Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 7 June 2020

MALIGNANT CATARRHAL FEVER



A. PENGANTAR

Malignant catarrhal fever (MCF) atau Penyakit Ingusan merupakan penyakit degeneratif dan limfoproliferatif yang bersifat sangat fatal dan menyerang sapi, kerbau, rusa dan beberapa ruminansia liar lainnya. Biasanya penyakit ini bersifat sporadic, meskioun tingkat morbiditas rendah namun tingkat kematian sangat tinggi hingga mencapai 100%. Hewan yang peka terhadap penyakit MCF antara lain berbagai bangsa sapi, kerbau, bison dan beberapa jenis rusa dan babi.

Agen penyebab WA-MCF pertama kali diisolasi dari wildebeest oleh Plowright pada tahun 1960 dan selanjutnya disebut dengan Alcelaphine Herpesvirus-1 (AlHV-1).  Penyakit MCF ditemukan pada sapi yang digembalakan dengan sekawanan wildebeest di Afrika, sehingga disebut wildebeest-associated MCF (WA-MCF).  Wildebeest (Connochaetes) adalah salah satu mamalia herbivora anggota famili Bovidae yang tersebar di savana di pedalaman Afrika Selanjutnya penyakit dengan gejala klinis dan patologis serupa ditemukan di luar Afrika pada sapi yang dipelihara berdekatan dengan domba, sehingga disebut sheep-associated MCF (SA-MCF). 
Hingga saat ini dikenal ada dua bentuk MCF, yakni MCF wildebeest (WA-MCF) dan MCF domba (SA-MCF) yang secara klinis dan patologis tidak dapat dibedakan. WA-MCF terjadi pada saat hewan peka kontak dengan hewan wildebeest (Connochaetes sp) yang membawa virus penyebab penyakit tanpa menunjukkan gejala klnis MCF. Bentuk ini banyak ditemukan di Afrika yang merupakan habitat asli wildebeest dan di beberapa kebun binatang yang memelihara wildebeest. Agen penyebab WA-MCF telah diisolasi dari wildebeest sebagai virus herpes dan sekarang virus tersebut disebut dengan Alcelaphine Herpesvirus-1 (AlHV-1).

Sedangkan SA-MCF adalah bentuk MCF yang terjadi pada hewan peka yang berkontak dengan domba yang secara epidemiologi diketahui sebagai hewan reservoir. Namun Genome virus OVHV-2 ini telah secara lengkap disekuen.  Selanjutnya hasil pengujian biologi molekuler menunjukkan bahwa domba membawa virus penyebab SA-MCF tanpa menunjukkan gejala klinis MCF. Virus penyebab SA-MCF hingga saat ini belum dapat diisolasi, namun berdasarkan sel limfoblastoid yang diisolasi dari kasus SA-MCF virus penyebab MCF disebut sebagai Ovine Herpesvirus-2 (OVHV-2).
Penyakit MCF ini masih menjadi masalah di Indonesia, selain bersifat fatal, MCF juga sporadis dan bahkan mewabah terutama pada sapi Bali yang digembalakan berdekatan dengan domba. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap epidemiologi penyakit dan belum tersedianya vaksin karena agen penyebabnya belum dapat diisolasi.

B. ETIOLOGI

1. SIFAT FISIK DAN KIMIA VIRUS
Tidak ada data yang pasti tentang daya tahan virus pada suhu tertentu tetapi virus sangat labil jika terkena panas matahari dan pada kondisi lingkungan yang kering, akan tetapi virus dapat bertahan sampai 13 hari pada kondisi lingkungan yang lembab dan stabil antara pH 5.5–8.5. Virus akan mati dengan penambahan disinfektan, antara lain sodium hipokhlorite (3%). Cell-associated virus dapat bertahan di luar sel selama 72 jam di luar induk semangnya

2. SIFAT BIOLOGI VIRUS

Ada dua bentuk MCF yang dikenal, yaitu wildebeest associated (WA-MCF) disebabkan oleh Alcelaphine Herpes Virus 1 (AlHV-1) dan sheep associated MCF (SA-MCF) yang belum dapat diisolasi virus penyebabnya. Meskipun demikian, Ovine Herpes Virus-2 (OvHV-2) telah diketahui sebagai virus yang dimaksud.

Bentuk SA-MCF inilah yang terdapat di Indonesia dimana domba dianggap paling berperan sebagai hewan reservoir. Walaupun ada dua bentuk MCF, akan tetapi secara klinis dan patologis kedua bentuk MCF tersebut tidak dapat dibedakan.

Secara klinis MCF terbagi atas bentuk perakut, bentuk intestinal, bentuk kepala dan mata serta bentuk kronis/sub-klinis. Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam, eksudat kental dari mata dan hidung, kekeruhan kornea, diare, dan beberapa manifestasi gejala syaraf.

Gambaran pasca-mati yang umum diketahui adalah pembengkakan limfoglandula superfi sial, petekhi pada trakhea, pneumonia, petekhi pada mukosa abomasum dan kandung kemih serta enteritis.

Secara mikroskopis, peradangan pembuluh darah (vaskulitis) dianggap sebagai ciri yang patognomonik untuk MCF disertai dengan peradangan non-supuratif pada rete mirabile, otak, trakhea, paru-paru, jantung, hati, ginjal, kandung kemih, abomasum, dan usus halus. Dewasa ini, pada saat virus penyebab SAMCF belum dapat diisolasi, konfirmasi diagnosa untuk MCF masih mengacu pada gambaran histopatologisnya.

3. Struktur genome dan klasifikasi virus MCF
Virus AIHV-1 dan OvHV-2 termasuk dalam Genus Rhadinovirus, Subfamily Gammaherpesvirinae.
Hasil sekuen terbaru dari OvHV-2 yang berasal dari large granular lymphocyte (LGL) cell line sapi mengindikasikan bahwa genome tersebut sangat mirip dengan AlHV-1 dan bersifat co-linear dengan rhadinoviruses.
Genome mempunyai segmen unik 130 kbp tersusun dari terminal repeat 1.1 kbp (AlHV-1) atau 4.2 kbp (OvHV-2).

C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan
Penyakit MCF secara umum dapat menyerang sapi dan hewan ungulata lainnya, termasuk bison, rusa dan babi. Urutan kepekaan hewan terhadap MCF berturut-turut adalah sapi Bali, sapi Bali persilangan, kerbau, sapi Ongole  dan sapi Brahman.
Letak geografis kemungkinan juga mempengaruhi terjadinya kasus, misalnya MCF klinik di Mataram dan Banyuwangi lebih tinggi daripada di Denpasar dan Kendari. Seperti halnya pada kasus wabah ini, kasus penyakit lebih sering terjadi pada musim hujan. Disamping itu faktor stres juga dianggap sebagai faktor predisposisi bagi MCF.

2. Sifat Penyakit
Kejadian endemis MCF di Indonesia pernah dilaporkan pada sapi Bali dan rusa (Cervus timorensis) di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur yang terjadi pada saat sekelompok domba dipindahkan pada kelompok sapi Bali dan rusa yang belum pernah kontak dengan domba. Pada saat itu tingkat kematian MCF pada 55 rusa mencapai 65%, sedangkan pada sapi Bali mencapai 20%. Selain itu, wabah MCF pernah pula dilaporkan menyerang sapi Bali yang didatangkan ke daerah transmigrasi di Propinsi Bengkulu yang telah memiliki kelompok domba. Kejadian wabah MCF pada sapi dan kerbau yang dipakai untuk penelitian pernah dilaporkan di Balai Penelitian Ternak (BALITNAK), Balai Penelitian Veteriner (BALITVET) dan sekitarnya di Bogor, pada saat sapi dan kerbau dipelihara di kandang yang berdekatan dengan kandang domba.

3. Cara Penularan
Penularan MCF terjadi terutama karena terjadi kontak langsung antara hewan peka dan reservoir, namun pernah dilaporkan kasus SA-MCF terjadi pada seekor sapi Bali yang dipelihara 100 meter dari kandang domba yang sedang bunting dan beranak. Wabah WA-MCF juga dilaporkan pada sapi yang terpisah 100 meter dari wildebeest.

