Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, 31 March 2009

Petani Beras Jepang Takut Masa Depannya Suram

Dataran pesisir luas ini, yang terletak di dekat Laut Jepang, diberkahi dengan air melimpah dan tanah yang subur, serta dihiasi dengan sawah yang berwarna kuning keemasan di awal musim semi, adalah salah satu lumbung pangan terfertil di negara ini. Namun, ada sebuah perasaan malaise yang tak terbantahkan di sini.

 

Para petani yang mengelola sawah-sawah ini semakin menua dan jumlahnya terus berkurang. Tanah-tanah yang terbengkalai dan ditumbuhi ilalang menjadi pemandangan yang biasa ditemui. Karena ukuran lahan mereka yang kecil dan turunnya harga beras yang drastis, banyak petani yang merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup.

 

"Pertanian Jepang tidak memiliki uang, tidak ada pemuda, dan tidak punya masa depan," kata seorang petani, Hitoshi Suzuki, 57 tahun, yang berdiri di lahan pertanian keluarga yang telah berusia 450 tahun saat angin dingin bertiup dari laut.

 

Masalah di sektor pertanian ini mencerminkan perasaan kelumpuhan yang sedang melanda Jepang, ekonomi terbesar kedua di dunia. Menghadapi tantangan besar akibat populasi yang menua dan pertumbuhan ekonomi yang rendah secara kronis, negara ini berusaha mempertahankan status quo, dengan menghabiskan kekayaan besar yang telah terakumulasi, alih-alih membuat perubahan besar, kata para ekonom.

"Krisis pedesaan Jepang memberikan gambaran tentang masa depan negara ini," kata Yasunari Ueno, seorang ekonom di Mizuho Securities di Tokyo.

 

Menurut banyak petani dan ahli pertanian, pedesaan Jepang sedang mendekati titik mati, akibat depopulasi, liberalisasi perdagangan, dan anggaran pemerintah yang menipis. Mereka menyebutkan ini sebagai krisis pedesaan terbesar sejak Perang Dunia II. Di Shonai, harga tanah pertanian telah turun hingga 70 persen dalam 15 tahun terakhir, dan jumlah petani telah menyusut setengahnya sejak 1990.

 

Di seluruh Jepang, produksi beras—beras yang merupakan makanan pokok tradisional—telah turun 20 persen dalam dekade terakhir, yang memicu alarm di negara yang kini mengimpor 61 persen makanannya, menurut Biro Statistik Pemerintah Jepang.

 

Penuaan dianggap sebagai masalah terbesar di pedesaan, di mana, menurut Kementerian Pertanian, 70 persen dari tiga juta petani Jepang berusia 60 tahun atau lebih. Sejak tahun 2000, defisit anggaran yang melonjak memaksa Tokyo untuk memangkas belanja proyek-proyek infrastruktur publik yang selama ini menopang ekonomi pedesaan, sementara penurunan ekspor kini telah menghilangkan pekerjaan di pabrik yang selama ini menjadi sumber pendapatan tambahan bagi banyak rumah tangga petani.

 

Meskipun krisis keuangan global saat ini semakin memperburuk keadaan, akar masalahnya terletak pada sistem ekonomi pedesaan Jepang yang mengandalkan petani keluarga kecil yang sangat tidak efisien, yang sudah ada sejak akhir Perang Dunia II. Namun meskipun banyak petani dan ahli pertanian sepakat bahwa sistem ini sedang mengalami keruntuhan, perubahan dihalangi oleh berbagai kepentingan yang telah mapan dan ketakutan untuk mengganggu kebiasaan yang sudah ada.

 

Pertanyaannya sekarang adalah apakah titik balik akan segera tercapai. Perubahan tersebut bisa sangat signifikan karena pemilih pedesaan membentuk dasar dari piramida politik, di puncaknya berdiri Partai Liberal Demokrat, yang telah memerintah Jepang selama lebih dari setengah abad. Partai ini diperkirakan akan menghadapi persaingan ketat dengan Partai Demokrat sebagai oposisi dalam pemilihan umum yang harus diadakan paling lambat awal September.

 

Di daerah pedesaan seperti Yamagata, provinsi penghasil beras di utara tempat Shonai berada, tanda-tandanya masih beragam.

Takashi Kudo, pemilik perusahaan konstruksi di sini, mengatakan bahwa dia tetap menjadi pendukung setia anggota parlemen Partai Liberal Demokrat, yang membantu perekonomian lokal dan perusahaannya dengan pengeluaran untuk proyek-proyek lokal. Namun kini, kata Kudo, penjualan perusahaannya telah turun sepertiga dalam dekade terakhir, memaksanya untuk memecat setengah dari 23 karyawannya.

 

Keadaan semakin sulit, bahkan kuil Shinto setempat berhenti mempekerjakan musisi untuk festival musim panas, katanya. Warga setempat merasa ditinggalkan oleh partai, yang menyebabkan menurunnya keanggotaan dalam kelompok pendukung pemilu, katanya. Namun, warga tidak merangkul oposisi, yang, menurutnya, menderita masalah yang sama dengan partai yang berkuasa, yakni kurangnya arah yang jelas.

 

"Reaksi yang muncul adalah kekecewaan politik, bukan pemberontakan politik," kata Kudo, 45 tahun, yang duduk di kantornya di bawah foto anggota parlemen Liberal Demokrat dari distrik setempat, Koichi Kato.

 

Meski demikian, semakin banyak orang yang menyerukan agar Partai Demokrat diberi kesempatan. Pada bulan Januari, seorang anggota dewan sekolah yang tidak dikenal, yang mencalonkan diri sebagai kandidat oposisi, mengalahkan kandidat Liberal Demokrat yang sedang menjabat untuk menjadi gubernur Yamagata, yang sebelumnya telah lama dikuasai oleh Partai Liberal Demokrat.

 

"Rasa bahwa L.D.P. semakin tidak terhubung dengan masalah nyata di pedesaan mulai terasa," kata Takeshi Hosono, seorang direktur di Shogin Future-Sight Institute, sebuah perusahaan riset pasar yang berbasis di kota Yamagata.

 

Banyak warga Yamagata merasa bahwa partai tersebut telah terlalu jauh dalam meliberalisasi perdagangan dan mengurangi pengeluaran publik, kata Hosono, mencerminkan rasa ketidakpuasan bahwa kota-kota besar seperti Tokyo telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, sementara daerah pedesaan semakin merosot.

 

Beberapa orang lain mengatakan mereka merasa bahwa Partai Liberal Demokrat tidak cukup jauh dalam melakukan reformasi, mengeluhkan bahwa partai dan kelompok-kelompok lokal yang mendukungnya telah menghalangi petani lokal untuk melakukan perbaikan besar yang menantang status quo.

Salah satu inovator tersebut adalah Kazushi Saito, seorang petani beras dan babi yang enam tahun lalu menantang salah satu institusi terkuat di pedesaan Jepang, koperasi pertanian nasional, dengan mencoba mendirikan koperasi alternatif yang lebih kecil. Dia mendaftar 120 petani lain yang tidak puas dengan koperasi nasional, yang mereka rasa hanya berusaha menjual mesin dan pupuk mahal.

 

Namun, ketika dia berusaha mendaftarkan koperasi barunya, sebagaimana diizinkan oleh hukum, pejabat pertanian provinsi menolak melakukan prosedur administrasi, yang pada akhirnya menggagalkan rencananya, katanya.

"Kepentingan yang telah mapan sedang mengarahkankan pertanian Jepang ke tembok," kata Saito, 52 tahun.

 

Saito dan petani lain mengatakan bahwa pemerintah juga membuat hambatan terhadap solusi yang paling jelas untuk masalah pertanian, yakni penciptaan lahan pertanian yang lebih besar dan efisien. Rata-rata lahan pertanian komersial di Jepang sekarang hanya 4,6 hektar, dibandingkan dengan sekitar 440 hektar untuk lahan pertanian komersial di Amerika Serikat.

 

Meski pemerintah mengatakan bahwa konsolidasi semacam itu diperlukan, Saito dan yang lainnya mengatakan bahwa usaha mereka untuk mengakumulasi lahan terhambat oleh dukungan harga untuk lahan pertanian, yang dimaksudkan untuk melindungi nilai aset petani kecil tetapi justru membuat lahan terlalu mahal untuk dibeli. Pembatasan produksi beras, yang juga dimaksudkan untuk membantu petani kecil dengan menopang harga beras, membuatnya sulit untuk memperluas produksi, kata banyak petani.

 

Meskipun ada dukungan harga, pembatasan impor yang lebih longgar dan penurunan permintaan terkait dengan perubahan kebiasaan makan Jepang telah menurunkan harga beras, merugikan pertanian dari segala ukuran. Ini telah memicu kemarahan yang meningkat tidak hanya terhadap Partai Liberal Demokrat tetapi juga terhadap kementerian-kementerian Jepang yang kuat, yang selama ini memandu negara ini namun sekarang tampaknya tidak mampu memimpin jalan keluar dari kebuntuan ini.

"Era pasca perang yang bergantung pada Tokyo jelas telah berakhir," kata wali kota Shonai, Maki Harada.

 

Suzuki, dengan pertanian keluarga yang berusia 450 tahun, telah memperluas lahan yang dia kelola menjadi 40 hektar, sebagian besar disewa dari petani yang telah pensiun. Namun harga tanah yang membengkak, pembatasan produksi beras, dan biaya pertanian Jepang yang sangat mekanis hanya membuat lahan yang lebih besar ini merugi lebih banyak daripada lahan yang lebih kecil di sekitarnya, katanya.

 

"Pertanian bisa menghidupkan kembali ekonomi lokal, jika dipulihkan lagi," kata Masayoshi Honma, seorang profesor pertanian di Universitas Tokyo. "Tanpa reformasi, pertanian hanya akan terus merosot hingga mati."

 

 

SUMBER: The New York Times, March 28, 2009

No comments: