Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Avian Influenza. Show all posts
Showing posts with label Avian Influenza. Show all posts

Thursday, 9 October 2025

Vaksin Flu Burung Harus Diulang Setiap Tahun

 


Virus influenza dikenal sebagai salah satu virus yang paling mudah berubah. Inilah sebabnya mengapa penyakit flu bisa berulang meskipun seseorang sudah pernah terinfeksi atau divaksinasi. Dua mekanisme utama yang membuat virus influenza terus berevolusi adalah antigenic drift dan antigenic shift. Keduanya berperan penting dalam munculnya varian baru virus influenza, namun terjadi dengan cara dan skala yang berbeda.

 

Antigenic Drift: Pergeseran Antigenik yang Bertahap

 

Antigenic drift merupakan perubahan kecil dan bertahap yang terjadi pada gen virus influenza, khususnya pada bagian yang mengkode dua protein penting di permukaan virus, yaitu hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Kedua protein inilah yang dikenali oleh sistem kekebalan tubuh saat melawan infeksi.

 

Perubahan ini terjadi karena adanya mutasi titik (point mutation) yang muncul secara acak saat virus bereplikasi di dalam sel inang. Virus influenza memiliki enzim RNA polimerase yang bekerja tanpa kemampuan memperbaiki kesalahan (tanpa proofreading). Akibatnya, kesalahan kecil yang terjadi saat proses penyalinan materi genetik tidak diperbaiki dan menumpuk seiring waktu.

 

Dampaknya, virus yang baru terbentuk sedikit berbeda dari versi sebelumnya. Sistem kekebalan tubuh yang sudah mengenali virus lama tidak dapat sepenuhnya mengenali virus hasil mutasi ini. Inilah alasan utama mengapa vaksin influenza perlu diperbarui setiap tahun, agar sesuai dengan varian virus yang sedang beredar. Proses antigenic drift inilah yang menyebabkan epidemi influenza musiman di berbagai belahan dunia.

 

Antigenic Shift: Pergeseran Antigenik yang Mendadak dan Besar

 

Berbeda dari antigenic drift yang terjadi secara perlahan, antigenic shift merupakan perubahan besar dan mendadak pada gen virus influenza. Peristiwa ini dapat menghasilkan subtipe virus baru dengan kombinasi antigen permukaan (HA dan/atau NA) yang sangat berbeda dari virus sebelumnya.

 

Antigenic shift terjadi ketika dua atau lebih virus influenza yang berbeda menginfeksi satu inang yang sama — misalnya manusia, babi, atau unggas. Di dalam tubuh inang tersebut, segmen genetik antarvirus dapat bertukar (reassortment) dan membentuk kombinasi baru. Jika hasil reassortment ini menghasilkan virus yang mampu menular antar manusia, dan sistem kekebalan belum pernah mengenalinya, maka risiko munculnya pandemi influenza menjadi sangat tinggi.

 

Beberapa contoh nyata dari antigenic shift adalah pandemi influenza tahun 1918 (H1N1), 1957 (H2N2), 1968 (H3N2), dan 2009 (H1N1pdm09). Masing-masing pandemi tersebut muncul akibat virus influenza baru yang terbentuk melalui proses reassortment dan menyebar luas ke seluruh dunia.

 

Ringkasan Perbandingan Antigenic Drift dan Antigenic Shift

 

Aspek

Antigenic Drift

Antigenic Shift

Skala perubahan

Kecil dan bertahap

Besar dan mendadak

Mekanisme

Mutasi titik (point mutation)

Pertukaran segmen genetik (reassortment)

Frekuensi

Sering terjadi

Sangat jarang terjadi

Dampak

Menyebabkan epidemi musiman

Dapat memicu pandemi global

Contoh

Perubahan tahunan virus influenza A/H3N2

Munculnya H1N1pdm09 tahun 2009

 

Kesimpulan

 

Baik antigenic drift maupun antigenic shift menunjukkan betapa dinamisnya evolusi virus influenza. Antigenic drift menyebabkan perubahan kecil yang terus-menerus sehingga memicu wabah musiman, sedangkan antigenic shift menciptakan perubahan besar yang dapat mengguncang dunia melalui pandemi. Memahami kedua mekanisme ini sangat penting untuk mendukung pengembangan vaksin yang efektif dan strategi pencegahan yang tangguh dalam menghadapi ancaman influenza di masa depan.

Virus Influenza Pandai Berubah Wajah

 



Virus influenza terkenal sebagai “ahli penyamaran.” Ia terus-menerus mengubah permukaan tubuhnya agar bisa mengelabui sistem kekebalan manusia. Perubahan ini terjadi melalui dua cara utama: pergeseran kecil (antigenic drift) dan pergeseran besar (antigenic shift).

 

1. Antigenic drift – perubahan kecil tapi terus-menerus

Bayangkan virus influenza seperti pencuri yang sering mengganti baju agar tidak mudah dikenali. Setiap kali virus bereplikasi, bisa terjadi sedikit “salah ketik” pada gen yang mengatur bentuk protein permukaannya (disebut hemaglutinin dan neuraminidase).

 

Kesalahan kecil ini membuat penampilan virus sedikit berubah. Akibatnya, sistem kekebalan yang sudah pernah mengenal virus lama tidak sepenuhnya mengenali versi baru. Inilah sebabnya kita bisa terserang flu berulang kali, dan vaksin influenza perlu diperbarui setiap tahun agar tetap cocok dengan virus yang beredar.

 

2. Antigenic shift – perubahan besar yang bisa memicu pandemi

Berbeda dengan perubahan kecil tadi, antigenic shift adalah perubahan besar dan tiba-tiba — ibarat pencuri yang bukan hanya berganti baju, tapi juga mengambil wajah baru sepenuhnya. Hal ini bisa terjadi ketika dua jenis virus influenza yang berbeda menginfeksi satu inang yang sama (misalnya babi atau manusia). Kedua virus itu kemudian bertukar sebagian “potongan gen” mereka dan menghasilkan virus baru dengan kombinasi gen yang belum pernah ada sebelumnya.

 

Karena tubuh manusia belum memiliki kekebalan terhadap virus baru ini, penyebarannya bisa sangat cepat dan luas — bahkan menimbulkan pandemi global, seperti yang pernah terjadi pada flu Spanyol tahun 1918 atau flu babi (H1N1) tahun 2009.

 

Tabel Kesimpulan

Jenis Perubahan

Frekuensi

Dampak

Contoh

Antigenic drift (pergeseran kecil)

Sering

Flu musiman berulang

Influenza tahunan

Antigenic shift (pergeseran besar)

Jarang

Pandemi global

Flu Spanyol 1918, Flu Babi 2009

Saturday, 13 September 2025

Dunia Panik! Pakar Global Berbondong ke Brasil Cari Solusi Flu Burung

 

Brasil mendadak menjadi sorotan dunia. Selama tiga hari, 9–11 September 2025, sekitar 500 pakar dari berbagai belahan dunia berkumpul di sana untuk membahas ancaman flu burung yang kini menyebar tanpa batas. Untuk pertama kalinya, dialog global multisektoral digelar—mempertemukan pemerintah, ilmuwan, industri, dan organisasi internasional—dengan satu tujuan mendesak: mencari solusi nyata menghadapi panzootik flu burung yang kian mengancam kesehatan hewan, manusia, perdagangan, hingga ketahanan pangan global.

 

Dalam respons yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap penyebaran flu burung patogenisitas tinggi (HPAI) yang cepat di seluruh dunia, para pemangku kepentingan dan pakar dari seluruh sektor perunggasan, kesehatan masyarakat, sains, dan kebijakan berkumpul di Brasil dalam sebuah pertemuan penting pada 9-11 September 2025. Dialog multisektoral global pertama ini bertujuan untuk membentuk pertahanan terkoordinasi terhadap ancaman yang semakin meningkat terhadap kesehatan hewan dan manusia serta mata pencaharian pertanian.

 

Avian Influenza (AI), umumnya dikenal sebagai flu burung, adalah penyakit virus yang sangat menular yang terutama menginfeksi unggas. Virus ini termasuk dalam famili influenza Tipe A, yang dikenal karena kemampuannya bermutasi dan berubah dengan cepat. Sejak 2020, HPAI telah berkembang pesat di berbagai benua, menghancurkan populasi unggas, berdampak pada keanekaragaman hayati, perdagangan, dan ketahanan pangan, serta menimbulkan kekhawatiran akan potensinya memicu pandemi pada manusia. Para ahli memperingatkan bahwa panzootik influenza burung yang saat ini beredar kini telah menyebar luas dan merupakan salah satu ancaman pandemi paling serius. Influenza burung telah menyebar ke 83 spesies mamalia, termasuk sapi perah dan satwa liar, dan menimbulkan risiko yang terus berkembang pesat.

 

“Flu burung bukan lagi ancaman sporadis; kini telah menjadi tantangan global,” kata Beth Bechdol, Wakil Direktur Jenderal FAO. “Tidak ada satu negara atau sektor pun yang dapat mengatasi ancaman ini sendirian—dan kegagalan bukanlah suatu pilihan. Kolaborasi praktis berbasis sains seperti ini sangat penting untuk melindungi sistem pertanian pangan, mata pencaharian, dan kesehatan masyarakat kita,” tambahnya. Diselenggarakan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan Peternakan Brasil, acara "Menangani flu burung patogenisitas tinggi bersama – Dialog sains, kebijakan, dan sektor swasta global" mempertemukan sekitar 500 pakar dan pengambil keputusan untuk menggalang kolaborasi dan investasi multisektoral.

 

Perwakilan dari sektor swasta, termasuk asosiasi industri yang terlibat dalam produksi unggas dan penyediaan layanan kesehatan hewan, juga bergabung dengan para pemimpin pemerintah dan ilmiah untuk pertama kalinya dalam dialog global semacam ini—memberikan kesempatan untuk lebih memahami tantangan sektor swasta, mengakui upaya berkelanjutan mereka, dan menyoroti solusi yang telah mereka terapkan untuk mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh flu burung.

 

Para pakar dari Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika – banyak di antaranya merupakan anggota Jaringan Keahlian OFFLU tentang Influenza Hewan dari FAO dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) – juga berpartisipasi dalam dialog ini. “Menangani flu burung membutuhkan upaya kolektif yang menyatukan negara, sektor produktif, komunitas ilmiah, dan organisasi internasional. Tantangan ini harus dihadapi dengan transparansi penuh, karena hanya dengan cara inilah kita dapat membangun kepercayaan dan menjaga ketahanan pangan global,” ujar Carlos Favaro, Menteri Pertanian dan Peternakan Brasil. “Saya ingin menekankan bahwa tahun ini, ketika flu burung terdeteksi di sebuah peternakan komersial, Brasil menunjukkan perbedaan yang signifikan. Respons kami yang cepat dan efektif menunjukkan kekuatan dan kredibilitas sistem sanitasi Brasil.”

 

TEMA PRIORITAS

 

Acara ini bertujuan untuk mengembangkan Strategi Global untuk Pencegahan dan Pengendalian HPAI, yang baru-baru ini diluncurkan oleh FAO bekerja sama dengan WOAH. Strategi ini bertujuan untuk mendukung pengembangan dan implementasi rencana aksi nasional dan regional sekaligus memperkuat upaya global untuk mengurangi risiko lintas batas dan pandemi.

 

Acara tiga hari ini berfokus pada:

• Mengidentifikasi strategi pencegahan dan pengendalian HPAI yang efektif—terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan sistem peternakan unggas informal,

• Mempromosikan sistem peringatan dini, strategi vaksinasi, dan langkah-langkah biosekuriti,

• Meningkatkan koordinasi multisektoral berdasarkan pendekatan Satu Kesehatan,

• Berbagi solusi inovatif dan siap pakai di lapangan untuk diagnostik, surveilans, dan respons wabah.

 

Thanawat Tiensin, Kepala Dokter Hewan FAO dan Direktur Divisi Produksi dan Kesehatan Hewan, merangkum pendekatan FAO dalam sambutannya: “Peningkatan surveilans, biosekuriti, dan vaksinasi jika diperlukan, dikombinasikan dengan pengendalian penyakit yang cepat, merupakan kunci untuk mengendalikan penyakit ini. Pada saat yang sama, transformasi produksi unggas yang berkelanjutan menawarkan pendekatan dan perlindungan baru untuk mencegah kerugian akibat penyakit unggas. Diperlukan pendekatan holistik dan kemitraan dengan sektor swasta untuk secara efektif mengurangi risiko flu burung bagi generasi mendatang.”

 

"Perdebatan seputar Flu Burung merupakan masalah kerja sama internasional dan membutuhkan upaya bersama dari semua negara," ujar Ricardo Santin, presiden Asosiasi Protein Hewani Brasil dan Dewan Unggas Internasional. "Ini merupakan isu yang berdampak langsung pada arus perdagangan dan, akibatnya, pada inflasi dan ketahanan pangan global. Ini adalah isu sensitif yang harus dipandu oleh pengetahuan dan sains, dan yang menuntut revisi konsep dan paradigma."


