Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday 30 June 2008

Mangga Mini Jepun

Mangga mini hari ini di supermarket daerah Meguro, Tokyo dijual 980 yen atau sekitar 80 ribu rupiah. Mangga mini berukuran tiga kali ibu jari. Beratnya antara 35,0 - 60,0 gram per buah. Berat bijinya 2,5 - 3,5 gram. Warna kulitnya sebagian besar merah terdapat kuning sebagian kecil. Rasanya manis, aromanya seperti mangga tropis pada umumnya.







Symposium on Agriculture, Science and Technology (SAST) 2008

Symposium on Agriculture, Science and Technology 2008 diselenggarakan atas kerjasama antara Indonesian Agricultural Science Association (IASA) dan Pehimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kanto yang didukung KBRI Tokyo pada hari Sabtu tanggal 21 Juni 2008 bertempat di Tokyo University of Agriculture - Tokyo, Jepang. Symposium ini merupakan salah satu kegiatan yang termasuk dalam program peringatan hubungan diplomasi Indonesia – Jepang ke 50. Simposium mengangkat tema Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) dan Peran ASEAN Economic Community (AEC) dalam Memperkuat Ekonomi dan Ketahanan Pangan Indonesia.

Symposium dibuka oleh Bapak Ronny Prasetyo Yuliantoro Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia KBRI Tokyo. Beliau membacakan sambutan pembukaan Dubes RI untuk Jepang, isinya menekankan bahwa dengan JI-EPA diharapkan Indonesia dapat meningkatkan ekspor berbagai macam produk termasuk produk pertanian, perikanan dan kehutanan ke Jepang, IJ-EPA juga diharapkan akan mendorong menguatnya hubungan bilateral Indonesia-Jepang.

Kesepakatan kemitraan ekonomi Indonesia-Jepang IJ-EPA yang telah ditandatangani tanggal 20 Agustus 2007 tahun lalu oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang saat itu, Shinzo Abe, diharapkan akan mampu meningkatkan perekonomian kedua negara. Di pihak Indonesia, IJ-EPA ini diharapkan dapat meningkatkan ekspor Indonesia ke Jepang, meningkatkan investasi Jepang ke Indonesia, serta meningkatkan kapasitas dan kemampuan kompetitif industri Indonesia.

Harapan-harapan ini telah disampaikan oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Iklim Usaha Perdagangan - Badan Litbang Departemen Perdagangan, Dr. Andin Hadiyanto, dalam makalah utama dalam Symposium kali ini. Dalam pemaparan makalahnya, Dr. Andin mengemukakan rincian yang merupakan hasil analisis simulasi model ekonomi bahwa penghapusan atau pengurangan tarif perdagangan dalam kesepakatan yang tertuang IJ-EPA akan memberikan peningkatan GDP bagi Indonesia sebesar 3,01 persen dan Jepang sebesar 0,06 persen. Di samping itu diperhitungkan bahwa ekspor Indonesia akan meningkat sebesar 4,68 persen dan ekspor Jepang meningkat sebesar 0,41 persen. Sementara dari aktivitas bursa saham, Indonesia akan memperoleh peningkatan sebesar 5,38 persen dan Jepang memperoleh peningkatan sebesar 0,05 persen. Pemaparan dari Dr. Andin ini memberikan suasana persiapan menjelang diberlakukannya IJ-EPA tanggal 1 Juli 2008 atau tepatnya 10 hari yang akan datang.

Profesor Dr. Keishiro Itagaki, profesor Bidang Pembangunan Pertanian Internasional pada Tokyo University of Agriculture dalam presentasinya mengemukakan sebuah kasus tentang kebijakan reformasi pangan beras pada masa transisi di Asia umumnya dan ASEAN khususnya. Berangkat dari keprihatinan meningkatnya harga pangan dunia termasuk beras yang berimplikasi pada instabilitas perekonomian di berbagai negara, Profesor Itagaki memaparkan pentingnya rencana aksi bersama negara-negara anggota komunitas ekonomi AEC untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran pangan sekaligus stabilisasi harga pangan beras di wilayah regional ini. Dalam paparan makalahnya ini Profesor Itagaki memberikan tiga perspektif terkait kebijakan reformasi pangan beras AEC yaitu: 1) fitur-fitur perbandingan kebijakan pangan di negara-negara produsen beras AEC ; 2) kecenderungan umum kebijakan pangan beras AEC ; dan 3) kerjasama saling menguntungkan yang diperlukan dalam AEC. Di samping itu juga Profesor Itagaki juga menyampaikan usulan agar AEC mempelajari sejarah kebijakan pangan Jepang yang mampu menjaga stabilitas swasembada beras selama ini.

Dr. Taro Adati dan Ryoji Sakamoto melengkapi pembicaraan di dalam symposium ini dengan mengemukakan kasus yang dilakukan dalam pekerjaannya masing-masing. Dr. Adati, yang merupakan Asisten Profesor bidang perlindungan tanaman tropis Tokyo University of Agriculture, mengungkapkan studi kasus di Indonesia tentang perlindungan sumberdaya alam dalam perspektif ilmu pengetahuan alam, sedangkan Mr. Sakamoto, yang merupakan Kepala Divisi Operasional JAEC (Japan Agriculture Exchange Council) menyampaikan uraian tentang program pelatihan pemuda tani di Jepang sebagai bentuk kerjasama bilateral yang melibatkan pemuda-pemudi dari berbagai negara khususnya dari negara-negara ASEAN.

Kegiatan simposium SAST 2008 ini merupakan agenda pertemuan ilmiah rutin yang diselenggarakan oleh IASA, sebuah wadah ilmiah pelajar dan peneliti pertanian Indonesia dalam pengertian luas di Jepang, dan pada kesempatan kali ini bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang - Koordinator Daerah Kanto (PPI Jepang-Korda Kanto) serta kelompok pelajar internasional dari Tokyo University of Agriculture.

