Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday 15 October 2019

Pengantar Kesiagaan terhadap African Swine Fever (ASF)

1. PENGANTAR

Penyakit African Swine Fever (ASF) adalah penyakit viral yang menyerang ternak babi dan babi liar (Suidae). Penyakit ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi karena morbiditas yang tinggi (100%), mortalitas yang tinggi (10-100%), bersifat sangat menular, dapat mengganggu stabilitas perdagangan (domestik maupun internasional) karena larangan ekspor-impor dan pelarangan lalu lintas antar daerah di suatu negara, pengendalian penyakit yang harus dilakukan dengan depopulasi karena belum ditemukan vaksin penyakit ini, dan juga menyebabkan epidemi yang terjadi secara terus menerus.

Penyakit ini sangat sulit untuk dikendalikan karena sifat virus ASF yang sangat tahan terhadap lingkungan. Virus ASF dapat bertahan selama beberapa hari di dalam feses, dapat bertahan beberapa bulan di kendang yang terkontaminasi, dapat bertahan sampai 18 bulan di dalam darah, dapat bertahan selama 140 hari di dalam produk olahan daging babi, serta dapat bertahan di dalam karkas selama bertahun-tahun. Penyakit ASF dapat menular secara langsung maupun tidak langsung.

Strategi pencegahan penyakit ini meliputi karantina, biosekuriti peternakan, dan strategi lain yang dapat digunakan untuk meminimalisir risiko penularan penyakit ASF. Rencana kontingensi atau kesiapsiagaan darurat harus meliputi semua kegiatan yang dapat diambil untuk memastikan bahwa penularan penyakit ASF dapat dikenali dan dikendalikan sebelum mencapai fase epidemi, dan untuk memantau kemajuan dalam program eliminasi. Ketiadaan vaksin ASF membuat strategi pengendalian dan pemberantasan penyakit ASF yang paling mungkin adalah depopulasi.


Virus ASF diklasifikasikan dalam Asfivirus, anggota satu-satunya dari family Asfaviridae. ASF juga satu-satunya virus DNA yang ditransmisikan oleh Artropoda. Virulensi isolat virus bervariasi dari rendah hingga tinggi.

Hewan yang peka terhadap penyakit ASF adalah ternak babi dan babi liar (tidak berpengaruh pada umur dan jenis kelamin. seluruh babi liar Afrika rentan terhadap penyakit ini namun tidak menunjukkan gejala klinis, dan dianggap sebagai reservoir penyakit ini. Babi liar Eropa (Sus scrofa) juga terbukti rentan terhadap penyakit ini dengan tingkat fatalitas yang sama dengan babi domestik. Selain itu, babi liar di Amerika Selatan dan Karibia juga mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap penyakit ini. Manusia tidak rentan terhadap penyakit ini.

Penyakit ASF mulai dilaporkan terjadi di Afrika bagian selatan pada tahun 1900-1905 yang selanjutnya menyebar ke Afrika bagian tengah dan utara, terutama negara-negara di sub-sahara. Pada tahun 1957, ASF dilaporkan terjadi di Eropa bagian barat, tepatnya di Portugal yang selanjutnya menyebar ke timur ke Eropa tengah hingga menyebar ke Rusia pada tahun 2008. Pada Agustus 2018, penyakit ini dilaporkan telah menyebar ke China.

Sejak terdeteksinya ASF di China, penyakit ini kemudian ditemukan di Mongolia (Januari 2019), Vietnam (Februari 2019), Kamboja (Maret 2019), Hongkong (SAR-PRC) (Mei 2019), Korea Utara (Mei 2019), Laos (Juni 2019), Myanmar (Agustus 2019), dan yang terbaru adalah Filipina dan Timor Leste (September 2019). Penyakit ini belum dikonfirmasi di Indonesia.


Definisi kasus African Swine Fever (ASF):

1.    Kasus Terduga ASF

Setiap babi yang menunjukkan demam, anoreksia, lesu, kemerahan pada kulit dan kematian dengan tingkat mortalitas diatas 5% atau kematian mendadak di atas 30% tanpa gejala klinis menciri (Sindrom Prioritas DMB).

