SURVEILANS DAN RESPON KLB LEPTOSPIROSIS
Surveilans adalah suatu kegiatan analisis secara
sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit
atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan. Dalam surveilans Leptospirosis, surveilans berarti suatu proses
kegiatan sistematis untuk menyajikan informasi dasar bagi strategi intervensi
dalam kesehatan masyarakat yang meliputi manusia dan faktor risikonya sehingga
perlu dijelaskan mengenai kegiatan surveilans pada manusia dan pada faktor
risiko.
A. Tujuan Surveilans
Pada Manusia
a. Memantau kecenderungan Leptospirosis menurut waktu,
tempat dan orang;
b. Mengetahui angka morbiditas dan fatalitas kasus;
c. Mendeteksi secara dini dan memprediksi terjadinya KLB
Leptospirosis ;
d. Memantau kemajuan program pengendalian Leptospirosis;
e. Menyediakan informasi untuk perencanaan pengendalian
Leptospirosis ;
f. Penyusunan kebijakan pengendalian Leptospirosis.
B. Kegiatan Surveilans Pada Manusia
1. Definisi kasus Leptospirosis adalah penyakit zoonosis
akut disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan spectrum penyakit yang luas dan
dapat menyebabkan kematian.
2. Kriteria Kasus Ada (3) kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus Leptospirosis yaitu:
a. Kasus suspek
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala
disertai:
1) Nyeri otot;
2) Lemah (malaise) dengan atau tanpa;
3) Conjungtival suffusion (mata merah tanpa eksudat); dan
4) Ada riwayat terpapar lingkungan yang terkontaminasi
dalam 2 minggu sebelumnya:
a) Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman
Leptospira/urin tikus saat terjadi banjir;
b) Kontak dengan sungai, danau dalam aktifitas mencuci, mandi berkaitan pekerjaan seperti tukang perahu, rakit bambu dll;
c) Kontak dipersawahan atau perkebunan berkaitan dengan
pekerjaan sebagai petani/pekerja perkebunan yang tidak menggunakan alas kaki;
d) Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi,
kambing, anjing yang dinyatakan secara laboratorium terinfeksi Leptospira;
e) Terpapar seperti menyentuh hewan mati, kontak dengan
cairan infeksius saat hewan berkemih, menyentuh bahan lain seperti plasenta,
cairan amnion, menangani ternak seperti memerah susu, menolong hewan melahirkan
dll;
f) Memegang atau menangani spesimen hewan/ manusia yang
diduga terinfeksi Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya;
g) Pekerjaan yang berkaitan dengan kontak dengan sumber
infeksi seperti dokter hewan, dokter perawat, pekerja potong hewan, petani,
pekerja perkebunan, petugas kebersihan dirumah sakit, pembersih sekolahan,
pekerja tambang, pekerja tambak udang/ikan air tawar, tentara, pemburu;
h) Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan
hobby dan olah raga seperti pendaki gunung, memancing, berenang, arung jeram,
trilomba juang (triathlon), dll.
b. Kasus Probable
1) Kasus suspek dengan minimal 2 gejala/tanda klinis
dibawah ini:
a) Nyeri betis;
b) Ikterus;
c) Oliguria/anuria;
d) Manifestasi perdarahan;
e) Sesak nafas;
f) Aritmia
jantung;
g) Batuk dengan atau tanpa hemoptisis;
h) Ruam kulit.
2) Kasus suspek dengan RDT (untuk mendeteksi lgM anti
Leptospira) positif, atau;
3) Kasus suspek dengan 3 dari gambaran laboratorium
dibawah ini;
a) Trombositopenia 80%;
c) Kenaikan bilirubin total >2gr% atau amilase atau
CPK;
d) Pemeriksaan urin proteinuria dan/atau hematuria.
c. Kasus konfirmasi
Kasus suspek atau kasus probabel disertai salah satu dari
berikut ini:
1) Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik;
2) PCR positif;
3) Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau
adanya kenaikan titer 4x dari pemeriksaan awal;
4) Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu
sampel.
