adalah hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik dan hasil olahannya, ikan transgenik, bahan asal ikan transgenik dan hasil olahannya, tanaman transgenik, bagian-bagiannya dan hasil olahannya serta jasad renik transgenik.

2. Keamanan hayati adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah PPHRG dari kemungkinan timbulnya sesuatu yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan bagi keanekaragaman hayati (termasuk hewan, ikan dan tumbuhan) dan lingkungan.

3. Keamanan pangan PPHRG adalah kondisi dan upaya yang diperlukan dalam proses produksi, penyimpanan, peredaran dan penyiapan PPHRG untuk mencegah dari kemungkinan timbulnya sesuatu yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

4. Pemanfaatan PPHRG meliputi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pemuliaan, produksi, peredaran termasuk perdagangan, dan penggunaan.

5. Teknologi rekayasa genetik adalah segala upaya untuk mengadakan perubahan secara sengaja pada genom makhluk hidup dengan menambah, mengurangi dan/atau mengubah susunan asli genom dengan menggunakan teknik DNA rekombinan.

6. Genom adalah total komplemen genetik dari suatu organisme.

7. Asam Nukleat Deoksiribose (deoxyribose nucleic acid) yang selanjutnya disebut DNA adalah molekul yang membawa informasi genetik untuk sebagian besar organisme yang terdiri atas empat macam basa dan kerangka gula fosfat.

8. DNA rekombinan adalah suatu kombinasi DNA yang terbentuk secara in vitro dari fragmen-fragmen DNA dari dua spesies organisme.

9. Hewan transgenik adalah semua binatang hasil rekayasa genetik yang sebagian besar hidupnya berada di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar.

10. Bahan asal hewan transgenik adalah bahan, yang berasal dari hewan hasil rekayasa genetik yang dapat diolah lebih lanjut seperti daging, susu, telur, bulu, rambut, wool, tanduk, kuku, kulit, tulang, sperma, dan madu.

11. Hasil olahan hewan transgenik adalah pangan yang berasal dari bahan asal hewan hasil rekayasa genetik yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

12. Ikan transgenik termasuk biota perairan lainnya hasil rekayasa genetik yang selanjutnya disebut ikan transgenik adalah dari kelas pisces, crustacea, mollusca, coelenterata, echinodermata, amphibia, reptilia, mammalia, dan algae.

13. Bahan asal ikan transgenik adalah bahan yang berasal dari ikan hasil rekayasa genetik yang dapat diolah lebih lanjut seperti minyak, dan kulit ikan.

14. Hasil olahan ikan transgenik adalah pangan yang berasal dari bahan asal ikan hasil rekayasa genetik yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

15. Tanaman transgenik adalah tumbuhan yang dibudidayakan yang meliputi tanaman semusim dan tanaman tahunan dan bagian-bagiannya hasil rekayasa genetik.

16. Hasil olahan tanaman transgenik adalah pangan yang berasal dari tanaman hasil rekayasa genetik yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

17. Jasad renik transgenik meliputi virus, bakteri protozoa, khamir, kapang, dan mikro alga hasil rekayasa genetik.

18. Kesepadanan substansial adalah suatu keadaan dimana produk pangan yang berasal dari produk pertanian hasil rekayasa genetik secara substansial sama dengan organisme non transgenik asalnya kecuali sifat yang direkayasa.

19. Secara umum dinilai aman atau generally regarded as safe (GRAS) adalah suatu kondisi aman untuk dikonsumsi yang diterapkan pada bahan tambahan pangan (food additive) dan bahan pangan yang berasal dari PPHRG.

20. Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan yang selanjutnya disingkat KKHKP adalah komisi yang mempunyai tugas membantu Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura dalam menyusun dan menetapkan kebijaksanaan keamanan hayati dan keamanan pangan dalam pemanfaatan PPHRG.

21. Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan yang selanjutnya disingkat TTKHKP adalah tim yang mempunyai tugas membantu KKHKP dalam melakukan evaluasi dan kajian teknis keamanan hayati dan keamanan pangan, serta kelayakan pemanfaatan PPHRG.

Memang Keputusan Bersama empat Menteri ini sudah berumur 10 tahun lebih mudah-mudahan saja masih relevan dengan tantang global saat ini dengan teknologi rekayasa genetika yang semakin maju dan canggih. Wallahhu’alam bishawab.

Sumber :
Pasal 1 Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura,
Tentang Kemanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik
Nomor :
998.1/Kpts/OT.210/9/99
790.a/Kpts-IX/1999
1145A/MENKES/SKB/IX/1999
015A/NmenegPHOR/09/1999

Thursday, 13 May 2010

Konferensi Keamanan Hayati Nagoya

 
 Konferensi Keamanan Hayati Nagoya akan Agendakan Teks Hukum Kewajiban dan Ganti Rugi
 
 
Oleh
Ani Purwati

Teks hukum internasional tentang kewajiban dan ganti rugi (liability redress) atas kerusakan yang disebabkan oleh organisme hasil rekayasa atau rekayasa genetik (living modified organisms -LMOs) akan menjadi agenda yang diadopsi pada Konferensi Kelima Para Pihak Protokol Kartagena tentang Keamanan Hayati (Cartagena Protocol on Biosafety) pada bulan Oktober 2010 di Nagoya, Jepang.

Demikian menurut laporan Lim Li Lin dan Lim Li Ching dari Third World Network yang mengikuti jalannya perundingan Group of Friends of the Co-Chairs di Kuala Lumpur, pada 19 Februari 2010.

Sebuah kelompok perundingan (yang dikenal sebagai Group of Friends of the Co-Chairs tentang kewajiban dan ganti rugi dalam hal Protokol Kartagena tentang Keamanan Hayati) yang bertemu di Kuala Lumpur pada tanggal 8-12 Februari 2010 meminta Sekretaris Eksekutif Convention on Biological Diversity untuk menyampaikan kepada Para Pihak Protokol, perihal teks untuk Protokol Tambahan tentang kewajiban dan ganti rugi atas kerusakan akibat dari pergerakan lintas batas LMOs.

Dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa teks protokol yang diusulkan harus disampaikan kepada Para Pihak oleh Sekretariat paling lambat enam bulan sebelum adopsi. Pertemuan Friends of the Co-Chairs di Kuala Lumpur adalah perundingan terakhir yang dijadwalkan setidaknya enam bulan sebelum Konferensi Para Pihak di Nagoya. Teks yang diusulkan masih mengandung banyak tanda kurung (yang mengindikasikan belum adanya kesepakatan).

Perundingan lebih lanjut dijadwalkan berlangsung di Montreal pada 17-19 Juni 2010. Ada pembicaraan tentang kemungkinan tambahan tiga sampai lima hari pertemuan sebelum Konferensi Para Pihak di Nagoya, sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah tuan rumah, Jepang.

Pertemuan Kuala Lumpur adalah pertemuan Friends of the Co-Chairs kedua yang diamanatkan oleh Konferensi Para Pihak Keempat di Bonn pada Mei 2008 untuk membahas lebih lanjut aturan-aturan dan prosedur internasional tentang kewajiban dan ganti rugi dalam hal Protokol Kartagena. Pertemuan pertama diadakan di Mexico City pada Maret 2009. Sebagai ketuanya adalah Rene Lefeber dari Belanda dan Jimena Nieto dari Kolombia.

Perundingan kewajiban dan ganti rugi telah berjalan sejak tahun 2005, dengan sebuah kelompok kerja di bawah Protokol Cartagena telah bertemu lima kali untuk menguraikan aturan-aturan dan prosedur internasional tentang kewajiban dan ganti rugi. Pertemuan terakhir diadakan pada bulan Maret 2008, dengan suatu upaya menyelesaikan proses dalam waktu empat tahun seperti yang ditetapkan dalam Protokol Kartagena. Namun, Para Pihak dalam perundingan telah terpecah dan mengakibatkan lambatnya kemajuan.

Meskipun pertemuan kelompok kecil ekstra dari Friends of the Co-Chairs di Bonn sebelum dan selama Konferensi Para Pihak 2008, perundingan masih belum bisa menyimpulkan sebagaimana diamanatkan. Maka, keputusan di Bonn mengamanatkan dua pertemuan Friends of the Co-Chairs.

