Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, 24 August 2020

Manual Penyakit Anthrax

 Sinonim: Splenic fever, Charbon, Milztbrand, Radang Limpa, Wool Sorter’s disease


A. PENDAHULUAN

Anthraks adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Bacillus anthracis, biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, kuda, babi dan sebagainya). Ditandai dengan demam tinggi yang disertai dengan perubahan jaringan bersifat septisemia, infi ltrasi serohemoragi pada jaringan subkutan dan subserosa, serta pembengkakan akut limpa. Berbagai jenis hewan liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat pula terserang. Di Indonesia Anthraks menyebabkan banyak kematian pada ternak, kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong. Kerugian ditaksir sebesar dua milyar rupiah per tahun.


B. ETIOLOGI

Penyebab anthraks adalah Bacillus anthracis. B.anthracis berbentuk batang lurus, dengan ujung siku, membentuk rantai panjang dalam biakan. Dalam jaringan tubuh tidak pernah terlihat rantai panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau dalam rantai pendek dari 2-6 organisme, berselubung (berkapsul), kadang-kadang satu selubung melingkupi beberapa organisme. Selubung tersebut tampak jelas batasnya dan dengan pewarnaan gram tidak berwarna atau berwarna lebih pucat dari tubuhnya. Bakteri anthraks bersifat aerob, membentuk spora yang letaknya sentral bila cukup oksigen. Tidak cukupnya oksigen di dalam tubuh penderita atau di dalam bangkai yang tidak dibuka (diseksi), baik dalam darah maupun dalam jeroan, maka spora tidak pernah dijumpai. Bakteri bersifat Gram-positif, dan mudah diwarnai dengan zat-zat warna biasa.


Pada media agar, bakteri anthraks membentuk koloni yang suram, tepinya tidak teratur, pada pembesaran lemah menyerupai jalinan rambut bergelombang, yang sering kali disebut caput medusa. Pada media cair mula- mula terjadi pertumbuhan di permukaan, yang kemudian turun ke dasar tabung sebagai jonjot kapas, cairannya tetap jernih. Spora tahan terhadap kekeringan untuk jangka waktu yang lama, bahkan dalam tanah dengan kondisi tertentu dapat tahan sampai berpuluh-puluh tahun, lain halnya dengan bentuk vegetatif B.anthracis mudah mati oleh suhu pasteurisasi, desinfektan atau oleh proses pembusukan. Pemusnahan spora B.anthracis dapat dilakukan dengan : uap basah bersuhu 90°C selama 45 menit, air mendidih atau uap basah bersuhu 100°C selama 10 menit, dan panas kering pada suhu 120°C selama satu jam. Meskipun anthraks tersebar di seluruh dunia namun pada umumnya penyakit ini terdapat pada beberapa wilayah saja. Biasanya penyakit ini timbul secara enzootik pada saat tertentu saja sepanjang tahun.


C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies Rentan

Menurut penelitian, kerentanan hewan terhadap antraks dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut: a. Hewan pemamah biak, terutama sapi dan domba, kemudian kuda, rusa, kerbau dan pemamah biak liar lain, marmut dan mencit (mouse) sangat rentan. b. Babi tidak begitu rentan. c. Anjing, kucing, tikus (rat) dan sebagian besar bangsa burung, relatif tidak rentan tetapi dapat diinfeksi secara buatan. d. Hewan berdarah dingin (jenis reptilia), sama sekali tidak rentan (not affected).


2. Pengaruh Lingkungan

Anthraks banyak terdapat di daerah pertanian, daerah tertentu yang basah dan lembab, serta daerah banjir. Di daerah-daerah tersebut anthraks timbul secara enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbedabeda. Daerah yang terserang anthraks biasanya memiliki tanah berkapur dan kaya akan bahan-bahan organik. Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus sp. dapat bertindak sebagai pemindah penyakit. Wabah anthraks pada umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut. Di daerah-daerah tersebut spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif bila keadaan lingkungan serasi bagi pertumbuhannya.


3. Sifat Penyakit

Enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbeda-beda di daerah-daerah tertentu. Derajat sakit (morbidity rate) tiap 10.000 populasi hewan dalam ancaman, tiap propinsi dalam tahun 1975 menunjukan derajat yang paling tinggi di Jambi (53 tiap 10.000) dan terendah di Jawa Barat (1 tiap 10.000). Dari laporan itupun dapat diketahui bahwa 5 (lima) daerah mempunyai derajat sakit lebih rendah dari 50 tiap 10.000 populasi dalam ancaman dan hanya Jambi yang mempunyai angka ekstrim.


4. Cara penularan

Pada hakekatnya anthraks adalah “penyakit tanah” yang berarti bahwa penyebabnya terdapat didalam tanah, kemudian bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh hewan. Pada manusia infeksi dapat terjadi lewat kulit, mulut atau pernafasan. Anthraks tidak lazim ditularkan dari hewan yang satu kepada yang lain secara langsung. Bakteri anthraks bergerombol di dalam jaringan hewan penderita, yang dikeluarkan melalui sekresi dan ekskresi menjelang kematiannya. Bila penderita anthraks mati kemudian diseksi atau termakan burung atau hewan pemakan bangkai, maka spora dengan cepat akan terbentuk dan mencemari tanah sekitarnya. Bila terjadi demikian maka menjadi sulit untuk memusnahkannya. Hal tersebut menjadi lebih sulit lagi, bila spora tersebut tersebar oleh adanya angin, air, pengolahan tanah, rumput makanan ternak dan sebagainya. Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus sp. dapat bertindak sebagai pemindah penyakit. Masa tunas anthraks berkisar antar 1-3 hari, kadang-kadang ada yang sampai 14 hari.


Infeksi alami terjadi melalui : a. Saluran pencernaan b. Saluran pernafasan dan c. Permukaan kulit yang terluka. Infeksi melalui saluran pencernaan lazim ditemui pada hewanhewan dengan tertelannya spora, meskipun demikian cara infeksi yang lain dapat saja terjadi. Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari hewan melalui permukaan kulit yang terluka, terutama pada manusia yang banyak berhubungan dengan hewan. Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada pekerja penyortir bulu domba (wool-sorter’s disease), sedangkan infeksi melalui saluran pencernaan terjadi pada manusia yang makan daging asal hewan penderita anthraks.


5. Faktor Predisposisi

Anthraks merupakan penyakit yang menyerang pada mamalia. Faktor predisposisi terjadinya anthraks antara lain hewan dalam kondisi kedinginan, kekurangan makanan, dan juga keletihan terutama pada hewanhewan yang mengandung spora yang bersifat laten.


6. Distribusi Penyakit

Di Indonesia berita tentang suatu penyakit yang sangat menyerupai anthraks pada kerbau di daerah Teluk Betung dimuat dalam ”Javasche Courant” tahun 1884. Kemudian berita yang lebih jelas tentang berjangkitnya anthraks di beberapa daerah di Indonesia di beritakan oleh”Kolonial Verslag” antara tahun 1885 dan 1886. Kemudian antara tahun 1899 dan 1900 sampai 1914, tahun 1927 sampai 1928, tahun 1930 tercatat kejadian-kejadian anthraks di berbagai tempat di Jawa dan di luar Jawa.


Insidensi kasus di Indonesia menurut Bulletin Veteriner tahun 1975 di Jabar, Sultra, NTT dan NTB; tahun 1996 di Jambi, Sultra, Sulsel, NTB, NTT dan Jabar; 1977 di NTB ;1981 di DKI Jakarta, Jabar, NTT dan NTB; 1982 di NTB, Jatim dan Sulsel; 1983 di DKI Jakarta, NTB, NTT dan Sulsel; 1986 di NTB, Jabar dan Sumbar, 1988 -1993 di NTB;1991 di Jogya, Bali dan NTB dan 1992 -1994 di NTB.


Kasus anthraks di Jawa Tengah tahun 1990 tercatat 97 kasus pada manusia di kabupaten Semarang dan Boyolali, di Jawa Barat pada tahun 1975 -1974 tercatat 36 kasus di kabupaten Karawang, 30 kasus di kabupaten Purwakarta, di kabupaten Bekasi 22 kasus pada tahun 1983 dan 25 kasus pada tahun 1985.


Laporan kasus anthraks pada Januari tahun 2000 yang diduga telah terjadi tiga bulan sebelumnya, menyatakan kasus terjadi pada penduduk desa Ciparungsari kecamatan Cempaka, kabupaten Purwakarta, Jabar yang menjarah burung unta. (Struthio Camelus) milik P.T. Cisada Kema Suri yang dimusnahkan karena tertular penyakit anthraks.


Laporan kasus anthraks terakhir terjadi pada tahun 2012 di Kab. Boyolali dan Kab. Sragen (Jawa Tengah), Kab. Maros dan Kab. Takalar (Sulawesi Selatan), yang menyerang sapi potong dan sapi perah milik peternak.


D. PENGENALAN PENYAKIT


1. Gejala Klinis


Dikenal beberapa bentuk anthraks, yaitu bentuk perakut, akut dan kronis.

Anthraks bentuk perakut gejala penyakitnya sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena ada perdarahan otak. Gejala tersebut berupa sesak nafas, gemetar kemudian hewan rebah. Pada beberapa kasus menunjukkan gejala kejang pada sapi, domba dan kambing, mungkin terjadi kematian tanpa menunjukkan gejala-gejala penyakit sebelumnya.


Antraks bentuk akut pada sapi, kuda dan domba. Gejala penyakitnya mula-mula demam, penderita gelisah, depresi, susah bernafas, detak jantung frekuen dan lemah, kejang, dan kemudian penderita segera mati. Selama sakit berlangsung, demamnya dapat mencapai 41,5oC, ruminasi berhenti, produksi susu berkurang, pada ternak yang sedang bunting mungkin terjadi keguguran. Dari lubang-lubang alami mungkin terjadi ekskreta berdarah.


Gejala anthraks pada kuda dapat berupa demam, kedinginan, kolik yang berat, tidak ada nafsu makan, depresi hebat, otot-otot lemah, diare berdarah, bengkak di daerah leher, dada, perut bagian bawah, dan di bagian kelamin luar. Kematian pada kuda biasanya terjadi sehari atau lebih lama bila dibandingkan dengan anthraks pada ruminansia.


Antraks bentuk kronis biasanya terdapat pada babi, tetapi kadangkadang terdapat juga pada sapi, kuda dan anjing dengan lesi lokal yang terbatas pada lidah dan tenggorokan. Pada satu kelompok babi yang terinfeksi, beberapa babi diantaranya mungkin mati karena antraks akut tanpa menunjukan gejala penyakit sebelumnya. Beberapa babi yang lain menunjukan pembengkakan yang cepat pada tenggorokan, yang pada beberapa kasus menyebabkan kematian karena lemas. Kebanyakan babi dalam kelompok itu mati karena anthraks kronis. Sedangkan babi dengan infeksi ringan, berangsur-angsur akan sembuh. Bila babi tersebut disembelih, pada kelenjar limfe servikal dan tonsil terdapat bakteri anthraks.


Pada kuda anthraks menyebabkan kolik, mungkin karena torsi intestinal atau invaginasi, dengan tidak disertai akumulasi feses dan gas. Sering juga disertai busung di daerah leher, dada, bahu, dan faring. Busung tersebut berbeda dengan pembengkakan yang disebabkan oleh purpura hemoragika, karena pembengkakannya cepat, ada rasa nyeri, ada demam tinggi dan perbedaan lokalisasinya. Gejala gelisah jarang terjadi tetapi selalu mengalami sesak nafas dan kebiruan. Penyakit tersebut biasanya berakhir 8-36 jam, atau kadang-kadang sampai 3-8 hari.


Pada sapi, gejala permulaan kurang jelas kecuali demam tinggi sampai 42oC. Biasanya sapi-sapi tersebut terus digembalakan atau dipekerjakan. Dalam keadaan seperti itu sapi dapat mendadak mati di kandang, di padang gembalaan atau saat sedang dipekerjakan. Penyakit ini ditandai dengan gelisah pada saat mengunyah, menanduk benda keras di sekitarnya, kemudian dapat diikuti dengan gejala -gejala penyakit umum seperti hewan menjadi lemah, panas tubuh tidak merata, paha gemetar. Nafsu makan hilang sama sekali, sekresi susu menurun atau terhenti, tidak ada ruminasi, dan perut nampak agak kembung. Pada puncak penyakit darah keluar melalui dubur, mulut, lubang hidung, dan urin bercampur darah. Pada beberapa kasus terdapat bungkul-bungkul keras berisi cairan jernih atau nanah, pada mukosa mulut terdapat bercak -bercak, lidah bengkak dan kebiruan, serta nampak lidah keluar dari mulut.


Gejala-gejala umum anthraks berupa pembengkakan di daerah leher, dada, sisi lambung, pinggang, dan alat kelamin luar. Pembengkakan tersebut berkembang cepat dan meluas, bila diraba panas konsistensinya lembek atau keras, sedang kulit di daerah tersebut normal atau terdapat luka yang mengeluarkan eksudat cair yang berwarna kuning muda. Pembengkakan pada leher sering berlanjut menyebabkan paryngitis dan busung glottis, menyebabkan sesak nafas yang memberatkan penyakit. Pada selaput lendir rektum terdapat pembengkakan berupa bungkul-bungkul. Pembengkakan seperti itu juga dapat terjadi karena infeksi pada waktu eksplorasi rektal atau pengosongan isi usus.


Pada beberapa kasus sulit buang air, feses bercampur darah yang berwarna merah hitam dan jaringan nekrotik yang mengelupas. Kadangkadang terdapat penyembulan rektum. Daerah perineum bengkak, selaput lendir panas, pada selaput lendir vagina sering terdapat busung gelatin.


Pada domba dan kambing, biasanya bentuk perakut dengan perubahan apopleksi sereberal, terlihat berputar-putar, gigi gemeretak dan mati hanya beberapa menit setelah darah keluar dari lubang-lubang alami tubuh.


Pada kasus akut, penyakit tersebut hanya berlangsung beberapa jam, dengan tanda-tanda seperti gelisah, berputar-putar, respirasi berat dan cepat, frekuensi jantung meningkat, feses dan urin bercampur darah, hipersalivasi, busung dan enteritis jarang ditemukan.


Pada babi, gejala penyakit berupa demam dan pharyngitis dengan kebengkakan pada daerah subparotidea dan larynx yang berlangsung dengan cepat (anthraks angina). Pembengkakan tersebut dapat meluas dari leher sampai ke dahi, muka dan dada, menyebabkan kesulitan makan dan bernafas. Selaput lendir kebiruan, pada kulit terdapat bercak merah, diare, disfagia (paralisis otot pipi), muntah dan sesak nafas menyebabkan hewan mati lemas.


Pada kasus tanpa pembengkakan leher, gejala penyakitnya mungkin hanya berupa lemah, tidak ada nafsu makan dan menyendiri. Pada antraks lokal atau kronis hewan sering tampak normal.