C. Jenis Surveilans
1. Surveilans berbasis
rumah sakit
Merupakan system surveilans yang melibatkan rumah sakit
sebagai sumber data utama. Kasus Leptospirosis yang masuk dan dirawat di rumah
sakit harus dilaporkan secara berkala kepada seksi surveilans dinas kesehatan
kabupaten/kota setempat. Setiap kasus yang masuk kerumah sakit perlu dilaporkan
sejak tanggal pertama masuk rumah sakit, perkembangan penyakitnya, hasil
laboratoriumnya, hingga status terakhir kasus tersebut apakah meninggal atau
sembuh. Dari jenis surveilans ini, rumah sakit dapat memberikan informasi lebih
lengkap mengenai kasus Leptospirosis stadium lanjut.
2. Surveilans Berbasis
Komunitas
Dalam hal ini, surveilans dilakukan untuk mengamati
penyakit melalui pengumpulan data rutin disuatu wilayah yang dikordinasi oleh
seksi surveilans di dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi. Pelaksanaan
surveilans berbasis komunitas menurut indikator kinerja sebagai berikut:
a. Kelengkapan : unit kesehatan yang terlibat dan menjadi
sumber pengumpulan data adalah seluruh puskesmas dan unit pelayanan kesehatan
yang berada diwilayah kerja puskesmas, seperti puskesmas pembantu (pustu) bidan
desa, mantri, dokter praktek swasta, klinik swasta, dan unit lain yang ditunjuk
dengan memperhatikan keterwakilan terhadap suatu kelompok masyarakat. Kondisi
ini bertujuan agar tidak ada kasus yang tidak terlaporkan.
b. Katepatan : pengumpulan data dilakukan secara
berkesinambungan dalam periode mingguan, yang ditetapkan sesuai kalender
epidemiologi.
c. Kasus Baru : kasus yang dilaporkan adalah kasus suspek
atau konfirmasi Leptospirosis yang datang ke fasilitas kesehatan selama
seminggu, atau berdasarkan laporan masyarakat dan diketahui merupakan kasus
suspek Leptospirosis, atau sudah didiagnosis Leptospirosis oleh dokter.
d. Data Agregat: data dari unit kesehatan di wilayah
kerja puskesmas dan kegiatan perawatan di puskesmas akan menjadi data agregat
ditingkat puskesmas.
e. Pasif : unit kesehatan yang terlibat akan mengirimkan
laporan kepada puskesmas secara mingguan, selanjutnya puskesmas mengirimkan
data agregat kepada seksi surveilans di dinas kabupaten/kota.
f. Aktif : jika pada laporan mingguan ditemukan adanya
kasus suspek atau konfirmasi Leptospirosis, maka dinas kesehatan kabupaten/kota
bersama dengan puskesmas akan melakukan surveilans aktif berupa pengumpulan
data kasus dengan menggunakan format pelaporan lengkap, kemungkinan adanya
kasus tambahan, dan identifikasi sumber penularan dan lingkungan untuk
melakukan pengendalian lebih dini. Dapat juga dilakukan serosurveilans untuk
mengetahui apakah infeksi Leptospira sudah terjadi atau belum pada suatu daerah
atau populasi.
g. Laporan Nihil : bila tidak ada kasus, laporan perlu
dikirim dengan mengisi format laporan dengan nilai “nol” atau “nihil”.
D. Sasaran Surveilans
Kegiatan surveilans ini terutama ditunjukan kepada:
1. Daerah rawan banjir / sering mengalami banjir;
2. Daerah persawahan dan perkebunan dengan populasi
vektor meningkat;
3. Daerah rawa atau bergambut;
4. Daerah yang terjadi bencana (gunung meletus, kebakaran
hutan, banjir bandang);
5. KLB Leptospirosis
sebelumnya:
a) Frekwensi KLB berdasarkan wilayah dalam periode
tertentu;
b) Waktu terjadinya KLB;
c) Lama KLB berlangsung;
d) Kelompok umur dan pekerjaan;
e) Tindakan penanggulangan KLB;
f) Faktor risiko (sumber dan cara penularan);
g) Perubahan kondisi lingkungan seperti iklim (climate
change).
