I. PENDAHULUAN
Penyakit Jembrana
merupakan penyakit viral yang bersifat menular pada sapi Bali, ditandai dengan
demam, peradangan selaput lendir mulut (stomatitis), pembesaran kelenjar limfe
preskapularis, prefemoralis dan parotid, terkadang disertai keringat darah (blood sweating). Kerugian ekonomi yang
diakibatkan penyakit Jembrana cukup besar karena kematian di daerah baru bisa
mencapai 100% dan dapat mempengaruhi lalu lintas ternak antar pulau. Untuk itu
Pemerintah memandang perlu melakukan pengendalian dan penanggulangan penyakit
Jembrana.
A.
Sejarah Penyakit
Penyakit Jembrana
pertama kali muncul dan mewabah di Desa Sangkar Agung, Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana Provinsi Bali pada tahun 1964. Pada waktu itu penularannya
sangat cepat pada sapi Bali dan kerbau. Dilaporkan lebih dari 26.000 ekor sapi
Bali dan sekitar 5.000 ekor kerbau mati. Berdasarkan tanda klinisnya menciri
pada penyakit Ngorok (Septicemia epizootica/SE), sehingga diobati dengan
menggunakan antibiotika. Kasus kematian pada kerbau dapat dihentikan, sedangkan
pada sapi Bali penyakit masih terus berlanjut sampai dengan tahun 1967.
Setelah kejadian wabah
tersebut beberapa Tim dari beberapa instansi silih berganti melakukan
penelitian untuk mengetahui agen penyebab penyakitnya. Mulai dari Tim Lembaga
Virologi Kehewanan (LVK) Surabaya tahun 1965, Tim FAO bersama Tim LVK tahun
1967 dan Tim Colombo Plan tahun 1969. Meskipun semua tim tersebut belum
berhasil mengidentikasi penyebab penyakit, namun gejala klinis dan patologi
yang mengarah pada Malignant Catarrhal Fever (MCF) kompleks berhasil
digambarkan. Pada tahun 1972 Direktorat Jenderal Peternakan membentuk Tim
Peneliti Gabungan Penyakit Jembrana yang melibatkan FKH IPB. Tim yang dipimpin
oleh Prof. Dr. Suhardjo Hardjosworo dan dibantu oleh Dr. Iwan Budiarso berhasil
mengisolasi agen penyakitnya yang menciri pada Ricketsia. Namun dengan menggunakan
mikroskop elektron tidak mendapatkan gambaran baik dari Ricketsia. Pengamatan
penyakit terus dilanjutkan oleh Tim FAO tahun 1974 – 1982 (Dr.
Harding-Bakteriologist; Dr. Ramachandran-Virologist; Dr. Teuzer-Pathologist.
Dr. Sweatman-Parasitologist serta Dr. Unruh) dibantu oleh Dr.M Malole, Dr.Gde
Sudana dan para staf muda Disease Investigation Centre (DIC) Denpasar.
Pada saat itu, Dr. Ramachandran menyatakan bahwa penyebab penyakit kemungkinan besar adalah virus karena agen penyebab mampu melewati lter 200nm. Gambaran epidemiologi dan histopatologi yang spesik pada paru2 berhasil diungkapkan. Penelitian kemudian terhenti karena proyek FAO berakhir tahun 1982. Pada tahun 1983-1986 dibentuk Unit Penelitian Penyakit Sapi Bali (Bali Cattle Disease Investigation Unit/BCDIU) fase I bekerjasama dengan Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Wilayah VI Denpasar, IFAD (International Funds for Agriculture Development) dan UNDP.
Penelitian dipimpin oleh Prof. Dr. A.A. Ressang dibantu oleh DR. Iwan T.
Budiarsa. Tim menyimpulkan sementara bahwa penyakit Jembrana disebabkan oleh
Erlichia. Sebelum diperoleh hasil yang cukup meyakinkan Prof. Dr. A.A. Ressang
meninggal dunia tahun 1987. Pada tahun 1987-1989 penelitian fase II dipimpin
oleh Prof. DR. Susanto dan Prof. DR. G.E. Wilcox (dari Murdoch University
Australia). Tim menyimpulkan agen penyebab penyakit Jembrana adalah virus yang
masuk dalam grup virus Bunyaviridae. Untuk membuktikan secara pasti, penelitian
dilanjutkan tahun 1989-1992 oleh Tim yang terdiri dari Prof. Dr. G.E. Wilcox,
Dr. Suharsono, Dr. Nining Hartaningsih, Dr. DMN Dharma dan Dr. Gde Kertayadnya.
Akhirnya Tim berkesimpulan bahwa agen penyebab penyakit Jembrana adalah virus
yang masuk dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae (virus penyebab turunnya
daya kekebalan tubuh).
Selain etiologi yang berhasil ditetapkan, gambaran klinis, pathogenesis, imunologis dan epidemiologis penyakitpun berhasil diungkap sehingga kontrol dan penanggulangan penyakit bisa dilakukan. Karena penyakit Jembrana disebabkan oleh virus, maka pilihan utama untuk mencegah penyakit adalah dengan melakukan vaksinasi. Vaksin penyakit Jembrana yang berhasil dibuat tahun 1990 adalah whole inactivated vaccine dengan virus yang dikembangkan pada sapi Bali. Pengembangan vaksin mulai dilakukan pada tahun 1997 – 2000 dengan bantuan proyek dana Riset Unggulan Terpadu (RUT) yang dipimpin oleh Dr.Nining Hartaningsih (BPPV R VI) dan Dr. I Nyoman Mantik Astawa (FKH Udayana) berhasil membuktikan peranan kekebalan selular dalam proses persembuhan.
Penelitian kemudian terhenti karena perubahan politik yang terjadi di tahun 1998. Karena vaksinasi dan metoda diagnosa dianggap sangat penting unuk pencegahan dan deteksi virus, maka Direktorat Jenderal Peternakan (DGLS) bekerja sama dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) melakukan penelitian panjang fase I dan ke II melalui proyek AH/2004/074 yang dimulai dari tahun 2004 hingga tahun 2010.
Fase I proyek dengan nama proyek Large scale production of a vaccine and diagnostic reagents for Jembrana disease in Indonesia yang dipimpin oleh Dr. G.E.Wilcox dan Dr. Nining Hartaningsih melakukan kerjasama penelitian dengan Dra. Endang Trimargawati dan Yudhi Rahmat, S.Si dari laboratorium Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Agus Wiyono (Balai Besar Penelitian Veteriner-BBALITVET) dan Dr. A A Gde Putra, Dr. I Wayan Masa Tenaya dan Dr. NLP Agustini dari Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Denpasar kemudian melakukan serangkaian penelitian pengembangan diagnose tingkat molekuler dan pengembangan vaksin rekombinan penyakit Jembrana.
Fase I menghasilkan banyak penelitian dan publikasi internasional yang dibuat oleh para peneliti baik dari Australia seperti Moira Desport, Stewart dan Detcham serta Dr. Ami Setianingsih dari IPB diantaranya adalah ditemukannya seed sub unit rekombinan virus penyakit Jembrana yang dapat digunakan sebagai vaksin dan antigen untuk Kit diagnostik.
Pada fase ke II kerjasama penelitian dilanjutkan
dengan mengikut sertakan industri vaksin Pusvetma dan Vaksindo yang diharapkan
menghasilkan Kit diagnostik dan vaksin rekombinan. Pada fase ke II ini target
sel dari virus Jembrana (JDV) berhasil diungkap oleh Dr. I Wayan Masa Tenaya
yang memperkuat bahwa penyakit Jembrana adalah penyakit yang menyerang sistim
kekebalan tubuh sekaligus memperjelas gambaran patogenesis penyakit Jembrana.
B.