Namun demikian cara penularan dari domba ke sapi belum diketahui dengan pasti dan kemungkinan besar penularan terjadi melalui sekresi hidung, mata dan vagina. Penularan SA-MCF memiliki pola epidemiologi yang mirip dengan WA-MCF, yakni domba berperan sebagai reservoir virus pada saat penularan penyakit.

Baik AIHV-1 dan OvHV-2 ditularkan melalui kontak atau aerosol. Anak wildebeest memperoleh virus AIHV-1 baik secara vertikal dari induknya (in utero) maupun secara horizontal dari sesama anak wildebeest. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa virus ini dapat diisolasi dari fetus dan darah anak wildebeest umur satu minggu. Penularan diantara wildebeest adalah melalui ekskresi hidung, dimana penularan secara vertikal dan horizontal ini terutama terjadi pada anak wildebeest hingga berumur tiga bulan dan virus bebas pada wildebeest yaitu ditemukan pada cairan mata dan sekresi hidung sedangkan virus DNA OvHV-2 dapat dideteksi pada sampel yang berasal dari saluran pencernaan, pernapasan dan uro-genital domba.

4. Faktor Predisposisi
Faktor yang mempengauruhi terjadinya penyakit yaitu: peranan masing-masing faktor yang mungkin berpengaruh, yaitu jenis bangsa hewan, kepekaan individu hewan, status hewan (stres, infeksi, musim, daerah geografi , kontak dengan hewan karier, strain virus yang berbeda dan lainlain.

5. Distribusi Penyakit
Di Indonesia, penyakit MCF dilaporkan untuk pertama kali pada tahun 1894 di Kediri, Jawa Timur dilaporkan pada tahun 1954. Di Indonesia kejadian MCF sudah mendapat banyak perhatian, karena penyakit ini telah tersebar di hampir seluruh kepulauan di Indonesia. Berkaitan dengan kejadian MCF di Indonesia hingga saat ini terdapat dua kejadian, endemis dan epidemis.

Kejadian endemis lebih banyak dilaporkan daripada epidemis dan pada umumnya terjadi dengan tingkat kejadian yang rendah.  Sedangkan kejadian endemis dengan tingkat kejadian yang tinggi pernah dilaporkan juga di beberapa daerah.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. GEJALA KLINIS

Diagnosa MCF yang dilakukan hanya berdasarkan pada gejala klinis dan pasca-mati kurang tepat karena kasus sub-klinis dapat terjadi.

Bentuk MCF per-akut, intestinal, kepala dan mata, dan kronis/sub-klinis, kesemuanya memberikan hasil patognomonik berupa vaskulitis pada organ tertentu, dengan derajat keparahan lesi yang berbeda. Bentuk SA-MCF inilah yang terdapat di Indonesia, yang dalam hal ini domba dianggap paling berperan sebagai hewan reservoir.

Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam, eksudat kental dari mata dan hidung, kekeruhan kornea, diare, pembengkakan limfoglandula superficial dan beberapa manifestasi gejala syaraf.

2. PERUBAHAN HISTOPATOLOGI

Perubahan histopatologi MCF yang patognomonik adalah vaskulitis (peradangan pada dinding pembuluh darah) yang berupa infi ltrasi limfosit dan makrofag dan terkadang sedikit netrofi l dan sel plasma pada beberapa organ seperti mata, otak, meningen, rete mirabile epidurale, ginjal, hati, kelenjar adrenal dan pada kulit.

Sampel rete mirabile yang dikoleksi untuk uji histopatologi dianggap paling mewakili untuk konfirmasi diagnosa MCF. Selain itu kasus infeksi alam dan infeksi buatan yang didiagnosa sebagai MCF secara histopatologik menunjukkan vaskulitis yang terdapat pada organ-organ selain rete hampir selalu disertai dengan vaskulitis pada rete. Sebaliknya vaskulitis pada rete belum tentu disertai vaskulitis pada organ lain. Hal ini menunjukkan bahwa pada infeksi MCF vaskulitis mula-mula berasal dari rete kemudian menyebar ke organ yang lain. Sampel yang positif didiagnosa sebagai MCF dapat berasal dari hewan yang secara klinik sehat (MCF sub-klinis).

Secara mikroskopis, vaskulitis pada kasus yang parah dinding pembuluh darah dapat mengalami nekrosis dan hipertropi sehingga tejadi obstruksi lumen pembuluh darah yang bersangkutan dan mengganggu sirkulasi darah dari dan ke organ tersebut.

Lesi ringan dan lesi sedang secara histopatologik biasanya menunjukkan hubungan yang erat dengan gejala klinik dan gambaran pasca matinya. Didapatnya variasi lesi secara kualitatif maupun kuantitatif tersebut, merupakan bahan pertimbangan bahwa lesi histopatologik SA-MCF di Indonesia mungkin dipengaruhi oleh daerah geografi , bangsa hewan yang terserang, dan strain virus yang berbeda. Infiltrasi dan proliferasi sel-sel limfosit pada vaskulitis pada MCF terjadi sebelum timbulnya gejala klinik.

3. PATOGENESIS LESI
Patologi Anatomi dan Histopatologi pada MCF sangat berkorelasi satu sama lain sehingga patogenesis penyakit dapat dijelaskan berdasarkan lesi tersebut. Penyakit ditandai dengan masa inkubasi yang bervariasi, respon antibodi yang sangat terbatas dan baik pada WA-MCF maupun SA- MCF, infektifitas pada kedua bentuk MCF tersebut hanya dapat dideteksi dalam sel dan virus tidak pernah ditemukan bebas di luar sel sehingga ini menjelaskan mengapa MCF tidak dapat menular dari hewan yang terserang MCF ke hewan lainnya.

Karena dari rete mirabile epidurale ini keluar cabang-cabang antara lain berupa arteri carotid cerebral dan arteri ophtalmic interna, kiranya sangat beralasan jika infeksi awal yang ditandai vaskulitis pada rete kemudian berkembang menjadi bentuk MCF klinik yang khas berupa meningoensefalitis disertai eksudat mukopurulen dari mata dan hidung. Dinding pembuluh darah yang mengalami vaskulitis akan menebal sehingga terjadi obstruksi lumen yang selanjutnya akan mengganggu sirkulasi darah, terutama ke organ-organ yang mendapat suplai darah dari rete.

Ada beberapa hipotesis yang dianggap paling berperan dalam menimbulkan vaskulitis yang bersifat non supuratif pada MCF, yaitu aksi sitolitik langsung dari virus terhadap jaringan, reaksi imunologi dimana hewan yang terinfeksi menjadi hipersensitif terhadap antigen yang bersangkutan, terbentuknya reaksi immune complex, cell mediated immunity dan bahwa virus MCF menimbulkan disfungsi dari sel-sel yang mengatur mekanisme sistem kekebalan.

Hasil penelitian dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan bahwa DNA virus penyebab SA-MCF dapat dideteksi pada pheripheral blood leucocyite (PBL) dan beberapa sampel organ serta sampel swab hidung, mata dan vagina domba.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut tempat perbanyakan OVHV-2 pada anak domba kemungkinan adalah pada organ turbinat, kornea mata, kelenjar lakrimalis, epitel mukosa hidung, tonsil, soft palate, laring, epitel pipi, lidah, kantung kencing dan limfoglandula. Bahkan virus OVHV-2 dapat dideteksi pada sekresi hidung anak domba yang baru berumur 1 hari. Hasil serupa juga diperoleh pada WA-MCF.

Domba bunting dianggap sebagai hewan pembawa virus SA-MCF, dan bahwa di Indonesia domba dapat beranak 2-3 kali dalam setahun maka diasumsikan mereka secara terus menerus mensekresi virus. Hal inilah yang mendasari gagasan bahwa pemisahan domba dari sapi atau kerbau merupakan satu-satunya kontrol yang terbaik.

4. DIAGNOSA
SA-MCF sampai saat ini masih ditegakkan berdasarkan pada kombinasi data epidemiologi dan gambaran klinilko-patologis penyakit. Untuk WA-MCF diagnosa tentu saja juga dapat dikonfirmasi melalui uji serologi dan isolasi virus AIHV-1.

Perkembangan teknik biologi molekular seperti PCR juga dimanfatkan untuk mendiagnosa MCF, baik pada WA-MCF maupun SA-MCF. Pada WA-MCF isolasi virus dapat dilakukan pada biakan sel sapi/domba yang berasal dari sel dari organ thyroid, ginjal, paru dan limpa.

Keberadaan virus dapat dideteksi dengan pewarnaan imunofluoresen atau imunoperoksidase, neutralisasi virus (VN) atau mikroskop elektron. Selain itu terdapat beberapa uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap AIHV-1 terutama untuk WA-MCF: complement fixation (CF), immunodiffusion (ID), counter immunoelectrophoresis (CIE), indirect immunoperoxidase (IIP). Indirect immunofl uorescence (IIF) dapat mendeteksi respon imun terhadap infeksi virus herpes lain pada sapi, misalnya bovine herpesvirus-1 pada infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine herpesvirus-2 (mammilitis) dan bovine herpesvirus-3 (DN 599, Movar).

Berhubung uji VN pada AIHV-1 sangat memakan waktu maka ada alternatif lain untuk menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan antigen spesifi k yang sudah distandardisasi.

Uji serologi dengan IIF menunjukkan bahwa antibodi terhadap AIHV-1 dapat dideteksi baik pada serum hewan yang terinfeksi WA-MCF maupun SA-MCF serta pada serum dari domba yang bertindak sebagai reservoir.

Meskipun IIF tergolong non-spesifik, hal ini mengarah pada hipotesa bahwa ada virus serupa yang bertanggungjawab pada infeksi WA-MCF maupun SA-MCF, yang dibuktikan oleh melalui Western Blotting dimana sejumlah antigen AIHV-1 dapat dideteksi baik pada serum wildebeest maupun pada serum domba dari kasus SA-MCF.

5. DIAGNOSA BANDING
Perubahan klinis dan patologis MCF yang patognomonik, berupa proliferasi limfoid dan vaskulitis tidak selalu mudah untuk dikonfirmasi secara histopatologis karena variasi lesi yang sangat besar di lapang. Oleh karena itu perlu diperhatikan diagnosa banding terhadap beberapa penyakit yang dapat dikelirukan dengan MCF antara lain rinderpest, haemorrhagic septicaemia, infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine virus diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD), trypanosomiasis (Surra), beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus arbo, dan khusus pada sapi Bali, MCF harus dibedakan dari penyakit Jembrana dan Rama Dewa.

E. PENGENDALIAN
Baik hewan reservoir maupun hewan peka MCF dapat menghasilkan respon antibodi terhadap virus MCF dan fakta ini secara serologis merupakan perangkat diagnosa yang cukup penting yang berguna sebagai data epidemiologi penyakit.

Antibodi yang dapat mengenali antigen AIHV-1 dapat dideteksi pada serum domba karier dan pada sapi yang terserang MCF, ini menandakan bahwa agen yang berperan pada SA-MCF berkaitan erat dengan virus AIHV-1.

Sementara itu, setelah usaha pengembangan vaksin untuk mencegah infeksi MCF tidak membuahkan hasil, maka satu satunya cara untuk pengendalian MCF hanyalah berdasarkan pada pemisahan hewan peka dari hewan reservoir (sapi dipisahkan dari wildebeest dan alcelaphine antelopes untuk WA-MCF dan sapi dipisahkan dari domba untuk SA-MCF).

Hasil sekuensing dari genome virus OvHV-2 yang berupa produksi virus rekombinan AlHV-1 serta usaha uji tantang dengan virus OvHV-2 dan AIHV-1 secara intra-nasal, dapat mengarah ke tahap terpenting dalam pengembangan strategi vaksinasi untuk memproteksi hewan dari serangan MCF.

Screening antibodi dari cDNA expression libraries telah menuju pada pemilihan kandidat antigen baik yang berasal dari AIHV-1 maupun OvHV-2. Kedua studi tersebut mengidentifikasi klone cDNA yang mengkode area C-terminal dari ORF73 yang bersifat antigenik pada domba yang positif mengandung OvHV-2 dan pada kelinci dan wildebeest yang mengandung AIHV-1.


No comments: