RINGKASAN
Kejadian
infeksi Hantavirus pada hewan dan manusia mulai meningkat akhir-akhir ini dan strain
baru telah diidentifikasi. Penyakit ini cukup fatal pada manusia, karena dapat
mengakibatkan gangguan fungsi pada ginjal dan paru-paru. Munculnya strain baru
dari Hantavirus, tidak tersedianya perangkat diagnosis yang cepat dan akurat
serta informasi yang kurang lengkap akan menghambat pengendalian penyakit
tersebut, terutama di negara berkembang. Tulisan ini membahas penyakit yang
disebabkan oleh Hantavirus, epidemiologi penyakit, serta pencegahan dan
pengendaliannya di beberapa negara maju dan berkembang, termasuk di Indonesia.
Kata kunci:
Hantavirus, zoonosis, rodensia, epidemiologi
PENDAHULUAN
Infeksi
Hantavirus merupakan salah satu zoonosis yang ditularkan oleh hewan rodensia
(hewan pengerat) ke manusia yang mengakibatkan gangguan bagi kesehatan
masyarakat, terutama di negara berkembang. Gangguan kesehatan pada manusia
dapat berupa kelainan ginjal dan paru-paru, dimulai dengan demam, bintik
perdarahan pada muka, sakit kepala, kemudian hipotensi, oliguria (sedikit buang
air kecil), lalu diuretik (sering buang air kecil). Angka kematian dapat
mencapai 12% (Vapalahti et al. 2003; Goeijenbier et al. 2015).
Penyakit ini
diketahui setelah ditemukannya kasus infeksi Hantavirus pada lebih dari 3.000
tentara Amerika di Korea pada tahun 1951-1954 dan kemudian menyebar ke Amerika,
yang menyebabkan banyak kematian akibat gagal jantung (Lee et al. 1978). Sejak
saat itu infeksi Hantavirus menarik perhatian dunia. Hantavirus pertama kali
diisolasi pada tahun 1976, yang kemudian dapat diidentifikasi beberapa strain/galur/serotype
Hantavirus lainnya. Sebanyak 22 Hantavirus bersifat patogen bagi manusia, serta
terdiri dari dua tipe penyakit, yaitu tipe Hemorrhagic Fever with Renal
Syndrome (HFRS) dan tipe Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS) (MacNeil et al.
2011; Goeijenbier et al. 2015). Tipe HFRS sering pula disebut sebagai Korean
Hemorrhagic Fever (KHF), Epidemic Hemorrhagic Fever (EHF) dan Nephropathia
Epidemica (NE). Tipe HPS lebih banyak menyebabkan kematian daripada tipe HFRS,
karena mengakibatkan tidak berfungsinya otot miokardium dan terjadinya
hypoperfusion, sehingga sering disebut sebagai Hantavirus Cardiopulmonary
Syndrome (HCPS) (Plyusnina et al. 2009; MacNeil et al. 2011). Oleh sebab itu,
penyakit ini menjadi sangat penting bagi kesehatan masyarakat (Willemann &
Oliveira 2014). Berdasarkan penyebarannya, HPS lebih mendominasi Amerika,
sedangkan HFRS lebih menyebar ke Asia dan Eropa (Vapalahti et al. 2003;
Johansson et al. 2010; Olsson et al. 2010).
Rodensia
merupakan hewan pengerat yang paling banyak ditemui, terutama di negara
berkembang. Rodensia tikus banyak berkeliaran di sekitar rumah atau di daerah
persawahan. Nurisa & Ristyanto (2005) melaporkan bahwa beberapa agen
penyakit yang dapat ditularkan melalui tikus di Indonesia antara lain bakteria
riketsia, virus, jamur, protozoa atau cacing. Penyakit yang sering muncul
antara lain seperti leptospirosis, pes, salmonelosis, schistosomiasis,
eosinophilic meningitis dan infeksi Hantavirus. Penyakit ini biasanya muncul
pada saat banjir, dimana tikus keluar dari sarangnya sambil mengeluarkan urin
atau feses yang mungkin mengandung agen infeksius yang kemudian dapat
menginfeksi dan menyebabkan sakit pada manusia (Kosasih et al. 2011).
VIRUS DAN KARAKTER GENETIK
Infeksi
Hantavirus disebabkan oleh virus Hanta genus Hantavirus, famili Bunyaviridae.
Virus ini memiliki single stranded RNA, yang mempunyai tiga segmen (Nichol et
al. 2005), berbentuk sferikal dengan diameter 80-120 nm dan panjang mencapai
170 nm (Vapalahti et al. 2003). Hantavirus beramplop sehingga tidak tahan
terhadap pelarut lemak, seperti deterjen, perlarut organik dan hipoklorit,
dapat juga diinaktifasi dengan pemanasan dan sinar ultra violet (Kraus et al.
2005).
Berdasarkan
analisis filogenetik, terdapat beberapa serotipe Hantavirus yang beredar seperti
Hanta yang ditemukan di China, Seoul dan Indonesia (Plyusnina et al. 2009).
Hasil penelitian Plyusnina et al. (2009) menunjukkan bahwa Hantavirus strain
Serang asal Indonesia yang diisolasi dari tikus Rattus berbeda dengan
Hantavirus yang diisolasi dari rodensia, tikus Bandicota indica yang
kekerabatannya lebih dekat dengan Hantavirus asal Thailand. Berdasarkan
spesifisitas induk semang dan kriteria gejala klinis yang dibuat oleh
International Committee of Taxonomy of Viruses, hingga saat ini telah diidentifikasi
ada 22 spesies Hantavirus, antara lain adalah virus Hantaan, Dobrava-Belgrage,
Seoul, Sin Nombre, Monongahela, New York, Black Creek, Bayou, Choclo, Andes,
Bermejo, Lechiguanas, Maciel, Oran, Laguna Negra, Araraquara dan Juquitiba
(Nichol et al. 2005; Jonsson et al. 2010).
Beberapa
serotipe Hantavirus dapat menyebabkan kasus yang parah antara lain serotipe
virus Hantaan (HTNV) dari Tiongkok, virus Thailand (THAIV), virus Seoul (SEOV)
dan virus Dobrava (DOBV) dari Yugoslavia yang dapat menyebabkan kematian hingga
12% (Vapalahti et al. 2003; Goeijenbier et al. 2015). Sedangkan virus Puumala
(PUUV) menyebabkan kasus ringan di Eropa, SEOV menyebabkan kasus sedang yang
dapat terdeteksi di Asia, Eropa, Amerika dan Afrika (Vapalahti et al. 2003).
Sementara serotipe yang berkaitan erat dengan infeksi Hantavirus tipe HPS
antara lain virus Sin Nombre (SNV), virus New York (NYV), virus Monongahela
(MONV), virus Bayou (BAYV) dan virus Black Creek Canal (BCCV), virus Andes
(ANDV), virus Languna Negra (LNV) dan beberapa strain virus Hantavirus yang
diisolasi dari Argentina dan Brazil (Padula et al. 2000). Meskipun terdapat
beberapa macam strain Hantavirus yang telah dilaporkan pada rodensia, namun
yang dapat menyebabkan gejala klinis pada manusia terdapat dua serotipe yaitu
HTNV dan SEOV (Zhang et al. 2010).
Dalam beberapa
tahun terakhir ini Hantavirus strain baru telah dilaporkan keberadaannya,
seperti virus Kenkeme yang terdeteksi dari Sorex roratus di Rusia (Kang et al.
2010). Adanya temuan beberapa strain Hantavirus ini, tentunya akan menambah
keragaman strain Hantavirus di dunia dan sekaligus menimbulkan pergeseran
paradigma baru bahwa tidak semua strain Hanta berasal dari tikus, meskipun
masih berdampak terhadap kesehatan manusia. Infeksi Hantavirus menjadi isu
hangat bagi kesehatan masyarakat di dunia sehingga perlu mendapat perhatian
serius agar antisipasi penyakit ini dapat dimaksimalkan.
PROSES PENULARAN
Pada kebanyakan
kelompok bunyaviridae seperti Arbovirus, penularan penyakit terjadi melalui
vektor serangga. Namun, pada Hantavirus cara penularan penyakit berbeda dengan
Arbovirus lain, Hantavirus tidak ditularkan melalui vektor serangga melainkan
melalui tikus dan rodensia lainnya. Penularan Hantavirus ke manusia dapat
terjadi baik melalui kontak dengan hewan reservoir rodensia yang terinfeksi
atau kontak dengan ekskresinya seperti saliva, urin atau feses. Ektoparasit
seperti kutu atau caplak dapat berperan penting sebagai sumber penularan
Hantavirus baik dari hewan ke hewan maupun dari hewan ke manusia (Houck et al.
2001).
Kontak dengan
ekskresi rodensia dapat terjadi melalui area yang terkontaminasi atau melalui
gigitan hewan reservoir yang terinfeksi. Penularan pada manusia juga dapat
terjadi melalui aerosol dari debu atau benda-benda yang telah terkontaminasi
oleh urin dan feses rodensia yang mengandung Hantavirus (Jonsson et al. 2010).
Penularan melalui aerosol dari ekskresi rodensia ke hewan lain seperti anjing
dan kucing dilaporkan oleh Dobly et al. (2012), sedangkan penularan secara
vertikal melalui intra-transplasental dan air susu tidak terjadi (Botten et al.
2002). Penularan dari manusia ke manusia juga belum pernah dilaporkan. Periode
viremia Hantavirus pada manusia sangat singkat sehingga sulit untuk dideteksi
keberadaannya dalam darah.
HEWAN RENTAN
Hantavirus
dapat menginfeksi jenis rodensia, dari subfamili Murinae, Arvicolinae dan
Sigmodontinae. Hewan tertular tersebut merupakan reservoir beberapa serotipe
Hantavirus seperti HNTV, DOBV, SSAAV, PUUV, SNV dan SEOV yang dapat menyebabkan
kasus klinis tipe HFRS (Jonsson et al. 2010). Hantavirus telah berhasil
diisolasi dari beberapa spesies tikus, seperti Hanta serotipe Serang (SERV)
dari Rattus sp (Plyusnina et al. 2009), SEOV dari Rattus norvegicus yang
penyebarannya ditemukan di negara lain (Plyusnina et al. 2004), Gou virus dari
Tiongkok terdeteksi dari Rattus ratus dan Thai virus dari Bandicota indica
(Plyusnina et al. 2009).
Telah
dilaporkan bahwa Turkish microtus voles terbukti dapat mengandung antibodi
terhadap salah satu serotipe Hantavirus, virus Puumala (Laakkonen et al. 2006).
Apodemus agrarius dan Myodes glareolus telah terbukti sebagai reservoir
Hantavirus di Eropa (Sironen et al. 2005; Zeimes et al. 2012). Beberapa spesies
rodensia yang dapat bertindak sebagai reservoir bagi Hantavirus antara lain
Apodemus agrarius, Apodemus flavicollis, Apodemus peninsulae, Clethrionomys
glareolus, Peromyscus maniculatus, Peromyscus leucopus, Peromyscus maniculatus
nubiterrae, Oryzomys palustris, Sigmodon hispidus, Calomys laucha, Oligoryzomys
longicaudatus, Oligoryzomys fulvescens, Neacomys spinosus, Bolomys lasiurus,
Bolomys obscurus, Oligoryzomys nigripes dan Peronzysczu maniculatus (Jonsson et
al. 2010; de Oliveira et al. 2014). Lebih lanjut, di Rusia, Hantavirus Ken Keme
telah berhasil dideteksi pada hati dan paruparu pada beberapa spesies Shrews
(Ordo Soricomorpha, famili Soricidae), seperti Sorex daphaenodon, Sorex
minutissimus, Sorex roboratus, Sorex tundrensis dan Sorex araneus (Kang et al.
2010).
Reservoir
Hantavirus merupakan spesies spesifik, artinya masing-masing serotipe
Hantavirus cenderung mempunyai satu spesies induk semang reservoir. Sebagai
contoh di Tiongkok, HTNV hanya diperoleh pada rodensia spesies tikus Apodemus
agrarius dan A. peninsulae yang dapat menyebabkan infeksi Hantavirus tipe HFRS
yang parah. Sedangkan serotipe SEOV yang berhasil dideteksi dari tikus Rattus
norvegicus, R. rattus, R. flavipectus, R. losea dan R. nitidus, menghasilkan
tipe HFRS yang ringan (Zhang et al. 2010). Beberapa strain Hantavirus yang
secara filogenetik sama, dapat ditemukan di beberapa spesies rodensia
(Johansson et al. 2010). Selain pada rodensia, antibodi terhadap Hantavirus
dapat ditemukan pada karnivora domestik seperti anjing dan kucing di Belgia
(Dobly et al. 2012). Prevalensi pada kucing lebih tinggi dari pada prevalensi
pada anjing. Anjing dan kucing tersebut berada di lokasi dekat hutan, sehingga
kemungkinan kucing dan anjing terekspose oleh ekskresi urin atau feses rodensia
disekitar hutan, mengingat Hantavirus merupakan patogen yang penularan utamanya
melalui rodensia (Arai et al. 2008).
Indonesia memiliki kekayaan fauna yang
sangat bervariasi dari Sabang hingga Merauke, termasuk diantaranya spesies
tikus yang dapat berperan sebagai induk semang reservoir infeksi Hantavirus.
Meskipun data spesies rodensia yang membawa Hantavirus belum teridentifikasi
secara menyeluruh, namun dengan perubahan iklim dan ekologi, maka tidak menutup
kemungkinan penularan Hantavirus antar spesies tikus yaitu dari spesies tikus
yang telah teridentifikasi ke spesies yang baru teridentifikasi yang berperan
sebagai induk semang reservoir Hantavirus. Untuk itu diperlukan kerjasama
penelitian lintas kementerian sehingga dapat diketahui spesies rodensia yang
baru sebagai pembawa Hantavirus atau pembawa virus zoonosis lainnya. Telah
dilaporkan pula Hantavirus pada kelelawar (Weiss et al. 2012). Hal ini menambah
daftar penyakit zoonosis pada kelelawar.
Selain pada
kelelawar, Chen et al. (2011) juga melaporkan ditemukannya antibodi terhadap
Hantavirus Seoul pada orang utan Bornean yang dipelihara di Taiwan sebagai
hewan piaraan (pet animal) dengan uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
dan Immunofluoresence Assay (IFA). Ini merupakan laporan pertama terdeteksinya
antibodi terhadap Hantavirus pada orang utan. Reservoir alami Hantavirus adalah
rodensia. Hal ini mungkin dapat terjadi karena perubahan ekosistem di
Kalimantan baik akibat oleh penebangan liar maupun kebakaran hutan yang marak
terjadi, sehingga populasi tikus hutan berpindah ke daerah dimana populasi
orang utan berada atau sebaliknya. Akibatnya kontak dengan ekskresi tikus
terjadi dan orang utan dapat terinfeksi. Data ini mengindikasikan bahwa selain
rodensia, hewan lainnya dapat terinfeksi. Orang utan Kalimantan termasuk dalam
spesies hewan yang dilindungi. Apabila kasus ini dibiarkan maka tidak menutup
kemungkinan terjadinya penyebaran infeksi Hanta ke manusia dan terjadinya
penurunan populasi orang utan akibat terserang penyakit, mengingat perburuan
hewan langka untuk dijadikan peliharaan banyak terjadi di Indonesia. Dengan
diketahuinya spesies reservoir yang potensial untuk Hantavirus, maka akan dapat
diantisipasi penyebaran Hantavirus yang lebih luas serta kejadian infeksi
Hantavirus dari hewan ke manusia.
GEJALA KLINIS
Secara umum,
Hantavirus menyebabkan infeksi kronis yang persisten pada rodensia, sehingga
rodensia tersebut dapat menularkan penyakit ini secara terus menerus melalui
sekresinya ke manusia, meskipun tanpa gejala klinis. Infeksi Hanta menyebabkan
Haemorrhagic Fever and Renal Syndrome (HFRS) dan Haemorrhagic Pulmonary
Syndrome (HPS) pada manusia. Meskipun demikian, patogenesisnya masih belum
sepenuhnya diketahui (Easterbrook et al. 2007; MacNeil et al. 2011).
Masa inkubasi
penyakit Hanta berkisar antara 2-8 minggu. Tahapan klinis tipe HFRS biasanya terjadi
lima tahap yaitu fase febris, hipotensi, oliguria (sedikit buang air kecil),
fase diuretik (sering buang air kecil) dan fase convalescence. Fase febris
(berlangsung selama 3-6 hari) memperlihatkan gejala demam tinggi mencapai
>39°C, terkadang disertai dengan bintik perdarahan pada konjungtiva dan
wajah, sehingga wajah terasa panas, sakit kepala, tidak nafsu makan dan nyeri
pada bola mata. Fase kedua yaitu fase hipotensi, berlangsung selama 1-2 hari,
pasien mengalami hipotensi dan shock karena permeabilitas vaskuler meningkat
sehingga dapat menyebabkan oedema paru dan peritonial (Jonsson et al. 2010;
Goeijenbier et al. 2015). Fase oliguria, berlangsung 3-5 hari, pada fase ini,
oliguria dan anuria mulai terjadi dan disertai dengan perdarahan, fase ini merupakan
fase yang kritis dimana kematian paling sering terjadi. Oleh karena itu, pasien
akibat infeksi Hantavirus perlu mendapat penanganan yang intensif. Apabila
pasien dapat melalui fase oliguria (jarang kencing), maka proses persembuhan
dapat terjadi.
Di dua fase berikutnya proses persembuhan dimulai. Fase diuretik
(sering kencing) berlangsung lebih lama, yaitu berkisar antara 1-2 minggu. Pada
fase ini mulai tampak perubahan atau persembuhan, namun komplikasi pada fase
ini sering terjadi seperti tensi darah menurun, kadar elektrolit tubuh tidak
normal, perdarahan pada alat pencernaan dan terganggunya sistem pernafasan dan
susunan syaraf. Fase convalescence berlangsung lebih lama yaitu 3-6 minggu.
Pada fase ini proses penyembuhan mulai tampak dengan cepat, namun penderita
mengalami kelemahan otot, menurunnya daya tahan tubuh dan stamina, disertai
dengan poliuria (sering kencing). Proses penyembuhan biasanya berlangsung dua
bulan (Jonsson et al. 2010; Goeijenbier et al. 2015). Pada tipe hemorhagik ini,
kelainan pada paruparu jarang terjadi, kecuali yang disebabkan oleh PPUV,
dimana selain dalam bentuk HFRS, juga ditemukan pneumonia (Seitsonen et al.
2006). Berdasarkan pengamatan Jonsson et al. (2010), tidak semua infeksi strain
Hanta menyebabkan gejala klinis yang sama sehingga mortalitasnya akan berbeda.
Tipe HPS
mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek, yaitu berkisar antara 14-17 hari dan
terbagi dalam tiga stadium, yaitu stadium febrile prodome, cardiacpulmonary dan
convalescence. Stadium febrile prodome terjadi selama 3-6 hari dengan gejala
myalgia (sakit kepala), malaise dan demam tanpa batuk dan pilek. Stadium ini
berlanjut menjadi stadium cardiacpulmonary yang dikarakterisasi dengan
pembendungan paru, sehingga batuk mulai nampak, dan sering disertai dengan
gastritis. Pembendungan tersebut disebabkan karena virus tersebut biasanya
menyerang endothelium microvasculair paru-paru yang menyebabkan kebocoran pada
microvasculair tersebut (MacNeil et al. 2011).
Setelah mengganggu sistem pernafasan, virus ini mulai menyerang otot jantung sehingga menyebabkan miokarditis dan sistem peredaran darah terganggu, akibatnya terjadi hipotensi atau tekanan darah mulai menurun disertai dengan takhikardia (denyut jantung cepat). Gejala tersebut menjadi karakteristik tipe HPS. Berdasarkan pemeriksan laboratorium kimia darah, terjadi thrombositopenia (penurunan kadar trombosit) dan leukositosis (peningkatan leukosit). Pada stadium lanjut, lemahnya otot jantung dapat menyebabkan kematian, sehingga pada tipe HPS, meskipun kasus klinis lebih sedikit, tetapi mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan tipe HFRS, yaitu dapat mencapai 40% (Raboni et al. 2005; MacNeil et al. 2011). Virus Sin Nombre (SNV) dan virus Andes (ANDV) teridentifikasi sebagai penyebab utama kasus Hantavirus tipe HPS di Amerika (MacNeil et al. 2011).
Setelah mengganggu sistem pernafasan, virus ini mulai menyerang otot jantung sehingga menyebabkan miokarditis dan sistem peredaran darah terganggu, akibatnya terjadi hipotensi atau tekanan darah mulai menurun disertai dengan takhikardia (denyut jantung cepat). Gejala tersebut menjadi karakteristik tipe HPS. Berdasarkan pemeriksan laboratorium kimia darah, terjadi thrombositopenia (penurunan kadar trombosit) dan leukositosis (peningkatan leukosit). Pada stadium lanjut, lemahnya otot jantung dapat menyebabkan kematian, sehingga pada tipe HPS, meskipun kasus klinis lebih sedikit, tetapi mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan tipe HFRS, yaitu dapat mencapai 40% (Raboni et al. 2005; MacNeil et al. 2011). Virus Sin Nombre (SNV) dan virus Andes (ANDV) teridentifikasi sebagai penyebab utama kasus Hantavirus tipe HPS di Amerika (MacNeil et al. 2011).
SITUASI INFEKSI HANTAVIRUS DI DUNIA
Infeksi
Hantavirus dengan tipe gangguan ginjal /HFRS mulai dikenal pada abad ke-20 dan
banyak ditemukan di dunia, seperti di Asia, Eropa dan Amerika yang merupakan
negara endemis Hanta, tetapi mortalitasnya rendah (Jonsson et al. 2010; MacNeil
et al. 2011). Penyebaran infeksi Hantavirus dengan gejala klinis pada manusia
ini ditemukan banyak di Tiongkok dan Korea. Tiongkok merupakan negara
terendemis untuk penyakit Hanta, hal ini terlihat dari laporan Zhang et al.
(2004) yang menyatakan bahwa 70-90% kasus infeksi Hanta di dunia terjadi di
Tiongkok, sementara urutan kedua terdapat di Korea hingga tahun 1996. Pemberian
vaksinasi telah dimulai tahun 1991 di Korea, yang berdampak sangat signifikan
dengan penurunan kasus yang sangat drastis di tahun 1998 (Baek et al. 2006).
Kasus juga
dilaporkan di wilayah Rusia meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit (Yashina
et al. 2000). Di Jepang, wabah penyakit Hanta terjadi tahun 1960an dan tahun
1985 tidak ada lagi laporan kasus Hanta pada manusia di Jepang, meskipun secara
serologis, tikus R. norvegicus mengandung antibodi terhadap Hantavirus
(Lokugamage et al. 2004). Selain di Asia (Johansson et al. 2010), virus ini
juga ditemukan di beberapa negara di Eropa (Mailles et al. 2005; Zeimes et al.
2012), Rusia (Klempa et al. 2008), Afrika (Klempa et al. 2012; Sumibcay et al.
2012) dan Amerika (Firth et al. 2012; de Oliveira et al. 2015).
Kasus infeksi
Hantavirus telah dilaporkan pada manusia di beberapa negara Asia, antara lain
Tiongkok, Hongkong, Taiwan, Korea, Federasi Rusia, Jepang (sebelum tahun 1985),
India, Malaysia, Singapura, Thailand dan Sri Langka (Zhang et al. 2010; Hooper
et al. 2013). Sedangkan secara serologis, antibodi juga ditemukan di Israel,
Kuwait, Laos, Filipina dan Vietnam. Di Kamboja pernah dilaporkan antibodi
Hantavirus pada rodensia hingga 8%, tetapi tidak ditemukan kasusnya pada
manusia (Reynes et al. 2003). Pada manusia, kasus klinis Hanta lebih banyak
ditemukan di negara berkembang, terutama di daerah dengan kondisi sanitasi dan
perumahan yang buruk, kebersihan lingkungan yang tidak memadai dimana banyaknya
populasi tikus disekitar rumah (Zhang et al. 2010).
SITUASI HANTAVIRUS DI INDONESIA
Keberadaan
Hantavirus di Indonesia, baik pada hewan maupun manusia belum banyak diketahui,
meskipun sudah ada laporan kasus Hanta pada manusia. Beberapa publikasi
menyatakan adanya infeksi Hantavirus dan virus Seoul pada manusia di Indonesia
(Ibrahim et al. 1996; Plyusnina et al. 2004; Suharti et al. 2009; Wibowo 2010).
Kasus infeksi Hanta pada manusia sering dikacaukan atau bersamaan dengan
infeksi virus Dengue, terutama pasien pada awalnya diduga terinfeksi oleh virus
Dengue (Groen et al. 2002; Praseno & Nirwati 2008; Suharti et al. 2009). Pada
rodensia, keberadaan antibodi terhadap Hantavirus asal Korea, telah dilaporkan
pada tikus di beberapa wilayah Indonesia (Ibrahim et al. 1996; Plyusnina et al.
2009; Wibowo 2010).
Lebih lanjut,
Hantavirus baru (Novel Hantavirus) juga berhasil dideteksi dari tikus rumah
(Rattus tanezumi) yang berasal dari Kota Serang, Provinsi Banten, sehingga
virus ini dinamakan Hanta strain Serang (SERV) (Plyusnina et al. 2009). Hasil
penelitiannya secara molekuler menunjukkan bahwa virus tersebut berbeda dengan
virus Hanta lainnya, tetapi masih serumpun, sehingga diberikan nama Serang
virus. Wibowo (2010) melaporkan bahwa prevalensi reaktor pada rodensia di
beberapa kota pelabuhan di Indonesia bervariasi mulai dari 7,9- 40,3%. Pada
rodensia, prevalensi reaktor hanya ditemukan pada spesies rodensia tertentu
saja. Sedangkan prevalensi antibodi terhadap Hantavirus pada manusia antara
1,1-28,9%, terkecuali yang ditemukan di Maumere mencapai 28,9%.
Adapun spesies
Hantavirus yang ditemukan saat ini adalah virus Hantaan, Seoul dan Puumala.
Penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim et al. (2013) menunjukkan bahwa tikus
yang ditangkap di daerah Kepulauan Seribu menunjukkan hasil positif dengan uji
IFA dan juga positif dengan uji Polymerase Chained Reaction (PCR). Hasil sekuen
genom menunjukkan bahwa virus tersebut termasuk virus Seoul, namun tidak
dilaporkan adanya antibodi pada manusia. Ibrahim et al. (2013) juga melaporkan
terdapat peningkatan prevalensi reaktor Hantavirus pada tikus Rattus norvegicus
dan R. tanezumi di daerah Kepulauan Seribu pada tahun 2009 (33,9%) jika
dibandingkan dengan prevalensi pada tahun 2005 (15,9%). Selanjutnya, jenis
rodensia yang dideteksi mengandung antibodi terhadap Hantavirus adalah R.
ratus, R. norwegicus, R. exulans, R. tanezumi, M. musculus, B. indica dan S.
murinus (Plyusnina et al. 2009; Wibowo 2010; Ibrahim et al. 2013).
Berhubung
Hantavirus penularannya melalui ekskresi rodensia atau tikus yang berkeliaran
dan banyak ditemui di lingkungan sekitar pemukiman manusia, hutan dan
persawahan, maka perilaku dan jenis pekerjaan atau kegiatan manusia berpengaruh
terhadap tingkat kejadian infeksi Hantavirus misalnya pekerja di hutan yang
tidak menggunakan sepatu dan masker, orang yang tidur di rerumputan, orang yang
tinggal di pemukiman yang rawan banjir, para pembajak sawah atau para petani
yang sehari-harinya bekerja di sawah tanpa menggunakan pelindung. Hal ini
didukung oleh penelitian Oldal et al. (2014b) yang menemukan antibodi terhadap
virus Dobrava-Belgrade (DOBV) dan Puumala (PUUV) pada pekerja hutan di
Hongaria. Dari informasi tersebut di atas dapat diasumsikan bahwa infeksi
Hantavirus akan terus meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup manusia tak
terkecuali kondisi serupa juga dapat terjadi di Indonesia.
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM
Iklim dan cuaca
ikut berperan terhadap terjadinya suatu penyakit terutama penyakit-penyakit
yang penularannya oleh vektor atau reservoir, seperti diulas oleh Bahri &
Syafriati (2011) dan Sendow (2013). Perubahan iklim akan berdampak pada
populasi nyamuk sebagai vektor Arbovirus yang dapat menimbulkan wabah penyakit
baik emerging maupun re-emerging disease. Oleh karena itu, perubahan iklim atau
lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan populasi vektor atau reservoir, baik
yang disebabkan oleh alam maupun buatan manusia, diduga mempunyai dampak
terhadap kesehatan manusia dan hewan, baik secara langsung maupun tidak
langsung (Mills et al. 2010; Sendow 2013). Perubahan iklim memiliki hubungan
terhadap ekosistem yang berdampak pada populasi induk semang, reservoir atau vektor.
Hal yang sama tampak pada kasus Nipah di Malaysia, dimana induk semang
reservoir Nipah yaitu kalong pemakan buah dapat bermigrasi ke daerah dimana
persediaan makanan terpenuhi (Chua et al. 2000).
Kejadian wabah
Hantavirus di beberapa negara, biasanya berhubungan dengan populasi rodensia
yang meningkat secara drastis. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti perubahan fungsi hutan menjadi tempat pemukiman yang menyebabkan
perubahan ekologi lingkungan. Selain itu, kondisi perumahan dan sanitasi yang
buruk, kebakaran hutan atau terganggunya fungsi hutan sebagai sumber makanan
bagi rodensia, menyebabkan rodensia bermigrasi ke tempat sumber makanan banyak
ditemukan (Bahri & Syafriati 2011; Sendow 2013).
Prevalensi
infeksi Hantavirus tergantung pada ketersediaan lahan sebagai tempat rodensia,
induk semang (rodensia) dan Hantavirus itu sendiri. Perubahan salah satu
komponen tersebut dapat mengakibatkan penurunan atau peningkatan infeksi di
daerah tersebut. Sebagai contoh, perubahan iklim dan lingkungan yang disebabkan
oleh penggundulan hutan, beralihnya fungsi hutan, atau perubahan tata kota,
dapat menyebabkan penurunan keanekaragaman spesies rodensia yang ada di daerah
tersebut dan terjadinya perpindahan spesies rodensia ke daerah baru (Koch et al.
2007; Willemann & Oliveira 2014). Kondisi tersebut dapat mengakibatkan
interaksi rodensia dalam satu spesies akan meningkat, sehingga penularan antar
rodensia dapat menginfeksi ke manusia juga meningkat. Makin banyak populasi
vektor atau reservoir maka semakin tinggi peluang terjadinya infeksi pada
manusia. Hal ini dapat menyebabkan infeksi campuran strain Hantavirus dalam
satu spesies (Mills 2006; Mills et al. 2010).
DIAGNOSIS PENYAKIT
Infeksi
Hantavirus berdampak sangat signifikan bagi kesehatan masyarakat, sehingga
perlu mendapat perhatian serius. Diagnosis yang tepat dan akurat sangat
diperlukan untuk menangani kasus tersebut. Hantavirus jika ditinjau dari aspek
keselamatan hayati (biosafety), termasuk dalam kategori kelompok risiko 4,
yaitu virus ini dapat menyebabkan sakit pada hewan dan manusia dengan akibat
yang fatal, serta dapat menyebar pada komunitasnya dengan cepat dan belum ada
cara pencegahan yang efektif (Fleming 2006). Menurut Childs et al. (1993)
penanganan virus ini dalam skala laboratorium harus dilakukan di laboratorium
dengan fasilitas biosafety level 4 (BSL4). Meskipun demikian, pengerjaan
Hantavirus di laboratorium dapat pula dilakukan di biosafety level 3 (BSL3)
dengan menggunakan tata laksana seperti pada BSL4. Hal ini tergantung dari
hasil analisis risiko yang dilakukan terhadap pekerjaan dan penanganan yang
akan dilakukan di laboratorium (Paragas & Endy 2006).
Diagnosis
penyakit Hanta pada manusia ditentukan berdasarkan gejala klinis, epidemiologi
penyakit dan dari hasil pemeriksaan laboratorium. Sebagian besar infeksi
Hantavirus menghasilkan gejala subklinis atau gejala atipikal, sehingga
diagnosis berdasarkan gejala klinis sulit diketahui dengan pasti, tergantung
dari strain virus Hanta yang menginfeksi. Demikian pula tingkat keparahan yang
ditimbulkan (Goeijenbier et al. 2015).
Pemeriksaan
laboratorium mencakup pemeriksaan hematologi, serologi dan virologi.
Pemeriksaan hematologi sering dilakukan sebagai rujukan untuk menentukan adanya
infeksi virus meskipun tidak spesifik ke arah Hantavirus. Seperti dikemukakan
pada penelitian Suwandono et al. (2011) bahwa trombositopenia dan leukopenia
merupakan parameter akurat untuk diagnosis infeksi Dengue sesudah demam hari
ketiga. Kemungkinan parameter ini dapat pula dijadikan patokan bagi infeksi
virus lainnya. Selain lebih mudah pelaksanaannya, kedua hasil ini dapat
diperoleh dari pengujian di semua laboratorium standar, rumah sakit bahkan
beberapa puskesmas besar melakukan kedua uji tersebut dengan biaya yang jauh
lebih murah dibandingkan dengan uji deteksi antibodi atau virologi lainnya.
Konfirmasi serotipe virus yang menginfeksi dapat dilakukan dengan uji virologik
seperti PCR yang dilanjutkan dengan analisis sekuen genom (Kramski et al.
2007).
Pemeriksaan
serologi dapat dilakukan dengan uji IFA dan plaque reduction, hemaglutinasi
inhibisi dan uji ELISA dan Westernblotting (Kramski et al. 2007;
Kucinskaite-Kodze et al. 2011; Oldal et al. 2014a). Uji ELISA banyak
diaplikasikan di rumah sakit untuk mendeteksi IgM atau IgG pada pasien. Sedangkan
uji virologi pada umumnya mencakup isolasi virus dan deteksi antigen virus.
Sampel yang dapat digunakan adalah darah dan urin serta organ paru (untuk
hewan). Uji deteksi virus dapat dilakukan dengan uji PCR (Machado et al. 2009;
Oldal et al. 2014a), real time PCR dan imunohistokimia (Kucinskaite-Kodze et
al. 2011; Németh et al. 2011). Konfirmasi strain atau serotipe Hantavirus dapat
dilakukan dengan analisis sekuen (Sironen et al. 2005; Kramski et al. 2007;
Klempa et al. 2012). Untuk isolasi, Hantavirus dapat ditumbuhkan pada biakan
jaringan Mongolian Gerbil kidney cell, Gold hamster kidney cell (Dong et al.
2005) dan menghasilkan cytopathic effect (CPE) (Vapalahti et al. 2003). Pada
hewan coba, Hantavirus dapat tumbuh pada bayi tikus (Dong et al. 2005).
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Gejala klinis
infeksi Hanta jenis hemorhagis sering dikelirukan dengan infeksi penyakit lain
seperti leptospirosis, ricketsiosis, Murine Thypus, Dengue dan Hemmorhagic
Fever lainnya, plaque, sepsis dan pneumonia, karena gejala klinis yang
dihasilkan hampir sama (Goeijenbier et al. 2015). Untuk itu pemeriksaan
penunjang diperlukan untuk konfirmasi infeksi Hanta.
PENGENDALIAN PENYAKIT
Pada manusia, kasus klinis Hanta lebih banyak
ditemukan di daerah dengan kondisi lingkungan dan perumahan yang buruk, serta
banyaknya populasi tikus di sekitar rumah. Oleh karena itu, perbaikan sistem
perumahan dan sanitasi lingkungan mutlak diperlukan untuk pencegahan penyakit
ini.
Childs et al.
(1993) merekomendasikan cara untuk mengurangi kontak dengan rodensia
diantaranya dengan memasang kawat kasa agar tikus tidak masuk ke rumah,
memasang perangkap tikus, tidak menyediakan makanan bagi tikus terutama di
tempat sampah tanpa tutup. Di daerah endemis Hanta, sosialisasi mengenai
penyakit Hanta sebaiknya sering dilakukan, termasuk program bagaimana cara
menekan populasi tikus, melakukan surveilans dan program vaksinasi pada
manusia. Cara penanganan dan pencegahan infeksi Hantavirus yang komprehensif,
peningkatan kesadaran mayarakat akan bahaya penyakit ini seperti halnya yang
telah dilakukan di Tiongkok (Zhang et al. 2010).
Vaksinasi
dinilai masih efektif untuk pencegahan infeksi Hantavirus, sehingga akhir-akhir
ini telah dikembangkan vaksin multi valent rekombinan yang terdiri dari
beberapa strain/serotipe Hantavirus yang dapat mencegah infeksi Hantavirus
(Hooper et al. 2013). Vaksin Hanta yang berasal dari jaringan ginjal garbil dan
hamster telah banyak diproduksi. Di Tiongkok dan Korea, pemberian vaksinasi
Hantavirus dapat menurunkan kasus infeksi pada manusia secara drastis (Dong et
al. 2005; Zhang et al. 2010).
DAMPAK DAN ANTISIPASI INFEKSI HANTA DI
INDONESIA
Meskipun
keberadaan penyakit Hanta telah dilaporkan di Indonesia baik pada rodensia
maupun pada manusia, namun tampaknya pemerintah belum menanggapi secara serius
jika dibandingkan dengan perhatian terhadap penyakit zoonosis lainnya seperti
Avian Influenza, Rabies dan Antraks. Indonesia mempunyai banyak spesies hewan
liar yang bermukim di hutan, baik rodensia maupun kelelawar. Hantavirus
mempunyai induk semang reservoir pada beberapa spesies tikus dan kelelawar.
Timbulnya penyakit baru (emerging disease) maupun yang akan muncul kembali
(re-emerging disease) dari beberapa penyakit zoonosis tidak dapat diabaikan
bila pemerintah tidak melakukan antisipasi secara menyeluruh dengan melibatkan
peran serta kementerian terkait.
Salah satu
bukti pemerintah belum menaruh perhatian penuh terhadap infeksi Hanta adalah
hingga saat ini hanya sedikit laporan klinis dan serologis yang cenderung
menyebabkan kejadian luar biasa pada manusia. Selanjutnya, data mengenai
spesies hewan liar yang ada di Indonesia masih terbatas, sehingga identifikasi
reservoir Hanta juga belum banyak dilaporkan. Untuk itu, penelitian lebih
lanjut dan menyeluruh perlu dilakukan untuk mengidentifikasi spesies rodensia
dan kelelalwar yang bertindak sebagai reservoir untuk penyakit zoonosis.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Peran Komisi
Nasional Zoonosis (Komnas Zoonosis) seperti pada PP Nomor 30/11 tentang
Pengendalian Zoonosis telah disebutkan bahwa ancaman zoonosis di Indonesia dan
dunia cenderung meningkat. Salah satu zoonosis dalam hal ini penyakit yang
disebabkan Hantavirus sudah terdeteksi pada tikus sebagai vektor dari virus
ini. Dengan demikian, meskipun data terbatas, maka sudah saatnya dilakukan
langkah antisipasi mencegah menyebarnya Hantavirus di Indonesia.
Langkah-langkah komprehensif dan terpadu dari pemerintah pusat sampai daerah,
peran lembaga riset, universitas serta peran organasasi profesi seperti IDI dan
PDHI sudah saatnya digerakkan. Sesuai yang diamanatkan oleh PP Nomor 30/11,
Komnas Zoonosis harus mengambil peran dalam sistem komando pengendalian
nasional yang terintegrasi dalam rangka mengantisipasi dan menanggulangi
situasi kedaruratan jika terjadi wabah zoonosis termasuk Hantavirus.
Peran lembaga
riset seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang mempunyai UPT
Balai Besar Penelitian Veteriner yang merupakan laboratorium rujukan penyakit
hewan nasional berperan aktif dalam melakukan riset terkait vektor dan
reservoir Hantavirus. Dukungan SDM, fasilitas, dana, serta kerjasama lintas
kementerian akan memperlancar kegiatan riset serta output data yang dibutuhkan
untuk pengendalian zoonosis di Indonesia.
KESIMPULAN
Infeksi
Hantavirus pada manusia dapat bersifat fatal, mengakibatkan kesakitan dan
bahkan kematian. Hantavirus telah tersebar di banyak negara, termasuk di
Indonesia. Perubahan iklim akan mempengaruhi penyebaran dan dinamika kejadian
penyakit termasuk infeksi Hantavirus yang ditularkan oleh rodensia. Dengan
demikian, faktor lingkungan akan menjadi penyebab utama penyebaran penyakit
Hantavirus baik antar rodensia maupun dari rodensia ke manusia. Membasmi
rodensia melalui perbaikan lingkungan sekitar perumahan penduduk menjadi faktor
penting dalam pengendalian infeksi Hantavirus pada manusia. Dengan ditemukannya
antibodi terhadap Hantavirus pada rodensia, kelelawar dan orang utan
Kalimantan, meskipun datanya masih terbatas, tetapi perlu diantisipasi
penyebaran infeksi Hantavirus antar hewan liar tersebut, disamping untuk menjaga
kelangsungan populasi hewan liar juga mencegah penyebaran penyakitnya ke
manusia di sekitarnya.
Kesiapan
perangkat diagnosis menjadi kunci utama dalam pendeteksian penyakit disamping
tindakan preventif menggunakan vaksin pada daerah dengan kasus tinggi. Kejadian
infeksi Hantavirus di Indonesia belum banyak diketahui. Oleh karena itu,
penelitian tentang Hantavirus dan aspek kesehatan masyarakat perlu dilakukan
untuk mendapatkan informasi situasi penyakit yang lengkap. Diperlukan informasi
sebaran penyakit dan hewan reaktornya, terutama di daerah padat populasi dengan
lingkungan yang memungkinkan reaktor penyakit berkeliaran dan sejauh mana
dampak penyakit bagi kesehatan masyarakat. Hal ini akan menjadi dasar dalam
menetapkan program antisipatif untuk pencegahan dan pengendalian penyakit
secara efektif dan efisien. Untuk jangka pendek, sosialisasi penyakit perlu
dilakukan kepada masyarakat dan petugas kesehatan di tingkat
kecamatan/puskesmas, sehingga masyarakat memahami dan dapat melakukan
pencegahan penyakit di lingkungan setempat/keluarga dan puskesmas dapat
memberikan pertolongan awal pada kejadian infeksi Hantavirus.
DAFTAR PUSTAKA
Arai S, Ohdachi
SD, Asakawa M, Kang HJ, Mocz G, Arikawa J, Okabe N, Yanagihara R. 2008.
Molecular phylogeny of a newfound Hantavirus in the Japanese shrew mole
(Urotrichus talpoides). Proc Natl Acad Sci. 105:16296-16301.
Baek LJ, Kariwa
H, Lokugamage K, Yoshimatsu K, Arikawa J, Takashima I, Kang J Il, Moon SS,
Chung SY, Kim EJ, et al. 2006. Soochong virus: An antigenically and genetically
distinct Hantavirus isolated from Apodemus peninsulae in Korea. J Med Virol.
78:290- 297.
Bahri S,
Syafriati T. 2011. Mewaspadai munculnya beberapa penyakit hewan menular
strategis di Indonesia terkait dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Wartazoa.
21:25-39. Botten J, Mirowsky K, Ye C, Gottlieb K, Saavedra M, Ponce L, Hjelle
B. 2002.
Shedding and
intracage transmission of Sin Nombre Hantavirus in the deer mouse (Peromyscus
maniculatus) model. J Virol. 76:7587-7594.
Chen CC, Pei
KJC, Yang CM, Kuo MD, Wong ST, Kuo SC, Lin FG. 2011. A possible case of
Hantavirus infection in a Borneo orangutan and its conservation implication. J
Med Primatol. 40:1-4.
Childs JE,
Kaufmann AF, Peters CJ, Ehrenberg RL. 1993. Hantavirus infection-Southwestern
United States: Interim recommendations for risk reduction. MMWR Recomm Rep.
42:1-13.
Chua KB,
Bellini WJ, Rota PA, Harcourt BH, Tamin A, Lam SK, Ksiazek TG, Rollin PE, Zaki
SR, Shieh W, et al. 2000. Nipah virus: A recently emergent deadly
paramyxovirus. Science. 288:1432-1435.
de Oliveira RC,
Guterres A, Fernandes J, D’Andrea PS, Bonvicino CR, de Lemos ERS. 2014.
Hantavirus reservoirs: Current status with an emphasis on data from Brazil.
Viruses. 6:1929-1973.
de Oliveira SV,
Fonseca LX, de Araújo Vilges KM, Maniglia FVP, Pereira SVC, de Caldas EP, Tauil
PL, GurgelGonçalves R. 2015. Vulnerability of Brazilian municipalities to
hantavirus infections based on multi-criteria decision analysis. Emerg Themes
Epidemiol. 12:15-22.
Dobly A, Cochez
C, Goossens E, De Bosschere H, Hansen P, Roels S, Heyman P. 2012.
Sero-epidemiological study of the presence of hantaviruses in domestic dogs and
cats from Belgium. Res Vet Sci. 92:221-224.
Dong GM, Han L,
An Q, Liu WX, Kong Y, Yang LH. 2005. Immunization effect of purified bivalent
vaccine to haemorrhagic fever with renal syndrome manufactured from primary
cultured hamster kidney cells. Chin Med J. 118:766-768.
Easterbrook JD,
Zink MC, Klein SL. 2007. Regulatory T cells enhance persistence of the zoonotic
pathogen Seoul virus in its reservoir host. Proc Natl Acad Sci.
104:15502-15507.
Firth C, Tokarz
R, Simith DB, Nunes MRT, Bhat M, Rosa EST, Medeiros DBA., Palacios G,
Vasconcelos PFC, Lipkin WI. 2012. Diversity and distribution of Hantaviruses in
South America. J Virol. 86:13756- 13766.
Fleming DO.
2006. Risk assesment of biological hazards. In: Flemming DO, Hunt DL, eds.
Biological safety; Principles and Practices. 4 th Ed. Washington DC (US): AMS
Press. p. 81-92.
Goeijenbier M,
Verner-Carlsson J, van Gorp ECM, Rockx B, Koopmans MPG, Lundkvist, van der
Giessen JWB, Reusken CBEM. 2015. Seoul Hantavirus in brown rats in the
Netherlands: Implications for physicians epidemiology, clinical aspects,
treatment and diagnostics. Neth J Med. 73:155-160.
Groen J,
Suharti C, Koraka P, van Gorp EC, Sutaryo J, Lundkvist A, Osterhaus AD. 2002.
Serological evidence of human Hantavirus infections in Indonesia. Infection.
30:326-327.
Hooper JW,
Josleyn M, Ballantyne J, Brocato R. 2013. A novel Sin Nombre virus DNA vaccine
and its inclusion in a candidate pan-Hantavirus vaccine against hantavirus
pulmonary syndrome (HPS) and hemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS).
Vaccine. 31:4314-4321.
Houck M a, Qin
H, Roberts HR. 2001. Hantavirus transmission: potential role of ectoparasites.
Vector Borne Zoonotic Dis. 1:75-79.
Ibrahim IN, Shimizu K, Yoshimatsu K, Yunianto A, Salwati E, Yasuda SP, Koma T, Endo R, Arikawa J. 2013. Epidemiology of Hantavirus infection in Thousand Islands Regency of Jakarta, Indonesia. J Vet Med Sci. 75:1003-1008.
Ibrahim IN, Shimizu K, Yoshimatsu K, Yunianto A, Salwati E, Yasuda SP, Koma T, Endo R, Arikawa J. 2013. Epidemiology of Hantavirus infection in Thousand Islands Regency of Jakarta, Indonesia. J Vet Med Sci. 75:1003-1008.
Ibrahim IN, Sudomo
M, Morita C, Uemura S, Muramatsu Y, Ueno H, Kitamura T. 1996.
Seroepidemiological survey of wild rats for Seoul virus in Indonesia. Jpn J Med
Sci Biol. 49:69-74.
Johansson P,
Yap G, Low H-T, Siew C-C, Kek R, Ng L-C, Bucht G. 2010. Molecular characterization
of two hantavirus strains from different rattus species in Singapore. Virol J.
7:15–23.
Jonsson CB,
Figueiredo LTM, Vapalahti O. 2010. A global perspective on hantavirus ecology,
epidemiology, and disease. Clin Microbiol Rev. 23:412-441.
Kang HJ, Arai
S, Hope AG, Cook JA, Yanagihara R. 2010. Novel Hantavirus in the flat-skulled
shrew (Sorex roboratus). Vector Borne Zoonotic Dis. 10:593-597.
Klempa B, Tkachenko EA, Dzagurova TK, Yunicheva Y V., Morozov VG, Okulova NM, Slyusareva GP, Smirnov A, Kruger DH. 2008. Hemorrhagic fever with renal syndrome caused by 2 lineages of Dobrava hantavirus, Russia. Emerg Infect Dis. 14:617-625.
Klempa B, Tkachenko EA, Dzagurova TK, Yunicheva Y V., Morozov VG, Okulova NM, Slyusareva GP, Smirnov A, Kruger DH. 2008. Hemorrhagic fever with renal syndrome caused by 2 lineages of Dobrava hantavirus, Russia. Emerg Infect Dis. 14:617-625.
Klempa B,
Witkowski PT, Popugaeva E, Auste B, Koivogui L, Fichet-Calvet E, Strecker T,
ter Meulen J, Kruger DH. 2012. Sangassou virus, the first Hantavirus Isolate
from Africa, displays genetic and functional properties distinct from those of
other murinaeAssociated Hantaviruses. J Virol. 86:3819-3827.
Koch DE, Mohler
RL, Goodin DG. 2007. Stratifying land use/land cover for spatial analysis of
disease ecology and risk: An example using object-based classification
techniques. Geospat Heal. 2:15-28.
Kosasih H,
Ibrahim IN, Wicaksana R, Alisjahbana B, Hoo Y, Yo IH, Antonjaya U, Widjaja S,
Winoto I, Williams M, Blair PJ. 2011.
Evidence of
human Hantavirus infection and zoonotic investigation of Hantavirus prevalence
in rodents in Western Java, Indonesia. Vector-Borne Zoonotic Dis. 11:709-713.
Kramski M,
Meisel H, Klempa B, Krüger DH, Pauli G, Nitsche A. 2007. Detection and typing
of human pathogenic Hantaviruses by real-time reverse transcription-PCR and
pyrosequencing. Clin Chem. 53:1899-1905.
Kraus AA,
Priemer C, Heider H, Krüger DH, Ulrich R. 2005. Inactivation of Hantaan
virus-containing samples for subsequent investigations outside biosafety level
3 facilities. Intervirology. 48:255-261.
Kucinskaite-Kodze
I, Petraityte-Burneikiene R, Zvirbliene A, Hjelle B, Rafael A, Medina RA,
Gedvilaite A, Razanskiene A, Schmidt-Chanasit J, Mertens M, et al. 2011.
Characterization of monoclonal antibodies against Hantavirus nucleocapsid
protein and their use for immunohistochemistry on rodent and human samples.
Arch Virol. 156:443-456.
Laakkonen J,
Kallio-Kokko H, Oktem MA, Blasdell K, Plyusnina A, Niemimaa J, Karataş A,
Plyusnin A, Vaheri A, Henttonen H. 2006. Serological survey for viral pathogens
in Turkish rodents. J Wildl Dis. 42:672-676.
Lee HW, Lee PW,
Johnson KM. 1978. Isolation of the etiologic agent of Korean hemorrhagic fever.
J Infect Dis. 137:298-308.
Lokugamage N,
Kariwa H, Lokugamage K, Iwasa MA, Hagiya T, Yoshii K, Tachi A, Ando S,
Fukushima H, Tsuchiya K, et al. 2004. Epizootiological and epidemiological
study of Hantavirus infection in Japan. Microbiol Immunol. 48:843-851.
Machado AM, de
Figueiredo GG, Sabino dos Santos Jr G, Figueiredo LTM. 2009. Laboratory
diagnosis of human Hantavirus infection: Novel insights and future potential.
Future Virol. 4:383-389.
MacNeil A, Nichol ST, Spiropoulou CF. 2011. Hantavirus pulmonary syndrome. Virus Res. 162:138-147.
MacNeil A, Nichol ST, Spiropoulou CF. 2011. Hantavirus pulmonary syndrome. Virus Res. 162:138-147.
Mailles A, Sin
MA, Ducoffre G, Heyman P, Koch J, Zeller H. 2005. Larger than usual increase in
cases of Hantavirus infections in Belgium, France and Germany, June 2005. Euro
Surveill. 10:E050721.4.
Mills JN, Gage KL, Khan AS. 2010. Potential influence of climate change on vector-borne and zoonotic diseases: A review and proposed research plan. Environ Health Perspect. 118:1507-1514.
Mills JN, Gage KL, Khan AS. 2010. Potential influence of climate change on vector-borne and zoonotic diseases: A review and proposed research plan. Environ Health Perspect. 118:1507-1514.
Mills JN. 2006.
Biodiversity loss and emerging infectious disease: An example from the
rodent-borne hemorrhagic fevers. Biodiversity. 7:9-17.
Németh V, Madai M, Maràczi A, Bérczi B, Horvàth G, Oldal M, Kisfali P, Bànyai K, Jakab F. 2011. Detection of Dobrava-Belgrade Hantavirus using recombinantnucleocapsid-based enzyme-linked immunosorbent assay and SYBR green-based real-time reverse transcriptase-polymerase chain reaction. Arch Virol. 156:1655-1660.
Németh V, Madai M, Maràczi A, Bérczi B, Horvàth G, Oldal M, Kisfali P, Bànyai K, Jakab F. 2011. Detection of Dobrava-Belgrade Hantavirus using recombinantnucleocapsid-based enzyme-linked immunosorbent assay and SYBR green-based real-time reverse transcriptase-polymerase chain reaction. Arch Virol. 156:1655-1660.
Nichol ST,
Beaty BJ, Elliott RM, Goldbach R, Plyusnin A, Schmaljohn CS, Tesh RB. 2005.
Bunyaviridae. In: Fauquet CM, Mayo MA, Maniloff J, Desselberger U, Ball LA,
editors. Virus taxonomy: Eighth report of the International Committee on
Taxonomy of Viruses. Amsterdam (Netherlands): Elsevier Academic Press. p.
695-716.
Nurisa I,
Ristyanto. 2005. Penyakit bersumber rodensia (tikus dan mencit) di Indonesia. J
Ekol Kesehat. 4:308-319.
Oldal M, Németh
V, Madai M, Kemenesi G, Dallos B, Péterfi Z, Sebo k J, Wittmann I, Bànyai K,
Jakab F. 2014a. Identification of hantavirus infection by Western blot assay
and TaqMan PCR in patients hospitalized with acute kidney injury. Diagn
Microbiol Infect Dis. 79:166-170.
Oldal M, Németh
V, Madai M, Pinter R, Kemenesi G, Dallos B, Kutas A, Sebok J, Horvàth G, Bànyai
K, Jakab F. 2014b. Serosurvey of pathogenic Hantaviruses among forestry workers
in Hungary. Int J Occup Med Environ Health. 27:766-773.
Olsson GE,
Leirs H, Henttonen H. 2010. Hantaviruses and their hosts in Europe: Reservoirs
here and there, but not everywhere? Vector Borne Zoonotic Dis. 10:549- 561.
Oncul O, Atalay
Y, Onem Y, Turhan V, Acar A, Uyar Y, Caglayik DY, Ozkan S, Gorenek L. 2011.
Hantavirus infection in Istanbul, Turkey. Emerg Infect Dis. 17:303-304.
Padula PJ,
Colavecchia SB, Martinez VP, Gonzalez Della Valle MO, Edelstein A, Miguel SDL,
Russi J, Morea Riquelme J, Colucci N, Almiron M, Rabinovich RD. 2000. Genetic
diversity, distribution, and serological features of Hantavirus infection in
five countries in South America. J Clin Microbiol. 38:3029-3035.
Paragas J, Endy
TP. 2006. Viral agents of human disease: biosafety concerns. In: Flemming DO,
Hunt DL, eds. Biological safety; Principles and Practices. 4 th Ed. Washington
DC (US): AMS Press. p. 179-207.
Plyusnina A, Ibrahim IN, Plyusnin A. 2009. A newly recognized hantavirus in the Asian house rat (Rattus tanezumi) in Indonesia. J Gen Virol. 90:205-209.
Plyusnina A, Ibrahim IN, Plyusnin A. 2009. A newly recognized hantavirus in the Asian house rat (Rattus tanezumi) in Indonesia. J Gen Virol. 90:205-209.
Plyusnina A,
Ibrahim IN, Winoto I, Porter KR, Gotama IBI, Lundkvist A, Vaheri A, Plyusnin A.
2004. Identification of Seoul Hantavirus in Rattus norvegicus in Indonesia.
Scand J Infect Dis. 36:356- 359.
Praseno, Nirwati H. 2008. Hantavirus infection in clinically suspected dengue fever patients. Berkala Ilmu Kedokteran. 40:132-135.
Praseno, Nirwati H. 2008. Hantavirus infection in clinically suspected dengue fever patients. Berkala Ilmu Kedokteran. 40:132-135.
Raboni SM,
Rubio G, Borba LDE, Zeferino A, Skraba I, Goldenberg S, Dos Santos CN. 2005.
Clinical survey of Hantavirus in southern Brazil and the development of
specific molecular diagnosis tools. Am J Trop Med Hyg. 72:800-804.
Reynes JM, Soares
JL, Hüe T, Bouloy M, Sun S, Kruy SL, Marie FFS, Zeller H. 2003. Evidence of the
presence of Seoul virus in Cambodia. Microbes Infect. 5:769- 773.
Seitsonen E,
Hynninen M, Kolho E, Kallio-Kokko H, Pettilä V. 2006. Corticosteroids
combined with continuous veno-venous hemodiafiltration for treatment of
Hantavirus pulmonary syndrome caused by Puumala virus infection. Eur J Clin
Microbiol Infect Dis. 25:261-266.
Sendow I. 2013. Bovine epheremal fever, penyakit hewan manular yang terkait dengan perubahan lingkungan. Wartazoa. 23:76-83.
Sendow I. 2013. Bovine epheremal fever, penyakit hewan manular yang terkait dengan perubahan lingkungan. Wartazoa. 23:76-83.
Sironen T,
Vaheri A, Plyusnin A. 2005. Phylogenetic evidence for the distinction of
Saaremaa and Dobrava Hantaviruses. Virol J. 2:90-95.
Suharti C, van
Gorp EC, Dolmans WM, Groen J, Hadisaputro S, Djokomoeljanto RJ, D M E OA, van
der Meer JW. 2009. Hantavirus infection during dengue virus infection outbreak
in Indonesia. Acta Med Indones. 41:75-80.
Sumibcay L,
Kadjo B, Gu SH, Kang HJ, Lim BK, Cook JA, Song JW, Yanagihara R. 2012.
Divergent lineage of a novel Hantavirus in the banana pipistrelle (Neoromicia
nanus) in Côte d’Ivoire. Virol J. 9:34.
Suwandono A, Nurhayati I, Parwati PIF,
Rudiman, Wisaksana R, Kosasih H, Alisjahbana B. 2011. Perbandingan Nilai
diagnostik trombosit, leukosit, antigen NS1 dan antibodi IgM antidengue. J Indonesia
Med Assoc. 61:362-332.
Vapalahti O,
Mustonen J, Lundkvist Å, Henttonen H, Plyusnin A, Vaheri A. 2003. Hantavirus
infections in Europe. Lancet Infect Dis. 3:653-661.
Weiss S,
Witkowski PT, Auste B, Nowa K, Weber N, Fah J, Mombouli JV, Wolfe ND, Drexler
JF, Drosten C, et al. 2012. Hantavirus in bat, Sierra Leone. Emerg Infect Dis.
18:159-161.
Wibowo. 2010.
Epidemiologi Hantavirus di Indonesia. Bul Penelitian Kesehatan. Supl:44-49.
Willemann MCA, Oliveira S V. 2014. Risk factors associated with Hantavirosis
fatality: A regional analysis from a case-control study in Brazil. Rev Soc Bras
Med Trop. 47:47-51.
Yashina LN,
Patrushev NA, Ivanov LI, Slonova RA, Mishin VP, Kompanez GG, Zdanovskaya NI,
Kuzina II, Safronov PF, Chizhikov VE, et al. 2000. Genetic diversity of
Hantaviruses associated with hemorrhagic fever with renal syndrome in the far
east of Russia. Virus Res. 70:31-44.
Zeimes CB,
Olsson GE, Ahlm C, Vanwambeke SO. 2012. Modelling zoonotic diseases in humans:
Comparison of methods for Hantavirus in Sweden. Int J Health Geogr. 11:39.
Zhang YZ, Xiao
DL, Wang Y, Wang HX, Sun L, Tao XX, Qu YG. 2004. The epidemic characteristics
and preventive measures of hemorrhagic fever with syndromes in China. Zhonghua
Liu Xing Bing Xue Za Zhi. 25:466-469.
Zhang YZ, Zou
Y, Fu ZF, Plyusnin A. 2010. Hantavirus infections in humans and animals, China.
Emerg Infect Dis. 16:1195-1203.
Sumber:
Indrawati
Sendow, NLPI Dharmayanti, M Saepullah dan RMA Adjid. 2020. Infeksi Hantavirus: Penyakit Zoonosis
yang Perlu Diantisipasi Keberadaannya di Indonesia . WARTAZOA Vol. 26 No. 1 Th. 2016 Hlm. 017-026
DOI: http://dx.doi.org/ . 10.14334/wartazoa.v26i1.1270
17
No comments:
Post a Comment