ETIOLOGI
Penyakit Jembrana
disebabkan oleh Retrovirus, dari anggota group lentivirus yang unik dan disebut
Jembrana disease virus (JDV). Virus ini berbentuk pleomorf, beramplop dengan
materi genetic tersusun atas single stranded Ribonucleic Acid (ss-RNA),
berukuran 80-120 nm. Virus memiliki enzim reverse transkriptase, berkembang
biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding. Virus Jembrana memiliki 4
protein utama (p26, p16, p100 dan p38-42-45). Protein p26 berekasi silang
dengan protein dari Bovine Immunodeciency Virus (BIV). ). Virus Jembrana ini
selain memiliki hubungan antigenik dengan BIV, juga berhubungan dengan group
lentivirus lainnya seperti Human Immunodeciency Virus (HIV), Simian Immunodeciency
Virus (SIV), Feline immunodeciency Virus (FIV), Maedi Visna Virus (MVV),
Caprine Arthritis Encephalitis Virus (CAEV) dan Equine Infectious Anemia Virus
(EIAV).
C.
PATOGENESIS
Penyakit Jembrana adalah penyakit yang menyerang sistim kekebalan tubuh, maka patogenesis penyakit dimulai dari masuknya agen penyakit, masa inkubasi yang ditandai oleh upaya virus memperbanyak diri dalam sel target, gejala klinis dan mati atau kesembuhan. Masa inkubasi berkisar antara 4-7 hari yang diikuti dengan munculnya demam hingga mencapai 41o- 42o C yang berlangsung hingga 5 -12 hari (rata2 7 hari). Pada masa demam akan terjadi penurunan limposit terutama sel limposit B dan trombosit. Akibat penurunan trombosit maka terjadi perdarahan dihampir semua organ tubuh dan bahkan dikulit yang luka akibat gigitan serangga pengisap darah potensial seperti Tabanus sp.
Sebaliknya penurunan sel limposit B yang merupakan sel dalam sistim kekebalan tubuh akan menyebabkan berkembangnya bakteria pada organ2 tubuh yang berhubungan dengan udara luar seperti, paru2, ginjal dan saluran pencernaan. Infeksi sekuder ini menyebabkan terjadinya pneumonitis, nephritis dan enteritis. Akibat peradangan ginjal tersebut maka ureum tidak bisa dibuang dalam urine dan kembali masuk dalam peredaran darah. Kadar ureum yang tinggi (uremia) menyebabkan sel epitel menjadi rapuh dan menyebakan erosi pada selaput lidah dan mukosa mulut. Pada umumnya kematian akibat penyakit Jembrana disebabkan oleh kadar uremia yang sangat tinggi dalam darah. Penjelasan terkini tentang perjalanan penyakit imunologis ini terkait dengan hasil studi immune-pathogensis virus penyakit Jembrana. Teknik double immune-staining membuktikan bahwa memang sel limposit B adalah sel target bagi virus Jembrana.
Menghilangnya sel limposit B selama 2-3 bulan pasca infeksi menyebabkan
kegagalan pembentukan antibodi (kekebalan humoral). Secara eksperimental di
laboratorium, majoritas (80%) hewan yang terinfeksi dapat melewati phase kritis
dan sembuh. Dengan menggunakan teknik ow cytometri analysis diketahui bahwa
memang terjadi penurunan IgG-CC namun diimbangi dengan peningkatan jumlah sel
sel T (CD8+) secara sangat signikan pada saat phase akut tersebut. Kesembuhan
yang terjadi diduga kuat merupakan peran sel T (CD8+). Lebih lanjut, dengan
menggunakan teknik RT-PCR ternyata peningkatan sel T (CD8+) tersebut dibarengi
dengan peningkatan ekspresi gen IFN-gamma suatu zat biologis antiviral. Konrmasi
translasi gen IFN-gamma menjadi protein IFN-gamma juga telah dibuktikan dengan
uji ELISA.
Kebanyakan group
lentivirus mempunyai masa inkubasi yang lama sampai beberapa bulan untuk
menimbulkan gejala klinis seperti HIV, SIV, FIV, MVV, BIV, CAEV dan EIAV).
Namun infeksi oleh virus penyakit Jembrana (VPJ), beberapa strain SIV dan EIAV
cenderung bersifat akut, menimbulkan gejala klinis dengan inkubasi pendek,
sehingga VPJ sering juga disebut sebagai virus lenti yang aneh (an unusual
lentivirus). Di laboratorium, VPJ memerlukan waktu sekitar 7 hari pasca infeksi
untuk menimbulkan sakit dengan tanda klinis terutama demam, pembesaran kelenjar
limpa permukaan, napsu makan turun, kadang-kadang ada keringat darah. Demam
umumnya berlangsung 5-6 hari pada saat mana titer virus di dalam darah
penderita sangat tinggi (Gambar1). Titer virus yang tinggi tersebut berpotensi
ditularkan ke hewan peka lainnya melalui gigitan insek pengisap darah, lewat
jarum suntik atau kontak.
Siklus hidup VPJ
tergolong sangat unik dibandingkan dengan virus lainnya. Mula2 VPJ memasuki
target cells dengan menempelkan dirinya di permukaan sel melalui receptor,
kemudian melepas kulitnya di dalam sitoplasma dan memasukan gen nya yang
disebut cDNA (proviral DNA) kedalam inti sel yang selanjutnya menyatu
(berintegrasi) dengan gen sapi untuk selamanya. Pada saat hewan sembuh, dimana
siklus hidup VPJ sudah berhenti, gen VPJ VPJ tetap berada di dalam target cells
dan status hewan yang sembuh menjadi karier (Gambar 2). Pada suatu keadaan
tubuh hewan karier tidak sehat dan kekebalan humoral mulai menurun, di duga
bahwa cDNA tersebut dapat berubah menjadi virus baru yang aktif dan dapat
menginfeksi hewan peka di sekitarnya. Hal ini di duga kuat bisa menerangkan
mengapa penyakit Jembrana bisa menyebar ke beberapa wilayah.
D. EPIDEMIOLOGI
1.
Sifat Alami Agen
Virus Jembrana peka
terhadap kloroform dan eter serta tahan terhadap sodium deosikolat (1:1000).
Inaktif oleh formalin serta peka terhadap pH yang ekstrim (3.0 dan 12.0). Virus
segera mengalami denaturasi jika dipanaskan pada suhu 55oC selama 15
menit. Agen yang terdapat dalam daging yang dipanaskan pada suhu 22-25oC
masih infektif selama 36 jam atau dalam plasma dengan suhu 4oC
infektif selama 72 jam dan stabil dalam jangka waktu yang lebih lama jika
disimpan pada suhu -70oC.
Virus dalam plasma yang
disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam terjadi penurunan titer dari 108
menjadi 102ID50/ml. Titer dari agen juga menurun jika
dilakukan proses cair beku (freezing and
thawing) yang cepat dari suhu -70oC atau penurunan titer yang
sama jika dibekukan pada suhu -70oC selama 1-2 bulan. Virus Jembrana
hanya dapat ditumbuhkan pada hewan percobaan khususnya sapi Bali. Tidak bisa
tumbuh dan berkembang pada biakan sel primer seperti sel paru, limpa, ginjal,
testis dan otot fetus, sel makrofag dari darah perifer serta Vero (vero-E6 dan
CV1) (African green monkey), embryonic bovine tubinate (EBTI), Mardin Darby bovine kidney (MDBK), HeLa
dan baby hamster kidney (BHK21) serta tidak menimbulkan cytopathogenic efect (CPE). Virus Jembrana dapat dipelihara dalam
biakan sel makrofag sampai 2 kali pasase dan pada sel mononuklear sampai 7, 14
dan 21 pasase.
2.
Spesies Rentan
Hanya bangsa sapi Bali baik jantan maupun betina dari semua kelompok umur, peka terhadap penyakit Jembrana. Pada awal wabah yang terjadi di antara tahun 1964-1975, telah diketahui bahwa sapi Bali bunting lebih peka dari sapi yang tidak bunting. Lebih lanjut diketahui bahwa 49% (25/51) dari hewan bunting dapat mengalami keguguran dan keguguran bisa terjadi pada semua stadium kebuntingan. Sapi Bali yang sembuh dari penyakit Jembrana akan kebal terhadap infeksi ulang, namun secara bersamaan juga akan menjadi karier karena virus Jembrana akan tetap terdeteksi dalam sel limposit dalam waktu lebih dari 2 tahun (mungkin selama hidupnya).
Kerbau, kambing, domba, dan babi meskipun kebal dan tidak
menunjukkan gejala klinis yang nyata, namun mampu membawa virus Jembrana hingga
selama 6 bulan. Hewan percobaan lain seperti marmut, mencit, tikus putih dan
kelinci tahan terhadap penyakit Jembrana. Penyakit Jembrana bersifat akut dan
hewan yang sembuh akan menjadi karier. Pada hewan karier ini, virus Jembrana
akan menyatu dengan gen target limphosit B mungkin selama hidupnya. Sampai saat
ini belum diketahui dengan pasti bagaimana hewan karier ini bisa menjadi sumber
penularan penyakit Jembrana. Diduga apabila sapi Bali dalam keadaan stres,
kemungkinan virus yang ada didalam limposit akan mempunyai kesempatan untuk
memperbanyak diri dan keluar dari limphosit B dan menjadi virus ganas yang
dapat menularkan penyakit Jembrana pada sapi Bali yang peka. Kejadian penyakit
Jembrana pada suatu wilayah cenderung akan bersifat endemis dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih rendah dibandingkan saat kejadian
wabah yang bisa mencapai 100%.
3.
Cara Penularan
Pada saat demam titer
virus penyakit Jembrana dalam darah baik dalam sel maupun plasma darah dapat
mencapai 108 partikel virus/ml. Dalam keadaan seperti ini, maka penularan
melalui jarum suntik dapat dengan mudah dilakukan. Penularan secara mekanis
juga dapat terjadi melalui insekta penghisap darah, seperti lalat Tabanus
rubidus. Disamping penularan secara mekanis, penularan melalui kontak antara
penderita dengan hewan sehat juga terjadi. Secara eksperimental, penyakit
Jembrana dapat ditularkan melalui oral, lubang hidung, konjungtiva mata dan
semen.
4.
Distribusi Penyakit
Penyakit Jembrana hanya dilaporkan terjadi di Indonesia. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali dilaporkan mewabah di Desa Sangkar Agung, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana pada bulan Desember 1964, kemudian dalam waktu 8 bulan (Januari sampai Agustus 1964) penyakit dengan cepat menyebar ke beberapa kabupaten di Bali. Penyakit yang sama juga terjadi di Desa Rama Dewa, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung pada bulan Mei 1976 yang kemudian disebut penyakit Rama Dewa. Selanjutnya juga terjadi pada sapi Rambon (persilangan sapi Bali dan sapi PO) di Kabupaten Banyuwangi provinsi Jawa Timur pada bulan November 1978. Dalam tahun 1978 -1988 kejadian penyakit di Bali bersifat endemik dan tersebar di 26 kecamatan, kecuali kecamatan Nusa Penida Lembongan dan Ceningan yang masih bebas penyakit Jembrana.
Kasus paling banyak terjadi di kabupaten Buleleng,
Tabanan dan Jembrana dan laporan terakhir terjadi di Kabupaten Badung pada
tahun 2005. Pada periode bulan Februari-September 2013, wabah penyakit Jembrana
kembali muncul di Provinsi Riau. Hal ini dinyatakan secara resmi dengan
diterbitkannya surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 180 Tahun 2014 tentang
pernyataan berjangkitnya wabah penyakit Jembrana di Kabupaten Rokan Hilir,
Pelalawan, Kampar, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Bengkalis, Siak dan Kota
Dumai Provinsi Riau. Penyakit ini telah terdeteksi di 10 provinsi meliputi
provinsi Bali, Lampung, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Jawa Timur (Banyuwangi),
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
E.
PENGENALAN PENYAKIT
1.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang
paling menonjol dari penyakit Jembrana ialah demam tinggi, kebengkakan kelenjar
limfe dan mencret (diare) yang sering bercampur dengan darah. Pada penyakit
yang akut, khususnya terjadi pada wabah yang pertama, sapi Bali yang terserang
akan mati secara tiba-tiba tanpa terlihat adanya gejala klinis yang dapat
diamati. Kondisi tubuh sapi yang mati ini pada umumnya masih bagus.
Kematian biasanya tidak
hanya terjadi hanya pada 1 ekor hewan, tetapi terjadi pada sejumlah hewan dalam
waktu yang relatif singkat. Demam tinggi (42oC) merupakan gejala
awal penyakit dan berlangsung selama 5-12 hari (rata-rata 7 hari). Secara
eksperimental masa inkubasi penyakit bervariasi antara 4-12 hari. Kebengkakan
kelenjar limfe (lymphnode/lymphoglandula) yang menonjol terlihat pada daerah
bahu (prescapularis), daerah depan lutut (prefemoralis) dan daerah bawah
telinga (parotis). Mencret sering disertai darah dalam tinja terjadi pada
beberapa hari setelah hewan demam dan atau menjelang kematian.
Gejala lain berupa
keluarnya air liur yang berlebih (hypersalivasi), leleran hidung yang bening,
erosi pada selaput lendir mulut dan bagian bawah lidah, bercak-bercak darah
pada kulit (keringat darah) di daerah punggung dan paha bagian dalam serta
kepucatan pada selaput lendir mulut, mata maupun alat kelamin.
2.
PATOLOGI
a.
Patologi Klinik
Perubahan hematologis
yang ditemukan pada fase demam yang konsisten dan menonjol adalah terjadinya
leukopenia, limfositopenia, trombositopenia, eosinopenia, neutropenia dan
anemia serta menurunnya kadar protein darah (hipoproteinemia).
Trombosit berperan
penting dalam proses pembekuan darah. Rendahnya jumlah trombosit ini
menyebabkan terjadinya keterlambatan proses pembekuan darah, sehingga apabila
sapi yang terserang penyakit Jembrana digigit oleh nyamuk atau lalat penghisap
darah terlihat bercak-bercak darah pada permukaan kulitnya dan disebut sebagai
keringat darah.
Gejala klinis dan pemeriksaan
hematologis seperti diuraikan di atas sangat membantu peneguhan diagnosa di
lapangan. Walaupun demikian, pengamatan secara klinis saja belum cukup, karena
dapat dikelirukan oleh penyakit lain seperti Diare ganas pada sapi ( Bovine
Viral Diarhea/BVD), penyakit Ngorok (Septicemia epizooticae/SE) dan penyakit
ingus (Malignant Catarrhal Fever/MCF). Kedua penyakit yang disebut terakhir
telah lama ada di Indonesia. Pemeriksaan laboratoris, khususnya pemeriksaan
secara histopatologis dan serologis sangat diperlukan untuk membedakan
penyakit-penyakit tersebut.
b.
Perubahan Patologi Anatomis (PA)
Perubahan patologis
anatomis yang dominan ialah perubahan sistem limforetikuler yang ditandai oleh
pembengkakan semua kelenjar limfe (limfadenopati umum), kelenjar haemolymphe
dan pembengkakan limpa (spleenomegali). Pembengkakan kelenjar limfe dimulai
pada hari ke 6 pasca inokulasi (PI), mencapai puncaknya pada hari ke 10 - 15
PI, masih kelihatan pada hari ke 30 PI dan tidak tampak lagi pada hari ke 42
PI. Sedangkan spleenomegali mulai telihat pada hari ke 2 PI, mencapai puncaknya
hari ke 8 - 15 PI, masih terlihat hari ke 42-60 PI.
Disamping itu terjadi
perubahan vaskuler yang ditandai dengan eksudasi dan perdarahan ringan. Pada
fase akut sering terlihat perdarahan berupa petekie dan ekimose pada berbagai
organ terutama saluran pencernaan, limpa, jantung dan ginjal, foki putih
keabuan sering juga terlihat pada korteks ginjal dan jantung .
c.
Perubahan Histopatologis
Pemeriksaan
histopatologi menunjukkan 3 fase perkembangan penyakit Jembrana. Fase inkubasi
yang terjadi pada minggu pertama infeksi, ditandai dengan reaksi limforetikuler
umum yang meliputi kompartemen folikuler dan non-folikuler organ-organ limfoid.
Fase inkubasi dilanjutkan dengan fase akut yang terjadi pada hari ke 8 – 21 PI.
Fase ini ditandai
dengan proliferasi hebat sel-sel limforetikuler pada kompartemen organ-organ
limfoid dan bersama dengan itu terjadi inltrasi dan proliferasi sel-sel
limforetikuler pada organ-organ parenkim seperti ginjal, medula adrenal, hati
dan paru-paru. Perubahan mencolok pada fase ini adalah atro folikel dari organ
limfoid, yang mengindikasikan terjadinya imunosupresi. Pada fase ini kematian
biasanya terjadi akibat uremia karena infeksi sekunder pada ginjal dan juga
pada paru-paru yang ditandai dengan adanya nephritis dan atau pneummonia. Jika
tidak terjadi kematian pada fase akut ini, maka infeksi akan berlanjut ke fase
tiga yang merupakan fase kesembuhan. Fase ini dimulai pada minggu ke 5 PI,
ditandai dengan reaksi folikuler pada organ-organ limfoid dan munculnya kembali
sel-sel plasma (plasmasitosis) pada ’’medullary cords’’ kelenjar limfe dan
kompartemen non-folikuler limpa.
d.
Gambaran Immunopatologis
Teknik imunohistokimia
(IHK) indirek memperlihatkan adanya penurunan ratio sel-sel limfosit,
BoCD4+/BoCD8+ pada kelenjar-kelenjar limfe hewan yang terinfeksi penyakit
Jembrana. Ratio ini dapat dijadikan salah satu indikator terjadinya
imunosupresi. Adanya Imunosupresi ini juga ditandai dengan menghilangnya
’’immunoglobulin containing cells’’ (ICC) yaitu sel plasma yang bertugas
memproduksi immunoglobulin (Ig) tertentu seperti IgG, IgM atau IgA. Pada organ
limfoid pada fase akut penyakit dan peningkatan nyata IgG-CC pada fase
kesembuhan. Menghilangnya IgG-CC ini diperlihatkan dengan tidak terdeteksinya
antibodi Jembrana pada fase akut dan baru muncul setelah 2 bulan pasca infeksi.
Hasil studi terkini
yang terkait sifat immune-pathogenesis virus penyakit Jembrana, dengan
menggunakan teknik double immune-staining diketahui bahwa turunnya jumlah
IgG-CC tersebut adalah karena sel sel tersebut merupakan target cell bagi virus
ini dimana VPJ berkembang biak. Walaupun terjadi kegagalan pembentukan antibodi
(kekebalan humoral) 2-3 bulan pasca infeksi karena IgG-CC terinfeksi, secara laboratorium,
mayoritas (80%) hewan yang terinfeksi dapat melewati phase kritis dan sembuh.
Dengan menggunakan teknik ow cytometri analysis diketahui bahwa memang terjadi
penurunan IgG-CC namun diimbangi dengan peningkatan jumlah sel sel T (CD8+)
secara sangat signikan pada saat phase akut tersebut. Kesembuhan yang terjadi
diduga kuat karena dengan peran sel sel T (CD8+). Lebih lanjut, dengan
menggunakan teknik RT-PCR ternyata peningkatan sel sel T (CD8+) tersebut
dibarengi dengan peningkatan ekspresi gen IFN-gamma suatu zat biologis
antiviral. Konformasi translasi gen IFN-gamma menjadi protein IFN-gamma juga
telah dibuktikan dengan uji ELISA.
3.
Diagnosa Penyakit
Untuk mendiagnosa
penyakit Jembrana ada dua macam pengamatan yang dapat diterapkan, yaitu
(a) pengamatan lapangan
dengan melihat gejala klinis dan patologi penyakit; dan
(b) pengamatan
laboratoris dengan melakukan uji serologis dan uji deteksi antigen/ virus. a.
Pengamatan Gejala Klinis dan Patologis Penyakit.
Diagnosa penyakit
Jembrana dilapangan terutama di daerah tertular akan sangat mudah dilakukan
dengan hanya mengamati gejala klinis seperti demam tinggi, pembengkakan
kelenjar pertahanan bagian luar dan diare berdarah. Apabila hewan penderita
mati, maka dapat dilakukan bedah bangkai untuk mengamati perubahan patologis
berupa pembendungan, perdarahan pada seluruh organ terutama pada organ atau
jaringan limfoid dan pembengkakan limpa. Secara histopatologis pembengkakan dan
pembendungan organ2 limfoid ini diakibatkan oleh adanya proliferasi sel-sel
limforetikular pada jaringan limfoid.
b.
Diagnosa Serologis
Diagnosa serologis
untuk mendeteksi penyakit Jembrana dilakukan dengan beberapa cara:
1.
Indirect Enzyme Linked Immunosorbent
Assay (ELISA)
ELISA merupakan salah
satu uji serologi untuk mendeteksi antibodi. Antigen virus Jembrana yang
dipakai dapat berupa virus utuh (whole virus) yang diperoleh dari plasma darah
sapi yang terinfeksi atau dapat berupa rekombinan protein utama / dominan virus
Jembrana (p26). Antigen virus Jembrana diletakan pada plat mikro, kemudian
direaksi dengan antiserum dari sapi yang diuji. Selanjutnya ditambahkan
kompleks antigen-antibodi direaksikan dengan konjugat anti bovine IgG yang
dilabel enzim tertentu. Perubahan warna akan terjadi pada sampel yang positif
dan kontrol positif setelah penambahan substrat. Mengingat antigen untuk uji
ELISA ini bisa bereaksi silang dengan virus lentivirinae yang lain maka
meskipun sensititas uji ELISA sangat tinggi, namun spesisitasnya rendah.
2.
Western Immunoblotting (WIB)
Uji ini didasari atas
analisis pemisahan protein antigen virus Jembrana berdasarkan berat molekulnya.
Protein virus Jembrana mula-mula dipisahkan dengan menggunakan metode SDS-PAGE,
kemudian protein antigen yang terpisah pada gel ditransanfer pada kertas
selulosa sebagai antigen. Reaksi positif ditunjukan dengan munculnya garis
berwarna pada kertas selulosa tersebut. Uji WIB ini dapat dipakai untuk
membuktikan adanya beberapa protein yang menyusun virus Jembrana.
Protein-protein tersebut antara lain major protein P26 dan P16 dan minor P33,
P45 dan minor glicoprotein (GP 100). Uji western blotting ini dapat digunakan
sebagai KONFIRMASI hasil positif pada uji ELISA karena uji western blotting
jauh lebih sensitif dan spesik dibandingkan dengan uji ELISA.
3.
Immunohistokimia (IHK)
Immunohistokimia ialah
suatu uji yang mirip dengan uji ELISA yang dilakukan untuk mendeteksi agen
penyakit Jembrana pada organ atau jaringan yang berasal dari hewan-hewan yang
terinfeksi. Dengan menggunakan anti serum monoklonal antibodi virus Jembrana,
maka virus Jembrana pada sel-sel jaringan terinfeksi dapat dideteksi dengan
melihat perubahan warna pada sel. Uji ini telah dapat dilakukan untuk
menentukan diagnosa penyakit Jembrana dari organ jaringan yang dikirim dari
lapangan.
4.
Diagnosa Molekuler menggunakan Polymerase
Chain Reaction (PCR)
Immunohistokimia ialah
suatu uji yang mirip dengan uji ELISA yang dilakukan untuk mendeteksi agen
penyakit Jembrana pada Peneguhan diagnosa laboratoris yang lebih sensitif dan
spesik dilakukan dengan uji Polymerase
Chain Reaction (PCR). Prinsip uji ini adalah mendeteksi adanya cDNA virus
penyakit Jembrana dengan menggunakan primer yang spesik (JDV-1 dan JDV-3) yang
diamplikasi dengan mesin PCR. Sampel yang diperlukan dalam uji ini adalah
sel-sel darah putih (lymphocytes), dimana cDNA virus penyakit Jembrana dapat
diisolasi dengan menggunakan Kit DNase yang tersedia di pasaran. Hasil positif
PCR dengan menggunakan pasangan primer tersebut adalah sekitar 360 bp. PCR
merupakan salah satu uji yang dapat mendeteksi hewan terserang penyakit
Jembrana sejak dari 3 hari pasca infeksi, selama fase akut dan 6 bulan pasca
kesembuhan, bahkan mungkin selama hewan karier masih hidup.
Semua protokol uji
serologis dan uji molekuler (PCR) ini dapat dilihat pada Manual Diagnosa
Penyakit yang dibuat olah Sub Direktorat Pengamatan Penyakit Hewan (P2H),
Direktorat Kesehatan Hewan.
5.
Diagnosa Biologis
Diagnosa biologis
dengan cara menyuntikkan darah sapi, plasma dan organ limpa sapi Bali
terinfeksi penyakit Jembrana pada sapi Bali yang peka merupakan metoda diagnose
yang paling tepat. Hampir 100% sapi Bali yang peka tersebut akan menunjukkan gejala
klinis 4-7 hari pasca penyuntikan. Namun metoda ini hanya dapat dilakukan di
reference lab penyakit Jembrana yaitu di BBVET Denpasar, karena harus
menggunakan sapi Bali asal pulau Nusa Penida. Pulau Nusa Penida adalah pulau
diselatan Bali yang sampai saat ini masih bebas dari penyakit Jembrana.
Pengambilan
dan Pengiriman Spesimen
Pengambilan sampel dari
hewan terserang yang masih hidup dapat berupa serum untuk uji serologi dan
darah dengan antikoagulan (Heparin/EDTA) untuk pemeriksaan PCR. Pada hewan yang
mati, sampel dapat berupa limpa, kelenjar limfe, hati, ginjal, otak, paru dan
adrenal. Untuk pemeriksaan histopatologi, organ diawetkan dengan formalin buer
10%. Sedangkan untuk uji PCR, berupa sampel limpa dikirim dalam kondisi segar
dingin. Pengiriman dilakukan secepat mungkin melalui kurir khusus langsung ke
laboratorium.
II.
TUJUAN PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT JEMBRANA
A. Manfaat dilakukan
Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Jembrana
Sapi bali adalah sapi
potong yang merupakan bagian terbesar dari jenis sapi asli Indonesia, dan saat
ini sudah tersebar di 34 daerah propinsi. Populasi Sapi potong di Indonesia
tahun 2012 sekitar 16 juta ekor dan 3,3 juta ekor diantaranya atau 20,6% adalah
sapi Bali.
Sapi Bali memiliki
beberapa keunggulan yaitu : (1) tingkat kesuburan sangat tinggi, (2) merupakan
sapi pekerja yang baik dan esien, (3) dapat mema nfaatkan hijauan yang kurang
bergizi, (4) persentase karkas tinggi, (5) daging rendah lemak subkutan, (6)
heterosis positif (penyimpangan penampilan yang diharapkan dari penggabungan
dua sifat yang dibawa kedua tetuanya) yang tinggi. Sapi Bali merupakan salah
satu jenis sapi potong yang penting dan berperan dalam pengembangan industri
ternak di Indonesia.
Dalam rangka penyebaran
dan perbaikan mutu genetik sapi lokal, sapi Bali menjadi prioritas karena
sifatnya yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang baru (tidak
selektif terhadap pakan) dan tingkat kelahiran yang tinggi. Pemilihan sapi Bali
memberikan keuntungan dalam usaha meningkatkan populasi sapi di Indonesia
karena sapi bali sudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis.
Dengan dikendalikannya
atau dapat dibebaskannya penyakit Jembrana berarti terselamatkannya sapi Bali
yang merupakan salah satu kekayaan plasma nuftah Indonesia dari ancaman
kepunahan akibat penyakit Jembrana.
B.
Dampak Penyakit Jembrana
Dampak negatif penyakit
Jembrana berupa kerugian ekonomi sebagai berikut :
a. Kematian Ternak
Kematian ternak dalam keadaan wabah penyakit Jembrana dapat mencapai 100%.
Misalnya dalam suatu kawasan dengan populasi 1.000 ekor terjadi wabah penyakit
Jembrana, maka diperkirakan terjadi kematian sekitar 1000 ekor. Jika 1 ekor
ternak rata-rata harganya Rp. 10.000.000,-,maka kerugian akibat kematian adalah
1000 x Rp. 10.000.000,- = Rp. 10.000.000.000,- b. Pengaruh terhadap Produksi
Padi.
(a) Ternak yang sakit.
Jika 2/3 bagian dari
jumlah ternak yang sakit adalah ternak yang siap bekerja, berarti ternak yang
sakit atau tidak dapat melaksanakan tugasnya 2/3 x 1.000 ekor = 750 ekor.
(b) Ternak yang mati
Jika 2/3 bagian dari
ternak yang mati adalah sebagai ternak yang siap bekerja, maka jumlah ternak
yang tidak dapat melaksanakan tugasnya.
2/3 x 1.000 ekor = 750
ekor. Jika 1 ekor ternak dapat menggarap 2 hektar lahan, maka lahan yang tidak
dapat dikerjakan adalah = 750 x 2 hektar lahan = 1.500 hektar. Jika tiap hektar
sawah menghasilkan rata-rata 3 ton gabah, maka produksi gabah akan berkurang
1.500 x 3 ton = 4.500 ton gabah. Bila setiap ton gabah harganya Rp. 4.000.000,
maka kerugian Rp 18 milyar.
(c) Penurunan Produksi
Ternak.
(d) Kerugian karena
menurunnya produksi daging.
(e) Kerugian akibat
penutupan daerah.
Jika ternak besar yang
biasa keluar dari daerah wabah sekitar 20% per tahun, berarti ternak yang tidak
bisa keluar adalah 20% dari populasi ternak sapi, jika diberlakukan penutupan
daerah terhadap lalu lintas ternak. Dengan demikian potensi nilai kerugian
akibat penutupan daerah terhadap lalu lintas ternak cukup besar.
III.
KEBIJAKAN PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN
1.
Pengendalian dan Penanggulangan
Pengendalian dan
penanggulangan penyakit Jembrana diprioritaskan pada sapi bali untuk bibit.
Strategi utama yang harus dilakukan adalah dengan vaksinasi dan pengawasan lalu
lintas.
a.
Vaksin Penyakit Jembrana
Vaksin penyakit
Jembrana yang tersedia saat ini adalah Vaksin mati (whole inactivated vaccine) yang dibuat dari limpa yang diemulsikan
dengan adjuvant. Virus diambil dari limpa hewan terinfeksi dan dibuat larutan
dengan konsentrasi tertentu kemudian diinaktifkan dengan Triton X-100 dan
diemulsikan dengan adjuvant. Karena merupakan vaksin mati maka booster sangat
diperlukan untuk meningkatkan kadar kekebalan tubuh dalam darah sekaligus
merangsang sel memori sistim pertahanan tubuh. Vaksinasi harus dilakukan 2x
dengan interval 1 bulan pasca vaksinasi pertama. Karena dalam pembuatan vaksin
jenis ini memerlukan sapi Bali sehat sebagai donor, maka produksi vaksin ini
masih sangat terbatas. Selain itu, keamanan vaksin tidak terjamin karena
kemungkinan adanya ikutan infeksi lain masih bisa terjadi. Untuk mengatasi
kesulitan itu, maka telah dikembangkan jenis vaksin Jembrana lain seperti
rekombinan vaksin yang lebih aman dan bisa diproduksi dalam jumlah besar.
Vaksin ini telah berhasil dikembangkan untuk skala laboratorium, namun untuk
skala yang lebih besar masih terkendala.
b.
Pelaksanaan Vaksinasi
Sapi bali asal daerah
bebas yang akan didistribusikan ke daerah endemis harus divaksinasi 3 hari
sebelum diberangkatkan dan 3-4 minggu sesudah vaksinasi pertama dan dilakukan
di daerah tujuan.
Vaksinasi selanjutnya
mengikuti program vaksinasi di daerah endemis.
Demikian pula sapi bali
yang akan dilalulintaskan dari daerah endemis ke daerah endemis harus dilakukan
vaksinasi. Sedangkan dari daerah endemis ke daerah bebas dilarang dilalulintaskan.
Di daerah endemis, pengendalian dilakukan dengan vaksinasi secara rutin 3 tahun
berturut-turut (pada sapi yang sama). Setiap tahun dilakukan 2 kali vaksinasi
dengan interval 1 bulan.
c.
Pengawasan Lalu-Lintas
Pemasukan sapi Bali
hanya dari daerah bebas penyakit Jembrana yang dilampiri sertikat kesehatan
hewan berdasarkan hasil uji laboratorium terakreditasi. Kemudian dilakukan uji
laboratorium di daerah penerima dengan uji Elisa, jika hasilnya positif,
dilanjutkan dengan uji PCR. Sapi Bali dari daerah endemis yang akan
dilalulintaskan harus dilakukan vaksinasi Jembrana terlebih dahulu. Ternak sapi
Bali harus disertai dengan dokumen kesehatan hewan yang ditanda tangani oleh
dokter hewan berwenang di daerah asal. Dilarang melalu-lintaskan hewan dari
daerah endemis ke daerah bebas. Sedangkan ketentuan lebih lanjut tentang
persyaratan teknis lalu-lintas sapi Bali Bibit dan perlakuan yang diperlukan
sebagai berikut :
2.
Pemberantasan Wabah
Pemberantasan penyakit
Jembrana dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1)
Pernyataan Wabah
Pernyataan wabah
dilakukan dengan mekanisme :
a. Petugas lapangan
melaporkan kejadian wabah kepada kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan
dan kesehatan hewan kabupaten/kota.
b. Kepala Dinas yang
membidangi fungsi peternakan dan/atau kesehatan hewan kabupaten/kota melaporkan
kepada Bupati/Walikota dengan tembusan Kepala Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan provinsi.
c. Kepala Dinas yang
membidangi fungsi peternakan dan/atau kesehatan hewan provinsi melaporkan
kepada Gubernur dengan tembusan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
d. Bupati/Walikota
dan/atau Gubernur melaporkan kepada Menteri Pertanian disertai dengan hasil
diagnosa laboratorium BBVet/BVet.
e. Menteri Pertanian
atas rekomendasi otoritas veteriner nasional menetapkan wabah.
(2) Penutupan Daerah
Wabah
Penutupan daerah wabah
terhadap lalu-lintas ternak (rentan) dan bahan asal ternak dari dan ke daerah
wabah berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah (Gubernur atau
Bupati/Walikota).
(3) Pemberantasan
Vektor
Pemberantasan vektor
penular penyakit dilakukan dengan penyemprotan insektisida pada tubuh hewan
tertular dan kandangnya.
(4) Pengobatan Ternak
Sapi
Untuk mencegah infeksi
sekunder dan memperkuat daya tahan tubuh dilakukan pengobatan dengan
antibiotika dan roboransia (vitamin dan obat penyakit lainnya).
(5) Isolasi Ternak
Sakit
Ternak yang sakit
diisolasi agar tidak bersentuhan dengan ternak yang masih sehat untuk mencegah
terjadinya penularan penyakit.
(6) Pemotongan
Bersyarat
Ternak-ternak yang
dipotong karena penyakit Jembrana diperiksa secara teliti sebelum dipotong
(ante mortem) terutama untuk kemungkinan adanya infeksi ikutan (sekunder) dari
penyakit lain. Disamping itu dilakukan pula pemeriksaan daging (post mortem)
dimana bagian-bagian ternak (daging, jeroan) yang menunjukan perubahan sehingga
tidak layak untuk dikonsumsi dimusnahkan (diafkir).
(7). Pemusnahan
Pemusnahan dilaksanakan
terhadap bangkai ternak yang diduga mati karena penyakit Jembrana dengan jalan
dibakar atau dikubur.
(8). Pelaksanaan
Vaksinasi Massal
Vaksinasi di daerah
wabah dilakukan pada sapi-sapi yang sehat mengikuti prosedur program vaksinasi.
3.
Pencegahan Pada Daerah Terancam/ Ring Vaksinasi
Pada daerah terancam,
terutama ternak sapi Bali dilakukan vaksinasi Jembrana dan penyemprotan
insektisida.
IV.
METODA PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN
A.
Surveilans
Untuk mendiagnosa
penyakit Jembrana ada dua macam pengamatan yang dapat diterapkan, yaitu (a)
pengamatan lapangan dengan melihat gejala klinis dan gambaran patologi
penyakit; dan (b) pengamatan laboratoris dengan melakukan serologis.
B.
Pengawasan Lalu Lintas
Sapi Bali dari daerah
tertular yang akan dilalu lintaskan harus dilakukan vaksinasi Jembrana terlebih
dahulu. Ternak sapi Bali harus disertai dengan dokumen kesehatan hewan yang
ditanda tangani oleh dokter hewan berwenang di daerah asal. Dilarang
melalu-lintaskan hewan dari daerah wabah.
a. Pengamatan gejala
klinis dan patologis penyakit.
b. Diagnosa serologis
Diagnosa serologis
untuk mendeteksi penyakit Jembrana telah dilakukan dengan beberapa cara, antara
lain: (a). Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) (b). Immunohistokimia. (c).
Western immunoblotting (WIB).
C
. Pelaporan dan Respon
Setiap ada kasus
penyakit Jembrana harus segera dilaporkan kepada Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan setempat atau BBVet/BVet Regional setempat yang
tembusannya dikirimkan kepada Direktur Kesehatan Hewan untuk segera diambil
tindakan.
D
. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)
Kegiatan KIE dilakukan
terhadap petani ternak yang berada di daerah terancam terutama yang berbatasan
dengan daerah tertular, terutama mengenai cara-cara pencegahan terhadap
kemungkinan penyebaran wabah penyakit Jembrana. Pemanfaatan media cetak dan
elektronik dilakukan untuk menyebarluaskan informasi tentang ancaman dan/atau
kejadian penyakit Jembrana yang menyerang sapi Bali serta kebijakan maupun pola
pengendalian yang akan dan atau telah dilakukan. Sosialisasi penyakit Jembrana
juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan forum-forum pertemuan/tatap muka
antara masyarakat dan pemangku kepentingan. Kelompok target untuk meningkatkan
kampanye pengendalian dan penanggulangan penyakit Jembrana adalah sebagai
berikut :
· Pemilik dan pemelihara sapi Bali;
· Masyarakat umum;
· Anggota legislatif, eksekutif dan
yudikatif;
· Dunia usaha/ swasta.
V.
ORGANISASI PELAKSANAAN
Organisasi dalam
kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit Jembrana di Indonesia
berpijak pada ketentuan dan peraturan yang berlaku. Kementerian Pertanian
bertanggung jawab dalam segala sesuatu yang menyangkut hewan dan Kementerian
Dalam Negeri yang melakukan pembinaan terhadap koordinasi kegiatan-kegiatan
masyarakat, operasional di lapangan serta menggerakkan partisipasi masyarakat
yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota,
Camat dan Kepala Desa/Lurah).
Kementerian yang
terkait erat dengan tugas pokok ialah Kementerian Perhubungan, serta Komunikasi
dan Informatika. Uraian Tugas Organisasi Pengendalian dan Pengendalian Penyakit
Jembrana sebagai berikut :
A.
Tingkat Pusat
1. Penanggung Jawab
Pusat
(1) Menteri Pertanian
bertanggung jawab dalam segala sesuatu yang menyangkut hewan.
(2). Menteri Dalam
Negeri bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan operasional di
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
2. Pelaksana Pusat
(1) Tim Pengendalian
dan Penanggulangan Penyakit Jembrana Tingkat Pusat dengan susunan sebagai
berikut :
Penanggung Jawab :
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Ketua : Direktur
Kesehatan Hewan
Wakil Ketua : Direktur
Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca Panen
Sekretaris : Kepala Sub
Direktorat Pencegahan Pemberantasan Penyakit Hewan (P3H)
Tim Pengendalian dan
Penanggulangan Penyakit Jembrana Tingkat Pusat mempunyai tugas dan fungsi
sebagai berikut :
a. Mengkoordinasikan
semua kegiatan lintas sektor dari semua unsur terkait secara nasional, mulai
dari perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan/evaluasi.
b. Mengadakan pertemuan
minimal dua kali setiap tahun.
c. Memberikan arah dan
pedoman kegiatan secara nasional.
d. Memantau seluruh
kegiatan pengendalian dan penanggulangan
e. Menyediakan sarana
dan prasarana untuk menunjang kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit
Jembrana secara proporsional.
f. Mengolah data
penyakit Jembrana secara nasional.
(2). Tim Pemantau
Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Jembrana Tingkat Pusat mempunyai tugas
dan fungsi sebagai berikut :
a. Membantu Tim
Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Jembrana Tingkat Pusat dalam
melaksanakan kegiatan dan koordinasi.
b. Memantau seluruh
kegiatan di Indonesia mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil
kegiatan.
c. Pemantauan dilakukan
secara pelaporan administratif dan pemantauan di lapangan.
d. Melaporkan secara
aktif kepada Tim Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Jembrana Tingkat
Pusat mengenai kemajuan dan langkah-langkah kegiatan di Indonesia.
e. Tim Pemantau dalam
melakukan tugasnya dapat menunjuk tenaga lainnya sesuai dengan kebutuhan. F.
Tim Pemantau bertanggungjawab kepada Direktur Kesehatan Hewan.
(3). Pusat Veteriner
Farma (PUSVETMA) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :
a. Memproduksi vaksin
Jembrana.
b. Mendistribusikan
vaksin ke daerah-daerah.
c. Melakukan monitoring
mutu vaksin di lapangan secara sampling.
d. Memproduksi Kit
ELISA Jembrana
(4). Balai Besar
Pengujian Mutu dan Sertikasi Obat Hewan (BBPMSOH) mempunyai tugas dan fungsi
sebagai berikut :
a. Menguji dan
menerbitkan sertikat vaksin Jembrana.
b. Menguji dan
menerbitkan sertikat Kit ELISA
c. Melakukan monitoring
mutu vaksin di lapangan secara sampling.
(5). Balai Besar
Veteriner (BBVet) serta Balai Veteriner (BVet) mempunyai tugas dan fungsi
sebagai berikut :
a. Surveilans
terstruktur untuk menentukan prevalensi penyakit Jembrana.
b. Monitoring titer antibody
yang dilakukan secara sampling pada desa-desa kasus (pre vaksinasi dan post
vaksinasi)
c. Diagnosa
laboratorium dari spesimen
d. Khusus BBVet
Denpasar, selain mempunyai tugas dan fungsi a, b dan c di atas, juga sebagai
Laboratorium Rujukan penyakit Jembrana, serta bersama BBALITVET mempersiapkan
reagensia pendukung (serum referens, monoklonal antibodi dan antigen) untuk
produksi dan pengujian mutu kit ELISA Jembrana produk Pusvetma.
(6). Laboratorium
veteriner daerah mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengamatan, memberikan
informasi dan pengambilan sampel.
B.
Tingkat Daerah
1.
Umum
(1) Membentuk tim
koordinasi pengendalian dan penanggulangan penyakit jembrana.
(2) Mengadakan rapat
koordinasi, untuk menyusun kegiatan Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit
Jembrana sesuai bidang tugas masing-masing di tingkat propinsi, kabupaten/kota
dan kecamatan yang ditindak lanjuti dengan kegiatan di lapangan secara terpadu.
(3) Meningkatkan
intensitas penyuluhan kepada masyarakat secara terpadu melalui Tim Pengendalian
dan Penanggulangan Penyakit Jembrana di Kabupaten/Kota, Kecamatan sampai ke
Desa/Kelurahan dan dusun.
(4) Gubernur
menginstruksikan kepada Bupati/Walikota dan diteruskan secara berjenjang ke
bawah (Camat/ Kepala Desa/ Lurah) untuk memberikan laporan secara berkala
perkembangan hasil kegiatan dan situasi penyakit Jembrana.
(5) Mengalokasikan
anggaran vaksinasi dan operasionalnya serta dana kompensasi untuk test &
slaughter (dalam rangka pembebasan penyakit Jembrana).
(6) Melakukan vaksinasi
dan pengawasan lalu lintas sapi Bali.
(7) Melakukan
monitoring pelaksanaan di lapangan secara intensif, proporsional dan
berkesinambungan.
(8) Melakukan
pencatatan dan pelaporan.
(9) Mendistribusikan
vaksin serta sarana penunjang lainnya dengan memfokuskan pada Daerah Sasaran
Prioritas.
2.
Khusus
(1) Gubernur mempunyai
fungsi dan tugas sebagai berikut :
a. Mengkoordinasikan
perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan di wilayah daerahnya yang
dilaksanakan oleh instansi pusat dan daerah dalam satu kesatuan tindak.
b. Menggerakkan
keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan di
wilayahnya.
(2). Bupati/Walikota,
mempunyai fungsi dan tugas sebagai berikut :
a. Mengkoordinasikan
perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan di wilayah daerahnya dalam
kesatuan tindak.
b. Menggerakkan
keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan di
wilayahnya.
(3) Camat mempunyai
fungsi dan tugas sebagai berikut :
a Mengkoordinasikan
perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan di wilayah daerahnya dalam
satu kesatuan tindak.
b Menggerakkan
keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan di
wilayahnya.
(4) Pusat Kesehatan
Hewan (PUSKESWAN)
a. Melakukan vaksinasi
Jembrana.
b. Melakukan identikasi
ternak terinfeksi penyakit Jembrana.
c Melakukan monitoring
dan surveilans
d. Melakukan pengawasan
pemotongan hewan sakit penyakit Jembrana.
e. Melaporkan hasil
kegiatan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota
(5). Kepala Desa/Lurah,
mempunyai fungsi dan tugas sebagai berikut :
Pelaporan adanya
kejadian kasus penyakit Jembrana ke Camat cq. Petugas Dinas Peternakan
Kabupaten/Kota.
VI.
MONITORING DAN EVALUASI
A.
Monitoring
Monitoring merupakan
unsur penting yang memberi umpan balik bagi tercapainya tujuan dari program
yang akan dicapai, karena dapat memberikan gambaran pelaksanaan suatu kegiatan.
Monitoring dapat mengidentikasi kendala dan permasalahan yang ada dari
kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan dan mendeteksi berbagai kekurangan yang
ada. Berdasarkan hasil monitoring tersebut diharapkan kendala dalam pelaksanaan
kegiatan dapat diidentikasi.
Monitoring berupa
surveilans dilaksanakan secara terintegrasi dan periodik atau sewaktu-waktu
bila dipandang perlu untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan kegiatan
pengendalian dan penanggulangan penyakit Jembrana.
Monitoring di tingkat
pusat dilaksanakan oleh Direktorat Kesehatan Hewan, ditingkat provinsi
dilaksanakan oleh Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan/atau kesehatan
hewan provinsi dan tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas yang
membidangi fungsi peternakan dan/atau kesehatan hewan kabupaten/kota, serta
pada tingkat regional dilaksanakan oleh BBVet/BVet.
B.
Evaluasi
Evaluasi kegiatan
pengendalian dan penanggulangan penyakit Jembrana dimaksudkan untuk mengetahui
pencapaian target, keberhasilan kegiatan dan permasalahannya. Evaluasi
dilaksanakan oleh pusat dan daerah.
VII.
PENUTUP
Dengan disusunnya
pedoman pengendalian dan penanggulangan penyakit Jembrana ini diharapkan dapat memperlancar
pelaksanaan kegiatan, baik di pusat maupun daerah serta pemangku kepentingan
lainnya. Selanjutnya dapat memberikan kontribusi positif terhadap Program
Swasembada Daging Sapi/Kerbau. Disamping itu diharapkan pengembangan populasi
ternak khususnya sapi Bali yang merupakan jenis sapi asli Indonesia atau plasma
nuftah dapat diamankan.
VIII.
DAFTAR PUSTAKA
Barboni P, Thompson I,
Brownlie J, Hartaningsih N, Collins ME.(2001). Evidence for the presence of two
bovine lentiviruses in the cattle population of Bali. Vet Microbiol. Jun
22;80(4):313-27.
Burkala EJ, Narayani I,
Hartaningsih N, Kertayadnya G, Berryman DI, Wilcox GE.(1998 ). Recombinant
Jembrana disease virus proteins as antigens for the detection of antibody to
bovine lentiviruses. J Virol Methods. Sep;74(1):39-46.
Desport M., Stewart ME,
Sheridan CA, Ditcham WG, Setiyaningsih S, Tenaya WM, Hartaningsih N, and Wilcox
GE. (2005). Recombinant Jembrana disease virus gag proteins identify several dierent
antigenic domains but do not facilitate serological dierentiation of JDV and
non-pathogenic bovine lentiviruses. Journal of Virological Methods 124:135-42.
Desport, M., Stewart,
M.E., Mikosza, A.S., Sheridan, C.A., Peterson, S.E., Chavand, O., Hartaningsih,
N. and Wilcox, G.E. (2007) Sequence analysis of Jembrana disease virus strains
reveals a genetically stable lentivirus. Virus Research 126: 233-244.
Desport, M., Ditcham,
W. G., Lewis, J. R., McNab, T. J., Stewart, M. E., Hartaningsih, N. and Wilcox,
G. E. (2009) Analysis of Jembrana disease virus replication dynamics in vivo
reveals strain variation and atypical responses to infection. Virology 386:
320-316.
Ditcham, W. G., Lewis,
J. R., Dobson, R. J., Hartaningsih, N., Wilcox, G. E. and Desport, M. (2009)
Vaccination reduces the viral load and the risk of transmission of Jembrana
disease virus in Bali cattle. Virology 386: 317-324
Hartaningsih N, Dharma
DM, Soeharsono S, Wilcox GE (2001 ). The induction of a protective immunity
against Jembrana disease in cattle by vaccination with inactivated tissue-derived
virus antigens. Vet Immunol Immunopathol. Jan 26;78(2):163-76.
Hartaningsih N, Wilcox
GE, Kertayadnya G, Astawa M. (1994 ). Antibody response to Jembrana disease
virus in Bali cattle. Vet Microbiol. Mar;39(1-2):15-23.
Hartaningsih N, Wilcox
GE, Dharma DM, Soetrisno M. (1993) Distribution of Jembrana disease in cattle
in Indonesia. Vet Microbiol. Dec;38(1-2):23-9.
Kertayadnya G, Wilcox
GE, Soeharsono S, Hartaningsih N, Coelen RJ, Cook RD, Collins ME, Brownlie J
(1993 ). Characteristics of a retrovirus associated with Jembrana disease in
Bali cattle. J Gen Virol. Sep;74 ( Pt 9):1765-78.
Lewis, J., McNab, T.,
Tenaya, M., Hartaningsih, N., Wilcox, G.E. and Desport, M. (2009) Comparison of
immunoassay and real-time PCR methods for the detection of Jembrana disease
virus infection in Bali cattle. Journal of Virological Methods 159: 81-86.
Setiyaningsih, S.,
Desport, M., Stewart, M. E., Hartaningsih, N. and Wilcox, G. E. (2008) Sequence
analysis of mRNA transcripts encoding Jembrana disease virus Tat-1 in vivo.
Virus Research 132: 220-225.
Soeharsono S, Wilcox
GE, Dharma DM, Hartaningsih N, Kertayadnya G, Budiantono A (1955 ). Species dierences
in the reaction of cattle to Jembrana disease virus infection. J Comp Pathol.
May;112(4):391-402.
Soeharsono S, Hartaningsih
N, Soetrisno M, Kertayadnya G, Wilcox GE (1990). Studies of experimental
Jembrana disease in Bali cattle. I. Transmission and persistence of the
infectious agent in ruminants and pigs, and resistance of recovered cattle to
re-infection. J Comp Pathol. 1990 Jul;103(1):49-59.
Soesanto, M.,
Soeharsono, Budiantono, Sulistyana, K., Tenaya, I. W Masa and Wilcox, G.E
(1990). Studies of experimental Jembrana disease in Bali cattle II. Clinical
signs and haemalogical changes. Journal of Comparative Pathology, 103, 61-71.
Stewart ME, Desport M,
Hartaningsih N. and Wilcox GE (2005). Quanti‑cation of Jembrana disease virus
load during the acute phase of in vivo infection determined by TaqMan real-time
RT-PCR and JDVp26 antigen capture ELISA. Journal of Clinical Microbiology 43:
5574-5580.
Stewart, M. E.,
Desport, M., Setiyaningsih, S., Hartaningsih, N. and Wilcox, G. E. (2008)
Analysis of Jembrana disease virus mRNA transcripts produced during acute
infection demonstrates a complex transcription pattern. Virus Research 115:
336-339.
Tenaya, I.W. Masa,
Kathy, Phil Stumbles, Kathy Heel, and Graham E. Wilcox (2012). Flow cytometry
analysis of changes in lymphocyte subsets in Bali cattle experimentally
infected with Jembrana disease virus. Journal of Veterinary Immunology and
Immunopathology 149 (2012) 167-176.
Wareing S, Hartaningsih
N, Wilcox GE, Penhale WJ (1999 ). Evidence for immunosuppression associated
with Jembrana disease virus infection of cattle. Vet Microbiol. Aug
16;68(1-2):179-85.
Whetstone et al.
(1996), Bovine lentivirus infection in Bali cattle following inoculation with
BIV. In "Jembrana disease and the bovine lentiviruses", ACIAR
Proceedings 75.
Wilcox GE, Kertayadnya
G, Hartaningsih N, Dharma DM, Soeharsono S, Robertson T. (1992 ). Evidence for
a viral aetiology of Jembrana disease in Bali cattle. Vet Microbiol.
Nov;33(1-4):367-74.
No comments:
Post a Comment