Pada anjing dan pemakan daging (carnivora) lainnya, gejala penyakit berupa gastroenteritis dan pharyngitis, tetapi kadang-kadang hanya demam. Setelah makan daging yang mengandung bakteri anthraks, bibir dan lidah menjadi bengkak, atau timbul bungkul-bungkul pada rahang atas. Kadang-kadang dapat terjadi infeksi umum melalui erosi pada mukosa kerongkongan.


Pada manusia, sering ditemukan bentuk (kutan). Karena serangannya bersifat lokal, dapat juga disebut anthraks lokal. Pada luka tersebut terjadi rasa nyeri, yang diikuti dengan pembentukan bungkul merah pucat (karbungkel) yang berkembang menjadi kehitaman dengan cairan bening berwarna merah. Bila pecah akan meninggalkan jaringan nekrotik. Bungkul berikutnya muncul berdekatan. Jaringan sekitarnya tegang, bengkak dengan warna merah tua pada kulit sekitarnya. Bila dalam waktu bersamaan gejala demam muncul, infeksi menjadi umum (generalis) dan pasien mati karena septisemi.


Anthraks bentuk kutan (kulit) ditandai dengan adanya pembengkakan di berbagai tempat di bagian tubuh. Biasanya pada sapi dan kuda yang terdapat luka atau lecet di daerah kulit yang kemudian tercemar oleh bakteri anthraks, maka hewan tersebut akan terinfeksi anthraks. Manifestasi gambaran klinis anthraks sebagaimana tersebut di atas ada kalanya berbeda-beda tergantung pada perluasan penyakit dan jenis hewan yang terkena. Anthraks kulit primer maupun sekunder jarang ditemukan. Penyakit ini biasanya berakhir setelah 10-36 jam, kadang-kadang sampai 2-5 hari. Anthraks kulit yang kronis dapat pula terjadi pada sapi yang berlangsung selama 2-3 bulan. Hewan -hewan yang menderita penyakit akan menjadi kurus dengan cepat. Anthraks bentuk usus (intestinal) sering disertai haemoragik, kenyerian yang sangat didaerah perut (kolik), muntah-muntah, kaku dan berakhir dengan kolaps dan kematian. Anthraks bentuk pernafasan, terjadi pleuritis dan bronchopneumonia. Bentuk gabungan juga bisa terjadi. Setelah infeksi usus, kemudian muncul kebengkakan bersifat busung di bagian tubuh yang lain.


2. Patologi Bangkai hewan yang mati karena anthraks dilarang untuk dibedah

Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis, dan terlihat sangat membengkak. Kekakuan bangkai (rigor mortis) biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti aspal mungkin keluar dari lubang alami seperti hidung, mulut, telinga, anus tampak bengkak, dan bangkai cepat membusuk. Mukosa warna kebiruan, sering terdapat penyembulan rektum yang disertai perdarahan.


3. Diagnosa

a. Pemeriksaan mikroskopik langsung

Hewan yang masih dalam keadan sakit atau baru saja mati, selama belum terjadi pembusukan, dilakukan pemeriksaan mikroskopik sediaan ulas darah perifer dengan cara yang sederhana dan tepat. Bakteri berbentuk batang besar, Gram positif, biasanya tersusun tunggal, berpasangan atau berantai pendek. Tidak terdapat spora. Dengan pewarnaan yang baik dapat dilihat adanya selubung (kapsul) Jika hewan sudah mengalami pembusukan maka dari pemeriksaan mikroskopik sediaan ulas darah perifer, agak sulit untuk membuat diagnosa yang tepat. Sejumlah bakteri pembusuk memiliki bentuk yang mirip dengan anthraks (bakteri anthrakoid). Biasanya bakteri-bakteri pembusuk itu agak panjang dan tersusun dalam rantai yang lebih panjang.


b. Pemeriksaan dengan pemupukan

Bahan mengandung anthraks berupa darah atau jaringan lain yang berasal dari hewan sakit atau baru saja mati, dengan mudah dapat dipupuk pada media buatan. Jika bahan sampel berasal dari jaringan yang telah busuk, maka akan timbul berbagai kesulitan karena (a) bakteri anthraks mudah mati oleh pembusukan, (b) bakteri-bakteri anthrakoid akan ikut nampak dan tumbuh dengan baik.


c. Pemeriksaan biologis

Hewan percobaan yang terbaik adalah marmut. Meskipun mencit cukup baik, tetapi mencit sangat rentan terhadap kontaminan lain. Setelah disuntik secara subkutan, marmut biasanya mati dalam waktu 36-48 jam, paling lama pada hari kelima. Jaringan marmut tersebut penuh dengan bakteri anthraks dan di bawah kulit tempat suntikan terjadi infi ltrasi gelatin. Penyuntikan hewan percobaan adalah cara yang paling tepat untuk membedakan bakteri anthraks dari bakteri anthrakoid.


d. Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan Uji Ascoli dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Uji Ascoli Uji termopresipitasi Ascoli sangat berguna untuk menentukan jaringan tercemar anthraks. Untuk uji Ascoli diperlukan serum presipitasi bertiter tinggi. Jaringan tersangka dilakukan ekstraksi dengan air dengan cara perebusan, atau dengan penambahan kloroform. Cairan jernih yang diperoleh disebut presipitinogen mengandung protein anthraks, ditemukan secara perlahan-lahan dengan serum presipitasi (presipitin) dalam tabung reaksi kecil. Reaksi positif akan ditandai dengan terbentuknya cincin putih pada batas pertemuan antara kedua cairan tersebut.


4. Diagnosa Banding

Anthraks harus dibedakan dari kematian mendadak oleh sebab lain. Pada sapi dan babi, terutama oleh pasteurellosis yang disertai pembengkakan pada leher. Pada sapi dan domba infeksi dengan Clostridia dapat menyebabkan kematian mendadak. Pada sapi perlu diperhatikan pula penyakit-penyakit Ieptospirosis akut, anaplasmosis, bacillary, hemoglobinuria, dan keracunan-keracunan oleh tanaman, timah atau fosfor yang akut. Pada kuda, anemia infeksiosa yang akut, purpura haemorrhagica, macam-macam kolik, keracunan timah, dan sun stroke, mempunyai gejala-gejala serupa dengan anthraks. Pada babi, hog cholera akut, malignant oedema bentuk pharyngeal mempunyai gejala-gejala serupa dengan anthraks. Pada sapi dan kerbau dapat dikacaukan dengan keracunan, radang otak, penyakit pencernaan bentuk jahat Aphtae Epizootica, Septicaemia Epizootica, Surra, Piroplasmosis akut, Rinderpest, dan penyakit Jembrana. Pada kuda dapat dikacaukan dengan Surra, terutama jika dilihat dari timbulnya busung.


5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen


Larangan bedah bangkai terhadap hewan yang mati tersangka anthraks dengan dasar:

a. Tidak memberi peluang terbentuknya spora bakteri anthraks yang mungkin menyulitkan pemberantasan penyakit.

b. Sangat berbahaya bagi manusia yang melakukan seksi dan pembantu - pembantunya. Bahan pemeriksaan yang perlu dikirimkan ke laboratorium diagnostik adalah sebagai berikut:


Hewan pemanah biak :

a. Sediaan ulas darah diambil dari pembuluh darah tepi (vena pada telinga, pada metakarpal, atau metatarsal). Dibuat tipis dan lebih dari satu kemudian dilakukan fi ksasi.

b. Olesan darah tepi dari hewan yang sama pada kapas bergagang (cotton swab), sepotong kapur tulis, atau sepotong kertas saring yang kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi. Alat pengambilan bahan harus dalam keadaan steril sebelum dipakai dan pengambilan dilakukan secara aseptik.

Bahan pemeriksaan tersebut harus ditaruh dalam wadah yang kuat dan tertutup rapat untuk mencegah kemungkinan pencemaran dalam perjalanan.


Pada babi, kuda hewan lainnya

a. Sediaan ulas dari jaringan tubuh dengan lesi yang jelas (dari kelenjar limfe submaxillaris dan daerah kebengkakan)

b. Sediaan ulas darah dari pembuluh darah tepi (dari kuda dan babi tidak dapat diharapkan ditemuinya B.anthracis dalam sediaan ulas darah).

c. Khusus untuk babi jika perlu bisa dikirimkan kelenjar limfa cervicalis yang diawetkan dalam asam borax (4%).


Bagi anthraks bentuk kutan dapat dikirimkan :

a. Sediaan ulas dari luka yang bersangkutan.

b. Olesan pada luka yang sama memakai kapas bergagang atau yang lainnya (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).


Bila pengiriman bahan-bahan tersebut diatas tidak memungkinkan maka pengiriman bahan berupa sisa-sisa bagian tubuh hewan yang masih ditemukan tanpa bahan pengawet apapun masih dapat dianjurkan, antara lain sepotong kulit, tulang, daging kering dan dendeng.


Bahan-bahan tersebut dimaksudkan untuk pemeriksaan serologi. Bahan pemeriksaan tersebut diatas dikirimkan ke laboratorium veteriner setempat (kecuali ada ketentuan khusus) disertai surat pengantar berisi informasi selengkap mungkin. Hasil pengujian ditembuskan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.


E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Pengobatan pada hewan sakit diberikan suntikan antiserum dengan dosis kuratif 100-150 ml untuk hewan besar dan 50-100 ml untuk hewan kecil. Penyuntikan antiserum homolog adalah IV atau SC, sedang yang heterolog SC. Jika perlu penyuntikan pengobatan dapat diulangi secukupnya. Antiserum yang diberikan lebih dini sesudah timbul gejala sakit, kemungkinan untuk diperoleh hasil yang baik akan lebih besar. Hewan tersangka sakit atau yang sekandang dengan hewan sakit, diberi suntikan pencegahan dengan antiserum. Kekebalan pasif timbul seketika, akan tetapi berlangsung tidak lebih lama dari 2 minggu. Pemberian antiserum untuk tujuan pengobatan dapat dikombinasikan dengan pemberian antibiotik. Jika antiserum tidak tersedia, dapat dicoba dengan obat-obatan tersebut di bawah ini.


Anthraks stadium awal pada kuda dan sapi diobati dengan procain penicillin G dilarutkan dalam aquades steril dengan dosis untuk hewan besar 6.000-20.000 IU/kg berat badan, IM tiap hari. Streptomycin sebanyak 10 gram (untuk hewan besar dengan berat badan 400- 600 kg) setiap hari yang diberikan dalam dua dosis secara intramuskuler dianggap lebih efektif dari penicillin, akan tetapi lebih baik dipakai kombinasi penicillin - streptomycin.


Selain penicillin dapat pula dipakai oxytetracycline. Untuk sapi dan kuda mula -mula 2 gm IV atau IM, kemudian 1 g tiap hari selama 3-4 hari atau sampai sembuh. Oxytertracyclin dapat diberikan dalam kombinasi dengan penicillin.


Antibiotika lain yang dapat dipakai antara lain : chloramphanicol, erythromycin, atau sulfonamide (sulfamethazine, sulfanilamide, sulfapyridine, sulfathiazole), tetapi obat-obatan tersebut kurang ampuh dibandingkan dari penicillin atau tetracycline.


2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

a. Pencegahan

Perlakuan terhadap hewan yang dinyatakan berpenyakit anthraks dilarang untuk dipotong. Bagi daerah bebas anthraks, tindakan pencegahan didasarkan pada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan kedaerah tersebut. Anthraks pada hewan ternak dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksinasi dilakukan pada semua hewan ternak di daerah enzootik anthraks setiap tahun sekali, disertai cara-cara pengawasan dan pengendalian yang ketat.


b. Pengendalian dan Pemberantasan

Disamping pengobatan dan pencegahan, diperlukan cara pengendalian khusus untuk mencegah perluasan penyakit. Tindakan-tindakan tersebut adalah sebagai berikut :


(1) Hewan yang menderita anthraks harus diisolasi sehingga tidak dapat kontak dengan hewan-hewan lain

(2) Pengisolasian tersebut dilakukan di kandang atau di tempat dimana hewan tersebut ditemukan sakit. Didekat tempat itu digali lubang sedalam 2 -2,5 meter, untuk menampung sisa makanan dan feses dari kandang hewan yang sakit

(3) Setelah hewan mati, sembuh atau setelah lubang itu terisi sampai 60 cm, lubang itu dipenuhi dengan tanah yang segar

(4) Dilarang menyembelih hewan yang sakit

(5) Hewan tersangka tidak boleh meninggalkan halaman dimana ia berdiam sedangkan hewan yang lain tidak boleh dibawa ketempat itu

(6) Jika diantara hewan yang tersangka tersebut timbul gejala penyakit, maka hewan yang sakit tersebut diasingkan menurut cara seperti ditentukan dalam poin 1 (7). Jika diantara hewan yang tersangka dalam waktu 14 hari tidak ada yang sakit, hewan tersebut dibebaskan kembali

(8) Di pintu-pintu yang menuju halaman, dimana hewan yang sakit atau tersangka sakit diasingkan dipasang papan bertuliskan ”Penyakit Hewan Menular Anthraks” disertai nama penyakit yang dimengerti di daerah itu

(9) Bangkai hewan yang mati karena anthraks harus segera dimusnahkan dengan dibakar habis atau dikubur (poin 3 dan 4)

(10) Setelah penderita mati atau sembuh, kandang dan semua perlengkapan yang tercemar harus dilakukan disinfeksi

(11) Kandang dari bambu atau alang-alang dan semua alat-alat yang tidak dapat didisinfeksi, harus dibakar

(12) Dalam satu daerah, penyakit dianggap telah berlalu setelah lewat masa 14 hari sejak matinya atau sembuhnya penderita terakhir

(13) Untuk mencegah perluasan penyakit melalui serangga, dipakai obat-obat pembunuh serangga

(14) Hewan yang mati karena anthraks dicegah agar tidak dimakan oleh hewan pemakan bangkai

(15) Tindakan sanitasi umum terhadap manusia yang kontak dengan hewan penderita penyakit dan untuk mencegah perluasan penyakit.


3. Pelaporan

Laporan kejadian penyakit anthraks berisi informasi selengkap mungkin, disampaikan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang dilengkapi dengan pengisian formulir yang telah ditentukan, seperti:

(1) Laporan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan ke Pemerintah Daerah, dan ke Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI, mengenai terdapatnya kejadian anthraks

(2) Mengirim bahan-bahan pemeriksaan penyakit ke laboratorium veteriner setempat untuk peneguhan adanya penyakit (3) Pernyataan tentang terdapatnya/bebasnya suatu daerah terhadap Anthraks oleh Kepala Pemerintah Daerah setelah adanya peneguhan teknis.


F. DAFTAR PUSTAKA


Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.


Anonim 2008. Office International des Epizooties (OIE). Manual of Standards for Diagnostic Test and Vaccines. List A and B. diseases of mammals, birds and bees. 6th Ed


Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition. Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.


Direktur Kesehatan Hewan, 2012. Indeks Obat Hewan Indonesia Edisi VIII. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI, Jakarta Indonesia.


Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames.


Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.


Radostids OM and Blood DC 2007. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 10th Edition. Bailiere Tindall. London England.


Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affi liate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.


Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.


Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.


SUMBER

Manual Penyakit Hewan Mamalia. 2014. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian.

No comments: