Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday 30 December 2009

Evaluasi Pengujian Vaksin Infectoius Bronchitis Tahun 1987-2001



PUDJIATMOKO
National Veterinary Drug Assay Laboratory
(Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan)
Gunungsindur, Bogor 16340 INDONESIA

ABSTRACT


Study on results of infectious bronchitis (IB) vaccine assay was done. This study is based on results of vital vaccine assay at National Veterinary Drug Assay Laboratory, Index of Indonesian veterinary drugs, and documents of veterinary drug registration. The purpose of this study is to evaluate IB vaccine assay done from 1987 to 2001. This study describes registered vaccines in Indonesia; virus strains of IB vaccine; results of virus content, safety, and potency test. In 14 years, 140 IB vaccines have been registered by Department of Agriculture, Indonesia. Eighty-seven vaccines have been tested. Sixty-four vaccines passed the test.

Key words: Infectious bronchitis, vaccine assay, virus strains, serotype.

ABSTRAK


Pengkajian hasil pengujian vaksin infectious bronchitis (IB) telah dilakukan di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH). Pengkajian ini berdasarkan pada hasil pengujian vaksin virus di BPMSOH, Indeks Obat Hewan Indonesia dan dokumen pendaftaran obat hewan. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi pengujian vaksin IB yang dilakukan dari tahun 1987 sampai dengan tahun 200 I. Studi ini membahas tentang vaksin yang diregistasi di Indonesia; galur virus vaksin IB; hasil uji kandungan virus, keamanan, dan potensi vaksin. Selama 14 tahun terdapat 140 vaksin IB yang telah diregistrasi oleh Departemen Pertanian, Indonesia. Vaksin yang sudah diuji di BPMSOH sebanyak 87 vaksin. Vaksin yang lulus uji sebanyak 64 vaksin.

Kata kunci: Infectious bronchitis, pengujian vaksin, galur virus, serotipe.

PENDAHULUAN


Virus Infectious Bronchitis (IB) dilaporkan pertama kali pada tahun 1930-an (Schalk dan Hawn, 1931), kemudian menjadi penyebab utama penyakit ayam, yang menyerang segala jenis ayam dan semua umur, di seluruh penjuru dunia (Anon, 1988, 1991). Virus IB termasuk Coronavirus yang menyebabkan penyakit saluran pernapasan yang bersifat akut dan sangat menular. Penyakit ini bisa menimbulkan kematian anak ayam umur kurang dari 3 minggu sekitar 30% (Hofstad, 1984), hambatan kenaikan berat badan pada anak ayam umur di atas 6 minggu Cbavelaar et al, 1986), dan penurunan produksi telur hingga 60% pada ayam dewasa (Hofstad, 1984).

Vaksin yang bermutu baik telah digunakan untuk mengendalikan infeksi IB sejak tahun 1950-an. Walaupun vaksin tersebut telah digunakan dengan hati-hati, tetapi kemudian IB menjadi masalah besar karena tipe antigenik IB di dunia jumlahnya bertambah banyak. Serotipe IB yang pertama kali dilaporkan adalah Massachusett (Schalk dan Hawn, 1931), kemudian pada pertengahan tahun 1950 dilaporkan serotipe yang lain yaitu Connecticut (Jungherr et aL, 1956). Sejak saat itu serotipe baru dilaporkan di Amerika Serikat (Gelb et al, 1991), Eropa (Davelaar et al, 1984; Cook dan Huggins, 1986) dan banyak tempat di dunia (Cubillos et al, 1991) termasuk Indonesia (Darminto, 1992).

Pada sebuah hasil studi molekuler, telah diketahui bahwa bagian S 1 dan virus IB bertanggungjawab dalam menentukan serotipenya. Serotipe baru bisa muncul hanya karena hasil perubahan yang sangat sedikit pada komposisi asam amino bagian S1 pada spike protein (Cavanagh et al., 1992), sementara sebagian besar genome virus yang lain tidak berubah. Karena banyak antigen dengan berbagai serotipe yang tersebar di dunia ini maka diusahakan agar vaksin yang tersedia sekarang harus bisa menimbulkan proteksi terhadap tantangan virus lapangan di suatu kawasan atau negara.

Vaksin yang beredar di Indonesia harus bisa mengebalkan ayam-ayam terhadap infeksi IB isolat lapang. Pengujian vaksin IB sangat penting dalam menjamin mutu vaksin yang digunakan dalam pencegahan penyakit IB di peternakan. Pengujian vaksin IB untuk sertifikasi di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) mulai dilakukan pada tahun 1987. Setelah berjalan selama 14 tahun pengujian tersebut perlu dievaluasi untuk memperbaiki kekurangan dalam metoda pengujian maupun sistem pengujiannya.

Pengkajian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data dari buku hasil pengujian vaksin virus untuk unggas di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Indeks Obat Hewan di Indonesia (IOHI) edisi III tahun 1993 dan edisi IV tahun 2000 yang diterbitkan oleh Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian, dan dokumen permohonan pendaftaran obat hewan. Tujuan studi kali ini adalah mengevaluasi hasil pengujian vaksin IB di BPMSOH dari tahun 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2001.

MATERI DAN METODA


Buku Hasil Pengujian Vaksin Virusi untuk Unggas
Buku ini memuat data vaksin virusi untuk unggas yang akan diuji, sedang diuji dan sudah di uji di seksi virologi Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. Vaksin yang masuk ke seksi virologi dibukukan dengan nomor urut per tahun dan nomor sampel berasal dari seksi penerimaan sampel. Pada buku tersebut dicatat nama dagang vaksin, jenis vaksin (nama penyakit), produsen, distributor, dosis, nomor batch, tanggal kadaluarsa, hasil uji kandungan virus, hasil uji keamanan, hasil uji potensi dan keterangan penilaian akhir.

Karena buku ini berisi data berbagai jenis vaksin maka data vaksin IB disusun menjadi 1 tabel dan dilengkapi dengan data-data yang lain seperti galur virus vaksin, selisih waktu an tara tanggal pengujian dan kadaluarsa, kandungan virus menurut dokumen per­usahaan, jenis vaksin yang terkandung (untuk vaksin kombinasi), dan referensi metoda pengujian. Hasil uji kandungan virus, keamanan dan potensi di susun menurut tahun pengujian. Hubungan antara kandungan virus, waktu kadaluarsa dan potensi vaksin ditabelkan.

Indeks Obat Hewan Indonesia
Buku Indeks Obat Hewan Indonesia diterbitkan oleh ASOHI dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Buku ini memuat keterangan vaksin-vaksin yang sudah terdaftar di Departemen Pertanian, Indonesia. Buku yang digunakan dalam studi kali ini adalah edisi III tahun 1993 dan IV tahun 2000.

Jumlah vaksin yang memiliki nomor registrasi dan tercatat dalam IOHI dikelompokan per perusahaan kemudian dicocokkan dengan buku hasil pengujian vaksin virus untuk unggas. Vaksin dikelompokan menurut kombinasi vaksin, bentuk vaksin dan jumlah vaksin pada tahun 1993 dan 2000. Galur virus vaksin dikelompokan dan dihitung berdasar negara produsen vaksin.

Lampiran Permohonan Pendaftaran Obat Hewan
Ketika mendaftarkan vaksin ke Departemen Pertanian, perusahaan melampirkan keterangan tentang vaksin yang didaftarkan. Lampiran permohonan obat hewan berisi keterangan mengenai komposisi obat hewan, proses pembuatan, pemeriksaan sediaan obat jadi untuk hewan, pemeriksaan bahan baku, pemeriksaan stabilitas, daya farmakologi obat hewan, publikasi percobaan klinik di lapangan, keterangan tentang wadah dan bungkus luar, keterangan tentang tutup, dan keterangan tentang penandaan.

Dengan lampiran ini bisa diketahui metoda pengujian mutu vaksin dan acuannya, batas minimal untuk lulus uji, dan publikasi percobaan klinik di lapangan. Data yang tertulis dalam dokumen dibandingkan dengan data yang tercatat pada sumber yang lain.

HASIL DAN DISKUSI


Vaksin IB di Indonesia
Vaksin IB yang terdaftar di Indonesia berdasarkan buku IOHI edisi III tahun 1993, vaksin IB bentuk hidup tunggal menduduki urutan teratas yaitu 16 vaksin, yang kedua vaksin kombinasi IB dan ND hidup sebanyak 4 vaksin, diikuti vaksin IB tunggal inaktif, kombinasi IB dan ND inaktif dan kombinasi IB, ND dan EDS inaktif masing­-masing sebanyak 2 vaksin, sedangkan vaksin kombinasi IB+ND+IBD, kombinasi IB+ND+SHS dan kombinasi IB+ND+SHS+EDS masing-masing ada 1 vaksin yang beredar di Indonesia (Tabel 1).

Pada tahun 2000 (IOHI edisi IV) secara umum terjadi peningkatan jumlah vaksin IB yang beredar di Indonesia, terbanyak masih jenis vaksin yang sama itu IB bentuk hidup tunggal sebanyak 34 vaksin, yang kedua kombinasi IB+ND hidup sebanyak 22 vaksin, ketiga kombinasi IB+ND+EDS sebanyak 14 vaksin, diikuti vaksin kombinasi IB+ND inaktif, IB+ND+IBD, dan IB inaktif masing-masing sebanyak 9, 7 dan 5 vaksin, sedangkan vaksin kombinasi IB+ND+SHS, IB+ND+EDS+SHS dan IB+ND+IBD+Reo masing-masing ada 1 vaksin (Tabel 1).

eva1

Pada tahun 1993 dari 29 vaksin terdapat 20 vaksin hidup yang terdiri dari 16 vaksin IB tunggal dan 4 vaksin kombinasi IB dan ND. Sehingga ada sekitar 67% vaksin IB hidup. Pada tahun 2000 vaksin IB hidup persentasenya juga tetap tinggi yaitu 60% yang terdiri dari 34 vaksin tung gal IB dan 22 vaksin kombinasi IB+ND.

Persentase vaksin IB hidup cukup tinggi maka perlu perhatian serius pada galur virus vaksin yang terkandung dalam setiap jenis vaksin tersebut. Pad a tahun 1956 Jungherr et al. melaporkan bahwa galur Connecticut yang diisolasi pada tahun 1951 dan galur Massachusetts yang diisolasi pada tahun 1941 menyebabkan penyakit yang serupa, tetapi tidak ada proteksi silang atau netralisasi silang. Di dunia telah banyak dikenal serotipe virus IB, disamping dua galur tersebut di atas ada juga serotipe Georgia, Deleware, Iowa 97, Iowa 69, Arkansas 99, Gray, New Hampshire, D274, D1466, N2/62, N9/74, Australian T dan lain-lain.

Di Indonesia, tidak efektifnya vaksin IB di peternakan yang telah rutin melaksanakan program vaksinasi disebabkan oleh perbedaan serotipe antara virus vaksin dan virus IB penyebab wabah di lapangan (Darminto, 1995). Kekebalan diantara serotipe tidak cukup untuk melindungi tantangan virus alam. Vaksin yang diper­gunakan di suatu daerah harus sesuai dengan serotipe vi­rus yang terdapat di daerah bersangkutan. Vaksin yang masuk Indonesia harus mengandung virus yang tepat dengan virus lapangan yang menginfeksi ayam-ayam di Indonesia. Selain bisa melindungi ayam-ayam terhadap serangan penyakit IB, diharapkan vaksin hidup yang masuk ke wilayah Indonesia juga bisa dikontrol sehingga tidak membahayakan peternakan unggas di Indonesia.

Galur Virus Vaksin IB di Indonesia
Vaksin IB yang beredar di Indonesia berasal 27 perusahaan pembuat vaksin dari 13 negara, termasuk 2 perusahaan dari Indonesia. Ada 16 galur virus IB vaksin yang beredar di Indonesia (Tabel 2). Begitu banyaknya galur virus vaksin tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menentukan galur yang tepat untuk melindungi ayam terhadap galur lapangan yang ada di Indonesia. Menurut Darminto (1992) isolat virus IB asli Indonesia ada tiga serotipe, 3 galur (I-269, I-624, PTS II) termasuk tipe Mass, 1 galur termasuk Conn (I-37) dan 2 galur varian (PTS III, 1-625) menimbulkan reaksi silang yang tinggi dengan virus N2/62 asal Australia. Untuk mengetahui angka proteksi hasil vaksinasi dengan tepat maka dalam uji potensi perlu ditantang dengan virus isolat Indonesia.

Sebelum dilakukan pengujian di BPMSOH, seleksi terhadap vaksin yang akan masuk ke wilayah Indonesia perlu dengan kewaspadaan yang cukup, supaya tidak terjadi masuknya virus vaksin yang tidak diinginkan yang


eva2

pada suatu saat akan menimbulkan masalah dalam pengendalian penyakit lB. Maka dari itu perlu pengkajian yang mendalam sebelum menerima vaksin hidup dari luar, seperti pengkajian keterangan pendaftaran obat hewan. Pada lampiran tentang percobaan klinik di lapangan, perlu disertai publikasi ilmiah tentang kemampuan vaksin yang mau didaftarkan bisa mencegah infeksi virus-virus isolat asli dari Indonesia.

Terdapat 29 vaksin yang tidak mencantumkan secara jelas galur virus vaksinnya, melainkan hanya menuliskan tipe Mass (Tabel 2). Dalam keterangan pendaftaran perusahaan vaksin terse but diharuskan untuk menuliskan dengan jelas nama galur virus vaksin untuk mempermudah pengujian dan pengkajian vaksin lB. Galur-galur tertentu digunakan hanya oleh satu perusahaan pembuat vaksin tertentu. Galur semacam ini ada 9, setiap galur tersebut hanya digunakan oleh satu perusahaan vaksin. Apakah semua galur virus ini tepat digunakan di Indonesia, perlu pengkajian lebih lanjut.

Di Indonesia terdapat vaksin IB yang mengandung lebih dari 1 galur virus lB. Vaksin jenis ini telah ditemukan 9 nama dagang yang beredar di Indonesia. Menurut hasil studi Cook et al. (1999) menunjukan bahwa untuk meningkatkan proteksi terhadap tantangan virus yang berbeda serotipe digunakan vaksin yang mengandung 2 galur virus IB dengan sifat antigen berbeda. Maka dari itu untuk menanggulangi tantangan virus lapangan dengan banyak serotipe di dunia, kemungkinan vaksin jenis ini akan meningkat jumlahnya di kemudian hari.

Hasil Pengujian Kandungan Virus
Untuk mengetahui virus yang terkandung dalam vaksin hidup dilakukan uji kandungan virus menggunakan telur ayam specific pathogen free (SPF) berembrio. Vaksin dinyatakan lulus uji kandungan virus apabila vaksin yang diuji tersebut mengandung virus IB sebanyak 103.0 EID50 atau lebih (Anonimus, 1997, Anonimus, 1976). Sebagian besar perusahaan pembuat vaksin IE menggunakan metoda uji kandungan virus sesuai dengan metoda yang dipergunakan di BPMSOH.

Pada uji kandungan virus tersebut menunjukkan bahwa vaksin IB yang diuji pada tahun anggaran 1987/ 1988 sampai dengan 1991/1992, dan dari tahun 1993/1994 sampai dengan 1999/2000 semua vaksin yang diuji memenuhi syarat (Tabel 3). Sedangkan persentase lulus uji terendah terdapat pada tahun 1992/1993 yaitu sebesar 67% diikuti pada tahun 2001 sebesar 83% dan tahun 2000 sebesar 89%. Vaksin yang lulus uji kandungan virus secara keseluruhan dari tahun 1987/1988 sampai dengan pertengahan tahun 2001 adalah 96%.
eva3

Vaksin IB hidup yang beredar di Indonesia, dalam dokumennya sebagian besar dinyatakan berkandungan virus tidak kurang dari 103.0 EID50 seperti yang disyaratkan oleh Farmakope Obat Hewan Indonesia (FOHI). Berdasarkan data dari dokumen tiap-tiap vaksin, kandungan virus vaksin yang beredar di Indonesia dirangkum menjadi sebagai berikut: 1 vaksin dengan kandungan virus ≥105,1 EID50, 4 vaksin ≥ 104 EID50, 21 vaksin ≥ 103,5 EID50, 29 vaksin ≥ 103,0 EID50 ,dan 2 vaksin dalam dokumennya dinyatakan berkandungan virus 102,5 EID50.

Dua vaksin terakhir tersebut diatas tidak memenuhi persyaratan minimal pada Farmakope Obat Hewan Indonesia. Kedua vaksin ini diproduksi oleh 2 perusahaan dari 2 negara di Asia, karena mereka mengacu pada Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998) yang mencantumkan kandungan virus minimal 102,0 EID50, Untuk bisa mengedarkan vaksinnya di Indonesia, kedua pabrik pembuat vaksin tersebut dianjurkan supaya menaikkan kandungan virus dalam vaksinnya agar bisa memenuhi persyaratan uji kandungan virus vaksin IB di Indonesia.

Indonesia yang termasuk anggota ASEAN, turut aktif pada pertemuan Sectoral Working Group on Livestock (ASWGL) turut serta dalam menyusun Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998). Di dalam buku tersebut tertulis persyaratan minimal kandungan virus vaksin IE terlalu rendah dibanding dengan pedoman pengujian di negara Asia Pasifik lainnya seperti Jepang dan Australia atau di benua lain seperti Amerika dan Eropa. Kandungan minimal virus vaksin IB menurut Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998) adalah 102,5 EID50, sedangkan berdasarkan pada Farmakope Obat Hewan Indonesia (1997), Minimum Requirement of Biological Products for Animal Used, Japan (1976), Code of Federal Regulations for Animals and Animal Product, US (1993) adalah 103.0 EID50, dan pada British Pharmacopoiae (1985) adalah 103.5 EID50, Menurut hasil studi ini juga menunjukkan bahwa kandungan virus berpengaruh terhadap potensi vaksin. Maka dari itu perlu kajian ulang kandungan virus minimal vaksin IB dalam Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998).

Mungkin terdapat korelasi kandungan virus vaksin dan waktu kadaluarsa. Data hubungan waktu kadaluarsa dan kandungan virus menunjukkan bahwa semakin dekat tanggal kadaluarsa kandungan virus vaksin semakin menurun. Vaksin dengan tanggal kadaluarsa kurang dari 7 bulan kandungan virusnya mendekati batas minimal persyaratan lulus (TabeI4). Hasil ini menunjukkan bahwa
eva4
pengambilan sampel atau pengiriman sampel vaksin dilakukan 7 bulan lebih sebelum tanggal kadaluarsa, agar vaksin-vaksin yang sudah lulus uji masih mempunyai kandungan virus yang cukup ketika digunakan oleh peternak.

Mungkin terdapat korelasi kandungan virus dan potensi vaksin. Pada Tabel 5 menggambarkan bahwa rata-rata vaksin IB hidup galur H120 dengan kandungan virus kurang dari 103,0 EID50 indeks serum netralisasi yang dihasilkan rendah (1,8). Semakin tinggi kandungan virus suatu vaksin mempunyai kecenderungan semakin tinggi indeks serum netralisasi yang dihasilkan. Untuk galur H120 dan Mass dengan kandungan virus 104,1 EID50 atau lebih bisa merangsang pembentukan antibodi tertinggi, indeks serum netralisasi 2,4. Sedangkan untuk galur virus yang lain, karena data yang diperoleh tidak cukup maka belum bisa ditarik kesimpulan.
eva5

Hasil Pengujian Keamanan Vaksin
Untuk mengetahui keamanan suatu vaksin IB perlu dilakukan uji keamanan menggunakan ayam SPF. Vaksin dinyatakan lulus uji keamanan tersebut apabila semua ayam yang divaksin dengan 10 dosis dan semua ayam kontrol tidak memperlihatkan gejala abnormal selama 21 hari (Farmakope Obat Hewan Indonesia, 1997). Metoda yang digunakan ini sarna seperti yang tertulis dalam Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998), Code of Federal Regulations for Animals and Animal Product, US (1993), British Pharmacopoiae (Veterinary) (1985), European Pharmacopoeia (1980) dan Minimum Requirement of Biological Products for Animal Used, Japan (1976). Sebagian besar perusahaan pembuat vaksin IB menggunakan metoda uji keamanan sesuai dengan metoda yang dipergunakan oleh BPMSOH.

Pada uji keamanan tersebut, vaksin IB yang diuji lulus semua (100%) dalam tahun anggaran 1987/1988 sampai dengan 1991/1992, juga pada tahun 1993/1994, 1995/ 1996,1997/1998, dan 2001 (Tabel 3). Persentase terendah terdapat pada tahun 1994/1995 yaitu sebesar 50% diikuti pada tahun 1992/1993 sebesar 56% dan tahun 1998/1999 sebesar 80%. Sedangkan pad a tahun yang lain bervariasi antara 83% dan 91 %. Vaksin yang lulus uji keamanan secara keseluruhan dari tahun 1987/1988 sampai dengan pertengahan 2001 adalah 87%.

Kandungan virus terlalu tinggi bisa menyebabkan vaksin menjadi tidak am an untuk ayam. Vaksin IB hidup yang tidak memenuhi syarat pad a uji keamanan sebagian besar berasal dari vaksin dengan kandungan virus tinggi, 4 vaksin galur H120 berkandungan virus 104,9-105,5 EID50, 1 vaksin galur Connecticutt dan 1 vaksin galur Armidale masing-masing berkandungan virus 105,5 dan 106,5 EID50, Data ini memperlihatkan bahwa ketidak lulusan vaksin­vaksin tersebut mungkin disebabkan kandungan virus yang terlalu tinggi, tetapi masih perlu pembuktian lebih lanjut.

Hasil Pengujian Potensi Vaksin
Untuk mengetahui potensi suatu vaksin IB perlu dilakukan uji potensi menggunakan ayam SPF. Uji potensi vaksin IB di Indonesia metoda yang digunakan adalah metoda serum netralisasi. Vaksin dinyatakan lulus uji potensi tersebut apabila indeks netralisasi serum ayam yang divaksin adalah 2,0 atau lebih (Farmakope Obat Hewan Indonesia, 1997). Metoda ini mengadopsi pada Minimum Rquirement of Biological Products for Animal Used, Japan (1976).

Pada uji potensi tersebut, vaksin yang diuji lulus semua terdapat pada tahun 1987/1988 sampai dengan 1991/1992, juga pada tahun 1994/1995 dan 1997/1998 sampai dengan 1999/2000 (Tabel 3). Persentase lulus uji terendah terdapat pada tahun 1993/1994 yaitu sebesar 40%, diikuti tahun 2000 sebesar 64% da tahun 1995/1996 sebesar 70%. Sedangkan apda tahun 1996/1997 dan 1992/ 1993 masing-masing adalah 78% dan 86%. Vaksin yang lulus uji potensi secara keseluruhan dari tahun 1987/1988 sampai dengan pertengahan 2001 adalah 84%.

Sebagian besar perusahaan pembuat vaksin IB menggunakan metoda uji potensi dengan cara tantang seperti tertulis pada Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1988), Code of Federal Regulations for Animals and Animal Product, US (993), British Pharmacopoiae (Veterinary) (1985), European Pharmacopoeia (1980). Banyak galur virus vaksin yang telah masuk ke Indonesia. Dengan metoda serum netralisasi tidak bisa menjamin semua galur virus vaksin krosproteksi dengan virus lapangan di Indonesia. Maka dari itu periu merubah metoda uji potensi vaksin IB dan uji netralisasi serum menjadi uji tantang dengan menggunakan virus ganas isolat Indonesia.

Hasil Penilaian Akhir
Penilaian akhir merupakan gabungan dari hasil uji kandungan virus, uji keamanan dan uji potensi. Vaksin yang memenuhi syarat adalah vaksin yang telah lulus dari tiga uji tersebut diatas. Pada penilaian akhir uji vaksin IB, vaksin yangdiuji pada tahun 1987/1988 sampai dengan 1991/1992, danjuga pada tahun 1997/1998 lulus semua (Tabel 3). Persentase lulus uji terendah terdapat pada tahun 1993/1994 yaitu 40%, diikuti tahun 1992/1993 sebesar 44% dan tahun 1994/1995 sebesar 50%. Persentase lulus uji pada 8 Tahun Anggaran yang lain bervariasi antara 44% dan 86%.

Selama 14 Tahun Anggaran terdapat 140 vaksin IB yang telah diregistrasi oleh Departemen Pertanian. Vaksin yang sudah diuji di BPMSOH sebanyak 87 vaksin. Dari vaksin yang diuji tersebut ternyata vaksin yang lulus uji pada penilaian akhir adalah 64 vaksin at au 74% dari vaksin-vaksin yang diuji mulai tahun 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2001.

Perlu diketahui bahwa pengujian vaksin selama ini dilakukan terhadap setiap jenis vaksin bukan setiap batch atau lot suatu vaksin. Meskipun sudah lulus uji untukjenis vaksin tersebut tetapi belum bisa menjamin setiap batch atau lot dari jenis vaksin tersebut juga lulus. Selama 14 tahun dari 1987-2001 vaksin yang memenuhi syarat sebanyak 74%, dan bahkan selama 3 tahun berturut-turut dari 1992-1994 vaksin yang memenuhi syarat hanya 40%­-50%. Begitu rendah vaksin yang memenuhi syarat ini maka disarankan agar pengujian vaksin IB dilakukan terhadap setiap batch vaksin. Hal ini bertujuan untuk menjaga mutu dari setiap batch vaksin yang beredar di Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN

Perusahaan pembuat atau pengimpor vaksin diwajibkan mengujikan setiap batch vaksin yang diproduksi di Indonesia atau diimpor ke Indonesia.

Lembaga penelitian, Departemen Pertanian maupun LIPI perIu mengkaji galur virus vaksin IB dan isolat virus IB di Indonesia.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan meningkatkan seleksi secara seksama terhadap galur virus vaksin impor agar vaksin tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal dan tidak membahayakan bagi peternakan ayam di Indonesia.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan mengkaji metoda uji potensi vaksin IB dari uji netralisasi serum menjadi uji tantang dengan menggunakan virus isolat Indonesia.