Hadir dalam kegiatan ini dari pihak Indonesia yaitu KUAI Duta Besar RI untuk Negara Jepang beserta Atase Pertanian, Atase Perdagangan, dan Koordinator Fungsi Ekonomi KBRI Tokyo, Pimpinan dan Staf Bank Indonesia serta BUMN Perwakilan di Jepang, sedangkan dari pihak tuan rumah di Jepang yaitu Rektor Tokyo University of Agriculture beserta para profesor dari Fakultas Studi Pertanian dan Pangan Internasional Tokyo University of Agriculture, dan juga para undangan yang terdiri dari pejabat-pejabat kedutaan besar negara-negara ASEAN untuk Negara Jepang.

Sumber: Laporan Panitia SAST 2008

Tuesday 24 June 2008

Terapi hormon Estradiol-17β dan Tiroksin untuk Peningkatan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Induk Ikan Patin (Pangasius pangasius) Sebagai Plasma Nutfah

Oleh: MUHAMMAD FIQRIE RAHMAN (B04104108)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

Sumberdaya Alam Hayati dan Plasma Nutfah Indonesia
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi. Pemanfaatan keanekaragaman hayati telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, sandang, dan obat-obatan. Kecukupan pangan akan tergantung pada ketersediaan varietas unggul yang berproduksi tinggi dan tahan cekaman biotik dan abiotik. Pada dasarnya varietas unggul itu adalah kumpulan dari keanekaragaman genetik spesifik yang diinginkan dan dapat diekspresikan. Keanekaragaman genetik spesifik tersebut ada pada plasma nutfah komoditi yang bersangkutan. Jadi plasma nutfah adalah keanekaragaman genetik di dalam jenis. Keanekaragaman genetik tersebut harus dipertahankan keberadaannya, bahkan harus diperluas agar selalu tersedia bahan untuk pembentukan varietas unggul (Somantri 2005).

Pemanfaatan Plasma Nutfah
Plasma nutfah yang kita miliki tidaklah berarti tanpa pemanfaatan untuk kesejahteraan. Pemanfaatan plasma nutfah dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Pemanfaatan plasma nutfah bisa secara langsung atau melalui proses pemuliaan. Pemanfaatan plasma nutfah melalui pemuliaan lebih membutuhkan dasar-dasar ilmiah daripada pemanfaatan plasma nutfah secara langsung. Di dalam teknik pemuliaan saat ini dikenal dengan istilah pemuliaan secara konvensional dan pemuliaan secara in-konvensional melalui bioteknologi (Somantri 2005).

Potensi Sumberdaya Ikan
Sebagai sumber plasma nutfah dan genetik, perairan umum daratan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis ikan yang tinggi, sehingga tercatat sebagai salah satu perairan dengan ”mega biodiversity” di dunia. Komisi Nasional Plasma Nutfah Indonesia melaporkan bahwa perairan umum daratan Indonesia mengandung kekayaan plasma nutfah ikan yang jenisnya sangat banyak mencapai 25% dari jumlah jenis ikan yang ada di dunia. Di perairan umum daratan Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi saja, dihuni oleh lebih dari 1000 jenis ikan, bahkan menurut FAO, perairan umum daratan Indonesia dihuni oleh sekitar 2000 jenis ikan. Banyak diantara jenis ikan yang ada belum tercatat atau belum teridentifikasi sehingga jumah jenisnya dari tahun ke tahun selalu bertambah (Kartamihardja et al 2008).

Peran Sektor Perikanan Darat
Ditinjau dari sektor perikanan, perairan umum daratan sebagai salah satu wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia berperanan penting dalam hal sebagai berikut: (1) sumber protein dan ketahanan pangan; (2) sumber ekonomi masyarakat; (3) sumber lapangan kerja; (4) sumber plasma nutfah dan genetik, (5) sumber devisa dan pendapatan asli daerah, dan (6) obyek wisata alam (eco-turism).

Dewasa ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi identifikasi dengan menggunakan DNA telah menambah catatan kekayaan jenis ikan di Indonesia. Sebagai contoh, jenis ikan yang termasuk famili Pangasidae (jenis-jenis patin/catfish) yang semula hanya dikenal 6 jenis, kini dengan menggunakan identifikasi DNA ternyata jenis-jenis ikan patin tersebut diketahui menjadi 12 jenis (Kartamihardja et al 2008).

Budidaya Ikan Patin
Banyak cara untuk memanfaatkan plasma nutfah yang begitu berlimpah di negeri ini. Salah satu cara pemanfaatannya adalah melalui budidaya ikan patin. Ikan patin djambal (Pangasius pangasius) merupakan ikan asli Indonesia yang berhasil didomestikasikan dan dipijahkan secara buatan pada tahun 1999. (Anonim 2008)

Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Ikan ini cukup responsif terhadap pemberian makanan tambahan. Pada pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40 cm (Susanto 1997).

Pedoman Teknis Budidaya Ikan Patin
Budidaya ikan patin meliputi beberapa kegiatan, secara garis besar dibagi menjadi 2 kegiatan yaitu pembenihan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran tertentu. Produk akhirnya berupa benih berukuran tertentu, yang umumnya adalah benih selepas masa pendederan.

Secara garis besar kegiatan usaha pembenihan ikan patin secara berurutan meliputi: Pemilihan calon induk siap pijah, persiapan hormon perangsang/kelenjar hipofise dari ikan donor, kawin suntik (induce breeding), pengurutan (stripping), penetasan telur, dan perawatan larva (Hernowo 2005).

Setelah dilakukan pemanenan pada usaha pembenihan, kegiatan budidaya dilanjutkan dengan pemeliharaan pembesaran. Secara garis besar, usaha pembesaran ikan patin meliputi empat hal mendasar, yaitu: pemupukan, pemberian pakan, pemeliharaan kolam, dan pemanenan. (Anonim 2008).

Permasalahan yang Dihadapi Petani Ikan Patin
Suatu kegiatan usaha pastinya tidak akan terlepas dari adanya berbagai permasalahan. Jika ditinjau berdasarkan tingkat perkembangan ikan patin, permasalahan yang timbul diantaranya adalah permasalahan mengenai induk, telur dan larva. Sedangkan berdasakan penyebabnya, permasalahan dapat timbul akibat hama dan penyakit.

Menurut salah satu petani pembenihan patin di daerah Cikampak, Ciampea Bogor, permasalahan yang kerap kali muncul adalah Lambatnya Tingkat Kematangan Gonad (TKG) pada indukan. Masalah yang satu ini tidak dapat dianggap sepele karena posisi TKG berada pada bagian hulu dari usaha budidaya. Manajemen budidaya merupakan kegiatan yang dilakukan secara berurutan sehingga segala aspek yang berada pada bagian hulu akan mempengaruhi kualitas produk di bagian hilir usaha.

Solusi
Ikan adalah biota yang tidak terlepas dari berbagai proses fisiologis tubuh. Kondisi lingkungan yang buruk di sekitar tempat budidaya menyebabkan perubahan kondisi fisiologis tubuh menjadi tidak seimbang (physiological imbalanced). Kondisi yang tidak seimbang ini berpengaruh pada seluruh sistem fisiologis tubuh, tak terkecuali sistem reproduksi. Permasalahan yang dihadapi petani ikan adalah lambatnya TKG yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang salah satunya adalah hormon reproduksi. Hormon reproduksi yang berperan pada TKG adalah Estradiol-17β (E2) dan Tiroksin (T4).

E2 merupakan hormon yang sangat penting yang dihasilkan oleh ovarium terutama pada ikan betina yang sedang mengalami vitelogenesis. E2 mengalami peningkatan secara bertahap pada fase vitelogenesis sejalan dengan meningkatnya ukuran diameter oosit. Adanya peningkatan konsentrasi E2 dalam darah akan memacu hati melakukan proses vitelogenesis dan selanjutnya akan mempercepat proses pematangan gonad.
T4 adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid. Hormon T4 membantu proses penyerapan vitelogenin oleh telur. Selain itu T4 juga berperan dalam meningkatkan sintesa protein melalui peningkatan transkripsi RNA. Interaksi hormon tiroid dan reseptor pada inti akan menyebabkan peningkatan aktifitas enzim polymerase sehingga aktifitas pembentukan RNA pun meningkat. Dengan meningkatnya proses transkripsi RNA yang dilanjutkan dengan sintesis protein, berarti dengan penyuntikan hormon T4 juga akan meningkatkan protein vitelogenin.

Implantasi E2 dapat meningkatkan kadar hormone dalam plasma darah. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian hormone E2 dapat secara efektif meningkatkan kadar E2 plasma darah ikan. Peningkatan kadar E2 darah pada induk patin/djambal siam terjadi pada hari ke-14 post injeksi LHRH dan E2 (Sularto 2002, diacu dalam Utiah 2006).

Menurut penelitian yang telah dilakukan pada ikan baung, tinggiya kadar E2 plasma dapat memperepat proses pematangan gonad. Pada kondisi seperti ini, lama waktu matang gonad dan ukuran diameter sel telur menunjukkan hasil yang terbaik (maksimum), akan tetapi derajat tetas telur yang dihasilkan rendah.

Pemberian hormon T4 pada dosis yang tinggi bersifat katabolic. Pengaruh T4 terhadap sintesis protein bersifat biphasic yaitu pada dosis yang rendah bersifat anabolic sedangkan pada dosis yang tinggi bersifat katabolic (Matty 1985, diacu dalam Utiah 2006). Adanya sifat biphasic T4 ini, dapat menyebabkan turunnya kadar protein vitelogenin yang diserap oleh telur dan pengaruhnya berlanjut pada proses embryogenesis. Selain menghambat sintesis protein, T4 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan cepatnya turnover lemak dan karbohidrat (shahib 1989, diacu dalam Utiah 2006). Penelitian Nacario (1983) menunjukkan bahwa pemberian dosis T4 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya perkembangan yang tidak normal dari larva seperti kerusakan jaringan punggung (bengkok) dan pada bagian perut terjadi sklerosis.

Pemberian hormon T4 yang dikombinasikan dengan hormone E2 dapat mempercepat tingkat kematangan gonad (TKG). Selain mempengaruhi TKG, pemberian kombinasi hormon ini juga dapat meningkatkan derajat tetas telur dan total larva yang dihasilkan. Adanya fungsi T4 yang dapat meningkatkan sintesis protein menyebabkan jumlah protein pada vitelogenin lebih baik (Utiah 2006).

Kesimpulan
• Ikan patin merupakan plasma nutfah Indonesia yang harus dimanfaatkan sebagai basis pembangunan Negara dari sektor perikanan, karena ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah.
• Pada proses budidaya pembenihan, rendahnya Tingkat Kematangan Gonad (TKG) induk ikan patin merupakan kendala utama budidaya.
• Pemberian hormon Tiroksin (T4) yang dikombinasikan dengan hormon Estradiol-17β (E2) dapat mempercepat TKG induk. Selain mempengaruhi TKG, pemberian kombinasi hormon ini juga dapat meningkatkan derajat tetas telur dan total larva yang dihasilkan.

Saran
• Krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh melemahnya daya produksi bangsa. Sebagai salah satu upaya pengentasan krisis adalah melakukan kegiatan usaha yang bergerak pada sector real seperti pembudidayaan ikan patin.
• Untuk mendapatkan hasil produk yang baik, diperlukan sistem manajemen budidaya yang baik pula.
• Dengan diterapkannya terapi hormonal, harapannya para petani budidaya pembenihan ikan patin dapat mengatasi permasalahan rendahnya TKG. Dengan demikian satu permasalahan terpecahkan yang akan meningkatkan produksi para petani patin, dan akan berpengaruh pada peningkatan perekonomian bangsa dan negara melalui sektor perikanan darat.

Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Budidaya Ikan Patin (Pangasius pangasius). http://www.iptek.net.id/ind/warintek/Bu ... hp?doc=3a7. [19 April 2008].
Hernowo. 2005. Pembenihan Patin. Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
Kartamihardja ES, Purnomo K, Umar C. 2008. Sumberdaya Ikan Perairan Umum Daratan di Indonesia-Terabaikan. http://www.apsordkp.com/files/sumber_da ... baikan.pdf.
Somantri IH, Hasanah M, Kurniawan H. 2005. Teknik Konservasi Ex-Situ, Rejuvenasi, Karakterisasi, Evaluasi, Dokumentasi, dan Pemanfaatan Plasma Nutfah. http://indoplasma.or.id/artikel/artikel ... ervasi.htm. [19 April 2008]
Susanto H, Amri K. 1997. Budi Daya Ikan Patin. Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
Utiah H. 2006. Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung(Hemibagrus nemurus blkr) dengan Pemberian Pakan Buatan yang Ditambahkan Asam LemakN-6 dan N-3 dan dengan Implantasi Estradiol-17 dan Tiroksin [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertaian Bogor.

Thursday 19 June 2008

Training Executive Group Sustainable Indonesian Fisheries Product Competitiveness Japan, 7 - 14 June 2008

Participants of Training Executive Group Sustainable Indonesian Fisheries Product Competitiveness:

1. Prof. Dr. Martani Huseini, Director General of Fisheries Product Processing and Marketing, Ministry of Marine Affairs and Fisheries (MMAF).
2. Ir. Sahut Parulian Hutagalung, M.Sc. Director of Foreign market Development, Directorate General of Fisheries Product Processing and Marketing, MMAF
3. Ir. Sadullah Muhdi, MBA, Director of Domestic marketing,Directorate General of Fisheries Product Processing and Marketing, MMAF
4. Ir. Nazori Djazuli, M.Sc. Director of Standardization and Accreditation, Directorate General of Fisheries Product Processing and Marketing, MMAF
5. Ir. Saifuddin, M.M.A. Director of Planning Bureau, Secretariat General of MMAF
6. Dr. Soen'an Hadipoernomo, M.Ed., Director of Data, Statistic, and Information Center, Secretariat General of MMAF
7. Ir. Soenaryanto, M.Sc., Director of Aquaculture Business and Services, Directorate General of Aquaculture, MMAF
8. Ir. Ibrahim Ismail, Director of Fishing Business enterprise, Directorate General of Cupture Fisheries
9. Wahyu Widayat, M.Sc., Deputy Director for Export Development, Directorate of Foreign Market Development, Directorate General of Fisheries Product Processing and Marketing, MMAF

Wednesday 18 June 2008

Home Staff KBRI Tokyo, 17 Juni 2008

Home staff Kedutaan Besar Republik Indonesia, Tokyo bersatu-padu di halaman Wisma Duta KBRI Tokyo

Keterangan Gambar:

Berdiri deretan belakang dari kanan ke kiri: Mayor Indra Sakti (P. Atase Pertahanan), Hidayat B.S (Kepala Unit Komunikasi), Sigit Witjaksono (Fungsi Ekonomi), Toffery P.S (Fungsi Ekonomi), Rima Meilasari (Fungsi Politik), Nazria Tanius (Bagian Adminstrasi), Siti Barkah (Fungsi Penerangan), Dewi Justica Meidiwaty (Fungsi Politik), I Gusti Putu A. (Fungsi Protokol dan Konsuler), Yudhono Irawan (Fungsi Protokol dan Konsuler), Devi Noviadi (BPKRT), Syachrul Nugroho (P. Atase Perhubungan)

Duduk deretan depan dari kanan ke kiri: Sri Murniningtyas (Atase Kehutanan), Achmad Sigit (Atase Perindustrian), Tulus Budhianto (Atase Perdagangan), Dr. B. Jarot Jatmika (Atase Keuangan), Kol. Neno Hamriono (Atase Pertahanan), Ardi Hermawan (Koordinator Fungsi Politik), Ronny P. Yuliantoro (Wakepri), Prof. Dr. H. Jusuf Anwar, SH. MA. (Duta Besar), Amir Radjab H.(Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler), M. Abas Ridwan (Koordinator Fungsi Ekonomi), Drh. Pudjiatmoko, Ph.D (Atase Pertanian), Mirza Iskandar (Atase Imigrasi), Nelson Barus (Atase Perhubungan), Prof. Dr. Edison Munaf (Atase Pendidikan)

Tuesday 17 June 2008

Karakteristik Apel Tsugaru

Luas areal tanah yang dipergunakan untuk kebun apel di Jepang sekitar 42.000 ha. Hasil survei kultivar apel produk pertanian pada tahun 2005 yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (MAFF) memperlihatkan bahwa separuh kebun apel ditanami kultivar Fuji dengan luas sekitar 21.607 ha. Kemudian luas kebun apel yang kedua ditanami kultivar Tsugaru, 5.975 ha, diikuti kultivar Orin seluas 3.853 ha dan kultivar Jonagold seluas 3.462 ha. Gabungan luas areal tanaman apel dari keempat kultivar apel ini sekitar 83% dari luas seluruh kebun apel di Jepang. Kultivar apel yang lain Hakuto (862 ha), Mutsu (802 ha), Senshu (661 ha), Jonathan (585 ha), Yoko (390 ha), Shinano sweet (381 ha), dan varietas lain (3.508 ha).

Sejarah

Tsugaru merupakan hasil seleksi antara persilangan bibit dari ”Golden Delicious” dan dibiakan oleh Aomori Prefectural Apple Experiment Station. Pada 1970 diberi nama sementara ”Aomori no. 2” dan kemudian pada 1975 secara resmi diberi nama ”Tsugaru” dan diregister dengan nama ini. Pada waktu itu induknya tidak diketahui karena ketika persilangan dilakukan labelnya hilang, akan tetapi hasil analisis genetik belakangan telah dapat dilacak ternyata berinduk ”Kogyoku”.

Karakteristik pohon

Karakteristik pohon Tsugaru sedang, penampilan pohonnya tipe menyebar. Rontok buah pada bulan Juni sedang, sedangkan pada sebelum panen rontok banyak, sehingga perlu diberikan obat kimia anti-rontok buah. Kultivar ini sifat untuk dapat menghasilkan buah dua kali setahun lemah. Perakarannya lemah sehingga besar kemungkinan pohonnya menjadi kurang kuat.

Waktu berbunga sedang, dan waktu matang cepat. Setelah berbunga untuk menghasilkan buah matang memerlukan waktu 115 - 125 hari. Waktu buah matang di Suzaka, Prefektur Nagano jatuh pada akhir Agustus sampai awal bulan September. Apel Tsugaru mudah terserang oleh black spot dan sedikit tahan terhadap Alternaria leaf Spot dan sedikit rentan terhadap powdery mildew.

Karakteristik buah

Berat buah sekitar 300 gram, menggemukan dan sangat produktif. Bentuknya bulat sampai lonjong, berwarna merah sampai coklat kemerahan gelap. Belang jelas dengan warna dasar hijau kekuningan. Pada masa perubahan warna buah apabila lokasi tanaman bersuhu diatas 20 C, warna kulit buahnya akan menjadi kurang sempurna.

Buahnya sangat manis dan rasa asam tidak kuat, mengandung banyak sari buah dan rasanya enak. Daging buah berwarna putih kekuningan dan bagus. Kandungan gula sekitar 13 - 14%, keasaman 0,3% dan kekerasan daging buah sekitar 13 pounds. Kultivar apel ini dapat disimpan selama 14 hari pada suhu normal dan sekitar 20 – 30 hari pada cold storage.

Yang perlu diperhatikan

Kultivar ini tidak bisa ditanam di daerah dataran rendah dengan temperatur tinggi karena akan menimbulkan warna apel yang tidak stabil dan akan tidak menghasilkan buah dengan mutu baik. Diperlukan penggunaan obat kimia anti-rontok buah, pohon harus ditanam dengan cara sedemikian rupa sehingga mudah membudidayakannya.

Sumber: Farming Japan, Vol 42-3, 2008

Sunday 15 June 2008

Karakteristik Apel Fuji

Luas areal tanah yang dipergunakan untuk kebun apel di Jepang sekitar 42.000 ha. Hasil survei kultivar apel produk pertanian pada tahun 2005 yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (MAFF) memperlihatkan bahwa separuh kebun apel ditanami kultivar Fuji dengan luas sekitar 21.607 ha. Kemudian luas kebun apel yang kedua ditanami kultivar Tsugaru, 5.975 ha, diikuti kultivar Orin seluas 3.853 ha dan kultivar Jonagold seluas 3.462 ha. Gabungan luas areal tanaman apel dari keempat kultivar apel ini sekitar 83% dari luas seluruh kebun apel di Jepang. Kultivar apel yang lain Hakuto (862 ha), Mutsu (802 ha), Senshu (661 ha), Jonathan (585 ha), Yoko (390 ha), Shinano sweet (381 ha), dan varietas lain (3.508 ha).

Sejarah


Kultivar Fuji merupakan hasil persilangan antara Ralls janet (Kakko) dengan Red Delicious yang dikembangkan oleh The Fruit Tree Research Station (sekarang National Institute of Fruit Tree Science) MAFF, Jepang. Kultivar ini diberi nama Fuji pada tahun 1962 dan diregister dalam Register Pertanian dan Kehutanan sebagai Apel no. 1 Norin. Kultivar ini sekarang selain disukai di tempat asalnya Jepang juga telah populer di banyak negara di dunia.

Karakteristik pohon

Pohon kultivar Fuji mempunyai ciri-ciri kuat, penampilan bertipe sedang sedikit menyebar. Banyaknya buah yang rontok pada bulan Juni dan sebelum panen nol atau hanya sedikit sekali. Kultivar ini mempunyai ciri kuat menghasilkan buah dua kali setahun. Karena pohonnya kuat sekali sehingga mudah tumbuh berlebihan.

Waktu berbunga sedang, dan waktu matang lambat; varietas ini setelah berbunga untuk menghasilkan buah yang matang memerlukan waktu 175 - 190 hari. Waktu buah matang di Prefektur Shizuoka dan Nagano jatuh mulai awal dan pertengahan bulan November. Apel Fuji mudah terserang oleh black spot dan sedikit sensitive terhadap Alternaria leaf Spot dan internal bark necrosis.

Karakteristik buah

Berat buah sekitar 300 gram, ukurannya seragam dan sangat produktif. Bentuknya bulat sampai lonjong, berwarna merah sampai coklat kemerahan gelap. Belang jelas dengan warna dasar kuning. Keadaan fusarium layu dan bentuk buah tidak bagus sering terjadi pada beberapa tahun.

Buahnya sangat manis dengan rasa asam sedang, mengandung banyak sari buah dan rasanya enak. Daging buah berwarna putih kekuningan, keras dan agak kasar. Cenderung mengandung banyak air. Kandungan gula sekitar 15%, keasaman 0,4 – 0,5% dan kekerasan daging buah sekitar 15 pounds. Kultivar apel ini dapat disimpan lama, sekitar 90 hari pada suhu normal dan sekitar 150 hari pada cold storage.

Sumber : Farming Japan Vol 42-3, 2008.

Petunjuk ekspor hasil pertanian

Seiring dengan dinamika pasar yang terus berkembang, batas negara atau wilayah bukan lagi dipandang sebagai penghalang, akan tetapi merupakan peluang yang harus siap dimanfaatkan. Produk pertanian dengan sejuta ragam, akan siap dikembangkan untuk memanfaatkan peluang pasar, bahkan menciptakan pasar.

Catatan ini dimaksudkan sebagai petunjuk awal yang berisikan petunjuk praktis pelaksanaan ekspor komoditi pertanian. Implementasinya dalam dunia perdagangan internasional yang tentunya masih perlu disesuaikan dengan ketentuan negara yang dituju dan keinginan pembeli. Petunjuk pelaksanaan ekspor yang dapat dipelajari adalah sebagai berikut:

I. Penyiapan dokumen hasil pertanian

Dokumen yang perlu disiapkan dan instansi yang menerbitkan/mengeluarkan adalah sebagai berikut:

1. Phytosanitary Certificate diterbitkan oleh Unit Pelaksana Teknis Badan Karantina Pertanian yang ada di Bandar Udara dan Pelabuhan (Bila diperlukan)

2. Fumigation Certificate diterbitkan oleh Perusahaan Fumigasi yang ditunjuk Badan Karantina (Bila diperlukan)

3. Wood Packing Certificate diterbitkan oleh Perusahaan yang sudah diregistrasi Badan Karantina Pertanian (Bila diperlukan)

4. Quality Certificate, Test Certificate dan Chemical Analysis diterbitkan oleh Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang (Bila diperlukan)

5. Certificate of Quality, Certificate of weight, Chemical analysis dan Survey report/Inspection Certificate diterbitkan oleh Independent Surveyor yang disyahkan pemerintah (Bila diperlukan)

6. Veterinary Certificate diterbitkan oleh Dinas Peternakan (Bila diperlukan)

7. Certificate of Origin / Surat Keterangan Asal diterbitkan oleh Instansi yang membidangi perdagangan pada propinsi, kabupaten/kota atau instansi lain yang telah ditetapkan oleh Menteri Perdagangan

8. Packing List dikeluarkan oleh Ekspotir dan Perusahaan Jasa angkutan

9. Pemberitahuan Ekspor Barang dikeluarkan oleh Eksportir

10. Surat Setoran Bea Cukai dikeluarkan oleh Bank

11. Surat Setoran Pajak dikeluarkan oleh Bank

12. Surat Ijin Memuat Barang dikeluarkan Ditjen Bea dan Cukai

II. Penyiapan Dokumen Perusahaan / Eksportir

Dokumen Instansi yang diperlukan dan Instansi yang Menerbitkan / Mengeluarkan adalah sebagai berikut:

1. Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dikeluarkan oleh Bupati/Walikota

2. Tanda Daftar Perdagangan (TDP) dikeluarkan oleh Kantor Daftar Perusahaan

3. Nomor Pokok Wajib Pajak (N.P.W.P) dikeluarkan oleh Kantor Inspeksi Pajak

III. Proses Kontrak Dagang


1. Eksportir mempromosikan komoditas ekspor melalui media
promosi seperti pameran dagang, internet, dll.

2. Impotir yang berminat mengirimkan Surat Permintaan Harga
(Letter of Inquiry) kepada Eksportir

3. Eksportir yang siap memenuhi permintaan menjawab Letter of Inquiry dengan mengirimkan Offer Sheet.

4. Importir yang berminat akan mengirimkan Order Sheet kepada Eksportir

5. Eksportir menyampaikan Sales's Contract kepada Importir

6. Importir yang menyetujui akan memberikan Sales’s Confirmation

IV. Jenis Pembayaran

1. Letter of Credit (L/C)

2. Non L/C (Cash against Document /CAD, Wesel dll )

V. Alternatif Pengiriman Barang

1. Menggunakan jasa angkutan laut
Dokumen yang dierbitkan oleh perusahaan jasa angkuta laut berupa Bill of Lading

2. Menggunakan Jasa angkutan udara
Dokumen yang dikeluarkan oleh perusahaan jasa angkutan udara berupa Air Waybill

VI. Proses Pembukaan Letter of Credit (L/C)

1. Setelah Importir memberikan konfirmasi terhadap Sales's Contract yang diajukan Eksportir, Importir mengajukan aplikasi pembukaan L/C kepada Bank Pembuka (Opening Bank).

2. Opening Bank akan mengeluarkan L/C Confirmation dan meminta kepada Bank koresponden /Advising Bank yang ada di negara Eksportir untuk meneruskan L/C tersebut kepada Eksportir.

3. Advising Bank akan menyampaikan L/C Advice kepada Eksportir yang akan menjadi jaminan untuk pembayaran bila barang sudah dikirim dan diterima oleh Importir.

VII. Proses Pengiriman Barang Menggunakan Kapal Laut

1. Eksportir menyerahkan barang kepada perusahaan pelayaran (Shipping Company) berikut copy dokumen pendukung (Pajak Ekspor, Pajak Ekspor Tambahan /PET, Pemberitahuan Ekspor Barang/PEB dll)

2. Shipping Company menyerahkan dokumen pengiriman barang (Shipping Document) kepada Eksportir.

3. Eksportir mengirimkan Shipping Document melalui Bank koresponden untuk disampaikan kepada Importir melalui Opening Bank di negara Importir.

4. Shipping Document akan digunakan oleh Importir untuk menerima barang di pelabuhan tujuan.


Sumber: Direktorat Pemasaran Internasional, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Deptan

Thursday 5 June 2008

Rice Crisis Solution

The Green Revolution in Asia, which began in the 1960s with the introduction of modern, high-yielding rice varieties, led to a rapid rise in both rice yields and overall production. This contributed to poverty reduction directly through increased income for rice farmers and indirectly through lower prices for rice, which benefited poor consumers in both rural and urban areas.

However, this long-term decline ended in 2001, with the rice price taking a sustained upward turn since then. The price continued to rise throughout 2007 and has sharply increased in the first quarter of 2008. The world price of Thai rice, 5%-broken—a popular export grade—in December 2007 was $362 per ton but almost tripled to around $1,000 per ton at the end of April this year.

Major exporting countries such as Vietnam and India have announced different forms of export restrictions to protect their domestic consumers. These restrictions have further contributed to the recent increase in rice price as the rice supply in the world market has dwindled. While exporters are holding on to their stock of rice, importers are rushing into the market to buy more rice to meet their consumption needs and to build their own stock. Hoarding by traders for speculative purposes has added fuel to the fire in some countries. The market shortages and rise in price have now reached a crisis point, with recent quotes for rice price being as high as $1,000 per ton. Food riots have occurred in several countries and soldiers are guarding food trucks to prevent looting.

We are consuming more than we are producing

Many factors, both long- and short-term, have contributed to the rice crisis. At a fundamental level, the sustained rise in the price over the past 7–8 years indicates that we have been consuming more than we have been producing. This imbalance between demand and production has been partly masked by a reduction in rice stockpiles. In fact, rice stocks are being rapidly depleted, with current stocks at their lowest since 1988 (Figure 3). This depletion of stock has moderated the rise in price that would have occurred otherwise. The current low stocks, however, negate the chances of such a moderating influence in the future and increase the risk of a sharp rise in price.

Annual growth in yield is slowing

A major reason for the imbalance between the long-term demand and supply is the slowing growth in yield, which has decreased substantially over the past 10–15 years in most countries. In South Asia, average yield growth decreased from 2.14% per year in 1970-90 to 1.40% per year in 1990-2005. In some years, this has been below 1%. Yield growth in Southeast Asia has decreased similarly. In the major rice-growing countries of Asia, yield growth over the past 5–6 years has been almost nil (Figure 4). Globally, yields have risen by less than 1% per year in recent years.

Little room for expansion of rice area

Further, the possibility of increasing the rice area is almost exhausted in most Asian countries. With little expansion in area and slowing yield increases, growth in rice production has fallen below growth in demand as population has continued to increase.

Reduced public investment in agricultural research and development

An important factor accounting for the slowdown in yield growth is the reduced public investment in agricultural research and development (R&D). In particular, international donors have not provided sufficient support for agricultural R&D that is directly related to increasing crop productivity. Many governments have been unable to compensate for this by allocating more of their own resources.

Rice prices declined steadily in the 1990s, leading many governments to believe that the supply of food was plentiful. Lower prices were taken for granted, leading to complacency in agricultural research and development. Such investment has decreased in Asia in real terms over time (Figure 5). Public spending on agricultural research in Asia grew by an average of 3.9% per year during the 1990s, compared with 4.3% annually during the previous decade. In 2000, overall public research intensity, measured by the percentage of agricultural gross domestic product (GDP) invested in public agricultural research, remained low at 0.53 for developing countries as a whole.

Africa

Rice has become an increasingly popular food in Africa, with imports into Africa accounting for almost one-third of the total world trade in rice. This has increased over time as growth in rice production is far slower than growth in total demand. It is expected that demand from Africa will continue to grow.


Population increase


Population growth is outstripping production growth and this is projected to get worse. Demand for rice in Asia is expected to continue to rise as its population expands. Even after allowing for some decrease in per-capita rice consumption in Asian countries with higher income levels, it is projected that in 2015 Asia will need to produce 38 million more tons of rough (unmilled) rice than it produced in 2005. Globally, demand is increasing by around 5 million tons each year. This means that in ten years the world will need to produce 50 million tons more than it does now.

Economic growth

With rapid economic growth in large countries such as India and China, demand for cereals has increased substantially for both consumption and livestock production. This income-driven growth in demand has pushed up the price of cereals in general. In many areas with high population density, highly productive rice land has been lost to housing and industrial development, or to growing vegetables and other cash crops.

Irrigation

Investments in irrigation, which peaked during the Green Revolution period in the 1970s and 1980s, have decreased substantially. Existing irrigation infrastructure has deteriorated considerably because of inadequate maintenance.

Oil prices

The price of oil has increased rapidly during the past year. In addition to contributing to general inflationary pressure, this has pushed up freight costs for countries that import rice. The world price of fertilizers—which are essential for rice production—has increased sharply, with the price of urea almost doubling over the past four years.

Rising oil prices and concerns about climate change have also spurred rapid investments—particularly in developed countries—in biofuels such as ethanol produced from maize grain or biodiesel produced from oilseeds. This has increased pressure on international trade of grains and livestock feed, as well as on agricultural land in some countries. Until now, the direct impact of biofuels on rice production and rice trade has likely been small. However, if the industry continues to grow, rice production and prices may be affected more seriously.

Extreme weather

Natural disasters such as widespread drought in India and China in 2002, typhoons in the Philippines in 2006, and major flooding in Bangladesh in 2007 have contributed to the shortfall in production in recent years. Global temperatures, particularly night-time temperatures, have steadily risen in recent decades because of increasing greenhouse gas concentrations in the atmosphere. Some evidence suggests that rising temperatures may have already contributed to lower rice yields in recent years, but a thorough global assessment is yet to be conducted. Further, human-induced climate change is expected to increase the severity and frequency of extreme weather events.

Reoccurring pest outbreaks

Pests such as planthoppers, and the various virus diseases transmitted by them, were major threats to rice intensification programs in the 1970s and 1980s. Now, they have returned as major threats to production, primarily due to breakdowns in crop resistance and the excessive use of broad-spectrum, long-residual insecticides that disrupt natural pest control mechanisms. Since 2005, planthopper outbreaks have affected several million hectares of rice land in countries such as Vietnam, China, Indonesia, Korea, and Japan, particularly in growing seasons with abnormally higher temperatures (which are becoming more likely because of climate change). In Vietnam, planthopper and virus outbreaks were a major reason behind the government’s decision to restrict rice exports.

Domestic rice prices have not risen as much as international prices because of the weakening of the U.S. dollar and stabilization policies implemented by national governments. Nevertheless, a rise in the price of rice is equivalent to a drop in real income for poor consumers in urban areas and landless laborers in rural areas who need to buy rice. Even a small increase in price can seriously affect the household food security of such people. For example, a 25% increase in rice price translates into a 7–10% drop in the real income of poor consumers, as rice purchases often constitute 30–40% of their total expenditures.

Such a drop in income not only increases the number of poor people but also pushes people deeper into poverty and hunger. With less money available, the poor are forced to spend less on such essential needs as health care and nutritious (protein- and vitamin-rich) food—essential for good health, especially for children and pregnant women. Families may even pull children out of schools, thus threatening future generations with ongoing poverty.

The rise in food prices is also affecting the poor indirectly as international relief agencies are forced to provide less food. According to the United Nations Population Fund, its program of school feeding and “food-for-work” is being severely affected as a result of the price rise. The World Food Programme recently said that its costs are increasing by millions of dollars per week.
The best strategy for keeping the price of rice low is to ensure that production increases faster than demand. Rice production can be increased by expanding the area planted to rice, by increasing the yield per unit area, or by a combination of the two. The opportunity for further increasing the rice area in Asia is now quite limited. The total rice area in Asia is unlikely to increase much beyond the current estimate of 136 million hectares. Although some increase in cropping intensity is still possible, rice land is being lost to industrialization, urbanization, or conversion to other crops.

The main source of additional production will therefore have to be yield growth. Global average rice yields must continue to rise at an annual rate of at least 50 kg per hectare to keep pace with the expected demand, or by 0.5 tons per hectare over the next 10 years (about 12% above current levels).

Productivity growth through the development and dissemination of improved technologies is the only long-term viable solution for bringing prices down, preventing future increases in price, and ensuring that affordable rice is available to poor rice consumers.

To achieve this, a second Green Revolution is needed now as much as the first Green Revolution was needed to avoid famine and mass starvation. The task is equally challenging but not insurmountable, provided a substantial boost is given to agricultural research, which continues to remain highly underinvested. Increased research investment together with policy reforms that make rice markets more efficient will help bring rice prices down to a level affordable to the poor and, ultimately, reduce poverty.

In the near term, urgent actions from national governments and international agencies are needed on two fronts: rapidly exploiting existing technological opportunities for increasing rice yields and policy reforms to improve poor people’s food entitlements. Rice production can be revitalized, but there are no silver bullets. The world community must invest now and for a long time to come.

Some of the actions listed below deal with the immediate crisis while others provide long-term solutions to prevent future crises.

IRRI is calling for the implementation of the following nine-point program of short- and long-term interventions:

1. Bring about an agronomic revolution in Asian rice production to reduce existing yield gaps

Farmers have struggled to maximize the production potential of the rice varieties they are growing, so there is a gap between potential yield and actual yield. Depending on production conditions, an unexploited yield gap of 1–2 tons per hectare currently exists in most farmers’ fields in rice-growing areas of Asia. Such yield gaps can be reduced through the use of better crop management practices, particularly in irrigated environments. This requires funding support for programs aimed at improving farmers’ skills in such practices as land preparation, water and nutrient management, and control of pests and diseases.

2. Accelerate the delivery of new postharvest technologies to reduce losses


Postharvest includes the storing, drying, and processing of rice. Most farmers in Asia suffer considerable losses in terms of both quantity and quality of rice during postharvest operations because of the use of old and inefficient practices. Active promotion of exciting new technologies that are currently available for on-farm storage and drying will reduce losses considerably.

3. Accelerate the introduction and adoption of higher yielding rice varieties

New rice varieties exist that could increase production, but farmers are not using them mainly because the systems that develop and introduce new varieties are under-resourced.

4. Strengthen and upgrade the rice breeding and research pipelines

Funding for the development of new rice varieties has steadily declined over the past decade or more. This must be reversed in order to develop the new rice varieties that will be required for sustained productivity growth. Opportunities exist to accelerate the development of new rice varieties with increased tolerance of abiotic stresses (such as drought, flooding, and salinity) and resistance to insects and diseases through new precision-breeding approaches. Likewise, record high fertilizer prices and new pest outbreaks demand the urgent revitalization of research on rice crop and resource management.

5. Accelerate research on the world’s thousands of rice varieties so scientists can tap the vast reservoir of untapped knowledge they contain

Working with IRRI, the nations of Asia have spent decades carefully collecting the region’s thousands of rice varieties. More than 100,000 types of rice are now being carefully managed and used at IRRI and in Asian nations. However, scientists have studied in detail only about 10% of these types. It is urgent that researchers learn more about the other 90% so they can be used in the development of new varieties.

6. Develop a new generation of rice scientists and researchers for the public and private sectors

Another vital concern for the Asian rice industry is the education and training of young scientists and researchers from rice-producing countries. Asia urgently needs to train a new generation of rice scientists and researchers—before the present generation retires—if the region’s rice industry is to successfully capitalize on advances in modern science.

7. Increase public investment in agricultural infrastructure

Adequate investments in agricultural infrastructure such as roads, irrigation systems, and market systems are critically important for raising and sustaining productivity growth in rice. As with agricultural research, the underinvestment in infrastructure needs to be corrected urgently.

8. Reform policy to improve the efficiency of marketing systems for both inputs and outputs

Domestic and international marketing systems need to improve so that changes in consumer prices are reflected in producer or farm-gate prices (this is known as efficient transmission of price signals). Policies should be developed and revised to remove barriers to the efficient transmission of price signals and to create conditions that allow the private sector to function smoothly.

9. Strengthen food safety nets for the poor

Poor and disadvantaged people who are highly vulnerable to food shortages require strong food and social safety net programs to ensure that their needs are adequately met. Both urban and rural poor people would benefit from food or income transfers and nutrition programs focusing on early childhood.

Source : IRRI, June 5, 2008

U.N. Secretary General wants 50% rise in food production by 2030

The United Nations urged a summit on the global food crisis on Tuesday to help stop the spread of starvation threatening nearly 1 billion people by lowering trade barriers and removing export bans. "Nothing is more degrading than hunger, especially when man-made,"U.N. Secretary General Ban Ki Moon told world leaders who are likely to disagree over the link between biofuel production and high food prices.

The World Bank and aid agencies estimate soaring food prices could push as many as 100 million more people into hunger. About 850 milion are already hungry.

Ban estimated the "global price tag" to overcome the food crisis would be US$ 15 billion to US$ 20 billion a year and that food supply had to rise 50% by the year 2030 to meet climbing demand.

"Some countries have taken avtion by limiting exports or by imposing draft controls." he said. This "distorts markets and force prices even higher. I call on nations to resist such measures and to immediately release exports designated for huminatarian purposes."

The United Nations urged a summit on the global food crisis on Tuesday to help stop the spread of starvation threatening nearly 1 billion people by lowering trade barriers and removing export bans.Aid agencies say Japan and China have contributed to high rice prices, which have trigered riots as far away as Haiti, by controlling their stocks. Prime Minister Yasuo Fukuda promised at the summit to release at least 300,000 tons of imported rice from storage to ease the crisis.

In his speech on Tuesday, Fukuda pledged to provide US$ 50 million to help developing contries, including those in Africa, increase agricultural food production, in addition to the US$ 100 million in aid already implemented this year.

Source: Japan times, June 4, 2008.