#FluBurung 

#KesehatanGlobal 

#OneHealth 

#KetahananPangan 

#IndustriUnggas


Terungkapnya Clade Baru Virus Flu Burung H5N1


Pada akhir tahun 2012, peternak itik di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur dikejutkan oleh wabah misterius. Ribuan itik mati mendadak, sebagian besar masih berusia muda. Gejala yang muncul cukup aneh: ada itik yang kepalanya terpuntir (tortikolis), matanya memutih, hingga lumpuh dan mati. Pada itik dewasa, dampaknya lebih banyak berupa penurunan produksi telur.

 

Balai Besar Veteriner Wates segera turun tangan melakukan investigasi. Tim lapangan mengumpulkan sampel dari jaringan tubuh, usapan tenggorok, kotoran, bahkan bulu itik. Hasil uji laboratorium menunjukkan, penyebab utamanya bukan bakteri atau jamur, melainkan virus flu burung tipe H5N1.

 

Mengapa Kasus Ini Mengherankan?

 

Sejak tahun 2003, Indonesia sudah akrab dengan virus flu burung H5N1 clade 2.1 yang terutama menyerang ayam. Itik selama ini relatif lebih tahan, sehingga kasus kematian massal jarang terjadi. Namun, dalam wabah 2012 ini, justru itik yang paling terpukul. Rata-rata tingkat kematian mencapai hampir 40%, bahkan di beberapa lokasi mencapai 100%.

 

Yang lebih mengejutkan, hasil analisis genetik menunjukkan virus yang menyerang itik tersebut bukan berasal dari clade lama (2.1), melainkan dari clade baru: 2.3.2.1. Virus ini sebelumnya belum pernah terdeteksi di Indonesia. Dengan kata lain, ada kemungkinan telah terjadi “pendatang baru” dalam peta flu burung nasional.

 

Bukti dari Laboratorium

 

Pemeriksaan jaringan otak itik yang mati memperlihatkan adanya kerusakan saraf parah, peradangan, dan jejak antigen virus yang menempel di sel-sel otak. Semua ini menegaskan bahwa virus H5N1 memang menyerang sistem saraf itik dengan ganas.

 

Analisis DNA memperlihatkan bahwa virus tersebut punya kemiripan 97–98% dengan virus clade 2.3.2.1 yang beredar di luar negeri, sementara kesamaannya dengan virus lama clade 2.1 di Indonesia hanya sekitar 91–93%. Artinya, virus ini kemungkinan besar datang dari luar, bukan hasil mutasi dari virus lokal.

 

Implikasi bagi Indonesia

 

Penemuan clade baru ini menjadi alarm penting. Selama hampir satu dekade, Indonesia “hanya” bergulat dengan virus H5N1 clade 2.1. Kini, munculnya clade 2.3.2.1 membuka potensi ancaman baru: apakah virus ini bisa menyebar ke ayam atau bahkan menular ke manusia? Pertanyaan ini membutuhkan riset lanjutan.

 

Selain itu, kasus ini juga mengingatkan pentingnya sistem pengawasan penyakit hewan. Lalu lintas unggas, baik itik maupun produk turunannya, bisa menjadi jalur masuk dan penyebaran virus baru. Tanpa pengawasan ketat, virus ini berpotensi meluas ke wilayah lain di Indonesia.

 

Kesimpulan

 

Wabah pada itik di Jawa pada tahun 2012 bukan sekadar kejadian lokal, melainkan penanda munculnya clade baru flu burung H5N1 di Indonesia. Fakta ini menegaskan bahwa virus flu burung terus berevolusi, menembus batas spesies, dan siap menghadirkan ancaman baru jika tidak diawasi dengan baik.

 

Langkah selanjutnya sangat jelas: riset lebih mendalam, pengawasan lebih ketat, serta kolaborasi antarpeternak, pemerintah, dan ilmuwan untuk mencegah wabah lebih besar di masa depan.

Friday, 12 September 2025

Flu Burung Mengancam,Dunia Satukan Kekuatan di Brazil

 



Flu Burung Mengguncang Dunia: 

Brasil Jadi Pusat Pertemuan Global Menentukan Masa Depan Pangan dan Kesehatan

 

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Brasil menjadi tuan rumah pertemuan global yang mempertemukan lebih dari 500 pakar dari seluruh dunia—mulai dari pejabat pemerintah, ilmuwan, pakar kesehatan masyarakat, hingga pelaku industri unggas. Mereka berkumpul dalam sebuah forum bersejarah untuk membahas ancaman flu burung (avian influenza) yang kini kian tak terbendung, merenggut jutaan populasi unggas, mengancam keanekaragaman hayati, hingga menimbulkan potensi bahaya pandemi bagi manusia.

 

Ratusan pakar dari berbagai bidang—pemerintah, kesehatan masyarakat, pertanian, ilmu pengetahuan, hingga sektor swasta—berkumpul di Brasil pada 9-11 September 2025 dalam sebuah dialog global bersejarah untuk menghadapi ancaman flu burung (avian influenza) yang kini berkembang menjadi krisis lintas benua.

 

Pertemuan tiga hari yang diselenggarakan oleh FAO bersama Kementerian Pertanian dan Peternakan Brasil ini menjadi forum multisektoral pertama di dunia yang sepenuhnya berfokus pada pengendalian HPAI (high pathogenicity avian influenza), sebuah penyakit menular yang tidak hanya meluluhlantakkan populasi unggas dan mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga menimbulkan risiko serius bagi kesehatan manusia serta ketahanan pangan global.

 

Brasil dipilih bukan tanpa alasan—sebagai eksportir unggas terbesar dunia, negara ini berada di garis depan pengawasan, terlebih setelah kasus H5N1 sempat terdeteksi di salah satu peternakan komersial awal tahun ini dan berhasil dikendalikan dengan cepat, menunjukkan ketangguhan sistem kesehatan hewan nasionalnya.

 

Diskusi yang berlangsung mencakup penguatan sistem surveilans dan peringatan dini, perluasan akses vaksinasi dan biosekuriti, dukungan bagi negara berpendapatan rendah dan peternak kecil, serta kolaborasi lintas sektor dalam kerangka One Health. Untuk pertama kalinya pula, sektor swasta—termasuk asosiasi industri, produsen unggas, dan penyedia layanan kesehatan hewan—ikut duduk bersama, menegaskan bahwa ancaman flu burung bukan hanya persoalan kesehatan, melainkan juga menyangkut perdagangan, inflasi, dan pasokan pangan dunia.

 

Strategi global yang baru diluncurkan FAO dan WOAH menekankan pentingnya transparansi, koordinasi lintas batas, serta investasi berkelanjutan agar dunia dapat menekan risiko pandemi berikutnya. Melalui dialog yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, Brasil menjadi panggung lahirnya kesepahaman baru: bahwa hanya dengan kerja sama erat antarnegara, ilmuwan, dan sektor swasta, ancaman flu burung dapat dikendalikan demi melindungi sistem pangan, kesehatan, dan masa depan umat manusia.

 

Kesimpulan

Pertemuan bersejarah di Brasil ini menegaskan satu hal penting: ancaman flu burung bukan lagi persoalan satu negara atau satu sektor, melainkan tantangan global yang membutuhkan solidaritas, transparansi, dan aksi bersama. Dengan keterlibatan pemerintah, ilmuwan, organisasi internasional, dan sektor swasta, dunia kini memiliki peluang lebih besar untuk mencegah krisis kesehatan dan pangan berikutnya. Jika semangat kolaborasi ini terus dijaga, maka harapan untuk melindungi ketahanan pangan, kesehatan publik, dan masa depan generasi mendatang tetap terbuka lebar.

Sunday, 29 December 2024

Mutasi H5N1 pada Pasien Sakit Parah

Mutasi H5N1 pada pasien yang sakit parah dapat meningkatkan penyebaran, namun risikonya tetap rendah


Analisis genetik virus flu burung H5N1 pada spesimen dari pasien pertama yang dirawat di rumah sakit parah di Louisiana mengungkapkan mutasi yang dapat memungkinkan terjadinya infeksi saluran napas atas dan penularan yang lebih besar, simpulan ringkasan teknis dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Namun, penulis laporan yang dirilis kemarin sore mengatakan, risiko pandemi influenza di tengah wabah yang sedang berlangsung masih rendah. 

 

Dalam berita terkait, Kabupaten Los Angeles dan Kabupaten Stanislaus minggu ini mengumumkan kasus H5N1 pertama pada manusia yang menyerang dua pekerja peternakan sapi perah. Kedua pekerja tersebut mengalami gejala ringan dan kini dalam tahap pemulihan setelah menerima obat antivirus. Tidak ada kasus terkait yang teridentifikasi. California, yang telah melaporkan total 37 kasus, baru-baru ini mengumumkan keadaan darurat kesehatan masyarakat untuk H5N1 guna membebaskan lebih banyak sumber daya karena virus tersebut sekarang menyebar ke peternakan sapi perah di luar Central Valley dan lebih jauh ke selatan. Total kasus manusia di AS sekarang mencapai 65 . 

 

Mutasi kemungkinan terjadi selama replikasi virus pada pasien Para ilmuwan di CDC membandingkan genom H5N1 dalam virus yang menginfeksi pasien di Louisiana, yang memiliki kontak dengan unggas di halaman belakang, dengan genom virus H5N1 lainnya yang berasal dari sapi perah, burung liar, unggas, dan pasien manusia sebelumnya. Perubahan yang diamati kemungkinan besar dihasilkan oleh replikasi virus ini pada pasien dengan penyakit lanjut dan bukan penularan utama pada saat infeksi. Genotipe virus penyebab pada pasien Louisiana adalah D1.1. 

 

Urutan hemaglutinin (HA) dari dua spesimen pernapasan pasien tersebut terkait erat dengan urutan yang diidentifikasi pada virus D1.1 lainnya, termasuk urutan yang diambil dari sampel yang dikumpulkan pada bulan November dan Desember pada burung liar dan unggas di Louisiana. Genotipe ini berbeda dari B3.13, genotipe yang menyebabkan wabah pada hewan seperti sapi perah dan unggas, dengan infeksi ringan sporadis pada pekerja peternakan sapi perah di Amerika Serikat, catat para penulis. 

 

Mutasi virus yang terlihat pada kasus Louisiana tidak terlihat pada virus yang dikumpulkan dari unggas yang tinggal di properti pasien. "Penting untuk dicatat bahwa perubahan ini mewakili sebagian kecil dari total populasi virus yang diidentifikasi dalam sampel yang dianalisis (yaitu, virus masih mempertahankan sebagian besar asam amino 'unggas' pada residu yang terkait dengan pengikatan reseptor)," tulis para penulis. "Perubahan yang diamati kemungkinan besar disebabkan oleh replikasi virus ini pada pasien dengan penyakit lanjut daripada yang ditularkan terutama pada saat infeksi.

 

"Para peneliti mengatakan bahwa mutasi tersebut jarang terjadi pada manusia dan paling sering terjadi selama infeksi berat. "Salah satu perubahan yang ditemukan juga diidentifikasi dalam spesimen yang dikumpulkan dari kasus manusia dengan penyakit berat yang terdeteksi di British Columbia, Kanada, yang menunjukkan bahwa mutasi tersebut muncul selama perjalanan klinis saat virus bereplikasi pada pasien," tulis mereka. 

 

Kasus di British Columbia dilaporkan pada bulan November pada seorang remaja yang dirawat di rumah sakit . Tidak ditemukan mutasi pada urutan yang memfasilitasi adaptasi terhadap inang mamalia atau yang terkait dengan resistensi antimikroba. Perubahan akan lebih mengkhawatirkan pada hewan Sementara CDC mencatat bahwa temuan tersebut mengkhawatirkan dan menyoroti risiko mutasi virus H5N1 selama infeksi manusia, temuan tersebut akan lebih mengkhawatirkan jika telah teridentifikasi pada hewan atau dalam beberapa hari setelah timbulnya gejala, saat temuan tersebut kemungkinan besar memungkinkan penularan ke kontak dekat. "Yang perlu diperhatikan, dalam kasus ini, tidak ada penularan dari pasien di Louisiana ke orang lain yang teridentifikasi," tulis para peneliti. 

 

"Departemen Kesehatan Masyarakat Louisiana dan CDC bekerja sama untuk menghasilkan data sekuens tambahan dari spesimen pasien yang berurutan guna memfasilitasi analisis genetik dan virologi lebih lanjut." CDC mendesak pengawasan genomik berkelanjutan pada manusia dan hewan, penanggulangan wabah H5N1 pada sapi perah dan unggas, dan tindakan pencegahan di antara orang-orang yang terpapar hewan yang terinfeksi atau lingkungan sekitar. 

 

Temuan ini dapat digunakan dalam pengembangan vaksin flu Michael Osterholm, PhD, MPH, direktur Pusat Penelitian dan Kebijakan Penyakit Menular (CIDRAP) Universitas Minnesota, penerbit CIDRAP News, sependapat dengan para penulis. Ia mengatakan penting untuk menindaklanjuti kasus-kasus seperti ini, tetapi "bahkan dengan mempertimbangkan kasus di British Columbia, yang juga disebabkan oleh galur D.1, hal itu tidak mengubah gambaran risiko pandemi influenza dengan cara apa pun.

 

"Data ini menunjukkan virus yang terdeteksi dalam spesimen pernapasan dari pasien ini berkerabat dekat dengan CVV HPAI A(H5N1) [virus kandidat vaksin] yang sudah tersedia bagi produsen, dan yang dapat digunakan untuk membuat vaksin jika diperlukan. Mutasi tersebut telah terlihat pada kasus H5N1 sebelumnya dan tidak mengakibatkan penularan antarmanusia. Namun, pandemi flu akan terjadi suatu saat nanti—dengan H5N1 atau virus lain—yang memerlukan pengembangan dan produksi vaksin flu yang efektif secara terus-menerus, katanya. 

 

Penulis ringkasan juga mengomentari pengembangan vaksin flu. "Data ini menunjukkan virus yang terdeteksi dalam spesimen pernapasan dari pasien ini terkait erat dengan HPAI A(H5N1) CVV [virus kandidat vaksin] yang sudah tersedia untuk produsen, dan yang dapat digunakan untuk membuat vaksin jika diperlukan," tulis mereka. 

 

Dalam posting X , Angela Rasmussen, PhD, seorang ahli virus di Vaccine and Infectious Disease Organization di University of Saskatchewan di Kanada, mengatakan, "Ada mutasi frekuensi rendah pada HA yang menunjukkan adaptasi pada inang manusia—khususnya inang manusia ini. Namun, hal ini tidak banyak mengubah dalam hal memperkirakan risiko pandemi."


SUMBER:

CDC: H5N1 mutations in severely ill patient could boost spread, but risk remains low. Mary Van Beusekom, MS  December 28, 2024.  Avian Influenza (Bird Flu).

Tuesday, 6 December 2022

Deteksi Virus Avian influenza yang Resistan

 

Deteksi Virus Influenza Zoonosis dan Influenza Hewan yang Resistan terhadap Oseltamivir Menggunakan Tes Resistensi Antiviral Influenza Cepat

 

RINGKASAN

Mutasi pada neuraminidase (NA) virus influenza yang menyebabkan berkurangnya kerentanan terhadap NAI inhibitor (NAI) oseltamivir dapat terjadi secara alami atau setelah pengobatan antivirus. Saat ini, deteksi menggunakan uji penghambatan NA tradisional atau pengurutan gen untuk mengidentifikasi penanda yang diketahui terkait dengan pengurangan penghambatan oleh oseltamivir. Kedua metode itu melelahkan dan membutuhkan personel terlatih. Influenza antiviral resistance test (iART), sistem prototipe yang dikembangkan oleh Becton, Dickinson and Company hanya untuk penggunaan penelitian, menawarkan metode cepat dan sederhana untuk mengidentifikasi virus semacam itu. Studi ini menyelidiki penerapan iART pada virus influenza A yang diisolasi dari inang non-manusia dengan berbagai subtipe NA (N1-N9).

 

1. INTRODUKSI

Virus zoonosis dan influenza hewan A merupakan ancaman yang signifikan bagi kesehatan masyarakat; mereka dapat menyebabkan penyakit parah pada manusia dengan sedikit perlindungan yang diberikan oleh vaksinasi musiman karena perbedaan antigenik.[1] NAI secara rutin digunakan untuk mengobati individu yang terinfeksi virus influenza, terlepas dari subtipenya, dan oseltamivir adalah terapi anti-influenza yang paling sering diresepkan. Resistensi antivirus dapat muncul di alam atau setelah pengobatan dengan NAI melalui perubahan permukaan antigen NA yang mempengaruhi pengikatan neuraminidase inhibitor (NAI). Perubahan tersebut dapat menyebabkan resistensi terhadap satu atau lebih NAI.[2]

 

Sementara analisis urutan gen NA sering digunakan untuk menyaring virus untuk penanda resistensi yang sudah ada, analisis genetik tidak dapat mengidentifikasi virus yang membawa penanda molekuler baru, atau menilai tingkat kerentanan yang berkurang. Dengan demikian, uji NAI fenotipik biasanya digunakan untuk menilai kerentanan virus terhadap NAI.[3]  Dalam uji ini, virus diencerkan ke tingkat aktivitas NA yang ditargetkan dan diuji terhadap NAI yang diencerkan secara serial untuk menentukan IC50, konsentrasi obat yang diperlukan untuk menghambat 50% dari aktivitas NA. 

 

Untuk melaporkan hasil virus influenza A musiman, perubahan lipatan virus uji dihitung dengan membandingkan nilai IC50 referensi, baik median spesifik subtipe atau IC50 virus kontrol yang tidak memiliki perubahan NA.[4]  Namun, pendekatan ini tidak dapat dengan mudah diterapkan untuk pengujian dan pelaporan kerentanan virus influenza non-musiman terhadap NAI karena kesulitan memperoleh dan menguji sejumlah besar dari setiap subtipe yang berbeda dan berbagai garis keturunan genetik dalam setiap subtipe. Selain itu, hasil NAI memerlukan interpretasi yang hati-hati, karena korelasi laboratorium dari resistensi yang relevan secara klinis belum ditetapkan, kecuali untuk virus yang membawa N1 NA dengan substitusi H275Y.[5]  Infeksi yang disebabkan oleh virus yang menunjukkan fenotipe penghambatan berkurang (RI) atau fenotipe penghambatan sangat berkurang (HRI) mungkin lebih sulit dikendalikan dengan intervensi terapeutik, yang dapat menyebabkan penyakit berkepanjangan dan pelepasan virus.[6]

 

Tes sederhana dan cepat yang dapat digunakan oleh laboratorium surveilans, dan dalam pengaturan klinis diperlukan untuk mendeteksi virus dengan kerentanan yang berkurang terhadap NAI. Seperti dilaporkan sebelumnya, prototipe tes resistensi antiviral influenza (iART), yang dikembangkan oleh BD Technologies (BARDA Contract HHSO100201300008C), mampu mendeteksi secara fenotip virus influenza musiman yang menampilkan RI/HRI oleh oseltamivir.[7]  Pengujian ini membandingkan aktivitas sialidase spesifik influenza (NA) dengan dan tanpa konsentrasi obat tunggal, hanya membutuhkan 1 jam, dan tidak memerlukan pelatihan ekstensif untuk melakukannya. Di sini, kami menyajikan temuan serupa untuk virus influenza manusia zoonosis dan influenza hewan.

 

2. PERBANDINGAN iART DENGAN NAI ASSAY

Untuk memverifikasi kemampuan iART untuk secara efisien mendeteksi aktivitas enzimatik NA dan penghambatan oleh oseltamivir dari berbagai subtipe (N1 hingga N9), telah dilakukan pengujian terhadap berbagai virus influenza manusia zoonosis dan influenza hewan.  Pengujian ini dilakukan termasuk terhaap virus (n = 45) yang diisolasi dari burung liar, unggas, kucing domestik, dan infeksi manusia zoonosis yang disebarkan dalam sel MDCK atau telur ayam yang dibuahi (Tabel 1). Analisis sekuens NA tidak mengidentifikasi penanda resistansi terhadap oseltamivir yang diketahui atau dicurigai (Tabel S1). Virus diuji menggunakan uji NAI dan iART berbasis fluoresensi, seperti yang dijelaskan sebelumnya.[4]  Semua isolat virus ditemukan rentan terhadap penghambatan oleh oseltamivir dalam uji iART (faktor-R ≤0,70). Dalam uji NAI, semua nilai IC50 yang dihitung berada dalam rentang nanomolar/subnanomolar; beberapa perbedaan antara subtipe diamati, seperti yang diharapkan, dengan nilai IC50 terbesar diamati untuk virus N8 dan terendah untuk virus N2 (Tabel 1). Median IC50 untuk semua subtipe (dihitung menggunakan IC50 rata-rata untuk setiap subtipe) ditentukan menjadi 0,48 nmol/L (Tabel S2).

 

Menggunakan median IC50, perubahan kelipatan dihitung untuk setiap isolat. Seperti yang diharapkan, semua virus yang diuji ditentukan secara normal dihambat (NI) oleh oseltamivir, dan, oleh karena itu, rentan terhadap obat ini, sesuai dengan kriteria yang diterapkan oleh Kelompok Kerja Ahli tentang Kerentanan Antiviral untuk Sistem Pengawasan dan Respon Influenza Global WHO [5] (peningkatan <10 kali lipat dibandingkan dengan median IC50). Data dari uji standar emas NAI menunjukkan korelasi yang baik dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan iART, memverifikasi kemampuan tes untuk mendeteksi aktivitas enzim NA dan penghambatan oleh oseltamivir untuk virus influenza non-musiman.

 

Tabel 1. Virus Influenza zoonosis dan Avian Influenza subtipe N1-N9 neuraminidase (NA) dan aktivitas NA inhibitor (NAI)





a. Posisi substitusi asam amino NA ditunjukkan menggunakan penomoran lurus dan penomoran subtipe N2.

b. Diuji menggunakan uji NAI berbasis fluoresensi standar Pusat Pengendalian dan Pencegahan AS. Rata-rata dan standar deviasi (SD) dari setidaknya tiga percobaan independen ditampilkan; perubahan kelipatan menunjukkan peningkatan kelipatan nilai IC50 dari uji protein NA rekombinan dibandingkan dengan nilai IC50 protein NA A/Shanghai/2/2013.

c. Kriteria untuk menginterpretasikan hasil uji NAI berdasarkan peningkatan kelipatan nilai IC50 dari uji NA dibandingkan dengan protein NA tipe liar A/Shanghai/2/2013 Nilai IC50: inhibisi normal (NI) <10 kali lipat, inhibisi berkurang ( RI) 10 hingga 100 kali lipat, dan penghambatan sangat berkurang (HRI) >100 kali lipat.

d. Faktor-R: rasio intensitas sinyal chemiluminescent yang dihasilkan oleh aktivitas NA virus pada substrat dengan dan tanpa inhibitor (yaitu, oseltamivir karboksilat). Rata-rata dan standar deviasi faktor-R dari tiga percobaan independen. Interpretasi faktor-R berdasarkan cutoff yang telah ditentukan sebelumnya untuk influenza A (resistensi ≥0,70).

 

Untuk memverifikasi bahwa iART dapat mendeteksi penurunan kerentanan terhadap oseltamivir dari virus unggas dan zoonosis, sembilan isolat virus dengan substitusi asam amino NA yang diketahui memengaruhi kerentanan oseltamivir diuji dengan uji NAI dan iART (Tabel 2). Nilai IC50 yang dihitung dibandingkan dengan virus kontrol yang tidak memiliki substitusi NA, serta nilai median IC50 yang dihitung di atas. Perhitungan perubahan lipatan IC50 median diperlukan ketika virus tipe liar yang cocok tidak tersedia atau virus dengan urutan NA yang tidak diketahui diuji. Metode perubahan kelipatan tidak mengubah interpretasi delapan dari sembilan virus (Tabel 2).

 

Satu isolat (Tabel 2, klon 1 A/Vietnam/HN30408/2005) diinterpretasikan memiliki RI menggunakan perubahan kelipatan yang ditentukan dengan virus kontrol IC50, penghambatan normal (NI) menggunakan perubahan lipatan yang ditentukan dengan median IC50, dan R -faktor yang berada di bawah ambang batas yang ditetapkan sebelumnya sebesar 0,70 (0,57). Dua virus (Tabel 2, A/Ohio/88/2012 dan A/Taiwan/1/2013 clone 3) diuji sebagai RI oleh NAI dengan faktor R di iART mendekati ambang batas (0,62, 0,66). Enam virus lain yang memiliki fenotipe RI atau HRI dengan uji NAI menunjukkan faktor-R di atas ambang batas ≥0,70 dalam uji iART.

 

Tabel 2. Virus zoonosis dan flu burung A dengan substitusi neuraminidase (NA) memberikan (sangat) pengurangan penghambatan oleh oseltamivir


 

a. Posisi substitusi asam amino NA ditunjukkan menggunakan penomoran lurus dan penomoran subtipe N2.

b. Diuji menggunakan uji NAI berbasis fluoresensi standar Pusat Pengendalian dan Pencegahan AS. Rata-rata dan standar deviasi (SD) dari setidaknya tiga percobaan independen ditampilkan; perubahan lipatan menunjukkan peningkatan lipat nilai IC50 dari virus uji dibandingkan dengan nilai IC50 virus kontrol (untuk virus yang tidak memiliki substitusi asam amino) dan menggunakan median IC50 dari semua subtipe.

c. Kriteria untuk menginterpretasikan hasil uji NAI berdasarkan peningkatan IC50 kali lipat dibandingkan dengan virus kontrol/nilai median IC50: penghambatan normal (NI) <10 kali lipat, penghambatan berkurang (RI) 10 hingga 100 kali lipat, dan penghambatan sangat berkurang (HRI) >100 kali lipat.

d. Faktor-R: rasio intensitas sinyal chemiluminescent yang dihasilkan oleh aktivitas NA virus dengan dan tanpa inhibitor (yaitu, oseltamivir karboksilat). Interpretasi faktor-R berdasarkan cutoff yang telah ditentukan sebelumnya untuk influenza A (resistensi ≥0,70).

 

Berbagai faktor-R diamati, yang berkorelasi dengan rentang perbedaan lipatan yang ditentukan oleh uji NAI (Gambar S1). Virus dengan faktor R tertinggi (yaitu >4,0) juga diidentifikasi memiliki HRI dengan uji NAI. Virus dengan RI atau nilai perubahan lipat mendekati batas 10 kali lipat memiliki faktor R mendekati ambang 0,70. Hasil ini menunjukkan bahwa setiap virus yang dilaporkan resisten dengan iART akan memiliki RI/HRI dengan NAI. Virus yang tidak resisten, terutama yang memiliki faktor R tinggi, juga menunjukkan beberapa penghambatan yang berkurang oleh oseltamivir. Dengan pengujian lebih lanjut dan penyempurnaan ambang faktor R, iART mungkin dapat membedakan antara virus RI dan HRI di masa mendatang. Sebagai alternatif, setiap spesimen dengan faktor R di atas 0,50 dapat ditandai untuk analisis urutan dan pengujian tambahan dalam pengujian NAI. Tak satu pun dari virus tipe liar yang ditunjukkan pada Tabel 1 atau virus musiman yang dilaporkan sebelumnya akan ditandai sebagai berpotensi mengurangi kerentanan menggunakan ambang batas yang lebih rendah untuk virus tipe A.[7]

 

3. PROTEIN N9 REKOMBINAN DENGAN PENANDA RI/HRI YANG DIKETAHUI OLEH OSELTAMIVIR

Substitusi asam amino yang diketahui mengurangi kerentanan terhadap oseltamivir E119V, I222K/R, H274Y, R292K, dan R371K (penomoran N2) telah terdeteksi pada virus NA A(H7N9) yang diisolasi dari manusia.8 Selain itu, I222T terdeteksi pada Virus A(H7N9) diisolasi dari primata non-manusia setelah pengobatan oseltamivir.9 Untuk menentukan apakah iART mampu mengidentifikasi NA dengan perubahan ini sebagai resisten terhadap oseltamivir, masing-masing protein rekombinan N9 (rN9) dihasilkan menggunakan A/Shanghai/ 2/2013 NA sebagai tulang punggung, seperti yang dijelaskan sebelumnya.10 Penggunaan protein rekombinan memungkinkan pengujian perubahan asam amino yang mengurangi aktivitas enzimatik selain mengurangi kerentanan terhadap NAI, termasuk R292K (R289K dalam penomoran lurus N9), yang paling sering diidentifikasi Perubahan NA terdeteksi pada kasus manusia H7N9. Faktor-R dari protein rN9 yang membawa substitusi E119V, I222K/R, H274Y, R292K, atau R371K mengkategorikannya sebagai resisten terhadap oseltamivir dan berkorelasi dengan hasil uji NAI (Tabel 3).

 

Kisaran faktor-R juga berkorelasi dengan kisaran nilai IC50 (Gambar S1); semua rN9 dengan faktor-R di atas 2,0 diidentifikasi memiliki HRI dengan uji NAI. Protein rN9 dengan I222T diidentifikasi sebagai tidak resisten oleh iART. Dalam uji NAI, perubahan lipatan yang diberikan oleh substitusi ini berada di bawah ambang batas 10, yang selanjutnya menegaskan korelasi antara kedua uji tersebut.

Tabel 3. Protein neuraminidase (NA) rekombinan A/Shanghai/2/2013 (H7N9) dengan substitusi yang memberikan penghambatan (sangat) berkurang oleh oseltamivir

a. Posisi substitusi asam amino NA ditunjukkan menggunakan penomoran lurus dan penomoran subtipe N2.

b. Diuji menggunakan uji NAI berbasis fluoresensi standar Pusat Pengendalian dan Pencegahan AS. Rata-rata dan standar deviasi (SD) dari setidaknya tiga percobaan independen ditampilkan; perubahan lipatan menunjukkan peningkatan lipat nilai IC50 dari uji protein NA rekombinan dibandingkan dengan nilai IC50 protein NA A/Shanghai/2/2013.

c. Kriteria untuk menginterpretasikan hasil uji NAI berdasarkan peningkatan lipat nilai IC50 dari uji NA dibandingkan dengan protein NA tipe liar A/Shanghai/2/2013 Nilai IC50: inhibisi normal (NI) <10 kali lipat, inhibisi tereduksi (RI ) 10 hingga 100 kali lipat, dan penghambatan sangat berkurang (HRI) >100 kali lipat.

d. R-faktor: rasio intensitas sinyal chemiluminescent yang dihasilkan oleh aktivitas NA virus pada substrat dengan dan tanpa inhibitor (yaitu, karboksilat oseltamivir). Rata-rata dan standar deviasi faktor-R dari tiga percobaan independen. Interpretasi faktor-R berdasarkan cutoff yang telah ditentukan sebelumnya untuk influenza A (resistensi ≥0,70).

 

4. UJI IART VS NAI DI BAWAH KONDISI PH RENDAH (PH 5.3 VS 6.8)

Seperti disebutkan di atas, R292K adalah penanda NA yang paling sering dilaporkan pada pasien yang diobati dengan oseltamivir yang terinfeksi virus A(H7N9). Selain itu, perubahan ini juga dikenal untuk mengurangi aktivitas enzimatik, membuat deteksi resistensi obat menjadi sulit menggunakan uji NAI standar karena aktivitas yang tidak mencukupi untuk pengujian atau aktivitas masking resistensi tipe liar.11 Sebelumnya dilaporkan bahwa deteksi virus R292K dapat dilakukan ditingkatkan dengan pengujian NAI pada pH asam.12 Untuk mengkonfirmasi temuan ini, pengujian dilakukan pada isolat A(H7N9) flu burung yang sangat patogen, A/Taiwan/1/2017, yang mengandung substitusi R292K.

 

Pada pH standar 6,8, uji NAI tidak dapat menguji isolat virus ini karena aktivitas NA di bawah ambang batas yang diperlukan untuk pengujian (Tabel 4). Namun, pada pH 5,3, virus ini memiliki aktivitas NA yang cukup dan menampilkan fenotipe HRI. Khususnya, iART mampu mendeteksi resistansi yang disebabkan oleh R292K, tanpa mengubah kondisi pH pengujian. Kami sebelumnya menunjukkan bahwa spesimen klinis dapat diuji secara langsung oleh iART, bahkan ketika aktivitas NA tidak cukup untuk pengujian oleh NAI. Hasil ini mengkonfirmasi dan memperluas temuan tersebut dan menyarankan sensitivitas iART yang lebih besar untuk mendeteksi resistensi pada virus NA aktivitas rendah.

 

Tabel 4. Hasil uji resistensi antiviral influenza (IART) vs uji uji NAI pada pH rendah (pH 5,3)


a. N/A: Tidak tersedia karena tingkat aktivitas enzim NA tidak mencukupi untuk pengujian.

b. Kriteria pelaporan hasil uji NAI berdasarkan peningkatan kelipatan nilai IC50 virus uji dibandingkan dengan nilai IC50 virus kontrol tanpa substitusi R292K: inhibisi normal (NI) <10 kali lipat, inhibisi tereduksi (RI) 10 hingga 100 kali lipat, dan penghambatan sangat berkurang (HRI) >100 kali lipat.

c. Faktor-R: rasio intensitas sinyal chemiluminescent yang dihasilkan oleh aktivitas NA virus pada substrat dengan dan tanpa inhibitor (yaitu, oseltamivir karboksilat). Rata-rata dan standar deviasi faktor-R dari tiga percobaan independen. Interpretasi faktor-R berdasarkan cutoff yang telah ditentukan sebelumnya untuk influenza A (resistensi ≥0,70).

 

Tes resistensi antivirus influenza adalah uji fenotipik yang cepat dan sensitif untuk mendeteksi virus influenza dengan penghambatan yang dikurangi oleh oseltamivir. Tidak seperti metode berbasis urutan, iART memberikan data fenotipik yang berharga untuk identifikasi virus yang membawa penanda molekuler yang diketahui dan tidak diketahui terkait dengan penurunan kerentanan.

 

Ketika virus subtipe hewan dan zoonosis baru muncul, sangat penting untuk menentukan fenotipe obatnya dengan cepat sehingga otoritas kesehatan masyarakat dan dokter dapat menilai pilihan pengobatan dengan lebih baik. iART saat ini tidak tersedia secara komersial, meskipun pengujian spesifik influenza lainnya (QFlu Combo Test oleh Cellex) menggunakan prinsip deteksi resistansi oseltamivir yang serupa. Ketersediaan iART di masa depan bergantung pada permintaan tes perawatan untuk mendeteksi resistensi antivirus.

 

Meskipun uji NAI merupakan standar emas terus menjadi uji pilihan untuk laboratorium surveilans, uji ini tidak praktis dan membutuhkan personel yang sangat terlatih. iART menyediakan alternatif, metode sederhana untuk mendeteksi virus yang resistan terhadap oseltamivir menggunakan perangkat kecil dan portabel dengan perangkat lunak bawaan untuk interpretasi data. Virus yang terdeteksi oleh iART dengan faktor R yang tinggi dapat ditandai untuk analisis genetik dan evaluasi fenotipik yang komprehensif. Desain dan kemudahan penggunaan ini memungkinkan pengujian kerentanan oseltamivir di lokasi yang saat ini tidak dapat melakukan pengujian NAI.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.   Blanton L, Wentworth DE, Alab N, et al. Update: influenza activity—United States and Worldwide, May 21–September 23, 2017. Morb Mortal Wkly Rep. 2017; 6: 1043-1051.

 

2. Marjuki H, Mishin VP, Chesnokov AP, et al. Characterization of drug-resistant influenza A(H7N9) variants isolated from an oseltamivir-treated patient in Taiwan. J Infect Dis. 2015; 211(2): 249-257.

 

3. Okomo-Adhiambo M, Mishin VP, Sleeman K, et al. Standardizing the influenza neuraminidase inhibition assay among United States public health laboratories conducting virological surveillance. Antiviral Res. 2016; 128: 28-35.

 

4.   Meetings of the WHO working group on surveillance of influenza antiviral susceptibility – Geneva, November 2011 and June 2012. Wkly Epidemiol Rec. 2012; 87(39): 369-374.

 

5.   Nguyen HT, Trujillo AA, Sheu TG, et al. Analysis of influenza viruses from patients clinically suspected of infection with an oseltamivir resistant virus during the 2009 pandemic in the United States. Antiviral Res. 2012; 93(3): 381-386.

 

6.     Li TC, Chan MC, Lee N. Clinical implications of antiviral resistance in influenza. Viruses. 2015; 7(9): 4929-4944.

 

7.    Gubareva LV, Fallows E, Mishin VP, et al. Monitoring influenza virus susceptibility to oseltamivir using a new rapid assay, iART. Eurosurveillance. 2017; 22(18): 30529.

 

8.  Marjuki H, Mishin VP, Chesnokov AP, et al. Neuraminidase mutations conferring resistance to oseltamivir in influenza A(H7N9) viruses. J Virol. 2015; 89(10): 5419-5426.

 

9. Itoh Y, Shichinohe S, Nakayama M, et al. Emergence of H7N9 influenza A virus resistant to neuraminidase inhibitors in nonhuman primates. Antimicrob Agents Chemother. 2015; 59(8): 4962-4973.

 

10 Gubareva LV, Sleeman K, Guo Z, et al. Drug susceptibility evaluation of an influenza A(H7N9) virus by analyzing recombinant neuraminidase proteins. J Infect Dis. 2017; 216 (suppl_4): S566-S574.

 

11Gubareva LV, Robinson MJ, Bethell RC, Webster RG. Catalytic and framework mutations in the neuraminidase active site of influenza viruses that are resistant to 4-guanidino-Neu5Ac2en. J Virol. 1997; 71(5): 3385.

 

12.Sleeman K, Guo Z, Barnes J, Shaw M, Stevens J, Gubareva LV. R292K substitution and drug susceptibility of influenza A(H7N9) viruses. Emerg Infect Dis. 2013; 19(9): 1521-1524.

 

SUMBER: 

Erin N. Hodges, Vasiliy P. Mishin, Juan De la Cruz, Zhu Guo, Ha T. Nguyen, Eric Fallows, James Stevens, David E. Wentworth, Charles Todd Davis, Larisa V. Gubareva. 2019. Detection of oseltamivir-resistant zoonotic and animal influenza A viruses using the rapid influenza antiviral resistance test. https;//doi.org/10.1111/irv.12661.