Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 9 March 2025

Ebola Lebih Dulu Ada di Filipina

  

Sebelum di Afrika, Ebola Lebih Dulu Ada di Filipina

 

Jauh sebelum menghantui masyarakat di kawasan Afrika, wabah virus Ebola telah lebih dulu terjadi di Filipina dan Tiongkok. Di Filipina, wabah ini terjadi pada 1980 dan 1990, pada monyet atau disebut dengan Macaca fasicularis, yang disebabkan oleh Reston ebolavirus (RESTV). Pada 2008, virus RESTV pun ditemukan pada babi.

 

Fakta ini disampaikan oleh Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, drh Pudjiatmoko, PhD di Gedung Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, pada Jumat (15/8/2014)

 

"Data di kedua negara tersebut menunjukan bahwa para pekerja yang berhubungan langsung dengan monyet dan babi yang terinfeksi RESTV, bisa juga terinfeksi virus ebola RESTV di tubuhnya," kata Pudjiatmoko.

 

Tapi, lanjut Pudjiatmoko, para pekerja itu tidak mengalami gejala seperti virus Ebola di Afrika, atau dalam keadaan sehat-sehat saja. Namun, dia menekankan bahwa masih diperlukan data penelitian lebih lanjut, khususnya yang berkaitan dengan daya tahan tubuh yang rendah, gangguan imunologis, anak-anak, wanita hamil, dan lain-lain.

 

"Spesies virus ebola yang terdapat di Afrika lebih ganas daripada Reston ebolavirus, karena mampu menyebabkan gejala klinis yang lebih parah, pendarahan yang lebih hebat," kata dia menerangkan.

 

SUMBER:

Liputan6.com

https://www.liputan6.com/health/read/2091644/sebelum-di-afrika-ebola-lebih-dulu-ada-di-filipina

Limbah Plastik di Air Bisa Rusak Hati Ikan

 

Limbah Plastik di Air Bisa Rusak Hati hingga Otak Ikan

 

Limbah Plastik yang ada di air ternyata memiliki dampak buruk bagi makhluk air seperti ikan, fitoplankton, zooplankton dan kerang. Limbah plastik bahkan menyebabkan kerugian yang signifikan.

 

Anggota Komite Teknis Kesehatan Hewan BSN Pudjiatmoko menjelaskan, pada jenis plastik berukuran sangat kecil, seperti mikroplastik dan nanoplastik dapat memengaruhi organisme hingga tingkat seluler.

“Mikroplastik adalah partikel plastik yang ukurannya berkisar antara 0,1 mikrometer hingga 5 milimeter. Karena ukurannya yang kecil, partikel ini sulit terlihat, namun sering ditemukan di lingkungan, termasuk di air dan tanah,” papar dia, Jumat (16/9/2024).

 

Dia menjelaskan, mikroplastik bisa masuk ke tubuh manusia dan hewan melalui makanan atau air yang terkontaminasi. Sumbernya beragam, mulai dari pecahan plastik besar seperti botol hingga produk konsumen seperti scrub wajah dan pasta gigi. Pakaian sintetis juga melepaskan serat mikroplastik saat dicuci.

 

Sementara itu, nanoplastik berukuran lebih kecil dari 0,1 mikrometer, memiliki kemampuan menembus penghalang biologis dan masuk ke dalam sel makhluk hidup. Nanoplastik bisa berasal dari pecahan mikroplastik yang semakin kecil atau dari proses industri, seperti dalam cat atau bahan tambahan makanan.

“Mikroplastik dan nanoplastik dapat menimbulkan dampak serius pada ikan. Saat ikan terpapar partikel plastik ini, tubuh mereka menghasilkan senyawa berbahaya yang disebut spesies oksigen reaktif (ROS), yang dapat merusak sel di organ seperti hati, insang, dan otak,” bebernya.

 

Di sisi lain, stres yang ditimbulkan pada mitokondria, bagian sel yang menghasilkan energi, dapat mengganggu metabolisme dan menurunkan kemampuan ikan untuk bertahan hidup.

 

Limbah plastik, khususnya mikroplastik dan nanoplastik, membawa dampak buruk bagi kesehatan dan kelangsungan hidup berbagai spesies. Zooplankton, bivalvia, dan ikan adalah komponen penting dalam ekosistem dan rantai makanan.

 

Paparan plastik dapat merusak kesehatan dan mengurangi jumlah spesies tersebut, yang pada akhirnya memengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk memahami dampak plastik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini agar ekosistem dan spesies-spesies penting tetap sehat.

 

SUMBER:

Okezone Edukasi. Jum'at, 13 September 2024.

https://edukasi.okezone.com/read/2024/09/13/65/3062743/limbah-plastik-di-air-bisa-rusak-hati-hingga-otak-ikan

Sistem Online, Kementan Cegah Transmisi Virus Zoonosis

 

Penyakit zoonosis atau virus yang disebarkan melalui hewan vertebrata atau manusia kini tengah mewabah. Karenanya, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan berupaya maksimal untuk mencegah transmisi penyakit tersebut.

 

"Kami melakukan survei terhadap gejala klinis. Tadinya, Avian Influenza, sekarang sudah dikembangkan ke penyakit zoonosis lain," kata drh Pudjiatmoko, PhD, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian di Kantor Kemenkes, Jakarta, belum lama ini.

 

Selain itu, pihaknya juga tengah mengembangkan sistem kesehatan hewan secara online. Sistem yang awalnya berlaku di empat propinsi, kini sudah ada lagi di 13 propinsi lain yang mewakili regional Indonesia.

 

"Apabila ada kasus di daerah tertentu, langsung bisa dilaporkan. Melalui sistem itu, kita tahu mutasinya seberapa jauh? Berada di grip mana? Apakah ada perubahan dan dilakukan evaluasi perlukah vaksin baru?," terangnya.

 

Meski begitu, upaya untuk mengawasi penyakit hewan di dunia juga tetap dilakukan. Dengan demikian, bisa diketahui bagaimana cara pencegahan dan penangananinya lebih lanjut.

 

"Kami juga melakukan monitoring terhadap penyakit hewan di dunia. Apabila ada penyakit baru muncul, pada saat itu kita cermati langkah yang dilakukan, termasuk penutupan terhadap produk-produk dari negara tersebut," tutupnya.

 

SUMBER:

Okezone Health.

https://health.okezone.com/read/2014/08/18/482/1026090/sistem-online-kementan-cegah-transmisi-virus-zoonosis

MITI: Program Food Estate Harus Libatkan Petani

 

Peneliti Bidang Pertanian Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Pujiatmoko menyarankan agar Pemerintah melibatkan petani dalam program food estate.

 

Pelibatan yang dimaksud bukan sekedar mengangkat petani menjadi pekerja program food estate tetapi mensinergikan dan menyediakan sarana penunjang peningkatan produksi pertanian. “Petani kecil harus dilibatkan lebih aktif dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan, bukan sekadar menjadi pekerja. Keterlibatan petani dalam hasil keuntungan pertanian sangat penting untuk memastikan keberhasilan program Food Estate,” ujar Pujiatmoko.

 

Pujiatmoko menambahkan program food estate, sebagai salah satu proyek strategis nasional 2025-2029 harus ditempatkan sebagai program besar yang dapat menampung hasil pertanian yang beragam.

 

Bukan menyeragamkan hasil pertanian hanya pada satu komoditas berskala besar. Sebab selain karena kebutuhan masyarakat terhadap produk pertanian sangat beragam, sistem monokultur juga memiliki sejumlah risiko.

 

Oleh karena itu, diversifikasi komoditas pangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan harus menjadi bagian integral dari pengelolaan kawasan pangan. Karena itu produk food estate harus berjalan sesuai dengan kebutuhan lokal.

 

“Selain urusan kerjasama dengan petani, untuk menyukseskan program food estate ini Pemerintah perlu meningkatkan infrastruktur penunjang produksi pertanian yang lebih baik. Infrastruktur yang buruk menghambat distribusi dan akses petani ke pasar. Oleh karena itu, prioritas utama harus diberikan pada pembangunan jalan, sistem irigasi yang efisien, dan fasilitas penyimpanan yang memadai untuk mendukung keberhasilan program,” terang Pujiatmoko.

 

Pujiatmoko menambahkan Pemerintah juga harus memastikan skema pendanaan yang transparan dan mudah diakses oleh petani kecil. Pemberian kredit berbunga rendah dan skema pembiayaan yang jelas akan sangat membantu meningkatkan partisipasi petani dalam program ini.

 

“Sistem monitoring berbasis data harus dibangun untuk memastikan efektivitas kebijakan dan penyesuaian yang cepat terhadap masalah yang muncul. Evaluasi yang transparan dan terstruktur akan memastikan keberlanjutan program ini,” tegasnya.

 

SUMBER:

Berita Moneter, 7 Maret 2025. https://beritamoneter.com/miti-program-food-estate-harus-libatkan-petani/2/

Saturday, 8 March 2025

Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat Jepang

 


Jepang, sebagai salah satu negara maju di dunia, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan peran penting agama dalam kehidupan sosialnya. Masyarakat Jepang dikenal dengan keterbukaannya terhadap berbagai aliran agama, meskipun mereka cenderung bersikap pragmatis dalam memandang agama. Di balik itu semua, masyarakat Jepang memiliki dua agama utama yang menjadi bagian penting dalam tradisi dan kehidupan mereka: Shinto dan Budha. Kedua agama ini bahkan sering dipraktikkan bersama dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan suatu fenomena yang unik dan khas dalam tradisi keagamaan Jepang.

 

Menurut Dr. Hisanori Kato, masyarakat Jepang memang dikenal memiliki agama, yang tercermin dalam kepercayaan terhadap "amakudari", sebuah kepercayaan bahwa bangsa Jepang memiliki rahmat dan perlindungan dari langit yang menjamin kelangsungan hidup mereka. Kepercayaan ini mengarah pada keyakinan bahwa Jepang sebagai bangsa yang "selalu akan survive", tidak hanya karena keberanian, tetapi juga karena adanya bantuan dari kekuatan alam semesta. Selain itu, agama Shinto yang merupakan agama asli Jepang, mempercayai adanya kekuatan spiritual yang tersembunyi dalam alam, seperti gunung, batu, dan fenomena alam lainnya, serta menghormati leluhur. Shinto tidak menganut nilai-nilai absolut dalam ajarannya, sehingga memungkinkan pengaruh budaya dan agama asing untuk masuk dan berbaur dengan ajaran ini.

 

Kehidupan keagamaan di Jepang sangat dinamis dan menarik, mengingat pengaruh berbagai agama yang masuk dan berkembang di negara ini. Agama Budha, yang diperkenalkan melalui Cina dan Korea pada abad keenam, menjadi salah satu agama utama di Jepang. Sebagian besar orang Jepang pada saat ini tidak hanya menganut satu agama, tetapi menggabungkan ajaran Shinto dan Budha dalam kehidupan mereka. Bahkan, banyak orang Jepang yang melaksanakan upacara pernikahan dengan tradisi Shinto, sementara upacara pemakaman dilakukan menurut agama Budha. Di beberapa rumah, terutama di daerah pedesaan, dapat ditemukan altar untuk Shinto dan Budha yang berdampingan. Tidak jarang pula orang Jepang mengunjungi kuil Shinto, kuil Budha, bahkan gereja Kristen, dalam rangka merayakan momen-momen penting dalam kehidupan mereka.

 

Sikap orang Jepang terhadap agama pun sangat pragmatis. Sebagaimana pendapat Wahyu Prasetiyawan, bagi orang Jepang, yang terpenting bukanlah formalitas ibadah, melainkan niat dan perbuatan baik. Menurut mereka, pergi ke tempat ibadah tidak ada gunanya jika kelakuan sehari-hari tidak mencerminkan kebaikan. Oleh karena itu, mereka lebih mengutamakan tindakan nyata seperti berperilaku baik terhadap tetangga, rekan kerja, dan dalam hubungan sosial pada umumnya, daripada sekadar mengikuti ritual keagamaan.

 

Pengaruh agama Budha sangat terasa dalam budaya Jepang, terutama dalam etika kerja. Ajaran Budha, yang mengajarkan pencapaian kesempurnaan melalui kesadaran spiritual, dalam praktiknya juga mengedepankan kerja keras dan ketekunan. Hal ini terbukti dalam cara orang Jepang mendekati pekerjaan mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi, sesuatu yang jarang terlihat di negara-negara lain, meskipun mereka juga menganut agama Budha. Dalam konteks ini, agama Budha telah membentuk nilai kerja keras yang sangat kuat dalam masyarakat Jepang.

 

Selain itu, perpaduan antara Shinto dan Budha juga menciptakan fenomena unik yang dikenal dengan istilah Shinbutsu Shuugo. Istilah ini merujuk pada penyatuan antara Shinto dan Budha dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Misalnya, dalam kuil-kuil Shinto, sering ditemukan unsur-unsur ajaran Budha, dan sebaliknya, di kuil Budha, sering kali ada patung-patung dewa-dewa yang berasal dari ajaran Shinto. Hal ini menunjukkan bahwa dalam praktiknya, kedua agama tersebut saling berbaur, dan masyarakat Jepang lebih fokus pada harmoni antar kedua agama daripada memisahkannya secara kaku.

 

Kehidupan keagamaan Jepang juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh agama-agama lain yang masuk ke negara ini. Konfusianisme, yang memperkenalkan nilai-nilai etika dan moral, juga memberikan dampak besar dalam pembentukan sistem sosial dan politik Jepang. Agama Kristen, yang masuk setelah Perang Dunia II, meskipun tidak sebesar Shinto dan Budha, juga menjadi bagian dari lanskap keagamaan Jepang. Meskipun demikian, sebagian besar orang Jepang lebih memilih untuk mengabaikan agama atau tidak terikat pada satu agama tertentu. Hal ini tercermin dalam survei yang dilakukan oleh Winston Davis dalam bukunya Japan Religion and Society Paradigms of Structure and Change (1992), yang menunjukkan bahwa hanya sekitar 12% orang Jepang yang menganggap kepercayaan agama penting, sementara 44% menganggapnya tidak penting.

 

Sikap pragmatis ini mungkin terkait dengan konstitusi Jepang yang sangat menjaga kebebasan beragama. Sejak setelah Perang Dunia II, Jepang mengadopsi konstitusi yang tidak mencantumkan kehidupan beragama sebagai bagian dari kewajiban negara. Hal ini memberi kebebasan bagi warga Jepang untuk menjalani agama atau kepercayaan mereka tanpa campur tangan negara. Konstitusi Jepang, dalam pasal 20, menegaskan bahwa kebebasan beragama dijamin bagi setiap individu, dan negara tidak boleh terlibat dalam kegiatan keagamaan. Bahkan, tidak ada agama yang diberi status istimewa oleh negara, yang menjadikan Jepang sebagai negara dengan kebebasan beragama yang tinggi.

 

Sikap pemerintah terhadap agama-agama di Jepang telah berubah secara drastis setelah Perang Dunia II. Sebelum perang, agama Shinto bahkan dijadikan sebagai agama negara yang mendukung nasionalisme dan militarisme Jepang. Namun, setelah ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 4 Oktober 1945, yang menghapuskan segala pembatasan terhadap kebebasan beragama, agama-agama di Jepang mulai berkembang dengan bebas. Pada bulan Desember 1945, pemerintah juga mencabut dukungan terhadap agama Shinto sebagai agama negara, yang dikenal dengan istilah Pedoman Shinto. Pedoman ini memisahkan agama dari negara, memastikan bahwa tidak ada agama yang diutamakan, dan menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara.

 

Sebagai akibatnya, berbagai agama berkembang di Jepang, mulai dari agama Shinto dan Budha, hingga agama-agama baru dan Islam. Pemerintah Jepang secara resmi tidak membedakan agama-agama tersebut, memberikan ruang bagi setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan mereka sesuai dengan kehendak pribadi. Hal ini menjadikan Jepang sebagai negara dengan pluralitas agama yang sangat tinggi, di mana agama-agama yang ada hidup berdampingan secara damai tanpa adanya pemaksaan atau diskriminasi.

 

Kehidupan keagamaan di Jepang, meskipun terlihat kurang terlihat dalam aktivitas sehari-hari, menunjukkan bagaimana sebuah negara dapat menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dan integrasi sosial. Walaupun agama tidak menjadi pusat kehidupan mereka, nilai-nilai agama tetap memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat Jepang, terutama dalam aspek etika, kerja keras, dan toleransi terhadap perbedaan. Keberagaman agama di Jepang, yang mencakup Shinto, Budha, Kristen, dan Islam, menjadi bukti bahwa kebebasan beragama dapat berkembang dalam suatu masyarakat yang harmonis dan toleran.