Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 28 December 2012

Fakta Flu Burung di Vietnam


H5N1 adalah virus influenza (unggas) dengan patogenitas tinggi atau dikenal sebagai Virus Highly Pathogenic Avian  Influenza yang telah menyebabkan wabah penyakit yang serius  dan  kerugian ekonomi di bidang peternakan unggas di beberapa bagian benua  Asia dan tempat-tempat lainnya di dunia.

Vietnam telah memiliki program pengendalian aktif terhadap Avian Influenza H5N1 sejak penyakit tersebut pertama kali dideteksi pada tahun 2003. Program pengendalian ini berhasil dan kasus H5N1 pada unggas dan manusia telah menurun secara progresif dan dramatis—namun demikian masih terdapat  beberapa tantangan. 

Komitmen Vietnam yang kuat untuk melawan HPAI merupakan  faktor utama   di balik keberhasilan pencegahan menyebarnya  penyakit ini. Beberapa donor dan lembaga, termasuk Food and Agriculture Organization (FAO) dari PBB dan World Health Organization (WHO) yang  mendukung Kementerian Pertanian dan Perkembangan Desa (MARD) dan Kementerian Kesehatan sejak wabah HPAI pertama pada tahun 2003, dan masih melanjutkan dukungan tersebut.

A.  Kesehatan Hewan

Virus H5N1 kemungkinan akan terus ada dan menjadi masalah bagi Vietnam serta negara-negara lain; menjadi ancaman bagi industri perunggasan dan ekonomi serta tetap menjadi sumber yang potensial bagi pandemi influenza manusia.

Semua virus influenza berevolusi (mengalami perubahan genetis melalui mutasi dan re-assortment) saat mereka bersirkulasi dalam populasi hewan dan manusia. Ini adalah proses alami dan virus harus terus dimonitor untuk mendeteksi perubahan-perubahan ini.

Virus dikelompokan ke dalam clade berdasarkan kemiripan genetisnya. Ketika mutasi dalam sekuensi genetis virus terakumulasi, perubahan dalam karakter antigenik virus juga bisa terjadi. Virus juga kadang-kadang bisa melakukan re-assort (bertukar gen) dengan virus influenza lainnya, menyebabkan perubahan yang lebih jauh.

Vietnam merupakan daerah endemis H5N1 , dengan adanya wabah-wabah penyakit yang terdeteksi di sejumlah propinsi di seluruh bagian negara pada tahun 2012. Di bagian selatan  Vietnam, hanya terdapat virus clade 1 sejak 2004, mengindikasikan adanya siklus penyakit yang endemis dengan clade spesifik tersebut dan tanpa ada masuknya virus lain  dari daerah atau negara  lain.

Sebaliknya, di Vietnam bagian utara dan tengah , virus clade 2.3.4 yang sebelumnya telah ada  digantikan oleh clade 2.3.2.1 pada tahun 2009. Hal ini menunjukan bahwa masuknya virus baru masih terjadi. Virus yang merupakan bagian dari clade 2.3.2.1 telah dideteksi di banyak negara di Asia, Timur Tengah dan Eropa.

Pola masuk  dan munculnya clade  atau varian baru tetap berlanjut. Pada tahun 2011, varian baru H5N1 clade 2.3.2.1 telah dideteksi dan virus ini menyebabkan kekhawatiran karena vaksin unggas yang tersedia memberikan tingkat proteksi yang lemah terhadap virus ini. Kejadian serupa terjadi di tahun 2012 dengan  munculnya satu  varian lagi. Sampai dengan  September 2012, setidaknya tiga varian virus H5N1 yang berbeda menyebabkan penyakit pada unggas.

Pemerintah Vietnam, melalui program pengendalian H5N1, telah mendeteksi strain virus baru sebagai hasil dari pelaporan wabah  serta monitoring virus di laboratorium. Pengetahuan yang terinci mengenai virus yang ada saat ini adalah hasil dari program monitoring.

Uji coba dilakukan oleh Departemen Kesehatan Hewan, dengan dukungan FAO yang secara berkelanjutan melakukan pengujian efikasi vaksin terhadap munculnya strain virus baru. Pada September 2012, sebuah uji coba vaksin dilaksanakan untuk menguji vaksin H5N1 yang baru terhadap varian kedua 2.3.2.1 yang ditemukan dua bulan sebelumnya. Saat ini sudah diperoleh informasi dari penelitian tersebut mengenai efektifitas vaksin terhadap virus baru dimaksud.

Ada dua alasan utama munculnya perubahan Clade virus H5N1 secara berkelanjutan di Vietnam yaitu -- perdagangan unggas dengan negara tetangga dan sirkulasi virus pada itik tua, umumnya layer, yang dapat terserang  namun tidak menunjukan gejala klinis.  Selain itu, burung liar juga diketahui dapat membawa virus influenza, tetapi  virus H5N1  clade 2.3.2.1 belum dideteksi  pada burung liar di Vietnam sejauh ini.

Belum ada solusi untuk menurunkan ancaman dari strain baru virus ini. Tindakan pengendalian harus terus difokuskan untuk mengurangi penyebaran virus- baik terhadap unggas lain maupun manusia. Jalur penyebaran utama untuk virus ini adalah unggas hidup, sehingga penyebaran antarunggas di peternakan, antar peternakan, atau pasar ke peternakan, dan juga melalui materi dan peralatan yang terkontaminasi, seperti keranjang telur, kandang, kotoran, bulu, kendaraan dan pakaian tercemar menyebabkan virus kontak dengan unggas.

Untuk mengurangi ancaman penularan H5N1 yang muncul akibat strain virus yang sudah ada atau yang baru (varian baru), maka jalur penularan penyakit harus diputus. Ini bisa dilakukan melalui beberapa perubahan taktis dalam sistem produksi unggas dengan melakukan cara produksi yang aman.

Perubahan ini harus dilakukan di  peternakan, oleh pedagang, dan di pasar, serta rumah potong. Pemerintah telah  melakukan investasi dengan membuat fasilitas baru, melatih staf dan mempromosikan perubahan perilaku bagi produsen unggas serta pengelolanya.

H5N1 adalah agen penyakit yang telah menyebar melalui lintas batas , tanpa terkecuali di  Vietnam. Vietnam memiliki hubungan dagang dengan negara tetangga dan perdagangan unggas-baik secara resmi maupun tidak resmi-di perbatasan telah diketahui sebagai penyebab masuknya penyakit atau strain baru  ke dalam suatu negara.

Tindakan-tindakan dan rekomendasi berikut ini sebaiknya dibuat bagi produsen dan  peternak  unggas.
- Pisahkan unggas Anda dari unggas tetangga/peternak lain.
-  Saat masuk/meninggalkan  area unggas, selalu:
  > mengganti sepatu/alas kaki
         > memakai pakaian pelindung/mengganti pakaian
 > cuci tangan sebelum dan sesudah menangani unggas
-  Jangan biarkan pengunjung/pedagang/pembeli masuk ke dalam  area unggas anda
-  Pengiriman pakan sebaiknya dilakukan di luar area unggas
- Gunakan keranjang  telur yang bisa dibersihkan dan didesinfeksi serta lakukan tindakan-tindakan ini pada  keranjang telur daur ulang
- Hanya membeli unggas baru (replacement) dari peternakan yang sudah dikenal dan berkualitas tinggi dan pisahkan dari flok lama  selama dua minggu untuk mengetahui apakah ayam baru tersebut sehat atau tidak
- Segera laporkan kematian yang tidak wajar atau masalah kesehatan lainnya kepada pihak yang berwenang
-  Pedagang, pasar dan rumah potong harus meningkatkan kebersihan dan biosekuriti dengan mengikuti beberapa prinsip berikut:
    > Melakukan pembersihan harian secara rutin
    > Buang semua kotoran dan kontaminan dengan mencuci peralatan, kandang dan perlengkapan
    > Setelah peralatan, kandang dan perlengkapan dicuci maka rendamlah dalam desinfektan
-  Hubungi staf veteriner setempat untuk saran yang lebih rinci  mengenai pembersihan dan desinfeksi  pasar dan tempat-tempat lain di mana unggas dari berbagai sumber berkumpul.
- Unggas hidup di pasar/pedagang atau rumah potong tidak boleh dibiarkan  kembali lagi ke peternakan.

B.  Kesehatan manusia

Penularan  Highly Pathogenic Avian Influenza (H5N1) pada manusia, pada umumnya disebabkan oleh penularan dari unggas ke manusia yang sifatnya jarang  dan  sporadis, yang umumnya terjadi di daerah yang sirkulasi virusnya endemis pada unggas. Sebagian besar kasus penularan H5N1 pada manusia diasosiasikan dengan kontak langsung ataupun tidak langsung dengan unggas yang tertular, baik yang hidup atau mati.

Sejak awal 2012, Vietnam telah melaporkan 4 kasus manusia yang dikonfirmasi sebagai infeksi influenza A (H5N1), dua di antaranya menyebabkan kematian.

Kasus H5N1 pada manusia terakhir di Vietnam dilaporkan pada Februari 2012.

Virus Influenza secara umum sulit diperkirakan karena virus berkembang dan sering berubah (re-assort). Namun saat ini tidak ada bukti bahwa clade atau strain tertentu dari H5N1, termasuk clade yang baru-baru ini berkembang, lebih mudah menular atau memiliki tingkat virulensi yang lebih tinggi pada manusia. Tidak ada indikasi bahwa clade 2.3.2.1 memiliki ancaman yang lebih besar terhadap kesehatan manusia daripada varian H5N1 lainnya.

Tindakan-tindakan dan rekomendasi berikut ini  sebaiknya disarankan kepada publik:
   > Jangan membeli, menjual, memotong atau mengkonsumsi unggas yang menunjukan tanda-tanda penyakit, atau mati karena sakit
   > Pastikan semua produk unggas dimasak dengan baik sebelum dikonsumsi
   > Hindari kontak dengan unggas sakit atau mati
   > Cuci tangan dengan sabun dan air setelah kontak dengan unggas
   > Segera laporkan unggas sakit atau mati pada otoritas veteriner  serta otoritas local yang terkait
   > Jika ada penyakit yang dicurigai setelah kontak dengan unggas, segera cari pertolongan medis

Thursday, 20 December 2012

Kementan Larang Pedagang Jual Unggas Sakit


Untuk mencegah efek negatif yang ditimbulkan virus avian influenza (AI) pada itik, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian mengimbau para pedagang untuk tidak memperjual-belikan itik/unggas sakit.

Demikian disampaikan Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Pudjiatmoko kepada wartawan di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta (13/12/2012). "Tentu kita larang itik yang terkena virus dijual. Sebisa mungkin itik/unggas yang benar-benar kondisinya sehat dan berasal dari peternakan yang sehat," kata Pudjiatmoko.

Menurutnya, jika memang ditemukan ada ternak itik/unggas yang sakit/mati mendadak kepada pemilik itik/unggas tersebut harus segera melaporkan kasusnya ke dinas setempat. Selain itu juga harus bersedia dilakukan depopulasi/dimusnahkan terbatas untuk selanjutnya dikubur dan dibakar dengan diikuti pembersihan dan desinfeksi. "Kita anjurkan depopulasi secara terbatas. Sehingga virusnya tidak menyebar," ujar Pudjiatmoko.Terkait virus AI yang menyerang unggas tersebut, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan juga telah melaporkan kasus baru ini ke Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada 10 Desember. 2012. Saat ini sedang dalam proses mendaftarkan genetik virus AI pada itik di Indonesia ke Gene Bank, agar dapat diakses informasinya untuk kepentingan ilmiah internasional.

Sumber:

Identifikasi Virus AI pada Itik ckade 2.3.2 di Indonesia

INVESTIGASI WABAH  PENYAKIT PADA ITIK DI JAWA TENGAH, YOGYAKARTA, DAN JAWA TIMUR : IDENTIFIKASI SEBUAH CLADE BARU VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 DI INDONESIA

ABSTARCT

The Eurasian lineage of H5N1 viruses continue to cause highly pathogenic avian influenza (HPAI) in poultry in some countries in Asia and Africa. In Indonesia, H5N1 clade 2.1 viruses have been known to cause all H5N1 HPAI outbreaks in which 2.1.3 clade viruses have predominantly circulated in poultry in this country since 2005. Most H5N1 HPAI outbreak occurs in chickens, whereas outbreak in other avian species including ducks is rare. However, between September and November 2012, several disease outbreaks were reported from duck farms in three provinces in Java (Central Java, Yogyakarta and East Java) with high morbidity and mortality seen in ducks. The majority of disease cases found in young ducks, but in some occasions, adult ducks were also affected. Neurological signs, whitish eye and death were the main clinical signs in young ducks, while reduced in egg production were frequently observed in affected laying ducks. Histopathology showed acute necrotic to chronic non-suppurative encephalitis and perivascular cuffing in dead or severe infected ducks. Immunohistochemistry result showed H5N1 viral antigen detected mainly in brain.  H5N1 virus was successfully isolated either from tissues, oropharyngeal and cloacal swabs or from feather samples. Avian influenza subtype H5 viral RNA was detected by real-time reverse transcription PCR. Phylogenetic analysis of hemagglutinin sequences of seven H5N1 virus isolates indicated that these isolates belong to clade 2.3.2, a H5N1 sublineage that previously has not been detected in Indonesia. Further analysis should be done to investigate whether the emergence of this virus in Indonesia is due to new H5N1 viral introduction or to mutation processes occurring in poultry. In addition, another study is necessary to assess the pathogenecity of the virus in ducks and other poultry, including chickens.

PENDAHULUAN

Penyakit highly pathogenic avian influenza (HPAI) yang disebabkan oleh virus avian influenza subtipe H5N1 diidentifikasi pada unggas sejak tahun 2003 (Dharmayanti et al., 2004; Wiyono et al., 2004). Menurut klasifikasi WHO/OIE/FAO, semua virus H5N1 yang diisolasi dari unggas dan manusia di Indonesia termasuk dalam clade 2.1. Virus H5N1 yang predominan ditemu-kan sejak tahun 2005 sampai saat ini ber-asal dari clade 2.1.3 (2.1.3.1, 2.1.3.2, dan 2.1.3.3). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi virus-virus H5N1 clade 2.1 pada golongan ayam (gallinaceous) seperti ayam layer, ayam broiler, ayam kampung bersifat sangat pathogen, menyebabkan sakit perakut dan kematian dalam jumlah tinggi, sedangkan itik dan unggas air lainnya relatif lebih tahan terhadap infeksi virus-virus ini (Bingham et al., 2009 ; Swayne, 2007; Wibawa et al., 2012). Hasil-hasil studi ini sesuai dengan hasil investigasi BBVet/BPPV dan beberapa sur-vei epidemiologi dan epidemiologi molekuler yang menunjukkan bahwa tingkat prevalensi virus H5N1 clade 2.1 pada itik dan unggas air lainnya di Indonesia sangat rendah dibandingkan prevalensi virus pada ayam (Henning et al., 2010; Wibawa et al., 2011; Loth et al., 2011). Pada bulan September-November 2012 dilaporkan terjadinya kasus kematian yang cukup tinggi pada itik di daerah Jawa Tengah, DI Jogjakarta dan Jawa Timur.  Balai Besar Veteriner Wates (BBVet Wates) melakukan invesitigasi di lapang dan melakukan pengambilan sampel guna mengidentifikasi agen penyebab dari kematian itik tersebut. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi agen penyebab dari penyakit infeksius yang bersifat patogen terhadap itik. 

MATERI DAN METODE

1. Penyidikan Kasus Penyakit

Penyidikan penyakit dilakukan dengan kegiatan aktif dimana tim BBVet Wates melakukan respon secara aktif, berdasarkan laporan dari peternak maupun dinas, untuk melakukan investigasi langsung di lokasi terjadinya kasus. Selain aktif servis juga dengan pasif servis yaitu mengevaluasi sampel kiriman dinas maupun perorangan (peternak), serta dengan kegiatan semi aktif/pasif dimana sampel diambil pada saat tim BBVet Wates mela-kukan kegiatan aktif servis pada kegiatan monitoring atau surveilan penyakit hewan yang lain. Investigasi kasus penyakit di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur dilakukan dari bulan September-November 2012 menindaklanjuti beberapa laporan kematian itik di beberapa kabupaten di ketiga propinsi tersebut. Kronologi kasus penyakit dijabarkan dalam Tabel 1.
Keterangan :     Mortalitas dihitung berdasarkan jumlah kematian itik pada total populasi dalam sebuah peternakan, tc: tidak ada catatan karena berdasarkan laporan informal peternak, td: tidak dilakukan.
Beberapa informasi dari peternak juga menyebutkan bahwa wabah kematian itik juga terjadi di beberapa kabupaten di Jawa Tengah diantaranya Boyolali, Pati dan Rembang.  Berdasarkan hasil investigasi di lapangan dan laporan kematian dari pengantar sampel itik diperoleh data bahwa rata-rata kematian itik adalah 39,3% dengan prosentase terendah 8,3% dan kematian tertinggi mencapai 100,0%. 

2. Uji Laboratorium

Pengujian laboratorium dilakukan di BBVet Wates untuk mengetahui agen utama penyakit yang menyebabkan kasus kematian pada itik. Beberapa pengujian dilakukan antara lain dengan uji bedah bangkai, Rapid Test AI, histopatologi, imunohistokimia, isolasi virus, konvensional polymerase chain reaction (PCR) untuk deteksi ND virus, realtime reverse transcription PCR (RT-PCR)  untuk deteksi influenza virus ti-pe A dan subtipe H5 virus, kultur bakteri, dan uji serologi (titer AI dan ND).

 Selain pengujian di laboratorium BBVet Wates, juga dilakukan uji sekuensing DNA untuk mengetahui urutan nukleotida (asam nukleat) yang menyusun gen hemagglutinin (HA) influenza A virus dari sampel-sampel yang positif berdasarkan hasil isolasi virus H5N1 dan RT-PCR subtipe H5. Dari beberapa sample yang positif, sebanyak 3-7 sampel dikirim ke sequencing lab partner, yaitu Pusat Veterinaria Farma (3 sampel itik), Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor (3 sampel), Balai Besar Pengujian dan Sertifikasi Obat Hewan Bogor (7 sampel) dan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional II Bukittinggi (7 sampel). Sampel itik No.1-3, dikirim kepada semua sequencing lab partner, sedangkan No. 4-7 dikirim ke BBPMSOH dan BPPV II Bukittinggi. Detil penaamaan isolat-isolat virus H5N1 dari itik seperti di bawah ini :
No. 1 : A/duck/Sukoharjo/BBVW-1428-9/2012
No. 2 : A/duck/Bantul/BBVW-1443-9/2012
No. 3 : A/duck/Sleman/BBVW-1463-10/2012
No. 4 : A/duck/Wonogiri/BBVW-1730-11/2012
No. 5 : A/duck/Blitar/BBVW-1731-11/2012
No. 6 : A/duck/Tegal/BBVW-1727-11/2012
No. 7: A/muscovy duck/Tegal/BBVW-1732-11/2012

Sekuensing DNA dilakukan dengan standard operation procedure (SOP) dari Australian Animal Health Laboratory (AAHL), Geelong Australia, menggunakan empat pasangan primer spesifik yang telah didesain oleh AAHL (AAHL, 2008). Primer-primer ini didesain untuk mensekuen keseluruhan fragment gen HA sehingga da-pat diperoleh full open reading frame (ORF) gen ini (AAHL, 2008).

3. Analisis sekuen dan filogenetik

 DNASTAR Lasergene 8.0 software digunakan untuk assembly dan editing sekuen-sekuen HA gen. Multiple alignment dilakukan dengan menggunakan program ClustalW dalam software Bioedit (Hall, 1999). Konstruksi filogenetik dilakukan dalam MEGA 4 software (Tamura et al., 2007) dengan metode Neighbour Joining (NJ) tree menggunakan 1000 bootstrap replikasi dan Tamura-Nei93 (TN93) untuk model substitusi nucleotide. Analisis jarak pasangan nukelotida dilakukan dengan p-distance model dengan 1000 bootsrap replikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian laboratorium

Untuk mengetahui kemungkinan penyebab wabah kematian itik telah dilakukan pemeriksaan dan pengujian di laboratorium baik dengan uji cepat (Rapid Test) untuk AI, pemeriksaan secara klinis, patologis anatomis, histopatologis, imunohistokimia dan pengujian secara serologis, bakteriologis, virologi dan biologi molekular dengan realtime RT-PCR menggunakan primer dan probe spesifik yang mengidentifikasi AI subtipe H5. Hasil pengujian virologi dan molekular biologi secara khusus disajikan dalam Table 2. 
 
Pada pemeriksaan secara klinis terhadap itik yang sakit, terlihat bahwa itik yang sakit menunjukkan gejala klinis syaraf seperti tortikolis (Gambar 1), tremor, kesulitan berdiri, kehilangan keseimbangan saat berjalan dan pada kasus parah disertai kematian. Hasil bedah bangkai tidak ditemukan perubahan yang spesifik kecuali adanya kornea mata yang keputihan baik unilateral maupun bilateral (Gambar 2), garis-garis keputihan pada otot jantung yang bervariasi dari ringan sampai berat serta adanya kongesti pada pembuluh darah dan malasea (nekrosis) pada otak dengan variasi dari ringan sampai berat.
 
Pemeriksaan histopatologis menunjukkan adanya infiltrasi limfosit dalam jumlah yang tinggi pada otot jantung. Pada otak terjadi peradangan akut multifocal nekrosis dan pada kasus yang lebih khronis terjadi infiltrasi limfosit pada otak (Gambar 3) yang diikuti oleh adanya peradangan perivaskular cuffing ringan sampai berat. Pada pewarnaan dengan metode imunohistokimia dengan menggunakan antibodi AI H5N1 ditemukan adanya antigen virus pada sel-sel neuron otak (Gambar 4). 

Perubahan histopatologis dan hasil imunohistokimia ini mirip dengan pengamatan pada pada perubahan mikroskopis pada itik-itik eksperimen yang diinfeksi oleh isolat virus H5N1 dari clade 1 atau 2.1 (Bingham et al., 2009; Wibawa et al., 2012). Tetapi virus-virus H5N1 yang diisolasi dari kasus itik baru-baru ini terlihat memiliki tingkat keparahan lesi yang lebih tinggi dibanding infeksi yang ditimbulkan virus-virus dari clade 2.1. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana pathogenesitas isolat-isolat baru ini pada spesies unggas yang berbeda, terutama ayam dan itik.

Pada pemeriksaan kultur bakteri dari mata, cairan mata, otak, jantung dan hati semua hasilnya negatif jamur dan bakteri pathogen. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan permasalahan kematian pada itik bukan disebabkan oleh infeksi penyakit bakteri maupun jamur. Pada uji secara serologis, dari 28 sampel serum itik yang diuji ditemukan 8 sampel (28,6%) positif antibody AI H5 dan 12 sampel (42,9%) positif antibody ND. Dengan adanya titer antibodi baik AI maupun ND pada serum itik, hal ini menunjukkan bahwa itik kemung-kinan pernah divaksin atau pernah terserang penyakit AI atau ND lapangan. Dari data hasil uji isolasi virus  ditemukan 1 kasus positif ND (sampel dari LDCC), 10 positif AI, 1 negatif isolasi  dan sisanya 5 kasus masih dalam proses isolasi virus (Tabel 2). Untuk isolat virus ND, uji coba telah dilakukan dengan menyuntikkan isolat virus yang bersangkutan pada itik se-cara intra vena, namun demikian setelah 3 minggu itik tidak mati dan timbul antibodi ND dengan titer yang cukup tinggi (titer HI 25). Hasil ini mengidikasikan bahwa isolat virus ND yang ditemukan bukan penyebab wabah kematian itik. Pada pemeriksaan dengan metode PCR, dari 17 kasus itik, 11 kasus dilakukan uji PCR dan diperoleh data sebagai berikut: 9 sampel positif H5 viral RNA, 9 negatif ND viral RNA, satu sampel yang negatif baik H5 maupun ND, dan satu sisanya masih dalam proses pengujian (Tabel 2). Hasil pengujian molekular ini memperkuat dugaan penyebab wabah kematian yang terjadi pada itik adalah virus AI subtipe H5.

Analisis Sekuen dan Filogenetik Gen Hemagglutinin

Hasil sekuen DNA menunjukkan bahwa ORF dari gen HA dari virus ini adalah 1707 pasangan basa (base pairs) dan ini mengkode 569 asam amino dari HA protein. Ketujuh isolat memiliki kesamaan genetik yang tinggi, yaitu 99% baik itu pada tingkat kesamaan genetik nucleotida maupun asam amino. Hasil analisis Basic Local Alignment Search Tools (BLAST) di Genbank dan jarak genetik menggunakan Mega 4 Software (Tamura et al., 2007) menunjukkan bahwa ketujuh isolat-isolat H5N1 itik ini memiliki tingkat homologi sebesar 97-98% dengan virus-virus H5N1 clade 2.3.2.1. Sebaliknya, berdasarkan,  tingkat homologi dengan virus-virus dari clade 2.1 rendah sekitar 91-93%. Hasil ini mengindikasikan bahwa isolat-isolat H5N1 dari itik ini bukan berasal dari Indonesian clade 2.1.

Analisis sekuen HA protein menunjukkan bahwa ketujuh isolat itik memiliki motif sekuen asam amino basic yang berulang daerah tapak pemotongan enzim protease (proteolitic cleavage site) yang identik dengan virus-virus dari clade 2.3.2.1, yaitu PQRERRRKR (Li et al., 2011)  (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan bahwa virus-virus yang diisolasi dari itik ini memiliki kharakteristik HPAI virus (Perdue et al., 1997; Senne et al., 1996).

Untuk melihat klasifikasi H5N1 isolat-isolat yang diisolasi dari itik, dilakukan analisis filogenetik menggunakan Neighbor-Joining (NJ) Tree dengan TN93 model subtitusi nekleotida menggunakan 1000 bootstrap replikasi. Hasil pohon filogenetik menunjukkan bahwa isolat-isolat itik termasuk dalam clade 2.3.2 dan berada pada cabang filogenetik dalam clade 2.3.2.1 (Gambar 6). Selanjutnya, untuk melihat apakah virus-virus ini masih dalam satu galur (lineage) dengan clade 2.3.2.1, maka dilakukan uji keragaman genetik untuk mengetahui jarak rata-rata pasangan nukleotida isolat-isolat itik ini dengan virus-virus dari clade 2.3.2.1. WHO/OIE/FAO H5N1 Evolution Working Group (WHO, 2008; WHO, 2012) telah membuat ketentuan klasifikasi H5N1 clade sebagai berikut: 1) Digolongkan sebuah clade baru jika memiliki rata-rata persentase jarak (keragaman) pasangan nucleotida antar spesies (average pairwise distance) lebih dari 1.5%  dari clade yang telah ada dan ter-definisi sebelumnya, 2)  Hasil  analisis phylogenetic dan keragaman HA sequence  menunjukkan sharing common ancestral node dengan nilai  bootstrap > 60% pada nodus filogenetik yang menunjukkan clade (setelah 1000 neighbour-joining bootstrap replicates).
Gambar 6. Pohon filogenetik dari isolat-isolat H5N1 yang diisolasi dari itik (3 isolate dipake untuk analisis). Analisis menggunakan NJ tree, dengan model substitusi nukleotida Tamura-Nei (TN93) dengan 1000 boostrap replikasi. Pohon filogenetikdirootkan pada A/goose/ Guangdong/1/96 (H5N1). Isolat-isolat H5N1 dari kasus itik diberi warna merah.

Analisis filogenetik dan keragaman genetik dengan menggunakan MEGA 4.0 software menunjukkan bahwa rata-rata jarak pasangan nucleotida antar sesama isolat itik adalah 0.3% yang berarti bahwa ketujuh isolat H5N1 dari kasus itik ini masih berada dalam satu grup, tetapi rata-rata jarak pasangan nucleotida dengan group atau kluster lain dalam clade 2.3.2.1 (grup 1, grup 2 dan grup 3) adalah lebih dari 1.5 % (2.3-4.6%) (Gambar 6). Meskipun rata-rata jarak pasangan nukletida antara isolat itik ini lebih dari 1.5% dari grup lain dalam clade 2.3.2.1, semua isolat virus ini masih share satu common ancestral node dari clade 2.3.2. Hasil ini mengindikasikan bahwa ada kemungkinan isolat-isolat itik adalah atau berasal dari sebuah group atau cluster filogenetik baru dalam clade 2.3.2 (Gambar 6). Sampai saat ini diketahui bahwa hanya virus-virus yang berasal da-ri clade 2.1 yang menyerang unggas dan manusia di Indonesia. Dengan penemuan clade H5N1 baru di Indonesia, khususnya di daerah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, menunjukkan adanya kemungkinan introduksi virus baru ke Indonesia. Tetapi terjadinya awal introduksi, spesies hewan yang terlibat, dan faktor-faktor penyebab munculnya virus ini sehingga mengakibatkan kematian pada itik-itik di ketiga daerah di Jawa tersebut belum diketahui. Untuk mengetahui hal ini perlu diadakan kajian retrospektif baik secara epidemiologi dan molekular epidemiologi. Hal yang lebih penting adalah perlu ditingkatkan perhatian (awareness) dan monitoring atas kemungkinan adanya perluasan virus ini ke wilayah lain di Indonesia melalui lalu lintas unggas ataupun produknya. Untuk mencegah penyebaran kasus, perlu dilakukan tindakan pengendalian diantaranya depopuasi atau culling pada unggas itik yang terinfeksi dan pembatasan serta pengawasan ketat lalu lintas itik dan produknya dari dan ke dalam ketiga daerah tersebut di atas.
KESIMPULAN DAN SARAN
  1. Berdasarkan data hasil uji laboratorium disimpulkan bahwa diduga penyebab wabah kematian itik yang saat ini terjadi di Provinsi Jawa tengah, D.I.Yogyakarta dan Jawa Timur adalah penyakit AI subtipe H5N1.
  2. Tujuh isolat H5N1 virus yang telah disekuensing diduga bukan berasal dari garis keturunan H5N1 virus clade 2.1 yang telah endemis pada unggas di Indonesia.
  3. Isolat-isolat H5N1 virus yang diisolasi dari itik ini memiliki tingkat kekerabatan yang lebih tinggi terhadap virus-virus dari clade 2.3.2.1 (97-98% nucleic acid similarity) dibandingkan kekerabatan terhadap virus-virus dari clade 2.1 (91-93%).
  4. Berdasarkan analisis filogenetik, isolat-isolat H5N1 virus yang diisolasi dari itik ini termasuk dalam clade 2.3.2.
  5. Berdasarkan analisis keragaman genetik sekuen nukleotida gen HA, tidak menutup kemungkinan jika isolat-isolat virus ini tergolong ke dalam sebuah group (sublineage) baru tetapi masih termasuk dalam clade 2.3.2. Hal ini perlu pembuktian dengan analisis yang lebih akurat dan komprehensif melibatkan lebih banyak isolat virus.
  6. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya clade 2.3.2 ke Indonesia perlu diteliti lebih lanjut, apakah hal ini disebabkan oleh introduksi virus baru ke Indonesia.
  7. Perlu ditingkatkan monitoring pada unggas (ayam dan unggas air) tentang sirkulasi virus-virus yang menyerupai clade 2.3.2  dan endemisitas HPAI yang diakibatkannya.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Kesehatan Hewan, Kepala BBVet Wates, Kepala BPPV Regional II Bukittingi, Kepala BBalitvet, Kepala Pusvetma dan Kepala BBPMSOH atas masukan dan dukungan yang diberikan dalam penulisan artikel ini.  Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Australian Animal Health Laboratory (AAHL), Geelong, Australia dan FAO-OIE OFFLU Project yang telah membantu peningkatan kapasitas pengujian dan pengembangan diagnosis AI dan sequensing DNA di laboratorium-laboratorium pada unit pelayanan teknis di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Indonesia. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, khususnya Dinas Pertanian/Peternakan dan Kesehatan Hewan di kabupaten dan juga peternak yang telah membantu dalam investigasi penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

AAHL. 2008. Sequencing of Avian Influenza. CSIRO-Australian Animal Health Laboratory (AAHL),Geelong, Australia.
Bingham, J., Green, D. J., Lowther, S., Klippel, J., Burggraaf, S., Anderson, D. E., Wibawa, H., Hoa, D. M., Long, N. T., Vu, P. P., Middleton, D. J. &Daniels, P. W. 2009. Infection studies with two highly pathogenic avian influenza strains (Vietnamese and Indonesian) in Pekin ducks (Anas platyrhynchos), with particular reference to clinical disease, tissue tropism and viral shedding. Avian Pathol 38(4): 267-278.
Dharmayanti, NLP.I., Damayanti, R., Wiyono, A., Indriani, R., dan Darminto. 2004. Identifikasi virus avian influenza virus isolat Indonesia dengan metode reverse transcripatese polymerase chain reaction RT-PCR. JITV. 9. 2 : 136-142
Hall, T. 1999. BioEdit: a user-friendly biological sequence alignment editor and analysis program for Windows 95/98/NT. Nucleic Acids Symp Ser 41: 95-98.
Henning, J., Wibawa, H., Morton, J., Usman, T. B., Junaidi, A. &Meers, J. 2010. Scavenging ducks and transmission of highly pathogenic avian influenza, Java, Indonesia. Emerg Infect Dis 16(8): 1244-1250.
Li, Y., Liu, L., Zhang, Y., Duan, Z., Tian, G., Zeng, X., Shi, J., Zhang, L. &Chen, H. 2011. New avian influenza virus (H5N1) in wild birds, Qinghai, China. Emerg Infect Dis 17(2): 265-267.
Loth, L., Gilbert, M., Wu, J., Czarnecki, C., Hidayat, M. &Xiao, X. 2011. Identifying risk factors of highly pathogenic avian influenza (H5N1 subtype) in Indonesia. Prev Vet Med 102(1): 50-58.
Perdue, M. L., Garcia, M., Senne, D. &Fraire, M. 1997. Virulence-associated sequence duplication at the hemagglutinin cleavage site of avian influenza viruses. Virus Res 49(2): 173-186.
Senne, D. A., Panigrahy, B., Kawaoka, Y., Pearson, J. E., Suss, J., Lipkind, M., Kida, H. &Webster, R. G. 1996. Survey of the hemagglutinin (HA) cleavage site sequence of H5 and H7 avian influenza viruses: amino acid sequence at the HA cleavage site as a marker of pathogenicity potential. Avian Dis 40(2): 425-437.
Swayne, D. E. 2007. Understanding the complex pathobiology of high pathogenicity avian influenza viruses in birds. Avian Dis 51(1 Suppl): 242-249.
Tamura, K., Dudley, J., Nei, M. &Kumar, S. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. . Molecular Biology and Evolution 24: 1596-1599.
WHO. 2008. Toward a unified nomenclature system for highly pathogenic avian influenza virus (H5N1). Emerg Infect Dis 14(7): e1.
WHO. 2012. Continued evolution of highly pathogenic avian influenza A (H5N1): updated nomenclature. WHO/OIE/FAO H5N1 Evolution Working Group. Influenza Other Respi Viruses 6(1): 1-5.
Wibawa, H., Bingham, J., Nuradji, H., Lowther, S., Payne, J., Harper, J., Wong, F., Lunt, R., Junaidi, A., Middleton, D. &Meers, J. 2012. The pathobiology of two Indonesian H5N1 avian influenza viruses representing different clade 2.1 sublineages in chickens and ducks Comp Immunol Microbiol Infect Dis. In Press.
Wibawa, H., Henning, J., Wong, F., Selleck, P., Junaidi, A., Bingham, J., Daniels, P. &Meers, J. 2011. A molecular and antigenic survey of H5N1 highly pathogenic avian influenza virus isolates from smallholder duck farms in Central Java, Indonesia during 2007-2008. Virol J 8: 425.
Wiyono, A., Indriani, R., Dharmayanti, N.L.P.I., Damayanti, R., dan Darminto.  2004. Isolasi dan Karakterisasi Virus Highly Pathogenic Avian Influenza subtipe H5 dari ayam asal Wabah di Indonesia. JITV. 9.1 : 61-71

Artikel ditulis oleh :
Hendra Wibawa, Walujo Budi Prijono dan Sri Handayani Irianingsih : Balai Besar Veteriner Wates
Ni Luh Putu Indi Dharmayanti : Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor

Yuli Miswati dan Kiki Safitria : Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Bukittinggi
Anieka Rohmah dan Rosmalina Sari Dewi Daulay : Pusat Veterinaria Farma, Surabaya
Ernes Andesyha dan Romlah : Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Bogor


Sunday, 16 December 2012

Waduh, itik peternak diserang virus AI baru


Kementerian Pertanian (Kementan) mengakui virus Avian Influenza (AI) tipe baru telah menyerang itik dan entog para peternak. Untuk Provinsi Jawa Tengah (Jateng) dilaporkan, populasi itik yang mati terserang virus tersebut sebesar 61.459 ekor.

Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Pudjiatmoko mengatakan, virus AI baru ini berbeda dengan virus AI yang selama ini endemis di Indonesia sejak 2003 yakni Clade 2.1 sub Clade. 2.1.3 Virus tersebut hanya patogen pada unggas golongan ayam layer, broiler , kampung dan puyuh.

"Kalau virus AI sekarang sub Clade 2.3.2 menyebabkan tingkat kesaktian dan kematian cukup tinggi pada itik.Jenisnya asal virus masih sama H5N1 tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza(HPAI)," ujar Pujiatmoko dalam diskusi di Jakarta, Kamis (13/12/2012).

Pujiatmoko menduga, penyebaran virus AI baru itu berasal dari mutasi genetic atau kemungkinan introduksi virus baru dari luar negeri yang sedang terluar. Virus AI itu juga bisa masuk melalui impor ternak unggas ilegal. "Adapun contohnya migrasi burung yang tertular virus dari luar negeri," kata Pujiatmoko. 

Meski begitu, Pujiatmoko mengakui, pihaknya belum mengetahui kepastian caranya virus AI baru itu masuk ke Indonesia. Pasalnya, pemerintah tidak mengizinkan pemasukan unggas dari negara yang tertular HPAI.

"Kita hanya melakukan impor dari negara yang terbebas AI. Impor hanya dibolehkan dalam bentuk Grand Parent Stock (GP),Parent Stock, Daily Old Chicken (DOC), Jerman, Inggris,Prancis dan Malaysia," ujar Direktur Perbibitan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Abubakar menimpali.

Abubakar menambahkan, tahun 2012 ada tiga perusahaan yang mengimpor tiga komoditas sumber bibit itu yakni PT Putra Mandiri, PT Quality Indonesia dan PT Central Avian.

Total jumlah DOD yang diimpor tahun ini sebesar 20.765 ekor dan jantan 4.240 ekor. Sementara di tahun sebelumnya, impor sumbe bibit ayam sebesar 24.090 ekor betina dan 14.900 ekor ayam.

Laporan investigasi dari daerah sejak akhir November -12 Desember 2012, kematian itik di Provinsi Jateng dilaporkan terjadi di 21 Kabupaten/Kota jumlahnya 61.459 ekor (0,75 %) . Sementara total populasi itik dan entok di Jateng sejumlah 8,159 juta ekor.

Kabupaten yang didera kematian itik terbesar adalah Demak yakni 13.200 ekor. Sementara Brebes 11.000 ekor.

Atas hal itu, jelas Pujiatmoko, pihaknya telah melaporkan kasus baru ini ke Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada 10 Desember 2012 lalu. Kementan berupaya melakukan depopulasi terbatas disertai tindakan biosekuriti.

Selain itu, Kementan juga meminta pemerintah daerah meningkatkan pengawasan lalu lintas itik dan produk dari daerah dimana terjadi peningkatan kasus AI. "Lalu lintas itik hidup dari daerah tertular dipersyaratkan dengan hasil uji PCR negatif," terangnya. kbc11

Sumber :
http://www.kabarbisnis.com/read/2835298