2.    Kasus Terduga Kuat ASF

Setiap babi yang memenuhi kriteria kasus terduga ASF dan menunjukkan perubahan patologi sebagai berikut:
·       pembengkakan limpoglandula gastrohepatika (gastrohepatic lymph nodes),
·       pembengkakan limpa disertai warna kehitaman dan rapuh

3.    Kasus Telah Dikonfirmasi ASF

Setiap babi yang memenuhi kriteria kasus terduga ASF yang darinya telah diisolasi dan diidentifikasi virus ASF atau padanya telah dideteksi komponen genetik virus ASF dengan metode PCR di Laboratorium yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

·       Mati tanpa gejala klinis(perakut)
·       Demam sampai dengan 42°C
·       Hiperemia atau sianosis ektremitas, terutama telinga dan moncong
·       Hilangnya selera makan
·       Tidak mampu berdiri dan konvulsi
·       Inkoordinasi


Patologi Anatomi

a.  Bentuk akut
·      Pembesaran dan hemoragi limfoglandula yang sering menyerupai pembekuan darah pada limfoglandula gastrohepatik, ginjal, usus halus, dan limfoglandula submandibular,
·      Pembesaran limpa (2-3 kali dari ukuran normal) yang dapat berupa nekrotik, gelap, lunak, dan mudah hancur,
·      Hemoragi pada hampir semua organ, dan sering terlihat membran serosa dan ginjal seperti titik darah, jantung, kandung kemih, paru-paru dan kantung kemih,
·      Udema septa pada paru-paru yang menghasilkan septa interlobular utama,
·      Cairan pada ruangan tubuh.

b.  Bentuk subakut
·      Hemoragi pada limfoglandula dan ginjal,
·      Pembesaran limpa tapi tidak terjadi penyumbatan,
·      Konsolidasi lobular bagian kranial lobus paru-paru,
·      Hemoragi garis intestinal, limfoglandula dan ginjal

c.  Bentuk kronis
·      Pembesaran limfoglandula
·      Peradangan perikardium fibrinosa (pericarditis fibrinous) dan pleurisy
·      Perlekatan lobular pada paru-paru yang dapat berkembang menjadi nekrosis lobular
·      Paru-paru mengecil, keras dan ada nodular putih
·      Radang sendi (arthritis)
·      Ulser kulit (cutaneous ulcers)
·      Kondisi tubuh yang buruk

HISTOPATOLOGI

Nekrosis yang meluas dari jaringan limfatik sangat umum, terutama limfoglandula dengan karioreksis dan dapat disertai dengan pendarahan atau hemoragi. Nekrosis jauh lebih parah dan lebih sering dibandingkan dengan penyakit classical swine fever (CSF). Terjadinya peradangan pembuluh darah atau vasculitis yang disertai dengan degenerasi pada endotelium dan degerasi fibrinoid dari dinding arteri pada semua organ. Terdapat inflamasi pada otak, sumsum tulang belakang (spinal cord) dan syaraf spinal namun tidak disertai nanah, dengan nekrosa pada membran sel mononuclear di sekeliling pembuluh yang terkena.  

Spesimen atau sampel dari hewan yang diduga tertular penyakit ASF harus dikirimkan ke laboratorium Balai Besar Veteriner/ Balai Veteriner untuk konfirmasi diagnosis.
Deteksi dan karakterisasi agen :
·      Uji Real Time PCR, isolasi virus, ELISA antigen, PCR konvensional, sequencing
Uji serologi :
·      Uji ELISA, uji Imunoperoksidase
·      Sampel yang dibutuhkan untuk identifikasi agen
-  Sampel darah dari hewan hidup terduga dengan anti koagulan
-  Jaringan dari hewan mati yang diambil secara aseptis dan tanpa pengawet (tonsil, limpa, limpoglandula dari gastrohepatika dan mesenterika, paru-paru, ginjal, dan usus halus)
·      Uji Serologi: serum darah hewan terduga
·      Uji Histopatologi: berbagai jaringan dalam larutan PBS

Sampel darah dan spesimen jaringan tanpa pengawet harus didinginkan dan ditransportasikan dengan gel beku.
Untuk mendeteksi virus penyebab ASF dapat menggunakan metoda PCR, Isolasi Virus dan ELISA. Untuk karakterisasi virus penyebab ASF menggunakan PCR dilanjutkan DNA Sequencing.  Untuk tujuan serologi menggunakan Uji Imunoperoksidase.

·      Clasical Swine Fever
·      Penyakit Aujeszky’s
·      Erysipelas
·      Salmonellosis
·      Keracunan, termasuk warfarin
·      Pasteurellosis/pneumonia
·      Aborsi, mumifikasi, stillbirths
·      Mulberry heart disease
·      Isoimmune thrombocytopenia purpura
·      Viral encephalomyelitis

RESISTENSI DAN IMMUNITAS

Virus ASF merupakan virus DNA besar yang mengkode 165 gen pada partikel virus yang berlapis yang terdiri atas 50 protein.

Imunitas bawaan

Populasi babi yang belum pernah terpapar virus ASF, termasuk populasi babi Australia, sangat rentan terhadap penyakit ini. Pada populasi babi domestik yang telah terpapar virus ASF mempunyai resistensi yang lebih besar terhadap efek patogenitas dari virulensi virus ini. Resistensi tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor genetik, namun berhubungan dengan faktor epidemiologi di daerah asal babi tersebut. Sekitar 40% populasi babi yang disurvei di Mozambik menunjukkan tingkatan imunitas bawaan yang sangat bervariasi.

Imunitas dapatan

Variasi yang besar pada gejala klinis dan patologis di beberapa wilayah di dunia lebih disebabkan oleh adanya variasi virulensi strain virus yang berbeda, dibandingkan dengan perbedaan status imunitas populasi babi. Hewan yang selamat dari virus ini terlindungi dari ancaman virus yang homolog atau sejenis, namun dapat sangat rentan terhadap ancaman virus yang heterolog.

Virus ASF telat mengembangkan beberapa mekanisme pertahanan yang dapat menghindari respon imun dari inang. Awalnya, virus bereplikasi pada makrofag, dan mengganggu ekspresi gen yang diketahui mempunyai peran dalam merangsang imunitas bawaan dan imunitas yang didapat. Selain itu, beberapa protein virus diketahui berfungsi menghambat respon imun inang.

Walaupun upaya telah dilakukan untuk mengembangkan vaksin yang sesuai, saat ini belum ada vaksin komersial yang dapat digunakan untuk melawan penyakit ASF. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas respon imun terhadap virus ini.

Perlindungan dapat dicapai melalui penggunaan isolat virus dengan virulensi rendah yang didapatkan melalui kultur jaringan, atau melalui penghapusan gen yang diketahui bertanggung jawab pada virulensi selain penggunaan strain virus lapang dengan virulensi rendah. Mekanisme perlindungan diduga melibatkan antibodi dan imunitas yang diperantai sel. Perlindungan parsial pada babi telah terbukti mengikuti transfer antibodi.  

Vaksin inaktif telah berhasil memproduksi respon antibodi, namun tingkat perlindungannya tidak cukup untuk menghadapi paparan virus. Strain virus hidup yang dilemahkan menghasilkan perlindungan yang kuat terhadap virus ASF homolog, namun penggunaannya belum dilakukan karena dianggap belum aman.
Tidak ada pengobatan yang efektif untuk hewan yang terinfeksi. Perawatan paliatif dapat meringankan tanda yang ditimbulkan, namun tidak dapat mencegah penyebaran infeksi dan malah membuat deteksi hewan terinfeksi menjadi semakin sulit.

a.    Tiga tipe siklus ASF:
·      Siklus silvatik: pada celeng/babi liar dan caplak
·      Siklus caplak-babi: pada caplak dan babi domestik
·      Siklus domestik: pada babi domestik dan produk babi

b.    Masa Inkubasi: umumnya 5 - 15 hari, kadang-kadang bisa sampai 20 hari)

c.    Persistensi virus dan cara transmisi
·      Visus bisa hidup pada pH 4 – 10
·    Virus dapat hidup sampai beberapa bulan pada media protein seperti pada daging mentah dan daging beku.
·      Virus ASF dalam kandang yang terkontaminasi bisa bertahan selama 1 bulan
·    Virus bisa diinaktifkan dengan menggunakan Cresol, NaOH 2%, Formalin 1%, Sodium Carbonate 4% (anhidrat) dan 10% (kristal), iodofor, asam fosfor, deterjen non-ionik, pelarut lemak termasuk kloroform.
d.   Transmisi
·     Melalui kontak langsung dengan hewan yang membawa virus. Virus dapat ditularkan melalui semen.
·   Melalui kontak tidak langsung dengan sekresi dan ekskresi (feses dan urine) babi terinfeksi atau produknya. Selain itu juga dapat menular melalui vektor (caplak), pakan, kendaraan, dan alat yang terkontaminasi virus.
e.     Vektor
·  Caplak Ornithodorus spp., Phacochoerus spp., Potamochoerus spp., Hylochoerus meinertzhageni. Namun nyamuk dan lalat yang kontak dengan babi pada masa viremia dapat menjadi penyebar mekanis ASF.

Risiko Masuknya ASF ke Indonesia
Sumber masuknya infeksi ASF di Indonesia yang paling mungkin adalah melalui daging babi dan produk daging babi, bahan genetik babi, dan masuknya babi hidup yang terinfeksi. Risiko paling besar dari masuknya virus ASF ke Indonesia adalah melalui importasi secara ilegal produk babi terkontaminasi seperti daging babi yang diberikan sebagai pakan kepada babi domestik atau termakan oleh babi liar. Inspeksi di perbatasan dan screening untuk produk dilakukan pada pelabuhan, bandara, dan pusat pengiriman barang, akan tetapi penumpang dapat membawa secara ilegal melalui kapal, pesawat atau pusat pengiriman barang. Risiko juga ada dari sampah yang dibuang oleh kapal pesiar. Bahan genetik yang diimpor secara ilegal juga dapat menjadi rute masuknya virus.


No comments: