Tiongkok Bukan Jepang Kedua: Ketika Perang Dagang Tak Lagi Mampu Membendung Kebangkitan
Pertanyaan apakah Tiongkok akan menjadi "Jepang berikutnya" mencuat seiring kemajuan pesat negeri Tirai Bambu dalam teknologi, ekonomi, dan dominasi pasar global. Pertanyaan ini bukan sekadar retoris, melainkan menyentuh kekhawatiran geopolitik: akankah Amerika Serikat (AS) berhasil mengerem laju Tiongkok seperti yang pernah dilakukan terhadap Jepang? Di masa lalu, Jepang memang mengalami stagnasi ekonomi setelah sempat menjadi raksasa industri dunia.
AS, melalui kebijakan seperti Plaza Accord 1985, berhasil memaksa penguatan yen yang memukul ekspor Jepang, ditambah langkah keras terhadap perusahaan unggulan seperti Toshiba yang kala itu mendominasi pasar semikonduktor global (Prestowitz, 1988). Tuduhan terhadap Toshiba menjual teknologi ke Soviet—yang pada akhirnya terbukti dilakukan oleh perusahaan Norwegia, Kongsberg—tetap menjadi dasar sanksi besar-besaran terhadap Jepang. Ini memperlihatkan bahwa keberhasilan ekonomi Jepang dipatahkan bukan hanya dengan instrumen pasar, tapi juga tekanan politik dan intelijen.
Namun, sejarah tak selalu berulang dengan cara yang sama. China menyadari pola ini dan memilih jalan berbeda. Ketika AS menangkap Meng Wanzhou, CFO Huawei, pada 2018 dengan tuduhan melanggar sanksi AS terhadap Iran, Tiongkok tidak gentar. Justru, peristiwa itu menjadi pemantik kebangkitan nasionalisme teknologi dan perlawanan ekonomi. Tidak seperti Jepang yang cenderung akomodatif, China memilih melawan. Huawei tetap bertahan, bahkan meluncurkan ponsel Mate 60 pada 2023 yang didukung chip buatan sendiri, meski dalam tekanan sanksi teknologi ekstrem dari AS (BBC, 2023).
Penolakan Meng Wanzhou untuk tunduk kepada tuntutan AS menunjukkan perubahan paradigma: Tiongkok tidak ingin menjadi negara kaya namun sepenuhnya bergantung, seperti Jepang atau Korea Selatan.
Perbedaan fundamental lainnya terletak pada skala, strategi, dan kekuatan domestik. China memiliki pasar dalam negeri yang sangat besar, kemandirian teknologi yang makin meningkat, serta kekuatan geopolitik yang jauh lebih kompleks. Proyek seperti Belt and Road Initiative, dominasi manufaktur global, dan kemajuan dalam kecerdasan buatan serta luar angkasa, menjadikan China bukan sekadar pesaing ekonomi, tapi alternatif peradaban.
AS mungkin berhasil menundukkan perusahaan seperti Alstom di Prancis, namun menghadapi benteng kokoh ketika mencoba melakukan hal serupa terhadap Huawei. Sanksi dan tekanan terbukti gagal membendung inovasi China, yang kini tak hanya meniru, tetapi menciptakan sendiri teknologi yang mampu bersaing bahkan melampaui standar Barat.
Dengan demikian, melihat dinamika sejarah dan fakta kontemporer, Tiongkok jelas bukan "Jepang berikutnya". Ia tidak mengulang sejarah, melainkan menulis narasinya sendiri. Jika Jepang pada akhirnya tunduk dan stagnan karena tekanan eksternal, China justru menjadikannya sebagai katalis untuk mandiri dan semakin agresif menantang dominasi lama.
AS tampaknya kini harus menerima kenyataan baru bahwa kekuatan global telah menjadi multipolar. Bagi para pemangku kebijakan, ini menjadi pelajaran bahwa strategi lama dalam perang dagang dan hegemoni teknologi tidak lagi efektif dalam menghadapi negara yang belajar dari sejarah dan memilih untuk tidak mengulangnya.
Referensi:
·Prestowitz, C. (1988). Trading Places: How We Allowed Japan to Take the Lead. Basic Books.
·BBC. (2023). “Huawei’s Mate 60 Pro Launch Surprises Analysts Amid US Sanctions.” https://www.bbc.com
No comments:
Post a Comment