E. Prosedur Surveilans
1. Sumber Data
Data berasal dari seluruh puskesmas dan unit pelayanan
kesehatan yang berada di wilayah kerja puskesmas, seperti puskesmas pembantu
(pustu), bidan desa, mantri, dokter praktek swasta, klinik swasta, dan unit
lain yang ditunjukan dengan memperhatikan keterwakilan terhadap satu kelompok
masyarakat. Data juga diperoleh dari rumah sakit dengan mengikuti sistem
surveilans berbasis rumah sakit.
2. Periode Pelaporan
Pelaporan data dilakukan secara rutin dan berkesinambung
dengan periode mingguan.
3. Pengumpulan dan
Pelaporan
Data Unsur data yang dikumpulkan sekurang-kurangnya
meliputi:
a. Kelompok umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan informasi
tempat tinggal serta kontak yang bisa dihubungi;
b. Gejala klinik yang muncul;
c. Waktu/tanggal pertama kali gejala klinik muncul
(onset);
d. Waktu/tanggal didiagnosis Leptospirosis;
e. Riwayat dirawat dirumah sakit atau tidak;
f. Riwayat paparan dari faktor risiko (kontak dengan
binatang, genangan air atau banjir);
g. Data serologi dan mikrobiologi (khususnya untuk rumah
sakit) jika dalam seminggu tidak ada kasus yang muncul, maka berlaku laporan
nihil yang disertakan dalam sistem kewaspadaan dini dan respon (SKDR) yang
sudah berjalan.
1). Pengolahan data
Data yang sudah diperoleh selanjutnya diolah sehingga
mendapatkan informasi sekurang-kurangnya sebagai berikut:
a) Jumlah kasus suspek dan kasus probable/ konfirmasi;
b) Jumlah kasus yang dirawat di rumah sakit;
c) Jumlah kematian;
d) Jumlah kasus berdasarkan tipe Leptospirosis;
e) Jumlah kasus berdasarkan penyebab lokasinya.
2). Analisis dan
interpretasi data
Data yang sudah diolah, kemudian dilakukan analisis dan
interpretasi untuk mendapatkan informasi selengkapnya mengenai karakteristik
Leptospirosis di wilayah tersebut berdasarkan kriteria waktu, tempat, orang,
cara penularan, sumber infeksi, dan tipe serologinya. Informasi tersebut bisa
disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan atau spot map area.
Analisis data sekurang-kurangnya bisa menghasilkan
informasi sebagai berikut:
a) Distribusi kasus menurut golongan umur, jenis kelamin,
pekerjaan, area infeksi, tanggal onset, kausatif serovar atau serogroup, dugaan
sumber infeksi, cara penularan.
b) Distribusi kasus menurut trend waktu, untuk mengetahui
adanya potensi terjadinya KLB dari waktu ke waktu.
c) Distribusi kasus menurut gejala dan tanda yang muncul.
d) Pemetaan sebaran lokasi kasus.
3). Rekomendasi dan
alternatif tindak lanjut
Berdasarkan hasil analisis di atas, perlu dibuat sejumlah
rekomendasi dan alternatif tindak lanjut. Tujuan disusunnya rekomendasi dan
alternatif tindak lanjut ini adalah untuk menyampaikan hipotetis sementara agar
dilakukan pencegahan dan pengendalian terjadinya kasus Leptospirosis di
masyarakat sejak dini. Usulan rekomendasi dan tindak lanjut ini biasanya
ditunjukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan upaya pengendalian
Leptospirosis sesuai tugas dan fungsinya. Misalnya unit zoonosis, unit
logistik, dinas peternakan, dinas pertanian, dinas lingkungan hidup, P.D pasar,
dan sebagainya. Rekomendasi dan alternatif tindak lanjut sebaiknya bersifat
praktis, terukur, dan mudah diterapkan dalam upaya pengendalian kasus di
lapangan.
4). Diseminasi informasi
Hasil surveilans yang berkesinambungan tidak akan
bermanfaat bila setelah dianalisis dan dibuat rekomendasi tidak didistribusikan
kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan informasi tersebut. Cara diseminasi
informasi yang umum adalah melalui buletin mingguan, majalah dinding, serta
media informasi dan komunikasi lainnya. Hasil surveilans sebaiknya disampaikan
dengan bahasa yang mudah dipahami dan disertai grafik dan tulisan yang mudah
dimengerti.
5). Umpan balik
Bertujuan untuk menciptakan komunikasi antara sumber
pelapor dan penerima laporan. Umpan balik juga berfungsi untuk perbaikan bila
terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian data yang telah dikumpulkan atau
dilaporkan sehingga dapat diperbaiki sebelum dianalisis lebih lanjut.
F. INDIKATOR KINERJA
SURVEILANS
Agar data hasil kegiatan surveilans bisa digunakan
sebagai salah satu upaya pengendalian kasus Leptospirosis di suatu wilayah,
maka harus memenuhi beberapa indikator kinerja sebagai berikut:
1. Kelengkapan:
jumlah unit
pelapor harus diidentifikasi dan disepakati pada awal kegiatan ini. Kelengkapan
data dinilai dari jumlah data yang diterima oleh puskesmas atau dinas kesehatan
dibandingkan jumlah data yang seharusnya masuk dalam satu periode tertentu.
Semakin lengkap data yang dikirim dalam satu periode, maka keabsahan data dapat
diterima karena sampel terpenuhi.
2. Ketepatan siklus periode laporan mingguan harus
disepakati oleh semua unit pelapor.
Bila pengiriman data disepakati setiap hari senin, maka
laporan yang diterima oleh puskesmas atau dinas kesehatan setelah hari senin
adalah laporan yang tidak tepat waktu. Semakin tinggi ketepatan waktu
pengiriman data, maka keabsahan data dapat diterima dan mudah untuk dianalisis
pada waktunya.
3. Angka proporsi kasus suspek dan kasus konfirmasi:
perbandingan antara kasus suspek dan konfirmasi sangat diperlukan untuk
mengetahui perkembangan kasus, apakah kasus suspek berkembang menjadi kasus
konfirmasi atau kasus suspek bisa dikeluarkan dari data kasus Leptospiriosis.
Hal ini menjadi dasar untuk pengendalian kasus Leptospirosis di lapangan.
4. Jumlah KLB yang terdeteksi dan dilakukan penyelidikan
: indikator ini penting untuk mengetahui kecenderungan KLB Leptospirosis di
suatu wilayah, serta seberapa cepat KLB diketahui dan di tanggulangi.
5. Jumlah kasus yang dilaporkan dibandingkan data
serosurveilans jika sudah dilakukan kegiatan serosurveilans, indikator ini
dapat mengetahui seberapa sensitif antara kasus yang dilaporkan dan surveilans
rutin dengan serosurveilans. Indikator ini juga dapat digunakan sebagai
evaluasi kinerja surveilans rutin di suatu wilayah.
G. Sistem Kewaspadaa
Dini (SKD) KLB
Selain melakukan surveilans rutin Leptospirosis terhadap
manusia dan vektor, juga dilakukan sistem kewaspadaan dini (SKD) untuk daerah
endemis Leptospirosis, seperti daerah rawan banjir, daerah pasang surut,
persawahan dan sebagainya. Batas SKD yaitu kewaspadaan penyakit beserta faktor
risikonya untuk meningkatkan sikap tanggap, kesiapsiagaan upaya pencegahan dan
dan penanggulangan KLB dengan cepat dan tepat. SKD ini merupakan salah satu
bentuk surveilans ketat yang dilaksanakan jika pada analisis surveilans rutin
ditemukan kecenderungan peningkatan jumlah vektor maupun beberapa kondisi
rentan lainnya. Beberapa kondisi rentan yang menyebabkan peningkatan
kontaminasi terhadap tanah atau air permukaan seperti hujan, banjir, dan
bencana lainnya, akan meningkat risiko kejadian Leptospirosis dan dapat
menyebabkan KLB. Sedangkan selama musim kering, manusia dan vektor dapat mencari
tempat cadangan air, sehingga dapat juga meningkatkan risiko kejadian
Leptospirosis dan dapat menyebabkan KLB. Kegiatan sosial dan bersifat rekreasi
pun dapat membuat seseorang terpapar lingkungan yang terkontaminasi bakteri
Leptospira.
Untuk itu, sangat perlu untuk meningkatkan SKD
Leptospirosis dalam menghadapi berbagai kondisi rentan tersebut.
1. Jenis dan sumber data
Surveilans
Beberapa variabel data yang berhubungan dengan
pengendalian Leptospirosis adalah sebagai berikut:
a. Data kesakitan dan kematian menurut golongan umur dan
jenis kelamin kasus suspek dan konfirmasi Leptospirosis
b. Data penduduk dan golongan umum dan jenis kelamin
c. Data desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi
terdapat kasus suspek dan konfirmasi Leptospirosis
d. Data Leptospirosis positif pada tikus (dan/atau vektor
lain) Di kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hasil dari kegiatan survei vektor.
Data tersebut dapat diperoleh dari:
1) Laporan rutin Leptospirosis mingguan dan rekap
bulanan;
2) Laporan KLB/wabah/W1;
3) Laporan laboratorium;
4) Laporan penyelidikan KLB/wabah;
5) Survei khusus;
6) Laporan data demografi;
7) Laporan data populasi kepadatan tikus dan binatang
penular lainnya;
8) Laporan data klimatologi.
2. Sistem Pelaporan
Kasus
a. Alur Pelapor Garis pelaporan Umpan balik pelaporan
b. Mekanisme Pelaporan
1) Pelaporan dari puskesmas
a) Setiap puskesmas melaporkan kasus suspek
Leptospirosis ke dinas kesehatan kabupaten/kota.
Puskesmas wajib melaporkan dalam waktu 24 jam menggunakan form W1;
b) Puskesmas dapat merujuk kasus yang tidak dapat
ditangani di puskesmas ke RS kabupaten/provinsi;
c) Laporan lainnya yang digunakan di puskesmas yaitu
formulir laporan mingguan dilanjutkan sebagai laporan bulanan, rekapan W2
sebagai mingguan, formulir W1 bila terjadi KLB.
2) Pelaporan dari RS Setiap RS yang mendapat dan merawat
kasus Leptospirosis segera melaporkan kasus Leptospirosis dalam waktu 24 jam ke
dinas kesehatan kabupaten/ kota menggunakan form WI sebagaimana puskesmas,
serta melaporkan perkembangan kasus secara berkala, termasuk hasil konfirmasi
laboratorium.
3) Pelaporan dari kabupaten/kota Setelah mendapat laporan
dari puskesmas dan RS serta melakukan vertifikasi kasus, dinas kesehatan
kabupaten/ kota menyampaikan laporan singkat dan form W1 ke dinas kesehatan
provinsi dalam waktu 24 jam disertai upaya yang dilakukan dan rencana tindak
lanjut.
4) Pelaporan dari provinsi ke pusat Setelah menindaklanjuti
laporan dari dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi harus
mengirimkan laporan singkat dan form W1 dalam waktu 24 jam kepada subdit
surveilans dan respon KLB, dan subdit pengendalian zoonosis disertai upaya yang
telah dilakukan dan rencana tindak lanjutnya.
5) Pelaporan khusus dalam situasi kejadian luar biasa
(KLB) Dalam situasi KLB, pelaporan dilakukan secara singkat dan cepat dalam
periode harian. Sementara puskesmas dan RS dapat melaporkan setiap saat
menerima dan merawat kasus. Semua laporan harus disampaikan juga secara
berjenjang hingga kepusat (subdit surveilans dan respon KLB, dan subdit
pengendalian zoonosis).
6) Umpan balik pelaporan Umpan balik pelaporan diperlukan
guna meningkatkan kualitas dan memelihara kesinambungan pelapor, kelengkapan
dan ketepatan waktu pelaporan serta analisis terhadap laporan. Frekuensi umpan
balik oleh masing-masing tingkat administrasi dilaksanakan minimal 4 kali dalam
setahun.
3. TINDAK LANJUT SKD KLB
A. TINGKAT PUSKESMAS
1) Pengamatan terhadap kasus dan faktor risiko;
2) Refreshing dan penelitian kader/masyarakat;
3) Menyiapkan kesiapan logistik obat antibiotik (drug of
choice Doksisiklin);
4) Perbaikan kualitas sarana air bersih dan lingkungan
melalui desinfeksi;
5) Menyiapkan peralatan pengambilan spesimen dan
melakukan pemeriksaan RDT;
6) Bersama dengan B/BTKLPP melakukan pengambilan spesimen
air dan tanah;
7) Penyuluhan kesehatan intensif secara kelompok dan
keliling dalam hal kewaspadaan dan pencegahan dengan pembuatan media sederhana;
8) Diseminasi informasi kepada kepala wilayah dan kepala
desa.
B. TINGKAT KABUPATEN
1) Melakukan sosialisasi Leptospirosis bagi petugas
puskesmas;
2) Memfasilitasi pengiriman dan pemeriksaan laboraturium;
3) Melakukan advokasi berdasarkan kajian/analisa data,
survei dan riset kepada pengambil keputusan untuk mendapakan dukungan politis,
hukum, dana, produk, dll;
4) Melakukan perencanaan logistik; 5) Melakukan pengadaan
media cetak KIE sederhana; 6) Penyuluhan melalui media masa (cetak dan
elektronik);
7) Desiminasi informasi lintas sektor terkait;
8) Menyiapkan tim
penanggulangan dan POSKO bila terjadi KLB. c. Tingkat Provinsi
1) Melakukan sosialisasi Leptospirosis petugas kesehatan
di kabupaten/kota;
2) Membantu pemenuhan kebutuhan logistik (membuat buffer
stock);
3) Menyusun juknis sesuai kondisi daerah;
4) Menetapkan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan
kriteria daerah untuk kesehatan lingkungan;
5) Melakukan advokasi ke pengambil keputusan di daerah;
6) Melakukan pengadaan media KIE, penyuluhan elektronik
dan menyebarkan luaskan ke lokasi KLB;
7) Intensifikasi penyuluhan melalui berbagai media masa;
8) Melakukan perencanaan menyeluruh didaerah sesuai
kompetensinya;
9) Menyiapkan tim
penanggulangan bila terjadi KLB. d. Tingkat pusat
1) Menyusun pedoman;
2) Menyusun NSPK serta indikator;
3) Menyusun perencana program (logistik, pengamatan,
pencegahan, penyuluhan);
4) Melakukan kajian sesuai studi kasus; 5) Monitoring dan
evaluasi pelaksanaa SKD.
4. Pengorganisasian
Pengorganisasian SKD KLB Leptospirosis dilakukan melalui
dari tingkat puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota, provinsi, laboratorium
rujukan Leptospirosis. Dan kemenkes (Ditjen PP dan PL dan Balitbangkes)
Pengorganisasian sebagaimana dimaksud diatas terdiri dari: a. Tingkat Puskesmas
1) Pelaksana SKD-KLB
dikoordinir oleh Kepala Puskesmas
a) Petugas P2M, terutama pengelola program;
b) Petugas surveilans;
c) Petugas kesehatan lingkungan;
d) Petugas pencatatan dan pelaporan.
2) Fungsi dan Peranan
a) Pengaturan penyelenggaraan surveilans ke wilayah kerja
puskesmas (desa);
b) Menerapkan pelaksanaan petunjuk teknis surveilans
Leptospirosis nasional dilapangan dalam bentuk sosialisasi dan transfer ilmu
pengetahuan tentang penanggulangan dan pengendalian Leptospirosis di lapangan
kepada kader dan masyarakat;
c) Menyelenggarakan manajemen surveilans kasus;
d) Monitoring dan evaluasi berkala hasil sosialisasi di
masyarakat;
e) Melakukan penyelidikan KLB pada saat kejadian ada
kasus Leptospirosis;
f) Menjalin kerjasama lintas sektor dan lintas program;
g) Melakukan penyuluhan tentang waspada Leptospirosis
bagi petugas dan masyarakat;
h) Melakukan kajian rutin tahunan (berkala);
i) Melakukan pemeriksaan konfirmasi dilaboratorium
rujukan nasional (Labkesda/yang ditunjuk).
B. TINGKAT KABUPATEN/
KOTA
1) Pelaksanaan Pelaksanaan dikoordinir oleh dinas
kesehatan dibantu pengelola program terkait KLB Leptospirosis (surveilans,
kesling dan promkes) atau disesuaikan dengan struktur/ organisasi setempat.
2) Fungsi dan Peranan
a) Pengaturan penyelenggaraan surveilans Leptospirosis
tingkat kabupaten;
b) Menerapkan pelaksanaan dan petunjuk teknis surveilans
Leptospirosis nasional dipuskesmas dalam bentuk sosialisasi dan transfer ilmu
pengetahuan tentang penanggulangan dan pengendalian Leptospirosis dilapangan;
c) Menyelenggarakan manajemen surveilans kasus;
d) Pembinaan dan asistensi teknis ke puskesmas;
e) Monitoring dan evaluasi berkala hasil sosialisasi di
puskesmas;
f) Melakukan penyelidikan KLB pada saat kejadian ada
kasus Leptospirosis;
g) Menjalin kerjasama lintas sektor dan lintas program;
h) Melakukan pelatihan untuk tenaga di puskesmas;
i) Melakukan kajian rutin tahunan (berkala);
j) Melakukan pemeriksaan konfirmasi MAT di laboratorium
rujukan nasional (RSUP Dr. Kariadi Semarang).
C. TINGKAT PROVINSI
1) Pelaksana Pengelola program terkait antara lain
kesling, program Zoonosis, Surveilans dan Promkes atau disesuaikan struktur
organisasi kesehatan setempat.
2) Fungsi dan peran a) Pengaturan penyelenggaraan
surveilans Leptospirosis tingkat provinsi; b) Menerapkan pelaksanaan dan petunjuk
teknis surveilans Leptospirosis nasional dikabupaten dalam bentuk sosialisasi
dan transfer ilmu pengetahuan tentang penanggulangan dan pengendalian
Leptospirosis di lapangan; c) Menyelenggarakan manajemen surveilans kasus; d)
Pembinaan dan asistensi teknis ke kabupaten; e) Monitoring dan evaluasi berkala
hasil sosialisasi di kabupaten; f) Melakukan penyelidikan KLB pada saat
kejadian ada kasus Leptospirosis; g) Menjalin kerjasama lintas sektor dan
lintas program; h) Melakukan penelitian dan pengembangan; i) Melakukan
pelatihan untuk tenaga di kabupaten; j) Melakukan kajian rutin tahunan
(berkala); k) Melakukan pemeriksaan konfirmasi dilaboratorium rujukan nasional
(Labkesda/yang ditunjuk).
D. TINGKAT PUSAT
1) Pelaksana
a) Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular
Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ); b) Direktorat surveilans dan Karantina Kesehatan
(SKK);
c) Direktorat Kesehatan Lingkungan (PL);
d) Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat, dan;
e) Pusat Krisis Kesehatan (PKK).
2) Fungsi dan Peranan
a) Pengaturan Penyelenggaraan Surveilans Leptospirosis
Nasional;
b) Menyusun Pedoman Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis
Surveilans Leptospirosis Nasional;
c) Menyelenggarakan manajemen surveilans kasus;
d) Pembinaan dan asistensi teknis;
e) Monitoring dan evaluasi;
f) Melakukan
penyelidikan KLB;
g) Menjalin kerjasama nasional dan internasional;
h) Melakukan penelitian dan pengembangan;
i) Melakukan pelatihan untuk pelatih;
j) Melakukan
kajian rutin, riset need assessment dan melakukan pemeriksaan konfirmasi di
laboratorium rujukan nasional.