ASEAN mengkaji ulang persyaratan minimal kandungan virus vaksin IB dalam Manual of ASEAN Standards for Animal Vaccines.

DAFTAR PUSTAKA


Anonimus, 1976. Minimum Requirement of Biological Products for Animal Used, Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries. Tokyo.

Anonimus. 1980. European Pharmacopoeia. Council of Europe. Volume 1-8, Maisonneuve S.A., Perancis.

Anonimus. 1985. British Pharmacopoeia (Veterinary).
Department of Health and Social Security. Welsh Office. Scotish Home and Health Department. Ministry of Agriculture, Fisheries and Food. Department of Health and Social Services for Nothern Ireland. Department of Agricultural for Northern Ireland. London Her Majesty's Stationery Office. UK for HMSO.

Anonimus. 1987. Peraturan Perundangan Kesehatan Hewan edisi III, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

Anonimus. 1988. In E.F. Kaleta and U. Heffels-Redman (Eds.). Proceedings of the First International Symposium on Infectious Bronchitis, Rauischholzhausen, Germany.

Anonimus.1991. InE.F. Kaleta and U. Heffels-Redmann (Eds.). Proceedings of the Second International Symposium on Infectious Bronchitis, Rauischholzhausen, Germany.

Anonimus. 1993. Code of Federal Regulations. Animals and Animal Products, Volume 9 Part 1 - 199. US Government Printing Office. Washington.

Anonimus. 1993. Indeks Obat Hewan Indonesia edisi III, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Anonimus. 1997. Farmakope Gbat Hewan Indonesia (Biologik) Jilid I. Direktorat Jenderal Peternakan. Cetakan ke-2. Air Akar.

Anonimus. 1988. Manual of ASEAN Standards for Animal vaccines. ASEAN Secretariat, Penebar Swadaya. Indonesia.

Anonimus. 2000. Indeks Gbat Hewan Indonesia edisi IV, Direktorat Jenderal Peterakan, Jakarta.

Cavanagh, D., Davis, P.J. and Cook, J.K.A. 1992.
Infectious Bronchitis virus: evidence for recombination within the Massachusetts serotype. Avian Pathology. 21,401-408.

Cook, J.K.A. and Huggins, M.B. 1986. Newly isolated serotype of infectious bronchitis virus: their role in Disease. Avian Pathology, 15. 129-138.

Cubillos, A., Ulloa, J. Cubillos, V and Cook, J.K.A. 1991. Characterization of strains of infectious bronchitis isolated in Chile. Avian pathology, 20, 85-99.

Darminto. 1992. Serotyping of infectious bronchitis viral isolates. Penyakit Hewan, 24(44), 76-81.

Darminto. 1995. Diagnosis, Epidemiology and Control of two Major Avian Viral respiratory Diseases in Indonesia: Infectious bronchitis and Newcastle Disease. PhD Thesis. Department of Biomedical and Tropical Veterinary Science, James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia.

Davelaar, F.G., B. Konwenhoven, and A.G. Burger. 1986. The diagnosis and control of infectious bronchitis variant infection. In: Acute virus infection of poultry (eds. J.B. McFerran and M.S. McNulty). Martinus NijhoffPublishers, Lancaster. pp. 103-121.

Gelb, J., Wolff, J.B. and Moran, C.A. 1991. Variant serotype of infectious bronchitis virus isolated from commercial layer and broiler chickens. Avian Diseases, 35, 82-87.

Hofstad, M.A. 1984. Avian infectious bronchitis. In:
Disease of Poultry, 8th edition, (eds. M.S. Hofstad, H.J. Barnes, B.W. Calnek, W.M. Reid, and H.W. Jr. Yoder). Iowa State University Press, Ames. Iowa, USA. pp. 429-443.

Jungherr, E.L., Chromiak, T. W. and Luginbuhl, R.E. 1956. Immunologic differences in strains of infectious bronchitisvirus. Proceeding of 60th Annual Meeting of the United states Livestock Sanitary Association, Chicago, IL (pp. 203-209).

Schalk,A.F. and Hawn, M.C. 1931. An apparently new respiratory disease of baby chicks. Journal of the American Veterinary Medical Association. 8: 413­422.


Sumber : Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan nomor 8 tahun 2001.

Tuesday 29 December 2009

Respon Pembentukan Antibodi pada Tikus Putih Terhadap Vaksin ompA-rekombinan Feline Chalmydiosis

PUDJIATMOKO
Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan
(National Veterinary Drug Assay Laboratory)
Gunungsindur, Bogor 16340, Indonesia

ABSTRACT

The ompA-recombinant protein produced by E. coli BL21 (DE3)plysS containing pRSETA/ompA gene of feline Chlamydia psittaci B 166 strain was purified using method of Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands). To eliminate guanidine hydrochloride, the suspension of ompA-recombinant protein was dialyzed in 20 mM Tris pH 7.8, glycerol 10% and phenylmethylsulfonyl fluoride containing 0,1 M MgCI2 CaCl2, NaCI or KCI. To prepare the vaccines, the purified proteins were emulsified with oil adjuvant. One ml of each vaccine was injected intramuscularly to 4 spesific pathogen free rats 8-week-old. The second vaccination was performed at 3 weeks post first vaccination. IgG antibody titer against feline Chlamydia psittaci was measured using microimmunofluorescence test at a week post second vaccination. Vaccination using ompA-recombinant could initiate IgG antibody in 21 of 24 vaccinated rats. IgG antibody titer or rats vaccinated with materials dialyzed in dialysis buffer containing KCl has highest titer ranged from 1:16 to 1:64, and its geometric mean titer is 1 :38. The results of the present study indicate that the ompA-recombinant protein of chlamydia used for main component of vaccine may initiate antibody against feline C. psittaci in rats.

Key words: Chlamydia, cat, ompA, rat, vaccine

ABSTRAK


Protein ompA-recombinan yang dihasilkan oleh E. coli BL21(DE3)plysS yang mengandung rekombinan plasmid pRSETA/gen ompA feline Chlamydia psittaci galur B 166 dimurnikan dengan cara Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands). Untuk menghilangkan guanidine hydrochloride, suspensi ompA-rekombinan didialisis dengan larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8, glycerol 10% dan phenylmethylsulfonyl fluoride yang mengandung 0, I M MgCI2, CaCI2, NaCI atau KCI. Tiap-tiap protein yang telah dimurnikan tersebut diemulsikan dengan adjuvan minyak untuk dijadikan vaksin. Satu ml tiap-tiap vaksin tersebut disuntikan secara intramuskular pada 4 ekor tikus putih specific pathogen free (SPF) umur 8 minggu. Vaksinasi kedua dilakukan 3 minggu setelah vaksinasi pertama. Seminggu setelah penyuntikan kedua titer antibodi IgG diukur dengan microimmunofluorescence test. Vaksinasi menggunakan protein ompA-rekombinan feline C. psittaci ini bisa merangsang terbentuk antibodi IgG pada 21 dari 24 tikus yang divaksin. Titer antibodi IgG tikus yang divaksin dengan material yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung KCl mempunyai titer tertinggi berkisar antara 1:6 dan 1:64 dengan geometric mean titer 1:38. Dari hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa protein ompA-rekombinan Chlamydia yang digunakan sebagai komponen utama vaksin bisa merangsang timbulnya antibodi terhadap C. psittaci pada tikus putih.

Kata kunci : Chlamydia, kucing, ompA, tikus, vaksin

PENDAHULUAN


Feline Chlamydia psittaci adalah bakteri Gram negative yang merupakan parasit obligate intracellular yang menyerang kucing (Moulder et aI., 1984) yang menyebabkan conjuctivitis, rhinitis dan pneumonia (Hoover et aI., 1978, Johnson, 1984, Baker et aI., 1942). Organisme tersebut merupakan salah satu kelompok genetik genus Chlamydia yang diajukan sebagai spesies baru (Pudjiatmoko et aI., 1997) dan kemudian dinamakan Chlamydophyla felis (Everett et aI., 1999).

Dalam menanggulangi penyakit Chlamydiosis pada manusia telah digunakan chlamydia utuh sebagai vaksin inaktif yang diberikan secara intramuskuler, .tetapi masa proteksi yang diperoleh singkat dan vaksinasi dengan cara ini bisa menimbulkan sakit yang lebih parah selama masa infeksi berikutnya, hal ini mungkin disebabkan reaksi patogen terhadap antigen Chlamydia tertentu (Grayston dan Wang, 1978; Grasyton dan Wang, 1975).

Pada studi sebelumnya menunjukan bahwa E. coli BL21(DE3)plysS yang mengandung rekombinan ompA-­pRSETA bisa memproduksi protein ompA-rekombinan 40 kDa yang bisa bereaksi dengan antibodi monoclonal major outer membrane protein (MOMP) C. psittaci G-IB6 dan protein rekombinan tersebut diusulkan untuk digunakan sebagai salah satu komponen utama vaksin chlamydiosis pada kucing (Pudjiatmoko, 1999a).

Vaksin menggunakan immunogene ompA- rekombinan diharapkan akan lebih cepat, mudah dan ekonomis dalam mempersiapkan immunogene dan bisa menghindari efek samping vaksin Chlamydia utuh. Penelitian kali ini bertujuan mempelajari respon immunigenisitas vaksin ompA-rekombinan feline C. psittaci pada tikus putih.

BAHAN DAN METODE


Ekspresi Protein ompA-rekombinan
Prosedur untuk memproduksi protein ompA ­rekombinan dilakukan seperti pada studi awal pembuatan vaksin feline chlamydiosis sebelumnya (Pudjiatmoko, 1999a), gen ompA feline C. psittaci galur B166

respon1



(Gambar 1) disisipkan pada vektor plasmid pRSETA yang mengandung 6 tandem residu histidine (invitrogen BV, The Netherland) (Gambar 2) pada tempat restriksi antara enzim BamHI dan XhoI. Plasmid rekombinan pRSETA/gen ompA feline C. psittaci ditransformasikan ke dalam E. coli BL21 (DE3)plysS dengan ciri-ciri genotipe F, ompT hsdSB (rB mB) gal dcm (DE3) plysS (CamR). E. coli yang telah memperoleh rekombinan pRSETA-ompA tersebut dibiakan pada media Terrific broth (TB) yang mengandung 10 µg/ml Carbenicillin dan 34 µg/ml Chloramphenicol. Ekspresi gen ompA diinduksi dengan cara menambahkan 1,0 mM Isopropyl-ß-D-­thiogalactopyranoside (IPTG) ke dalam biakan tersebut pada suhu 37 C. Sebelum dilakukan pengecekan protein ompA-rekombinan, E. coli BL21(DE3)plysS dilisis dengan menggunakan French pressure cell yang dioperasikan pada tekanan 16.000 - 18.000 Lb/inz (Hopkins, 1992).

Pembuatan Vaksin
Protein ompA-rekombinan dimurnikan dengan column yang berisi resin ProBondTM menggunakan Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands). Sel E. coli BL21(DE3)plysS yang telah dipanen dilisis dengan 10 ml guanidium lysis buffer (6M guanidine hydrochloride, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 7,8) selama 10 menit. Untuk menguraikan DNA dan RNA, suspensi sel E. coli disonikasi dengan frekuensi tinggi selama 10 detik tiga kali. Supematan dikumpulkan setelah pemusingan pada 3.000 x g selama 15 menit.

Sepuluh ml supernatan tersebut diaplikasikan pada column yang telah dialiri dengan denaturing binding buffer (8M urea, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 7,8). Protein ompA-rekombinan dipisahkan dengan denaturing elution buffer (8M urea, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 4,0) setelah dilakukan pencucian terlebih dahulu dengan denaturing washing buffer (8M urea, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 6,0 dan pH 5,3).

Protein ompA-rekombinan ini dibagi menjadi 4 bagian dengan volume yang sarna, masing-masing bagian dimasukkan ke dalam seamless cellulose tube (Viskase sales corp., Japan) dan didialisis menggunakan larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8, glycerol 10% dan phenylmethylsulfonyl fluoride (PMFS) dimana setiap larutan dapar terse but mengandung 0,1 M MgCI2, CaCl2, NaCI atau KCl. Setelah dialisis, material dipusing 10.000 x g selama 10 menit. Pelet dan supematan dipisahkan dan disuspensikan dengan larutan dapar yang sama sehingga mengandung protein 1 µg/ml.

Untuk kontrol positif digunakan Feline C. psittaci galur Fe/145. Chlamydia dibiakan pada sel SL pada suhu 37°C selama 4 hari, setelah dipanen Chlamydia diencerkan dengan sucrose-phosphate-glutamic acid (SPG) sehingga diperoleh suspensi chlamydia 10 pangkat 7,0 ELD50 per ml. Chlamydia diinaktifkan dengan formalin sehingga konsentrasi akhir 0.1 % selama 3 hari pada suhu 37°C.

