Antisipasi Penyakit Demam Babi Afrika, Kementan Siapkan Kebijakan Strategis
Kementerian Pertanian melalui Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus berupaya
mengantisipasi potensi penyebaran wabah penyakit hewan Demam Babi Afrika atau
African Swine Fever (ASF) ke Indonesia. Tindakan kewaspadaan dini ASF telah
dimulai sejak adanya notifikasi kejadian wabah ASF di Tiongkok pada September
2018. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis yang meliputi
deteksi cepat, pelaporan sigap dan penanganan tepat. Hal tersebut disampaikan
oleh Dirjen PKH, I Ketut Diarmita saat membuka Rapat Koordinasi Penyakit Hewan
Menular Strategis (PHMS) di Yogyakarta, Senin (14/10/2019).
“Hal yang mengkhawatirkan dari penyebaran penyakit ASF ini
adalah belum ditemukannya vaksin untuk pencegahan penyakit dan virusnya sangat
tahan hidup di lingkungan serta relatif lebih tahan terhadap disinfektan. Hal
tersebut yang menyebabkan penyebaran ASF sulit ditahan dibanyak negara, bahkan
bagi negara-negara maju seperti di kawasan Eropa. Penyakit ini merupakan
ancaman bagi populasi babi di Indonesia yang mencapai kurang lebih 8,5 juta
ekor,” ujar Ketut.
Menurut Ketut, Asia Tenggara dinilai rawan tertular ASF.
Kerugian akibat ASF ini akan dirasakan oleh semua pemangku kepentingan, oleh
karena itu perlu upaya bersama untuk mencegah sedini mungkin, melakukan
kerjasama dengan berbagai pihak terkait, baik di tingkat pemerintah pusat,
pemerintah daerah, stakeholder tekait dan masyarakat.
“Harapannya rapat koordinasi ini menghasilkan kebijakan yang
cepat dan tepat, serta untuk menyamakan pola pandang kita terkait ancaman dan
langkah-langkah strategis yang harus dilakukan untuk mencegah masuk, dan
kemungkinan menyebarnya penyakit ini,” terang Ketut dihadapan peserta rapat
yang berasal dari perwakilan dari Eselon II Lingkup Ditjen PKH, Barantan
Kementan, Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, UPT
lingkup Ditjen PKH, Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan
seluruh Indonesia, PT. Pelabuhan Indonesia, PT. Angkasa Pura, Asosiasi Obat
Hewan (ASOHI), Asosiasi Dokter Hewan Monogastrik Indonesia (ADHMI), Ketua
Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI), Asosiasi Peternak Babi, PRISMA, dan FAO.
Lanjut Ketut menjelaskan bahwa dalam rangka melindungi
sumberdaya kita dari ancaman ASF, diperlukan adanya kebijakan ketat terhadap
importasi babi hidup dan produk-produk daging babi, terutama dari negara-negara
yang tertular ASF. “Saya menyadari bahwa mempertahankan status bebas ASF
merupakan tantangan yang sangat besar, namun kita harus tetap optimis dan
berkontribusi seoptimal mungkin sesuai dengan peran kita masing-masing,
sehingga Indonesia dapat benar-benar tetap bebas dari ancaman ASF” jelasnya.
*Kesiapsiagaan Kementan Menghadapi ASF*
Ketut menyampaikan Kementan telah menyusun pedoman kesiapsiagaan
darurat veteriner ASF (Kiatvetindo ASF), dimana terdapat empat tahapan
pengendalian dan penanggulangan apabila terjadi kasus ASF yakni Tahap
Investigasi, Tahap Siaga, Tahap Operasional, dan Tahap pemulihan. Berdasarkan
kajian analisa risiko, ada beberapa faktor yang menyebabkan masuknya ASF ke
Indonesia diantaranya melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya,
sisa-sisa katering transportasi intersional baik dari laut maupun udara, serta
orang yang terkontaminasi virus ASF dan kontak dengan babi di lingkungannya.
Lanjut Ketut menjelaskan langkah strategis utama dalam mencegah
terjadi ASF adalah melalui penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan babi
yang baik. Ketut juga meminta daerah yang berisiko tinggi untuk dapat segera
dilakukan pengawasan yang ketat dan intensif.
“Penerapan biosekuriti yang benar perlu dipahami oleh seluruh
peternak khususnya peternak babi sehingga menjadi tanggung jawab kita semua
untuk memotivasi peternak dengan memberikan informasi dan edukasi” ungkap Ketut.
Sementara itu, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, Fadjar
Sumping Tjatur Rasa menyampaikan Kementan telah memperkuat penyidikan dan
pengawasan penyakit hewan untuk mengantisipasi penyebaran ASF masuk ke wilayah
Indonesia, dan menegaskan bahwa laboratorium Indonesia sudah siap untuk
pelaksanaan deteksi penyakit ini. “Upaya deteksi cepat melalui kapasitasi
petugas dan penyediaan reagen untuk mendiagnosa ASF ini telah dilakukan oleh
laboratorium Kementan yakni Balai Veteriner dan Balai Besar Veteriner di
seluruh Indonesia yang mampu melakukan uji dengan standar internasional”ungkap
Fadjar.
Pada kesempatan itu, Anak Agung Gde Putra, salah satu anggota
Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesmavet, dan karantina Hewan menyampaikan
pencegahan di negara-negara yang belum terinfeksi dapat dilakukan apabila
petugas dan masyarakat mempunyai pengetahuan yang baik tentang ASF dan
menerapkan manajemen populasi babi liar dengan tepat. Selanjutnya diperlukan
juga koordinasi antar-instansi atau lembaga yang bertanggung jawab atas hewan
ternak serta memperkuat sistem biosekuriti.
“Untuk mencegah masuk dan menyebarnya ASF, diperlukan kebijakan
pemerintah dalam memastikan bahwa tidak ada babi hidup atau olahannya dari
wilayah tertular yang masuk ke wilayah bebas, dan memastikan peternak babi
tidak melakukan pemberian pakan yang bersumber dari sisa-sisa makanan (swill
feed) yang tidak diolah/ dipanaskan terlebih dahulu," pungkasnya.
Sumber : Kementerian Pertanian
No comments:
Post a Comment