I. PENDAHULUAN
Kesehatan hewan sebagai
bagian dari pembangunan nasional, berperan penting dalam pembangunan pertanian,
kesehatan masyarakat dan lingkungan. Peran pembinaan kesehatan hewan sangat
strategis dalam perbaikan iklim investasi melalui penerapan teknologi kesehatan
hewan untuk penurunan biaya produksi, pengurangan resiko usaha serta membuka
peluang ekspor.
1.
Pembinaan Kesehatan Hewan
Pembinaan secara mikro
menunjang upaya mensejahterakan peternak melalui peningkatan pendapatan
sekaligus penyediaan lapangan kerja dan secara makro adalah upaya peningkatan
devisa dengan menghasilkan produk unggul bersaing di pasar bebas. Tujuan
pembinaan pada dasarnya untuk:
1) Mengoptimalkan
tingkat produktivitas/ reproduktivitas hewan ternak serta meminimalkan
morbiditas dan mortalitas;
2) Mengoptimalkan
pelayanan kesehatan hewan dan mencegah penyakit zoonosis pada hewan/ternak
serta menyediakan vaksin, sera dan obat hewan yang aman, terjamin mutunya dan
terjangkau harganya;
3) Mencegah masuk dan
menyebarnya penyakit hewan menular (PHM) antar daerah/pulau dalam wilayah
epublik Indonesia dan menangkal masuknya PHM eksotik dari luar negeri.
2.
Kesiapan Teknis Kesehatan Hewan dalam Antisipasi Wabah Penyakit Hewan Maupun
Teror Anthrax
Untuk mengantisipasi
kemungkinan timbulnya wabah penyakit hewan, setiap daerah sesuai dengan
kewenangannya telah memiliki kemampuan melakukan pencegahan secara dini dan
peramalan wabah penyakit. Hasil surveilans suatu penyakit dapat memberikan
peringatan dini sebelum penyakit tersebut menyebar secara luas ataupun bebasnya
suatu penyakit:
1) Survei sero
epidemiologis terhadap beberapa PHM strategis yang akan dibebaskan bertahap per
pulau, beberapa penyakit eksotik penting yang berpotensi menimbulkan penularan
seperti Penyakit Mulut dan Kuku, Nipah, Avian influenza maupun surveilans
terhadap penyakit endemik Anthrax. Penyakit Anthrax yang bersifat endemis ini
dalam uraian selanjutnya akan disebut sebagai “Anthrax klasik/konvensional”
atau “penyakit tanah” atau “Anthrax”, sedangkan Anthrax dalam kasus teror
dibedakan menjadi “Anthrax Teror” (AT) atau “Anthrax hasil Rekayasa Genetik”
(ARG).
2) Antisipasi dan
penangan khusus diberikan terhadap AT/ARG secara terkoordinir lintas sektoral
baik dari Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian Republik Indonesia, Polri, BIK
Polri, DKK Polri), Kementerian Pertahanan Keamanan, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian,
Kementerian Keuangan, Bappenas, PT Pos Indonesia, Perguruan Tinggi maupun
Instansi/ Lembaga Terkait lain mengacu kepada Prosedur Tetap tentang Petunjuk
Pengamanan Surat/Paket yang Dicurigai Mengandung Anthrax sebagaimana akan
diuraikan pada Bab II nanti.
3.
Perbedaan dan Persamaan Antara Anthrax Klasik dengan AT/ARG
1)
Anthrax Klasik:
Penyakit disebabkan
bakteri Bacillus anthracis dengan masa inkubasi berkisar 1-3 hari bahkan dapat
mencapai 14 hari, menyerang semua hewan berdarah panas dan penyakit berlangsung
per akut, akut maupun kronis. Penyakit Anthrax memiliki beberapa nama misalnya
Radang limpa, Radang kura, Milvuur, Milzbrand, Splenc fever, Charbon, Wool Sorters Disease, Cenang hideung,
Pesdar (kempes modar). Bakteri membentuk spora di bagian sentral sel bila cukup
oksigen, sedangkan dalam jaringan tubuh selalu berselubung dan tidak berspora.
Apabila kuman Anthrax jatuh ke tanah/mengalami kekeringan/ dilingkungan yang
kurang baik lainnya akan berubah menjadi bentuk spora yang tahan hidup sampai
40 tahun lebih sehingga menjadi sumber penularan penyakit kepada manusia dan
hewan ternak.
2)
AT/ARG:
Spora anthrax
dikembangkan melalui rekayasa genetik dan diyakini berkaitan dengan program
pengembangan senjata biologis untuk maksud pertahanan negara tertentu. Rekayasa
di laboratorium difokuskan untuk mengubah ukuran spora dari ukuran alami
sebesar 1-5 mikron diperkecil menjadi lebih kecil dari 1 mikron (bentuk tabur
dengan organ sasaran melalui paru-paru), mengubah rantai DNA terkait dengan
virulensi agen serta resistensinya terhadap antibiotik.
4.
Kemampuan Menginfeksi
1)
Anthrax Klasik:
Apabila pengendalian
penyakit didaerah endemis tidak memadai, seringkali menimbulkan wabah pada
ternak dengan penyebaran penyakit yang cepat dan menimbulkan kematian. Daerah
endemis adalah suatu daerah yang pernah berjangkit Anthrax dan sewaktu-waktu
penyakit dapat muncul kembali. Wabah umumnya berhubungan erat dengan tanah
netral atau alkalis (berkapur) yang menjadi inkubator dalam perkembangbiakan
spora Anthrax jika kondisi bioklimatologinya memungkinkan. Anthrax tidak lazim
ditularkan dari hewan yang satu ke hewan lainnya dan penyakit dapat menginfeksi
manusia tetapi tidak terlalu rentan seperti pada hewan.
2)
AT/ARG:
Rekayasa genetik pada
rantai DNA menjadikan spora ARG jauh lebih berbahaya dibanding Anthrax klasik,
hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Analisis World Health Organization tahun 1970
menyimpulkan bahwa pelepasan ARG ke udara di atas populasi manusia 5 juta orang
akan menyebabkan korban 250 ribu orang (5 %), diantaranya meninggal dunia
sebanyak 100 ribu jiwa (40 %).
(2) Analisis Kongres
Amerika Serikat memperkirakan 130 ribu sampai 3 juta jiwa (33 %) korban akan
meninggal setelah pelepasan 100 ribu gram Anthrax ke udara di atas kota
Washington (populasi 10 juta orang).
5.
Kejadian di Indonesia
1)
Anthrax Klasik:
Di Indonesia ditetapkan
14 provinsi endemis Anthrax di mana situasi kasus pada manusia hampir selalu
terjadi pada 4 propinsi yaitu Jabar, Jateng, NTB dan NTT (data Kementerian
Kesehatan). Dalam tahun 1991-2001 jumlah keseluruhan penderita berkisar 20-131
penderita dan terobati, korban meninggal 1-2 orang dengan angka tertinggi 6
orang pada tahun 1995 seluruhnya di NTT di mana di sisi lain pada saat yang
sama kasus pada ternak berjumlah 1 ekor. Tahun 1996 di provinsi NTT jumlah
kasus pada ternak meningkat menjadi 213 ekor dan disisi lain korban manusia
meninggal tidak ada.
2)
AT/ARG:
Dengan klasifikasi awal
dirahasiakan pernah diperiksa terhadap dugaan Anthrax dalam amplop oleh Balai
Besar Veteriner Denpasar beserta Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor pada
Bulan November tahun 2001. Hasil pemeriksaan laboratorium ternyata negatif
Anthrax.
II.
PENGENDALIAN DAN ANTISIPASI
Dalam pemberantasan dan
pengendalian Anthrax secara teknis dikaitkan dengan sifat agen penyakit dan
epizootiologinya (status daerah, jenis hewan rentan, dampaknya dan cara
penularan penyakit). Ada beberapa peraturan perundangan yang mendasarinya
antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5015) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5619). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2014
tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner
dan Kesejahteraan Hewan PP No.78 tahun 1992 tentang Obat Hewan serta Peraturan
Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 61/Permentan/Pk.320/12/2015
tentangPemberantasan Penyakit Hewan dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular
Strategis. Tetapi khusus untuk tindakan terhadap AT/ARG diatur dalam Protap
yang dikeluarkan Direktorat Jenderal PPM & PL Departemen Kesehatan No. KS.02.3.1338
tanggal 23 November 2001 tentang Petunjuk Pengamanan Surat/Paket yang Dicurigai
Mengandung Antraks.
1.
Terhadap Anthrax klasik:
1) Bagi daerah yang
bebas Anthrax tindakan pencegahan didasarkan kepada pengaturan yang ketat
terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut. Kejadian kasus Anthrax pada musim
kemarau terkait dengan pakan hijauan ternak yang mengering dan sangat terbatas
dimana rumput yang dimakan ternak tercabut sampai akarnya (spora anthrax pada
tanah menempel di akar rumput). Pada daerah Anthrax penyakit dapat muncul
secara enzootik pada saat tertentu sepanjang tahun.
2) Pemberantasan vektor
penghisap darah, pengamatan di lapangan/di Balai Besar Veteriner (BBVet)/Balai
Veteriner (Bvet)/Lab dan vaksinasi rutin dengan prioritas vaksinasi diberikan
di lokasi endemis sesuai tahun peramalan wabah yang telah diramalkan
sebelumnya, mencakup populasi terancam di daerah tertular dan daerah rawan lain
paling lambat 1 bulan sebelum waktu wabah yang diramalkan tiba.
3) Sebagai kesiapan
laboratorium kesehatan hewan (laboratory preparedness) dalam menguji “Anthrax
klasik” pada prinsipnya seluruh dapat melakukan pemeriksaan spesimen. Ditinjau
dari administrasi perwilayahan kerja Bvet/ Bbvet, maka dari 12 (dua belas)
provinsi endemis Anthrax di Indonesia yaitu Sumatera Barat dan Jambi masuk
wilayah kerja Bvet Bukittinggi. Jawa Barat, DKI Jakarta dan masuk wilayah kerja
Bvet Subang. Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY masuk wilayah kerja BBVet Wates,
Yogyakarta. Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Barat dan Gorontalo masuk wilayah kerja BBVet Maros sedangkan Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar, tetapi
mengingat P. Bali “bebas Anthrax” maka spesimen untuk pemeriksaan Anthrax dari
Nusatenggara tidak dikirim ke BBVet Denpasar tetapi dapat diperiksa di Lab
Keswan pada Propinsi tertular atau spesimen tersebut dikirim ke BBVet Maros
untuk pengujian spesimen asal Nusa Tenggara Timur dan BBVet Wates, Yogyakarta
untuk pengujian spesimen asal Nusa Tenggara Barat.
2.
Terhadap AT/ARG:
Tindakan antisipasi
terhadap teror AT/ARG sebagai berikut:
1) Prosedur penanganan
AT/ARG Prosedur penanganan AT/ARG mengacu kepada Protap yang dikeluarkan
Departemen Kesehatan No.KS.02.3.1338 tanggal 23 Nopember 2001 tentang Tata Cara
Pengamanan Barang Bukti Diduga Mengandung Antraks, yaitu sebagai berikut:
(1) Jangan membuka
lebih lanjut amplop/bungkusan/ paket yang mengandung bahan diduga bakteri
antraks.
(2) Jangan menggoyang
atau mengosongkan amplop/ bungkusan/ paket yang diduga mengandung bubuk spora
antraks.
(3) Hindari semaksimal
mungkin bahan yang diduga mengandung kuman antraks tersebar atau tertiup angin
atau terhirup.
(4) Gunakan sarung
tangan dan masker hidung dan mulut, bila tangan atau badan tercemar bubuk yang
diduga mengandung spora antraks, cuci tangan atau mandi dengan sabun dan air
yang mengalir.
(5) Masukan amplop atau
bungkusan seluruhnya ke dalam kantong plastik yang kedap udara atau dapat
diikat dengan keras, lebih baik bila menggunakan kantong plastik 2 (dua) lapis
atau lebih.
(6) Masukan kantong
plastik ke dalam wadah kaleng/ stoples kaca berikut sarung tangan, masker dan
barang-barang lain yang mungkin telah tercemar bakteri antraks dan beri label
“BERBAHAYA JANGAN DIBUKA”.
(7) Letakan dos dan
stoples dalam ruangan yang tidak banyak digunakan oleh orang lain atau ruangan
khusus yang terkunci.
(8) Lapor ke Polisi
(Kadis DOKKES Polda Metro Jaya), dengan alamat Jl. Jend. Sudirman No. 55
Jakarta, Telepon: (021) 5234018 atau Faksimili: (021) 5234197.
(9) Polisi akan datang
ke tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengambil dan mengamankan barang bukti
dan lokasi.
(10) Buat daftar nama
orang-orang yang berada di lokasi kejadian untuk mendapatkan pengobatan
pencegahan.
(11) Hasil pemeriksaan
laboratorium (positif/negatif) dikirimkan kepada polisi pengirim dengan
tembusan ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan.
2)
Unit Khusus penyidikan dugaan AT/ARG
Selain penyidikan
terhadap Anthrax klasik maka khusus untuk penyidikan AT/ARG atau Anthrax dalam
surat/paket ditunjuk Bvet Bukittinggi, BBVet Wates, Yogyakarta, BBVet Maros dan
Balai Besar Penelitian Veteriner (BALITVET) di Bogor. Alamat Unit Khusus
penyidikan dugaan AT/ARG :
(1) BVet Bukittinggi,
alamat Komplek Pertanian, Jln. Landbow Kotak Pos 35 Bukittinggi, Sumatera
Barat. Telp. 0752 28300/Fax. 0752 28290. Menerima spesimen asal P. Sumatera.
(2) BBVet Wates,
Yogyakarta, alamat Jln. Raya YogyaWates KM. 27 Kotak Pos 18 Wates, Yogyakarta
55602. Telp. 0274 773168/Fax. 0274 773354. Menerima spesimen asal P. Jawa,
P.Kalimantan, P. Bali dan Nusa Tenggara Barat.
(3) BBVet Maros, alamat
Jln. Jend. Sudirman No.14, Kotak Pos 198 Makassar, Sulsel. Telp/Fax. 0411
371105. Menerima spesimen asal P. Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan pulau-pulau
Kawasan Timur Indonesia.
(4) Balai Besar
Penelitian Veteriner (BALITVET), alamat Jln. RE. Martadinata No.30, Bogor Jawa
Barat. Telp. 0251 21048. Menerima spesimen dari seluruh wilayah di Indonesia.
III.
PENUTUP
Pada prinsipnya seluruh
Balai Besar Veteriner dan Balai Veteriner melakukan pemeriksaan spesimen
terhadap Anthrax. Khusus untuk penyidikan terhadap AT/ARG atau Anthrax dalam
surat/paket telah ditunjuk pelaksana penyidik adalah BPPVR- II Bukittinggi,
BPPVR-IV Yogyakarta, BPPVR- VII Maros dan Balai Penelitian Veteriner Bogor
selain penyidikan terhadap Anthrax klasik. Guna kecepatan reaksi dan
operasional yang tepat terhadap AT/ARG maka hendaknya BPPV Regional II, IV dan
VII yang ditunjuk tersebut berkoordinasi lebih lanjut dengan POLDA dan Dinas
Kesehatan setempat di wilayah kerja guna operasional setiap saat diperlukan.
SUMBER:
Pedoman Khusus Pengamanan
Surat / Paket yang Dicurigai Mengandung Anthrax dalam Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular
(PHM) Seri Penyakit Anthrax. 2016. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
No comments:
Post a Comment