Chlamydia yang telah diinaktifkan atau suspensi protein OmpA-rekombinan yang telah dimurnikan tersebut diemulsikan dengan adjuvan minyak yang terdiri dari minyak mineral (parafin cair) dan emulgator sorbitan mono-oleat. Vaksin disimpan pada suhu 4°C sampai dengan saatnya digunakan.

Vaksinasi pada Tikus Putih
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini tikus putih bebas patogen tertentu (specific pathogen free,SPF') umur 8 minggu diperoleh dari Kyoto Biken Laboratories, Jepang. Tigapuluh dua ekor tikus dibagi menjadi 8 kelompok (Kelompok A, B, C, D, E, F, G, dan H) sehingga tiap kelompok terdiri dari 4 ekor. Setiap ekor tikus disuntik secara intramuskuler dengan 1,0 ml vaksin yang mengandung immunogen seperti tertulis pada Tabel I. Penyuntikan diulang pada tiga minggu setelah penyuntikan pertama. Tikus dari kelompok A divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-­rekombinan dari supematan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M MgCl2 (supematan MgCl2), kelompok B divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari supernatan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M NaCI (supernatan-NaCl), kelompok C divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari supernatan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M KCI (supernatan-KCl), kelompok D divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-­rekombinan dari pelet yang didialisis dengan larutan dapat yang mengandung 0,1 M MgCl2 (Pelet-MgCl2), kelompok E divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari pelet yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M NaCl (Pelet-NaCl), kelompok F divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari pelet yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M KCl (pelet­-KCl), dan Kelompok G divaksin dengan feline Chlamydia galur Fe/145 sebagai kontrol positif. Sedangkan kelompok H disuntik secara intramuskuler dengan campuran E. coli BL21(DE3)plysS tanpa ompA-rekombinan dan adjuvan sebagai kontrol negatif.


respon2a


Microimmunofluorescence Test
Sampel serum tikus putih dikumpulkan pada saat sebelum vaksinasi dan seminggu setelah vaksinasi kedua (booster). Microimmunofluorescence test dilakukan mengikuti prosedur penelitian sebelumnya (Pudjiatmoko et al., 1996). Ringkasnya, 1µl antigen (feline C. psittaci galur Fe/145 dan Cello) diulaskan pada 12-well teflon­coated slide (Cell-line Associated Inc., Newfield, N.J., US) dan dikeringkan dalam suhu kamar dan difiksasi dengan methanol dingin selama 10 menit, dan 10 µl serum yang telah diencerkan (pengenceran secara seri kelipatan dua, dimulai dari 1 :4) diteteskan pada setiap lubang dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 60 menit. Setelah inkubasi slide dicuci tiga kali dengan PBS(-) selama 5 menit. Kemudian direaksikan dengan 10 µl fluorescence­isothiocyanate-conjugated goat anti-rat IgG (Cappel, conchraville, Pa., USA) yang telah diencerkan 20 kali dengan PBS(-) pada suhu 37° C selama 60 menit, dilanjutkan dengan pencucian tiga kali menggunakan PBS(-) selama 5 menit. Titer antibodi ditunjukan dari pengenceran serum tertinggi yang memperlihatkan perpendaran Chlamydia berwarna hijau. Kontrol positif diperoleh dari hyperimmune serum tikus putih yang disuntik dengan galur Fe/145. Serum tikus putih SPF yang tidak mengandung antibodi Chlamydia pada complement fixation test dan ELISA digunakan sebagai kontrol negatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada proses ekspresi protein ompA-rekombinan, kondisi optimum yang diperoleh adalah sebagai berikut: setelah pembiakan awal dalam 3 ml TB pada suhu 37°C selama 6 jam, E. coli yang mengandung plasmid pRSETA­gen ompA dibiakan kembali pada suhu yang sama dalam 50 ml TB selama 100 menit sehingga densitas-optiknya pada pembacaan OD 600 mencapai 0,4 saat yang paling tepat untuk dimulainya induksi dengan 1 mM IPTG. Protein ompA-rekombinan terbanya~ diperoleh setelah diinduksi pada suhu 37° C selama 180 menit.

Pada pemurnian bahan immunogen, protein ompA-­rekombinan berikatan dengan resin ProBond™ dalam 20 mM larutan dapar fosfat, 500 mM NaCl pH 7,8, sedangkan sebagian besar protein sel induk semang (E. coli) tidak berikatan dengan resin ProBondTM. Sebagian kecil protein sel induk semang yang bisa berikatan dengan resin pada pH tersebut bisa dilepaskan dari resin ProBond™ dengan mudah menggunakan larutan dapat pH 6,0. Protein ompA­rekombinan dilepaskan dari resin ProBond™ dengan pencucian menggunakan larutan dapar pH 4,0.

Karena protein ompA-rekombinan yang dihasilkan insoluble (terdapat pada pelet setelah pelisisan sel) maka pemurnian protein dilakukan dalam kondisi denature dimana pada proses pelisisan sel digunakan guanidine hydrochloride. Untuk protein refolding dan mengem­balikan kemampuan aktifitas protein tersebut, perlu dilakukan penyingkiran guanidine hydrochloride dalam suspensi ompA-rekombinan. Cara untuk menyingkirkan guanidine hydrochloride diIakukan dengan cara men­dialisis suspensi ompA-rekombinan pada larutan dapat yang mengandung MgCI2, NaCl, KCl atau CaCI2

Dialisis dengan larutan dapar yang mengandung CaCl2 menyebabkan timbulnya banyak agregasi protein ompA-rekombinan sehingga protein yang dihasilkannya tidak baik untuk immunogen sehingga tidak digunakan sebagai vaksin. Dialisis menggunakan larutan dapar yang mengandung MgCl2 dan NaCl menimbulkan sedikit agregasi protein ompA-rekombinan. Sedangkan ompA-­rekombinan sedikit sekali mengalami agregasi ketika didialisis menggunakan larutan dapar yang mengandung KCl. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis immunobloting, band protein ompA-rekombinan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung KCl terlihat lebih jelas dibanding dengan ompA-rekombinan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung MgCl2 dan NaCl. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa larutan dapar yang mengandung KCl bisa dengan baik menyingkirkan guanidine hydrocloride dalam proses protein refolding sehingga protein ompA-rekombinan tidak rusak, bisa bereaksi dengan monoclonal antibody G-IB6 yang khas terhadap outer membrane protein C. psittaci dan bisa digunakan sebagai immunogen. Dialisis dengan larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8 10% glycerol, 1 mM PMFS yang mengandung KCl bisa dipergunakan dalam pemurnian ompA-rekombinan.

Untuk mengetahui immunogenisitas ompA-rekom­binan, titer antibodi IgG serum tikus yang divaksin diukur dengan menggunakan microimmunofluorescence test. Sebelum dilakukan vaksinasi yang pertama semua tikus tidak mempunyai antibodi terhadap C. psittaci. Pada seminggu setelah vaksinasi kedua, tikus kelompok kontrol negatif tidak seekorpun yang mempunyai titer antibodi terhadap C. psittaci, sedangkan tikus dari kelompok C mempunyai geometric mean titer (GMT) tertinggi yaitu 1 :38, titer bervariasi antara 1: 16 dan 1 :64 (TabeI2). GMT yang kedua, tikus dari kelompok F yaitu 1:23 dengan kisaran titer antara 1:16 dan 1:32, diikuti kelompok D dengan GMT 1:13, dengan kisaran titer 1:8 dan 1:16, kemudian kelompok E dengan GMT 1: 10 dengan kisaran titer 1:8dan 1:16. Sedangkan kelopok A dan B mempunyai GMT masing-masing 1:4 dan 1 :8. Titer antibodi kelompok kontrol positif yang divaksin dengan vaksin yang mengandung Chlamydia utuh berkisar antara 1:32 dan 1:64 dengan GMT 1:45. Keberagaman titer kelompok satu dengan kelompok yang lain ini menunjukkan bahwa larutan dapar yang digunakan untuk dialisis mempengarui kwalitas immunogen yang dihasilkan.

Seminggu setelah vaksinasi kedua, 21 ekor dari 24 ekor yang divaksin dengan vaksin ompA-rekombinan mempunyai titer antibodi IgG terhadap feline C. psittaci.

respon3


Titer antibodi tersebut berkisar antara 1:8 sampai dengan 1:64. Baik material yang berasal dari pelet maupun dari supernatan bisa merangsang timbulnya antibodi IgG pada tikus. Tikus kelompok C yang divaksin dengan konsentrasi ompA-rekombinan tertinggi menunjukkan titer antibodi IgG yang tertinggi kemudian diikuti oleh tikus yang berasal dari kelompok F. Kedua kelompok C dan F tersebut merupakan kelompok yang divaksin dengan ompA­-rekombinan yang didialisis dalam larutan dapar yang mengandung 0,1 M KCI. Tikus kelompok C divaksin dengan ompA-rekombinan yang berasal dari supernatan, sedangkan tikus dari kelompok F divaksin dengan ompA-­rekombinan yang berasal dari pelet. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin ompA-rekombinan bisa menginduksi antibodi IgG terhadap feline C. psittaci.

Vaksin yang dibuat dari immunogen ompA-rekom­binan yang didialisis dengan MgCl2 dan NaCl menim­bulkan antibodi degan GMT kurang dari 1: 14. Sedangkan vaksin yang diperoleh dari protein yang didialisis dengan menggunakan KCl memperlihatkan kemampuan untuk menimbulkan terbentuknya IgG pada tikus cukup tinggi. Immunogen ompA-rekombinan yang berasal dari super­natan lebih banyak dari pada yang berasal dari pelet. Hal ini memperlihatkan bahwa protein ompA-rekombinan larut dalam denaturing elution buffer. Dari hasil-hasil ini menunjukkan larutan dapar dialisis yang mengandung KCl bisa digunakan dalam dialisis sehingga ompA-rekombinan bisa digunakan sebagai immunogen.

Pada studi kali ini vaksin yang mengandung Chlamydia 10 pangkat 7,0 ELD50 yang bisa merangsang terbentuk antibodi IgG cukup tinggi pada kelompok G. Hasil ini sesuai dengan hasil studi terdahulu tentang respon dosis vaksin inaktif yang menyatakan bahwa untuk memperoleh kekebalan yang cukup terhadap infeksi Chlamydia pada kucing, sebaiknya vaksin inaktif yang diberikan mengandung Chlamydia lebih besar lO pangkat 5,5ELD50 (Pudjiatmoko, 1999b). Titer antibodi yang diperoleh cukup tinggi pada kelompok C menunjukkan bahwa immunogen ompA-rekombinan bisa digunakan sebagai komponen utama vaksin Chlamydosis pada kucing. Untuk mengetahui potensi vaksin tersebut perlu dilakukan uji potensi menggunakan hewan percobaan kucing yang ditantang dengan Chlamydia hidup untuk mengetahui kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin ompA­-rekombinan tersebut.

KESIMPULAN


Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) protein ompA-rekombinan Chlamydia yang digunakan sebagai komponen utama vaksin bisa merangsang timbulnya antibodi pada tikus putih. (2) Protein ompA-­rekombinan feline Chlamydia dapat dimurnikan dengan Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands) menggunakan kolom resin ProBond™, (3) Larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8 10% glycerol, 1 mM PMFS yang mengandung KCl bisa digunakan untuk dialisis ompA-rekombinan dalam mengeliminasi guanidine hydrochloride,dan (4) untuk menguji potensi vaksin ompA-rekombinasi Chlamydia perlu dilakukan studi respon immungenisitas ompA-rekombinan Chlamydia pada kucing dengan menggunakan tantangan Chlamydia hidup.

UCAPAN TERIMAKASIH


Penulis sampaikan terimakasih kepada Dr. Masubuchi Katsuo dan Dr. Iwamoto Kayo atas bantuan teknis yang diberikan dalam penelitian ini. Penelitian ini dibiayai oleh Society of Techno-inovation for Agriculture, Forestry and Fisheries (STAFF) Jepang.

DAFTAR PUSTAKA


Baker, J.A.A. 1942. A virus obtained from pneumonia of cats and its possible relation to the cause of atypical pneumonia in man. Science 96: 475-476.

Cello, R.M. 1967. Ocular infections in animal with PLT (Bedsonia) group agents. Am. J. Opthhalmol. 64: 1270-1273.

Everett, K.D.E., R.M. Bush, A.A. Andersen. 1999.
Emended description of the order Chlamydiales. proposal of Parachlamydiaceae fam. novo and Simkaniaceae fam. nov., each contammg one monotypic genus, revised taxonomy of the family chlamydiaceae, including a new genus and five new speies,and standards for the identification of organisms. Int. J. Syst. Bacteriol. 49: 415-440.

Hoover, E.A., D.E. Kahn, and J.M. Langloss. 1978. Experimentally induced feline chlamydia infection. Am. J. Vet. Res. 39: 541-547.

Hopkins, T.R. 1991. Physical and chemical cell discription for the recovery intercellular proteins. in: Purification and analysis of recombinant proteins (R. Seetharam and S.K. Sharma, eds.) pp 57-83. Marcell Dekker, New York.

Johnson, F.W.A. 1984. Isolation of Chlamydia psittaci from nasal and conjuctival exudate of a domestic cats. Vet. Rec. 114: 342--344.

Moulder, J. W., T.P. Hatch, C.-C. Kuo, J. Schachter, and J. Storz. 1984. Genus 1. Chlamydia Jones, Rake and Stearns 1945,55 AL. In: Krieg, N.R. and J.G. Holt (eds.) bargey's Manual of Systematic Bacteriology. Vol. 1, pp. 729-739. Williams and Wilkins. Baltimore.

Pudjiatmoko, H. Fukushi, Y. Ochiai, T. Yamaguchi, and K. Hirai. 1996. Seroepidemiology of feline Chlamydiosis by microimmunofluorescence assay with multipe strains as antigen. Microbiol. Immunol. 40:755-759.

Pudjiatmoko, H. Fukushi, Y. Ochiai, T. Yamaguchi, and K. Hirai. 1997. Phylogenie analysis of the genus Chlamydia based on 16S rRNA gene sequences. Int. J. Syst. Bacteriol. 47: 425-431.
Pudjiatmoko. 1999a. Studi awal pembuatan vaksin feline Chlamydiosis menggunakan protein rekombinan outer membrane protein A (ompA). Inovasi 8: 46-58.

Pudjiatmoko. 1999b. Respon dosis vaksin inaktif Chlamydiosis galur Fe/145 pada kucing. pp. 269-272. In: Proceeding of The 8th Scientific meeting of Indonesian Student Association, Osaka, Japan.


Sumber : Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan nomor 8 tahun 2001

Identifikasi Subtipe Virus Avian Influenza Isolat Legok Menggunakan Polymerase Chain Reaction

PUDJIATMOKO, BAHRUDDIN SYAHRONI HASIBUAN, SRI MURNI ASTUTI, EMILIA DAN ENUH RAHARJO JUSA
Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan
(National Veterinary Drug Assay Laboratory), Gunungsindur, Bogar 16340, Indonesia

ABSTRACT

The virology laboratory of Veterinary Drug Assay Laboratory isolated a virus which caused respiratory clinical signs in chicken from a layer farm, in Legok, Tangerang. The clinical signs of the disease were very similar to the avian influenza. The virus isolate was then identified by RT-PCR using Primer NP-1200f and NP-1529r that amplified nucleoprotein gene of all influenza virus of poultry, man, pig and horse, and using 15 pair of HI­-15 primer that amplified haemagglutinin antigen (HA) of avian subtype. The result of RT-PCR showed that both of the genes of Legok isolate were amplified with NP-1200f and NP-1529r pair and H5-131f and H5-580r pair primers. The result indicated that the Legok isolate was an avian influenza subtype H5Nl.

Key word: Avian influenza, RT-PCR, Nucleoprotein, hemagglutinin, Legok isolate.

ABSTRAK

Laboratorium virologi Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan telah mengisolasi virus avian influenza yang berasal dari ayam dengan gejala klinis kelainan saluran pernafasan, dari peternakan ayam layer di Legok, Tangerang. Gejala penyakit yang ditimbulkan menyerupai penyakit avian influenza. Isolat virus diidentifikasi menggunakan RT-PCR dengan sepasang primer NP-1200f dan NP-1529r yang dapat mengamplifikasi gen Nucleoprotein (NP) dari semua virus influenza dari unggas, manusia, babi dan kuda serta menggunakan 15 pasang primer HI-15 yang dapat mengamplifikasi gen Hemagglutinin (HA) dari subtipe virus avian influenza. Hasil RT-PCR memperlihatkan kedua gen dari virus isolat Legok tersebut dapat teramplifikasi menggunakan pasangan primer NP-1200f dan NP-1529r, dan dengan pasangan primer H5-131f dan H5-580r. Hasil ini menunjukkan bahwa isolat Legok termasuk virus AI subtipe H5N I.
Kata kunci: Avian influenza, RT-PCR, Nucleoprotein, Hemagglutinin, isolat Legok

PENDAHULUAN

Avian influenza (AI) adalah penyakit sangat menular disebabkan oleh virus influenza tipe A, termasuk dalam famili Orthomyxoviridae (Lamb and Krug, 1996). Virus avian influenza dibagi menjadi 15 subtipe HA (H1-H15) dan 9 subtipe NA (N1-N9) (Rohm et al., 1996). Diantara 15 subtipe HA, hanya H5 dan H7 yang tergolong sangat virulen pada unggas. Perbedaan asam amino di antara subtipe HA tersebut sebesar 20%-74%, sedangkan perbedaan asam amino dalam subtipe HA yang sama hanya 0%-9% (Air, 1981). Berdasarkan perbedaan asam amino ini, Lee, et al. (2001) telah merancang primer yang digunakan dalam RT-PCR untuk identifikasi cepat subtipe HA virus avian influenza.

Pada bulan Oktober 2003 telah diisolasi pertama kali di Indonesia virus AI dari ayam layer di Legok Tangerang dengan gejala kelainan pada saluran pernapasan. Untuk mengetahui subtipe virus avian influenza tersebut dilakukan identifikasi dengan metoda RT-PCR menggunakan 15 pasang primer yang ditargetkan pada gen Hemagglutinin (HA) virus. Dari hasil identifikasi ini dapat dilaporkan bahwa cDNA dari isolat tersebut teramplifikasi dengan menggunakan sepasang primer khusus subtipe H5N1.

BAHAN DAN METODA

1. Isolat Virus
Spesimen isolat virus yang diidentifikasi merupakan isolat virus AI strain Legok dalam cairan allantois yang diperoleh dari laboratorium virologi Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH).

2. Ekstraksi RNA virus berasal dari cairan allantois
RNA diekstraksi menggunakan TRIZOLLSREAGENT (INVITROGEN). Prosedur secara singkat sebagai berikut, 250 µl suspensi virus isolat dicampur dengan 750 µl trizol dalam micro tube hingga rata. Campuran tersebut diinkubasikan pada suhu kamar (25-30°C) selama 5 menit untuk memisahkan nucleoprotein. Setelah ditambahkan dengan 200 µl chloroform, campuran dikocok dengan tangan selama 15 detik, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama 10 menit. Campuran dipusing 12.000 rpm pada suhu 2-8°C selama 15 menit. Lima ratus µl fase cair pada supernatan dipindahkan ke microtube baru. Selanjutnya ditambahkan dengan 500 µl isoprophil alkohol. Kemudian disimpan pada suhu kamar selama 10 menit. Setelah dipusing 12.000 rpm pada suhu 2 - 8°C selama 10 menit supernatannya dibuang. Endapan RNA dicuci dengan 1.000 µl ethanol 75% dan dipusing 12.000 rpm suhu 2 - 8 C selama 5 menit. RNA dikeringkan selama 7 menit dan dilarutkan dengan 10 µl air suling bebas RNAse.

3. Pembuatan cDNA
Pembuatan cDNA menggunakan metoda SuperScript First-Strand Synthesis System for RT-PCR (Invitrogen). Prosedur ringkasnya adalah sebagai berikut, ke dalam 0,5 ml microtube dibuat campuran RNA/primer yang berisi 3 µl RNA contoh, 1 µl 10 mM dNTP mix, 1 µl antisense primer, 5 µl air suling bebas RNase. Campuran ini dipanaskan pada suhu 65°C selama 5 menit, kemudian didinginkan di atas es sekurang - kurangnya selama 1 menit. Pada saat pemanasan campuran diatas, disiapkan pula 9 µl pereaksi yang terdiri dari 2 µl 10X RT buffer, 4 µl 25 mM MgC12, 0,2 µl 0,1 M DTT dan 1 µl RNaseOut (RNase inhibitor). Campuran RNA/primer dicampur dengan pereaksi, kemudian diinkubasi pada suhu 42°C selama 2 menit. Satu µl SuperScript II RT ditambahkan ke dalam campuran tersebut, dan inkubasi dilanjutkan lagi selama 50 menit. Reaksi ini diakhiri dengan pemanasan 70°C selama 15 menit dan pendinginan di atas es. Kedalam campuran RNA, primer dan pereaksi ditambahkan 1 µl RNAse H dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 20 menit.

4. Primer
Untuk identifikasi virus influenza dipergunakan sepasang primer yang dapat mengamplifikasi 329 bp fragmen gen nucleoprotein, NP-1200f [5'CAG(A/G)TACTGGGC(A/T/C)ATAAG(A/G)AC-3] dan NP­1529r [5' -GCATTGTCTCCGAAGAAATAAG-3 ']. Untuk mengidentifikasi subtipe virus avian influenza digunakan 15 pasang primer seperti pada Tabel 1.
isolat legok1 documen
5. Amplifikasi cDNA
Amplifikasi cDNA dilakukan berdasarkan metoda Super Script First-Stand Synthesis System for RT-PCR (Invitrogen). Amplifikasi cDNA dilakukan dalam 50 µl campuran reaksi yang mengandung 5 µl 10X PCR reaction buffer tanpa Mg, 1,5 µl 50 mM MgC12, 1 µl 10 mM dNTP mix, 0,5 µl 50 µM primer (forward), 50 µM primer (reverse), 0,4 µl (2 unit) Platinum Taq DNA polymerase (Invitrogen), 2 fl1 cDNA dan 38,1 µl air suling yang telah diautoclave. Amplifikasi cDNA dilakukan menggunakan Astec Program temperature control system PC-800, dengan urutan perputaran suhu, 95°C selama 3 menit (denaturasi awal) , 35 kali putaran 95°C selama 30 detik (denaturasi), 50°C selama 40 detik (annealing), noc selama 40 detik (ekstensi), dan diakhiri dengan ekstensi noc selama 10 menit.
Photobucket

6. Elektroforesis
Hasil RT-PCR dielektroforesis menggunakan Mupid-2 pada 2% agarose (Promega) dengan running buffer TBE selama 60 menit. Band DNA diwarnai dengan ethidium bromide, dan gambarnya didokumentasikan menggunakan kamera digital (Fuji FinePix, A202).

HASIL DAN PEMBAHASAN

cDNA yang dipero1eh dari isolat virus AI dari Legok, Tangerang dapat menghasilkan band gen Nucleoprotein sekitar 330 bp pada RT-PCR menggunakan primer pasangan NP1200f dan NP1529r (Tabel 2). Pasangan primer tersebut dapat mengamplifikasi gen Nucleoprotein yang berasal dari virus influenza yang berasal dari unggas, babi dan kuda (Altmuller et al., 1989; Gorman et al., 1990; Shu et al., 1993; Lee et al., 2001). Pada elektroforesis, contoh sampel dari virus AI isolat Legok dapat menghasilkan band DNA tersebut berarti gen Nucleoproteinnya dapat teramplifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa virus isolat Legok benar sebagai virus influenza.

Untuk mendukung hasil RT-PCR menggunakan primer umum virus influenza, cDNA isolat Legok juga diuji menggunakan 15 primer HA yang dapat digunakan untuk deteksi subtipe HA virus avian influenza. Terdapat satu pasang primer yang dapat mengamplifikasi gen hemagglutinin virus tersebut yaitu pasangan primer H5­-131f dan H5-580r (Tabel 2), produk PCR yang dihasilkan sekitar 450 bp. Hal ini menunjukkan bahwa virus AI isolat Legok yang diidentifikasi virus avian influenza merupakan subtipe H5N1.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih ditujukan kepada Antonius dan Ratnawati atas bantuan reagen serta kepada Deden Amijaya atas bantuan pengambilan gambar menggunakan digital kamera.

DAFTAR PUSTAKA

Air, G.M. 1981. Sequence relationship among the hemagglutination gene of 12 subtype of influenza a virus. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 78,7639-7643.

Altmuller, A., W.M. Fitch, C. Scholtissek. 1989.
Biological and genetic evolution of the nucleoprotein gene of human influenza A viruses. 1. Gen. Virol. 70, 2111 - 2119.

Gorman, O.T., W.J. Bean, Y. Kawaoka, W.G. Webster. 1990. Evolution of the nucleoprotein gene of influenza A virus. 1. Virol. 64.1487 -1497.

Lamb, R.A., R. M. Krug. 1996. Orthomyxoviridae: the viruses and their replication. In: B.N. Fields, D.M. Knipe, P.M. Howley, R.M. Chanoek, J.L. Melnick, T.P. Momath, B. Roizman Teds.), Field Virology, 3rd ed., Lippincott-Raven, Philadelphia, PA.

Lee, M.S., P.C. Chang, J.H. Shien, M.C. Cheng, H.K.
Shieh. 2001. Identification and subtyping of avian influenza viruses by reverse transcription-PCR. J. Virol. Met. 97, 13-32.

Rohm, c., N. Zhou, J. Suss, J. Mackenzie, R. G.
Webster. 1996. Characterization of a novel influenza hemagglutinin, H15: criteria for determination of influenza A subtypes. Virology 15, 508 -516.

Shu, L.L., W.J. Bean, R.G. Webster. 1993. Analysis of the evolution and variation of the human influenza A virus nucleoprotein gene from 1933 to 1990. J. Virol. 67,2723-2729.

Sumber : Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan no. 10 tahun 2004.

Monday 23 November 2009

Detection of Chlamydophila by Multiplex Polymerase Chain Reaction

PUDJIATMOKO, DVM., Ph.D

Veterinary Drug Assay Laboratory
(Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat hewan)
Gunung sindur, Bogor 16340

ABSTRACT


Molecular identification of 6 species of family Chlamydiaceae carried out by nested polymerase chain reaction (PCR) with species-specific primers derived from 16S rRNA gene was investigated. The 16SA and 16SB primers were used for amplification of 1,473 bp 16S rRNA gene fragments of 25 strains of Chlamydiaceae in the first PCR. A set of family-specific primer and 5 sets of species-specific primer were used for amplification of fragments of 16S rRNA gene in the nested PCR. The family-specific primers amplified all the 16S rRNA gene of Chlamvdophila spp. used. The species­specific primers were shown to be specific for each species. Multiplex PCR calTied out using 3 primers (2 sense primers and I antisense primer) in a single tube was applicable for detection of Chlamydophila felis, Chlamydophila caviae and Chlamydophila psittaci. C. psittaci-specific primers could be used for detection of Chlamydophila DNA extracted from 1 throat swab of human, 1 liver specimen of a parakeet and 2 fecal specimens of crows. C. felis ­specific primers could be used for detection of Chlamydophila DNA extracted from 4 throat swabs of humans and 2 conjunctival swabs of cats.

Key words: Chlamydiaceae, Chlamydophila, multiplex PCR


ABSTRAK


Identifikasi molekul 6 spesies famili Chlamydiaceae dengan cara nested polymerase chain reaction (PCR) telah dilakukan dengan menggunakan primer spesifik-spesies berasal dari gen 16S rRNA. Primer 16SA dan 16SB digunakan untuk mengamplifikasi 1.473 bp gen 16S rRNA dari 25 galur Chlamydiaceae pada PCR pertama. Satu set primer spesiflk-famili dan 5 set primer spesiflk-spesies digunakan untuk mengampliflkasi sebagian gen 16S rRNA pada nested PCR. Plimer spesiflk-famili dapat mengamplifikasi semua gen 16S rRNA dari Chlamlydophila spp. yang digunakan. Primer spesifik spesies menunjukkan spesifik untuk setiap spesies. PCR multiplek menggunakan 3 primer (2 primer sense clan I primer antisense) dalam satu tabung dapat diaplikasikan untuk mendeteksi Chlamydophila felis, Chlamydophila caviae dan Chlamydophila psittaci. Primer spesifik-C. psittaci dapat digunakan untuk mendeteksi DNA Chlamydophila yang diekstraksi clari I swab tenggorokan manusia, I spesimen hati burung pal'kit, clan 2 spesimen feses gagak. Primer spesifik-C. felis dapat digunakan untuk mendeteksi DNA Chlamydophila yang diekstraksi dari 4 swab tenggorokan manusia dan 2 swab selaput kelopak mata kucing.

Kata kunci : Chlamydiaceae, Chlamydophila, PCR multipleks

INTRODUCTION

Chlamydophila causes a wide variety of diseases in animals and humans (Fukushiand Hirai, 1992; Fukushi and Hirai, 1993a; Grayston et al., 1989; Moulder et al., 1984). The genetic diversity of Chlamydophila is well recognized by chromosomal DNA finger printings (Fukushi and Hirai, 1989), restriction fragment length polymorphism (RFLP) of rRNA gene loci (Fukushi and Hirai, 1993b), RFLP of ompA and groEL genes (Fukushi and Hirai, 1994), and random amplification of polymorphic DNA (RAPD) analysis (Pudjiatmoko et at., 1996). Chlamydophila classified into several genetic groups based on the ompA gene sequence (Kaltenboeck et at., 1993). The previous phylogenetic analysis of the genus Chlamydophila based on 16S rRNA gene sequences showed 6 genetic groups (Pudjiatmoko et aI., 1997). In 1999 the genus Chlamydophila was classified into 6 species: Chlamydophila psittaci, C. felis, C. caviae, C. abortus, C. pecorum and C. pneumoniae (Everett et aI., 1999). A practical method for genotyping Chlamydophila is not available yet.

Typing of Chlamydophila isolates has traditionally been done by immunological methods including fluorescent antibody and enzyme immunoassays (Fukushi and Hirai, 1989; Stamm et at., 1988; Storz and Krauss, 1985; Thomas et aI, 1990). Recently, m9lecular methods using gene amplification, LCR, and DNA sequencing have been employed for identification of isolates (Campbell et aI., 1993; Domeika et aI., 1994; Gaydos et aI., 1992; Holland et aI., 1990; Kaltenboeck et aI., 1991; Kaltenboeck et al., 1993; Kaltenboeck and Storz, 1992; Mahony et aI., 1993). This report describes a simple method of genetic typing of Chlamydophila by PCR using species-specific primer sets. Multiplex PCR carried out using 3 primers (2 sense primers and 1 antisense primer) in a single tube was applicable for detection of C. felis, C. caviae and C. psittaci. Furthermore, this method was applied for PCR and genetic typing of Chlamydophila spp. from clinical samples of human and animal.
MATERIALS AND METHODS

Microorganisms

Chlamydophila strains used in this study included 5 strains (Frt-Hu/Cal 10, Hu/Borg, Prk/6BCT, Prk/ Daruma, Prt/GCPI) of C. psittaci, 1 strain (Gp/Ie) of C. caviae, 7 strains (Fe/Pnl, Fe/ 145, Fe/Cello, Fe/B 166, Fe/C 164, Fe/C429, Fe/C454) of C. felis, 5 strains (Bo/ESST, Bo/Maeda, Bo/Shizuoka, Koala (type 2), Ov/IPA) of C. pecorum, 1 strain (TW/83T) of C. pneumoniae and 6 strains (A/Har-l T, B/TW-5/0T, C/ TW-3/0T, DfUW-3/Cx, EfUW-5/Cx, L2/434/Bu) of C. trachomatis (Pudjiatmoko et aI., 1997). To confirm the specificity of PCR, the following agents were tested: Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae (Gifu 8766 strain), Bordetella bronchoseptica (Gifu 1127 strain), Mycoplasma pneumoniae, Escherichia coli (C600 strain), Haemophilus influenzae (Gifu 3191 strain), Klebsiella pneumoniae (Gifu 2929 strain), Leginella pneumophila (SL94-1 strain), Leginella pneumophila (SL94-2 strain), Coxiella burnetii (Nine Mile ATCC YR 615 strain), Orientia tsutsugamushi (Gilliam Strain), Orientia tsutsugamushi (Karp strain) and Orientia tsutsugamushi (Kato strain). These strains were kindly provided by Dr. T. Ezaki of Gifu University, Japan and Dr. A. Tamura of Niigata College of Pharmacy, Japan.


Clinical samples


One hundred and forty throat swabs were collected from junior high school students with respiratory diseases. Eleven conjunctival swabs were collected from cats suffering conjunctivitis at the animal hospital of Gifu University and Tokyo Metropolitan Institute. Thirty-three fecal samples from crows and ten liver tissue samples from parakeets with systemic infections were also tested.


Preparation of chlamydial DNA

Procedures for preparation of Chlamydophila DNA have been described previously (Fukushi and Hirai, 1989). Extraction of chlamydial DNA from throat swabs, sera and fecal samples was performed according to the protocol of Higuchi (Higuchi, 1989). Briefly, all the samples were suspended in 1 ml of PBS in a 1.5 ml Eppendorf micro centrifuge tube, and centrifuged at 13,000 x g for 20 sec. The pellet was resuspended in 1 ml of washing buffer (10 mM Tris­HCI (pH 8.3), 50 mM KCI, 1.5 mM MgC12), and centrifuged at 13,000 x g for 20 sec. The pellet was resuspended in 1 ml lysis buffer (0.32 M sucrose, 10 mM tris-HCI (pH 7.5), 1 % Triton X-lOO), and centrifuged at 13,000 x g for 20 sec. DNA was released from the pellet by adding PCR buffer with nonionic detergents (50 mM KCI, 10 mM Tris-HCI (pH 8.3), 2.5 mM MgCI2, 0.1 mg/mi gelatin, 0.45 % NP40 and 0.45 % Tween 20), and proteinase K (120 pg/ml) to the washed pellet. The mixture was incubated for 1 h at 55° C, boiled for 10 min, and then chilled on ice.


Nucleotide primers


For amplifying chlaniydial 16S rRNA gene, a pair of primer 16SA-16SB, was constructed from the 16S rRNA sequences of the family Chlamydiaceae (Pudjiatmoko et at., 1997). Internal primers were prepared from the 16S rRNA gene from the C. felis, C. psittaci, C. pecorum, C. pneumoniae and C. trachomatis for the nested PCR. The primers were designated as ChFeA-ChFeB, ChPsA-ChPsB, ChPeA-ChPeB, ChPnA-ChPnB, and ChTrA-ChTrB primers for the C. felis, C. psittaci, C. pecorum, C. pneumoniae and C. trachomatis, respectively (Table 1). The combination of ChFeA-ChPsA-ChPsB primers was used in a one-step reaction carried out in a single tube for genotyping of C. caviae, C. felis and C. psittaci. The length of the DNA fragments generated in the PCRs are shown in Table 2.


Photobucket


PCR amplification of clinical samples

Chlamydopila 16S rRNA genes were amplified by using a pair of 16SA and 16SB primers in the first PCR. The PCR was performed with 5 ul of throat swab, fecal, cell culture samples or chromosomal DNA of Chlamydopila extracts in a total volume of 50 ul. Five ul of the first PCR product was submitted to the nested PCR using a pair of family- and species-specific DNA primer. The final reaction mixture contained 40 pmol of each primer, 10 mM Tris-HCl (pH 8.3), 50 mM KC1, 1.0-2.0 mM MgCI2, 200 pM each of dATP, dCTP, dGTP, and dTTP, 0.01 % gelatin, and 2.5 units of Taq polymerase (Takara Shuzo Co., Ltd., Kyoto, Japan) in 50 ul. Concentration of MgCl2 was 1.0 mM for ChPsA-ChPsB, ChFeA-CbPsB and ChTrA-ChTrB primers, 1.5 mM for 16SA-16SB, ChA-ChB, and ChPnA-ChPnB primers, and 2.0 mM for ChPeA­ChPeB primers. The components and procedure for the multiplex PCR were described above except 2 sense primers for C. felis (ChFeA) and C. psittaci (ChPsA) and an antisense primer for C. psittaci (ChPsB) was used in the method. The thermal cycle amplification program for the first PCR was as follows: initial melting at 94°C for 3 min and then 35 cycles with denaturation at 94°C for 1 min, annealing at 55°C for 1 min and extension at 72°C for 2 min and the last extension for 7 min follow by holding at 4°C. The program for nested PCR was as follows: initial melting at 94°C for 3 min and then 35 cycles with denaturation at 94°C for 30 see, annealing at 55°C for 30 sec and extension at 72°C for 2 min and the last extension for 7 min follow by holding at 4 C. Five ul PCR products were electrophoresed in 2 % agarose gel. DNA was stained with ethidium bromide and visualized by UV light.


Table 2. Specificity of peR test of 5 species-spesific primer sets of Chlamydophila

Photobucket



Isolation of Chlamydophila

Clinical specimens were ground to make a 10 % emulsion in SPG containing 500 ug/ml streptomycin and Kanamycin. The mixtures were clarified by centrifugation. The supernatant fluid was inoculated into yolk sac of specific pathogen-free embryonated chicken eggs that had been incubated at 37°C for 6­7 days. The inoculated eggs were incubated at 37°C for 3 - 7 days, and yolk sac smears were microscopically examined for viable Chlamydiae after staining by the Gimenez method (Schachter, 1988).

RESULTS


Specificity of PCR amplification

To evaluate the specificity of our primer sets, 25 Chlamydophila and 2 Gram-negative and 7 Gram­positive bacterial and 4 Rickettsial strains were tested in this study. In the first PCR, the 16S rRNA gene fragment of all Chlamydophila strains was amplified by the family-specific primer set of 16SA-16SB, and the size of PCR product was about 1470 bp (Figure 1). In the second PCR, the 16S rRNA gene fragment of all Chlamydophila DNA was examined by amplification with the family specific-primer set, ChA-ChB. The size of PCR product was about 390 bp (Figure 1). A DNA product of approximately 820 bp in size was observed with C. pneumoniae DNA with the primer set ChPnA-ChPnB. DNA products with approximately 200 bp and 250 bp were observed with the C. feils and C. psittaci DNA with the primer sets of ChFeA-ChFeB and ChPsA-ChPsB, respectively (Figure 2). DNA products with approximately 420 bp and 160 bp were observed with C. pecorum and C. trachomatis DNA with the primer sets of ChPeA-ChPeB and ChTrA-ChTrB, respectively (Figure 3). The 16S rRNA gene fragments of C. caviae were amplified by primer sets of ChFeA­ChFeB and ChPsA-ChPsB, or ChFeA-ChPsB. The 16S rRNA gene fragment of C. felis was also amplified by primer set of ChFeA-ChPsB. Thus the species specific sets were specific for each species except guinea pig (Table 2). All 2 Gram-positive and 7 Gram-negative bacterial and 4 Rickettsial strains tested yielded no PCR product with all primer pairs used in both the first and second PCR.

Multiplex PCR

To simplify PCR reaction, co-amplification was carried out by simultaneous use of three primers (ChFeA, ChPsA and ChPsB) ina single tube. In this reaction, the ChFeA-ChPsB primer pair produced about 410 bp of the fragment of , C. felis strains, while ChPsA-ChPsB primer pair produced about 250 bp fragment of C. psittaci strains (Figure 4). These primer pairs produced two previously identified fragments with C. caviae strain. However, Chlamydophila strains from other genetic groups did not produce any PCR products.

Sensitivity of PCR amplification

The sensitivity of the PCR method developed in the present work was evaluated by testing serial dilution of purified DNA from 25 Chlamydophila strains. In the first PCR, PCR signals from 0.5 pg to 50 ug of template DNA could be detected in 50 ul aliquots of reaction. When the first PCR products were submitted to nested PCR, detectable levels were from 5 fg to 50 ng of the original template Chlamydophila DNA (Figure 4).

Direct detection of Chlamydophila from clinical specimens

After the specificity and sensitivity of the PCR method were determined, the evaluation of direct detection and genotyping of Chlamydophila from clinical samples was done simultaneously. Chlamydophila organisms were detected by multiplex PCR in 1 liver specimen from 10 parakeets, 2 conjunctival swabs from 11 cats, 2 fecal specimens from 33 crows, and 5 throat swabs from 140 humans. PCR results in parakeets and cats were confirmed by isolation. Isolation was not attempted with crow and human specimens. The species o~ these ten positive PCR amplified DNAs were determined to be a C. psittaci from parakeet, two C. psittaci from crows, a C. psittaci from human, a C. felis from cat, a C. felis from parakeet, and four C. felis from humans. The genotype of isolates from parakeets and cats confirmed the PCR typing results.


Photobucket

Photobucket

DISCUSSION

The PCR using primers targeted to the 16S rRNA gene were developed for direct identification of Chlamydophila spp. in the present study. The specificity of the amplifications was confirmed by sequencing of DNA from PCR amplified products and isolates from clinical samples. Using a primer set for the family Chlamydiaceae in combination with five primer sets for the existing species C. caviae, C. felis, C. psittaci, C. pecorum, C. pneumoniae, and C. trachomatis, each designated chlamydial species was able to be differentiated. The method was applied for detection and direct typing of Chlamydophila for clinical samples from humans and animals. The results of the study demonstrated that this method may be useful for laboratory diagnosis.


The sensitivity of our method that detect 1 to 50 IFU or 5 to 50 fg is equivalent to other method that use the MOMP gene (Campbell et al., 1992; Valassina et al., 1995), l6S rRNA gene (Gaydos et al., 1992) and plasmid (Valassina et al., 1995). The PCR with species-specific primer pairs could identified species of Chlamydophila. However, no amplification was observed with other bacteria in both of the PCR. The results indicated that the PCR methods revealed specific to detect family Chlamydiaceae and identify genetic groups of Chlamydophila.

Currently 3 genetic groups are recognized for C. Caviae, C. felis and C. psittaci (Pudjiatmoko et al., 1997; Everett et aI., 1999). Differentiation ofthese 3 genetic groups requires 6 primers (3 sense and 3 antisense primers) using 3 sets of tubes. In method of this study, PCR was carried out using three primers (two sense primers and an antisense primer) in a single tube for both detect and identify species C. caviae, C. felis, and C. psittaci simultaneously. This multiplex PCR method uses less reagent, time and labor. The multiplex PCR technique appears to be suitable method for a rapid detection and genotyping of Chlamydophila isolates.


No case of feline chlamydiosis in human has been reported in Japan. It is also rare in other countries. A human case of feline pneumonitis was reported in 1969 (Schachter et al., 1969). Our study found 4 out of 140 high school children have feline pneumonitis. This result indicate that transmission of feline pneumonitis from cats to human is not rare and infection is often subclinical.

ACKNOWLEDGMENT

This study was supported by grants-in-aid for Scientific Research from the Japanese Ministry of Education, Science, Sports and Culture.

REFERENCES

Campbell, L.A., M.P. Melgosa, D.J. Hamilton and C.-C. Kuo. 1992. Detection of Chlamydia pneumoniae by polymerase chain reaction. J. Clin. Microbiol. 30: 434439.

Campbell, L.A., D.L. Patton, D.E. Moore, A.L.

Cappuccio, B.A. Mueller and S.-P. Wang. 1993. Detection of Chlamydia trachomatis deoxyribonucleic acid in women with tubal infertility. Fertil. Steril. 59: 45-50.

Domeika, M., A. Ganusauskas, M. Bassiri, G.

Froman and P.-A. Mardh. 1994. Comparison of polymerase chain reaction, direct immunofluorescence, cell culture and enzyme immunoassay for detection of Chlamydia psittaci in bull semen. Vet. Microbiol. 42: 273-280.

Everett, K.D.E., R.M. Bush and A.A. Andersen. 1999. Emended description of the order Chlamydiales, proposal of Parachlamydiaceae fain. novo and Simkaniaceae fain. nov., each containing one monotypic genus, revised taxonomy of the family Chlamydiaceae, including a new genus and five new species, and standards for the identification of organisms. Int. I. Syst. Bacteriol. 49: 415-440.

Fukushi, H. and K. Hirai. 1989. Genetic diversity of avian and mammalian Chlamydia psittaci strains and relation to host origin. J. Bacteriol. 171: 2850-2855.

Fukushi, H. and K. Hirai. 1992. Proposal of Chlamydia pecorum sp. novo for Chlamydia strains derived from ruminants. Int. J. System. Bacteriol. 42: 306-308.

Fukushi, H. and K. Hirai. 1993a. Chlamydia pecorum - The forth species of genus Chlamydia Microbiol. Immunol. 37: 5 15-522.

Fukushi, H. and K. Hirai. 1993b. Restriction fragment length polymorphisms of rRNA as genetic markers to differentiate Chlamydia spp. Int. J. Syst. Bacteriol. 43: 613-617.

Fukushi, H. and K. Hirai. 1994. Heterogeneity and homogeneity of ompA (the major outer membrane protein) and GroEL-homolog genes of avian and mammalian Chlamydia psittaci by PCR-based RFLP analysis. In: Orfila, J., G.I. Byrne, M.A. Cherne sky, J.T. Grayston, R.B. Jones, G.L. Ridgway, P. Saikku, J. Schachter, W.E. Stamm and R.S. Stephens (eds.). Eighth International Symposium on Human Chlamydial Infections. pp. 589-592.Societa Editrice Esculapio, Bologna.

Gaydos, e.A., T.e. Quinn and J.J. Eiden. 1992 ..

Identification of Chlamydia pneumoniae by DNA amplification of the 16S rRNA gene. J. Clin. Microbiol. 30: 796-800.

Grayston, 1. T., e.~C. Kuo, L. A. Campbell, and S.

Wang. 1989. Chlamydiapneumoniae sp. novo for Chlamydia sp. strain TWAR. Int. J. Syst. Bacteriol. 39: 88-90.

Higuchi, R. 1989. Simple and rapid preparation of samples for PCR. In: Erlich, H.A. (ed.) PCR Technology: Principles and applications for DNA amplification. pp. 31-38. Stockton Press, New York, London, Tokyo, Melbourne, Hongkong.

Holland, S.M., e.A. Gaydos and C. Quinn. 1990.

Detection and differentiation of Chlamydia trachomatis, Chlamydia psittaci and Chlamydia pneumoniae by DNA amplification. J. Infect. Dis. 162: 984-987.

Kaltenboeck, B., K.G. Kousoulas and J. Storz. 1991. Detection and strain differentiation of C. psittaci mediated by two-step polymerase chain reaction. Clin. Microbiol. 29: 1969-1975.

Kaltenboeck, B., K.G. Kousoulas and J. Storz. 1993. Structures of allelic diversity and relationships among the major outer membrane protein (ompA) genes of the four chlamydial species. J. Bacteriol. 175: 487-502.

Kaltenboeck, B. and 1. Storz. 1992. Biological properties and genetic analysis ofthe ompA locus in chlamydiae isolated from swine. Am. J. Vet. Res. 53: 1482-1487.

Mahony, J. B., K. E. Luinstra, 1. W. Sellors and M.A. Chernesky. 1993. Comparison of plasmid­and chromosome- based polymerase chain reaction assay for detecting Chlamydia trachomatis nucleic acids. J. Clin. Microbiol. 31: 1753-1758.

Moulder, J. W., Hatch, T. P., Kuo, C.-C., Schachter, J. and Storz, J. 1984. Genus I. Chlamydia. Jones, Rake and Stearns 1945, 55AL. In : Krieg, N. R. and Holt, J. G. [eds.] Bergey's Manual of Systematic Bacteriology. voLl. pp. 729-739. Williams & Wilkins. Baltimore.

Pudjiatmoko, H. Fukushi, Y. Ochiai, Y. Yamaguchi and K. Hirai. 1996. Diversity of feline Chlamydia psittaci revealed by random amplification of polymorphic DNA. Vet. Microbiol. 54: 73-83.

Pudjiatmoko, H. Fukushi, Y. Ochiai, T. Yamaguchi and K. Hirai. 1997. Phylogenetic analysis of the genus Chlamydia based on 16S rRNA gene sequences. Int. J. Syst. Bacteriol. 47:425-431.

Schachter, J., H.B. Ostler and K.F. Meyer. 1969.

Human infection with the agent of feline pneumonitis. Lancet 1, 1063-1065.

Schachter, J. 1988. Chlamydiaceae: The Chlamydiae., p. 847-863. In : Lennette, E., P. Halonen, and F. A. Murphy (Eds.), Laboratory Diagnosis of Infectious Diseases. Principles and Practice, Vol. II: Viral, Rickettsial and Chlamydia I Diseases. Springer-Verlag, New York, Berlin, Heidelberg, London, Paris, Tokyo.

Stamm, W.E. 1988. Diagnosis of Chlamydia trachomatis genitourinary infections. Ann. Intern. Med. 108: 710-717.

Storz, J. and H. Krauss. 1985. Chlamydia. In: BIobel, H. and T. Schlieser (eds.). Handbuch der Bakteriellen Infektionen bei Tieren. pp. 446-531. VEB Gustav Fisher Verlag, Jena, Jena.
Thomas, R., H.C. Davison and AI. Wilsmore. 1990.

Use of the IDEL4 ELISA to detect Chlamydia psittaci (ovis) in material from aborted fetal membranes and milk from ewes affected by ovine enzootic abortion. Br. Vet. 1. 146: 364-367.
Valassina, M., M.G. Cusi, D. Corsaro, C. Buffi, G.

Piazzesi and V.P.E. 1995. Detection by multiplex polymerase chain reaction and typing of Chlamydia trachomatis isolates. FEMS Microbiol. Lett. 130: 205-2 10.

Sunday 6 September 2009

Laporan Special SOM-30th AMAF 11 – 13 Agustus 2009 di Ho Chi Minh City

I. PENDAHULUAN

Pertemuan Special Senior Officials’ Meeting of the 30th Meeting of the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (Special SOM-30th AMAF) telah diselenggarakan di Ho Chi Minh City, Vietnam, 11-13 Agustus 2009. Pertemuan dipimpin oleh Dr. Le Van Minh, Director-General of International Cooperation Department, Ministry of Agriculture and Rural Development of Vietnam dan dihadiri oleh seluruh negara anggota ASEAN, wakil dari Asian Development Bank (ADB) serta Sekretariat ASEAN. Delegasi RI dipimpin oleh Dr. Tachrir Fathoni, Kepala Badan Litbang Kehutanan dengan anggota delri yang terdiri dari unsur-unsur Deptan, Dephut, DKP dan Deplu.

II. JALANNYA DAN HASIL-HASIL PERTEMUAN

Roadmap of ASEAN Community

Pertemuan menggarisbawahi usulan dari ASEAN Task Force on Codex (ATCF) dan ASEAN Sectoral Working Group on Livestock (ASWGL) bahwa pengembangan Good Animal Husbandry Practices dan ASEAN Good Hygiene Practices sebagaimana tercantum dalam AEC Blueprint, tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus dikoordinasikan dengan badan sektoral lainnya yang terkait, termasuk ASEAN Expert Group on Food Safety (AEGFS).

ASEAN Integrated Food Security (AIFS) Framework and Strategic Plan of Action on Food Security (SPA-FS)

Sekretariat ASEAN menyampaikan perkembangan mengenai implementasi AIFS Framework and SPA. Sejumlah kegiatan yang telah dilaksanakan sejauh ini, antara lain: pembuatan video ASEAN and World Food Security, penyelenggaraan 2009 Roundtable Conference on East Asia Food Security Cooperation Strategy, 21-22 April 2009 di Beijing, serta ASEAN-FAO Regional Conference on Food Security, 27-28 Mei 2009 di Bangkok.

Dalam kesempatan ini, perwakilan ADB, Mr. Katsuji Matsunami, menyampaikan presentasi proposal berjudul ADB Support for ASEAN Integrated Food Security. Proposal ini memiliki 3 (tiga) fokus, yaitu mendukung pengembangan ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve (APTERR), mengembangkan pasar beras internasional yang stabil serta memperkuat sistem informasi ketahanan pangan.

Pertemuan pada prinsipnya dapat menyetujui proposal ADB tersebut, namun meminta agar dalam tahap finalisasinya juga dikaitkan dengan inisiatif yang telah ada sebelumnya, yaitu: East Asia Emergency Rice Reserve (EAERR) dan ASEAN Food Security Information System (AFSIS). Selain itu, mengingat beras merupakan komoditas yang sensitif secara politis, maka ADB diminta untuk dapat menyampaikan beberapa alternatif opsi dukungan pengembangan ketahanan pangan agar SOM-AMAF dapat memutuskan opsi mana yang paling dapat diterima oleh seluruh negara ASEAN pada pertemuan Prep-SOM – 31st AMAF mendatang di bulan Oktober 2009.

Progress of Country Initiatives for Programmes or Projects on Food, Agriculture and Forestry By ASEAN Member States

Indonesia telah menyampaikan agar 2 (dua) inisiatif proposal yang diajukan Indonesia, yaitu: Indonesia’s Initiative on the ASEAN Networking for Agriculture Vulnerability to Climate Change (agenda item 4.1) dan Indonesia’s Initiative on ASEAN Strategy in Addressing the Impact of Climate Change on Agriculture, Fisheries and Forestry (agenda item 4.2) digabungkan menjadi satu inisiatif baru yang terfokus pada strategi adaptasi pertanian dan pengembangan sumber daya terbarukan.

Pertemuan juga menerima laporan perkembangan dari beberapa inisiatif lainnya, yaitu: i) Malaysia’s Initiative on the Establishment of a Network for Pesticide Regulatory Database dan APHCN, ii) Philippines Initiative on ASEAN IPM Network, iii) Singapore Initiative on ASEAN GMF Testing Network dan AARNET, serta iv) Thailand’s Initiative on ASEAN Food Safety Network, ASEAN Rapid Alert System for Food and Feed, dan Collaboration of ASEAN R&D in Sericulture.

Consideration of the Report of the 16th Meeting of the Joint Committee (JC) on ASEAN Cooperation in Agriculture and Forest Products Promotion Scheme, 14-16 July 2009, Siem Reap, Cambodia

Pertemuan menyepakati draft MoU on ASEAN Cooperation in Agriculture and Forest Products Promotion Scheme (lampiran 1) setelah membahas beberapa perubahan. Pertama, Indonesia telah mengusulkan agar judul MoU perlu ditambahkan kata ‘fishery’, namun judul MoU yang disepakati tidak memasukkan fishery, dengan pertimbangan bahwa ‘agriculture’ sudah mencakup livestock dan fishery. Selanjutnya, Malaysia menarik kembali usulan untuk menambahkan istilah ‘secrecy’ dalam chapter IX karena dianggap cukup menggunakan ‘confidentiality’. Selain itu, pertemuan juga menyetujui rekomendasi pertemuan ASOF ke-12 untuk menghapuskan National Focal Point on Promotion of Forest Product agar tidak terjadi duplikasi, memperhatikan bahwa dalam kerangka ASOF telah dibentuk ASEAN Experts Group on Forest Product Development yang memiliki tujuan, agenda dan program kerja yang sama.

Selain itu, disepakati pula bahwa draft MOU on ASEAN Cooperation in Agriculture and Forest Products Promotion Scheme, komoditi forest products akan ditangani oleh ASEAN Forest Products Industry Club (AFPIC). Indonesia mengusulkan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK), Dephut sebagai national coordinator dan focal point untuk Forest Products. Selanjutnya, ASEAN NFPWG on Forest Products ditangani oleh AFPIC-Malaysia.

Cooperation in Food

Thailand selaku tuan rumah pertemuan ke-29 ASEAN Food Security Reserve Board (AFSRB) menginformasikan bahwa penyelenggaraannya akan dilaksanakan pada akhir tahun 2009. Sehubungan dengan hal ini, pertemuan mengimbau Thailand agar jadwal dan tempat penyelenggaraan pertemuan ke-29 ASFRB dapat disampaikan kepada seluruh negara anggota pada kesempatan pertama.

Pertemuan juga menerima laporan dan rekomendasi Brunei Darussalam (Chairman AWG on Halal Food) dan Lao PDR (Chairman ATF on Codex).

Consideration of the Report of the 16th Meeting of the ASEAN Sectoral Working Group on Crops (ASWGC), 20-22 May 2009, Manila, Philippines

Pertemuan dapat menerima laporan Philippina selaku Chairman ASWGC dan sepakat untuk merekomendasikan beberapa dokumen untuk disahkan dalam AMAF mendatang, yaitu :
List of 7 ASEAN MRLs for 5 pesticides: carbendazim (grapes and oranges), chlorpyrifos (longans and litchi), phosalone (durian), ethion (pummelo) and deltamethrin (chilli pepper)

ASEAN Standards for Young Coconut, Banana, Garlic and Shallot
The establishment of Expert Working Group on ASEAN GAP (EWG-ASEAN GAP)

Consideration of the Report of the 17th Meeting of the ASEAN Sectoral Working Group on Livestock (ASWGL), 6-8 May 2009, Yogyakarta, Indonesia

Indonesia melaporkan hasil-hasil dari pertemuan tersebut, antara lain kemajuan proyek-proyek kerjasama seperti Regularization of Products and Utilization of Animal Vaccines, Promotion of International Trade in Livestock and Livestock Products, serta Strengthening of Animal Disease Control Programme among ASEAN Member States. Pertemuan menerima laporan Indonesia selaku Chairman ASWGL. Selanjutnya pertemuan sepakat untuk merekomendasikan dua dokumen untuk disahkan pada AMAF mendatang, yaitu :
Accreditation of the Veterinary Biologics Assay Division (VBAD) Pakchong, Thailand
ASEAN Criteria for Accreditation of Milk Processing Establishment (setelah dilakukan revisi terlebih dahulu oleh Malaysia).

Cooperation in Fisheries

Consideration of the 17th Meeting of the ASEAN Sectoral Working Group on Fisheries (ASWGFi), 3-5 Juni 2009, Quang Nam, Vietnam

Menanggapi diberlakukannya EC Regulation No 1005/2008 to prevent, deter and eliminate illegal, unreported and uregulated (IUU) Fishing, yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2010, telah disusun ASEAN Common Position on EC Regulation on IUU Fishing Catch Certification Scheme (lampiran 2) yang meminta penerapan EC Regulation tersebut diterapkan berdasarkan phase-based approach dan ditunda masa berlakunya.

Indonesia menyampaikan posisi untuk tidak mendukung ASEAN Common Position dimaksud, sebaliknya mendukung sepenuhnya EC Regulation untuk tetap diberlakukan 1 Januari 2010. Selain itu, Kamboja juga menyatakan bahwa sektor perikanannya belum siap untuk menerapkan kebijakan EC tersebut sehingga tidak mendukung ASEAN Common Position. Di sisi lain, delapan Negara ASEAN lainnya menyatakan setuju dengan ASEAN common position tersebut, terutama mengenai phase-based approach.

Memperhatikan adanya tiga kepentingan yang berbeda, Sekretariat ASEAN menawarkan dua opsi yang perlu dipertimbangkan yaitu tetap mengadopsi ASEAN Common Position dengan skema ASEAN minus Indonesia dan Kamboja atau pendekatan bilateral masing-masing negara ASEAN dengan pihak Uni Eropa. Hal ini belum mencapai konsensus dan akan ditindaklanjuti Sekretariat ASEAN dengan focal point perikanan Negara-negara ASEAN.

Cooperation in Forestry

Pertemuan dapat menerima laporan Myanmar terhadap hasil 12th Meeting of the ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF), 25-27 Juni 2009 di Nay Pyi Taw, Myanmar dan mengusulkan agar 2 (dua) dokumen penting, yaitu: ASEAN Criteria and Indicators for Legality of Timber dan ASEAN Guidelines on Phased Approach to Forest Certification dapat disetujui oleh AMAF.

Indonesia menyampaikan bahwa ASEAN Position Paper on REDD Plus sedang dalam penyelesaian di bawah koordinasi Indonesia (ARRN-FCC) dan mengusulkan agar menjadi bahan untuk dibahas dalam pertemuan 31st AMAF mendatang.

ASEAN Plus Three Cooperation in Food Agriculture and Forestry Sector

Thailand selaku Lead Country untuk East Asia Emergency Rice Reserve (EAERR) Pilot Project dan ASEAN Food Security Information System (AFSIS) menyampaikan laporannya. Terkait EAERR, dilaporkan bahwa pada 11th Project Steering Committee (PSC) yang berlangsung pada 10-11 Februari 2009 di Siem Reap, Kamboja telah diusulkan untuk mengembangkan EAERR menjadi ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve (APTERR) dan mengkaitkannya dengan ASEAN Integrated Food Security Policy Framework and its Strategic Action Plan of Action sebagai salah satu pilar dalam kerangka implementasinya. Hingga saat ini, draft APTERR Agreement hampir dapat disepakati, kecuali terkait pasal mengenai origin of rice, dikarenakan Thailand, Jepang dan Korsel masih memiliki keberatan.

Sementara itu, terkait dengan AFSIS, disampaikan bahwa the 1st Phase Project telah berakhir pada tahun 2007. Selanjutnya, pertemuan AMAF+3 telah menyetujui implemetasi 2nd Phase Project untuk periode 2008-2012. Elemen-elemen tambahan dari 2nd Phase ini ialah Early Warning Information, Agricultural Commodity Outlook dan Mutual Technical Cooperation.

Cooperation in Food, Agriculture and Forestry with Dialogue Partners, International Organizations and, Other Third Parties

ASEAN-India

Mengingat Indonesia telah menarik proposal Indonesia’s Initiative on ASEAN Networking for Agriculture Vulnerability to Climate Change yang sebelumnya akan dibiayai oleh ASEAN-India Fund serta menggantinya dengan proposal baru, maka perubahan ini akan disampaikan terlebih dahulu oleh Sekretariat ASEAN kepada pihak India.

ASEAN-Korea

Indonesia menyampaikan bahwa ASEAN Sekretariat telah mengirimkan surat undangan untuk Pertemuan ke-1 Ad-Hoc Working Group on the establishment of Asian Forest Cooperation Organization (AFoCO). Pertemuan ini akan diselenggarakan pada 24-26 Agustus 2009 di Jakarta.

Other Matters

Terkait dengan usulan untuk pengembangan dan implementasi ASEAN Multi-Sectoral Framework on Climate Change and Food Security (AFCC-FS), delegasi Kamboja mempertanyakan judul yang menggunakan istilah ‘food security’, mengingat pada pertemuan AMAF, disepakati untuk mengkaji dampak perubahan iklim terhadap ‘agriculture’, bukan hanya ketahanan pangan. Kamboja juga menilai bahwa istilah ‘multi-sectoral’ tidak perlu dicantumkan dalam judul. Sekretariat ASEAN menanggapi bahwa usulan Kamboja akan dibahas dalam workshop mendatang. Selain itu, Indonesia telah mengusulkan agar ASEAN memiliki common position dalam pertemuan COP-15 yang akan datang di Copenhagen, Denmark.

Terkait Strategic Plan of Action (SPA) for the ASEAN Cooperation in Food, Agriculture and Forestry (2005-2010), sejumlah action lines-nya saat ini telah tercakup dalam AEC Blueprint serta ASCC Blueprint. Oleh karenanya perlu dipertimbangkan untuk mengkonsolidasikan isi dari masing-masing dokumen tersebut.

Rangkaian pertemuan Thirty-First Meeting of the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (31st AMAF) dan the 9th Meeting of the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry Plus Three (9th AMAF Plus Three) akan diselenggarakan pada 31 Oktober-5 November 2009, di Jerudong, Brunei Darussalam.

III. PENGAMATAN

Sesuai dengan harapan negara-negara anggota ASEAN, Indonesia diminta menjadi prime mover dalam rangka antisipasi dan mitigasi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Untuk itu, pada pertemuan-pertemuan berikutnya, Indonesia harus siap memimpin dalam aktivitas ASEAN tersebut, termasuk mencari peluang pendanaannya bersama-sama dengan Sekretariat ASEAN.
Agar Indonesia turut memikirkan sikap bersama yang diambil ASEAN terhadap EC Regulation on IUU Fishing tanpa mengorbankan kepentingan Indonesia yang mendukung penerapan EC Regulation tersebut mulai tanggal 1 Januari 2010.