Kelompok Friends of the Co-Chairs masing-masing terdiri dari enam perwakilan dari Asia Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan Karibia, dua wakil masing-masing dari Uni Eropa, Eropa Tengah dan Timur, serta masing-masing dari Selandia Baru, Norwegia, Swiss dan Jepang. Enam wakil dari kawasan Asia Pasifik adalah Bangladesh, China, India, Malaysia, Palau dan Filipina.
Pihak lain Protokol Kartagena juga bisa menghadiri pertemuan Friends of the Co-Chairs sebagai penasihat. Jumlah Para Pihak yang diizinkan duduk di meja perundingan terbatas. Pengelompokan regional dengan lebih dari jumlah yang ditentukan dalam kehadiran mungkin bergiliran di meja perundingan, sepanjang tidak lebih dari ketentuan jumlah yang duduk di sekitar meja perundingan.

Komposisi kelompok pada pertemuan berikutnya di Montreal pada Juni 2010 akan sama, kecuali jumlah penasihat yang terbatas pada enam Kelompok Afrika, tujuh untuk Amerika Latin dan kelompok Karibia (jumlah ini meningkat satu atas desakan Paraguay yang menegaskan butuh dua penasihat), empat untuk Uni Eropa, dan masing-masing satu dari India, Malaysia, Filipina, Selandia Baru, Norwegia dan Swiss. China dan Jepang masing-masing meminta dua orang penasihat. Keterbatasan ini berlaku untuk jumlah penasihat Pihak yang diperbolehkan dalam ruang perundingan. Pengamat tidak diundang untuk menghadiri pertemuan Montreal. Friends of the Co-Chairs dari Palau dan Bangladesh tidak menghadiri pertemuan di Mexico City dan Kuala Lumpur, dan akan digantikan oleh Korea Selatan dan Iran.

Ini memperlambat perundingan dan menghambat kesimpulan kesepakatan yang diharapkan. Selama perundingan tentang Protokol Kartagena itu sendiri, masalah kewajiban dan ganti rugi begitu diperdebatkan bahwa itu tidak dapat dimasukkan secara substantif dalam teks Protokol Kartagena, meskipun mendapat dukungan dari hampir semua negara-negara berkembang pada waktu itu, yang merupakan importir LMO atau subjek yang mungkin ilegal atau tidak disengaja ada transfer LMO. Sebaliknya, ketentuan ini dimasukkan dalam Protokol Kartagena yang mengamanatkan perundingan lebih lanjut mengenai kewajiban dan ganti rugi, pengaturan empat tahun kerangka waktu untuk pekerjaan ini yang mengalami keterlambatan. Perundingan berlarut-larut dan hasilnya sekarang mungkin hanya dapat diadopsi pada bulan Oktober 2010 di Nagoya, setela sepuluh tahun mengalami keterlambatan dalam peraturan dan prosedur internasional untuk kewajiban dan ganti rugi atas kerusakan LMO (Protokol Kartagena diadopsi pada tahun 2000, dan masuk dalam pembahasan pada tahun 2003).

Setelah Kesapakatan Bonn
Pertemuan Friends of the Co-Chairs di Mexico City dan Kuala Lumpur datang setelah perundingan yang sangat sulit di Bonn pada tahun 2008 ketika perundingan hampir gagal dan Kelompok Like Minded Friends muncul "mewakili negara-negara yang posisinya adalah bahwa instrumen internasional kewajiban dan ganti rugi harus memiliki unsur-unsur yang mengikat pada civil liability (tanggung jawab perdata)."

Karena ada keberatan dari beberapa pihak untuk memiliki aturan-aturan substantif internasional untuk civil liability dimana korban kerusakan dari LMOs dapat dilimpahkan kepada pengadilan nasional untuk pemulihan, Kelompok Like Minded Friends, yang dipimpin oleh Malaysia, telah mengajukan proposal di Bonn, menyelamatkan perundingan dari kegagalan. Kelompok Like Minded Friends terdiri sekitar 80 negara-negara berkembang (termasuk semua Group Afrika) dan Norwegia.

Kesepakatan yang dicapai di Bonn berdasarkan usulan oleh Kelompok Like Minded Friends. Intinya mengatakan bahwa regim kewajiban dan ganti rugi internasional akan mengikat secara hukum dan akan terdiri dari pendekatan administrasi, dimana tanggung jawab akan menjadi masalah yang akan diselesaikan antara entitas bertanggung jawab dan pemerintah eksekutif, melalui "langkah-langkah tanggapan" tentang kerusakan. Rejim juga berisi satu ketentuan tentang civil liability yang akan:
(1) mempertahankan hak Para Pihak untuk meletakkan undang-undang domestik dan kebijakan tentang kewajiban perdata dan ganti rugi yang harus mencakup unsur-unsur sebagaimana diatur dalam pedoman yang akan dibahas;
(2) memberikan pengakuan timbal balik dan penegakan penilaian asing;
(3) menyediakan tinjauan tentang pedoman setelah berlakunya instrumen dengan tujuan untuk mengikat atau mengelaborasi lebih komprehensif rezim mengikat tentang civil liability.
Disepakati bahwa ini akan menjadi dasar bagi perundingan lebih lanjut.

Usulan Like Minded Friends sendiri, mengingatkan bahwa sebagian besar negara berkembang dan Norwegia mempunyai rejim civil liability mengikat secara komprehensif, dan telah menegaskan perundingan ini sepanjang tahun ini.

Di Mexico City, kesepakatan bahwa bentuk instrumen yang mengikat secara hukum akan menjadi Protokol Tambahan Protokol Kartagena. Selain itu, ada teks pedoman civil liability, tambahan dan kajian kompensasi tambahan dan pembangunan kapasitas yang saling melengkapi.

Sepanjang perundingan sejak Bonn, kesepakatan ini memiliki instrumen yang mengikat secara hukum pada pendekatan administrasi dengan satu ketentuan tentang civil liability dan telah terus-menerus dirongrong oleh pihak-pihak yang masih menolak instrumen.

Sulitnya perundingan tentang civil liability
Klausa-klausa tentang civil liability agar dimasukkan dalam Protokol Tambahan yang mengikat secara hukum terbukti menjadi yang paling diperdebatkan dalam pertemuan Kuala Lumpur. Perselisihan terjadi dalam sesi tertutup Friends of the Co-Chairs (tanpa penasihat atau pengamat), dengan sesi yang berjalan dari malam hingga dini hari.

Selama pembacaan pertama artikel yang bersangkutan (Pasal 13) pada Selasa (9 Februari), perbedaan pendapat dilemparkan ke forum diskusi tentang hak Para Pihak untuk mengembangkan sebuah rejim civil liability domestik. Ada dua pilihan dalam teks, dan hanya Uni Eropa, Jepang dan Paraguay menyatakan bahwa mereka lebih suka Opsi 1, dimana Jepang telah memasukkannya di Bonn, dan yang menyatakan bahwa, "Para Pihak dapat atau tidak dapat mengembangkan sistem civil liability atau mungkin memberlakukan yang sudah ada sesuai dengan kebutuhan mereka untuk berurusan dengan organisme hasil rekayasa."

Kelompok Afrika, Brazil, Kuba, Kolombia, Ekuador, India, Malaysia, Meksiko dan Norwegia, semua menyuarakan dukungan mereka untuk Opsi 2. Opsi 2 sebenarnya merupakan bagian dari usulan kompromi yang diajukan oleh Kelompok Like Minded Friends di Bonn.

Opsi 2 menguraikan hak Para Pihak untuk memiliki regim civil liability domestik, dan unsur-unsur spesifik yang termasuk. Ini juga memasukkan ketentuan mengenai pengakuan dan penegakan penilaian asing dan memungkinkan Para Pihak untuk mempertimbangkan pedoman civil liability ketika ingin mengembangkan undang-undang atau kebijakan domestik mereka.

Malaysia yang tidak merasa senang pada usulan beberapa pihak untuk membahas Opsi 1, mengatakan bahwa ini adalah "itikad buruk", karena beberapa pihak yang tampaknya mencoba untuk memutar kembali kesepakatan Bonn. Dia mengingatkan yang lain, bahwa kelompok Like Minded Friends telah menerima, sebagai kompromi, ketentuan yang lemah tentang civil liability (yaitu Opsi 2), dengan suatu tinjauan klausa. Opsi 1 benar-benar diformulasikan untuk memperjelas Opsi 2, karena satu Pihak belum jelas seperti apa yang tersedia pada Opsi 2; Opsi 1 kemudian bisa dimasukkan dalam Opsi 2, dan perundingan harus dilanjutkan berdasarkan Opsi 2. Ketua Lefeber Rene juga mengingatkan para delegasi bahwa pertemuan sebelumnya Friends of the Co-Chairs di Mexico City telah menghabiskan waktu kerja pada salah satu paragraf Opsi 2, dan menggarisbawahi Opsi 1 yang mencakup Opsi 2. Dia mengusulkan agar rapat kerja atas dasar Opsi 2. (Pada pertemuan di Mexico City, Para Pihak bekerja pada Opsi 2 sebagai dasar untuk ketentuan mengikat secara mengikat civil liability. Namun, karena perselisihan atas tinjauan klausa, Opsi 2 dikembalikan lagi oleh Uni Eropa ketika ketua mengusulkan untuk menghapus).

Uni Eropa minta waktu untuk berpikir tentang hal ini, seperti "instruksi yang jelas tentang masalah ini". Kemudian setuju usulan Lefeber, dengan dimasukkannya catatan kaki yang menyatakan bahwa pertemuan sepakat untuk membahas Opsi 2 pada "dasar sementara". Kelompok Friends of the Co-Chairs mulai bekerja atas dasar Opsi 2.

Setelah melalui diskusi yang panas, Ketua Lefeber menghasilkan teks kompromi yang menyatakan bahwa Para Pihak dari Protokol Tambahan akan menyediakan dalam hukum domestik mereka untuk peraturan dan prosedur yang membahas kewajiban dan ganti rugi, dan untuk melaksanakan kewajiban ini Para Pihak akan menerapkan Protokol Tambahan (yaitu mengambil langkah-langkah tanggapan) dan mungkin atau tidak, sesuai dengan kebutuhan mereka, menerapkan atau mengembangkan prosedur perdata.

Wednesday, 12 May 2010

Pedoman Pelaksanaan Pengujian Keamanan Hayati

Rekayasa genetik melalui teknik transgenik telah lama digunakan pada hewan baik pada taraf penerapan maupun eksperimental. Tujuan utama dari pemanfaatan teknik transgenik adalah terjadinya perubahan fenotipik yang dapat bersifat menyeluruh maupun parsial. Dua aspek yang dapat diharapkan dalam pemanfaatan teknik transgenik adalah:
(1) “perbaikan” kinerja atau produktivitas ternak/hewan secara lebih cepat dibandingkan teknik pemuliabiakan konvensional, (2) “introduksi” komponen keunggulan tertentu yang sama sekali baru. Termasuk dalam kategori pertama misalnya adalah usaha untuk menyisipkan gen yang merangsang pertumbuhan dan produksi susu. Sementara itu, untuk kategori ke dua adalah penyisipan gen untuk produksi protein farmasetik melalui susu, produksi organ tubuh untuk pencangkokan pada manusia, ketahanan terhadap penyakit tertentu, sistem kekebalan tubuh, dan kemampuan pemanfaatan pakan yang lebih baik. Berbagai upaya tersebut di atas, disamping mendatangkan manfaat yang besar, diduga membawa pula konsekuensi yang merugikan/membahayakan. Bahaya atau kerugian yang terjadi dapat berupa ancaman terhadap eksistensi hewan tersebut, lingkungan meliputi manusia, alam dan ekosistem hewani di sekitarnya.

Dalam rangka pengaturan keamanan hayati suatu produk bioteknologi, Departemen Pertanian telah mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian No:856/Kpts/HK.330/9/1997 tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PBPHRG). Salah satu jenis dari PBPHRG adalah hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik hasil rekayasa genetik. Pemanfaatan hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik di Indonesia harus dilakukan secara seksama. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kekhawatiran bahwa kemungkinan hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik tersebut bisa berdampak negatif. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan adanya uji keamanan hayati hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik. Keamanan hayati yang dimaksud dalam SK Menteri Pertanian tersebut adalah keadaan yang dihasilkan melalui upaya pencegahan terhadap hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik yang dapat mengganggu, merugikan dan/atau membahayakan bagi manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.

Proses produksi hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik melalui rekayasa genetik melibatkan beberapa tahap kegiatan di tingkat laboratorium dan lapangan. Dalam kaitannya dengan keamanan hayati, maka kegiatan pelaksanaan penelitian rekayasa genetik harus dilakukan di Fasilitas Uji Terbatas (FUT). Penampilan transgen dari hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik perlu dikarakterisasi dengan pengujian yang dilakukan di FUT. Apabila berdasarkan uji di laboratorium dan kandang terbatas tidak ditemukan faktor-faktor yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian bagi masyarakat dan lingkungan, maka dapat dilanjutkan dengan uji di lapangan terbatas. Contoh hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik, protein hasil rekayasa genetik dan beberapa ekspresi transgen.

Sumber: Indonesia Biotechnology Information Center