H. Manajemen KLB
KLB Leptospirosis ditetapkan apabila memenuhi salah satu
kriteria (sesuai Permenkes 1501 tahun 2010) sebagai berikut :
1. Terjadinya kasus baru disuatu wilayah kabupaten/kota
yang sebelumnya pernah ada kasus Leptospirosis; atau
2. Munculnya kesakitan Leptospirosis di suatu wilayah
kecamatan yang selama 1 tahun terakhir tidak ada kasus;
3. Terjadinya peningkatan kasus baru Leptospirosis dua
kali atau lebih dibandingkan dengan minggu atau bulan yang sama pada periode
waktu tahun sebelumnya di suatu wilayah; atau
4. Terjadinya peningkatan jumlah kasus di suatu wilayah
kabupaten/ kota selama 3(tiga) kurun waktu dalam hari atau minggu
berturutturut; atau
5. Terjadinya peningkatan angkat kematian (case fatality
rate) akibat kasus Leptospirosis sebanyak 50 % atau lebih dibandingkan angka
kematian kasus Leptospirosis pada periode sebelumnya dalam kurun waktu yang
sama.
Dalam kasus yang
dicurigai KLB, penegakan diagnostik Leptospirotis harus disegerakan untuk
mendapatkan pengobatan yang tepat dan mengambil tindakan pencegahan segera. Untuk KLB di daerah yang jauh dan
akses yang sulit. Penggunaan RDT untuk mendeteksi antibody dapat sangat
membantu. Ketika KLB Leptospirosis sudah dinyatakan terjadi, maka sumber
infeksi harus segera diidentifikasi dan kontrol lingkungan yang tepat harus
diaktifkan, dengan informasi yang tepat kepada maskyarakat yang berisiko,
termasuk dokter, tenaga kesehatan dan pemangku kebijakan setempat. Manajemen
KLB Leptospirosis dapat dibagi dalam 3 fase yaitu sebelum KLB, saat KLB dan
setelah KLB.
1. Sebelum KLB Hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya KLB Leptospirosis adalah:
a) Kab/kota membuat surat edaran atau intruksi
kesiapsiagaan di setiap tingkat;
b) Meningkatkan kewaspadaan dini (SKD) di wilayah
puskesmas terutama di daerah KLB Leptospirosis;
c) Mempersiapkan tenaga dan logistik yag cukup
dipuskesmas kabupaten/kota dan provinsi dengan membentuk Tim Gerak Cepat (TGC);
d) Meningkatkan upaya promosi kesehatan;
e) Pengendalian faktor risiko (pengendalian vektor)
secara rutin;
f) Meningkatkan koordinasi lintas sektor.
2. PADA SAAT KLB
Pada
saat KLB dilakukan kegiatan:
a) Penyelidikan epidemiologi (PE) PE adalah kegiatan
pencarian penderita Leptospirosis dan pemeriksaan vektor/reservoar di tempat
tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitar, termasuk tempat-tempat umum dalam
radius sekurang-kurangnya 200 meter.
b) Tujuan:
1) Penegakan diagnosis;
2) Mendapatkan kasus tambahan;
3) Gambaran klinis dan laboraturium;
4) Mengetahui sumber dan cara penularan, baik sumber
penularan manusia atau hewan penular;
5) Mengetahui risiko penularan Leptospirosis;
6) Mengetahui gambaran epidemiologi;
7) Mengetahui potensi penularan dan penyebaran;
8) Melakukan penanggulangan awal dengan memutus rantai
penularan;
9) Merekomendasi langkah penanggulangan.
C. LANGKAH-LANGKAH
1) Persiapan
a) Penyelidikan epidemiologis dilakukan oleh tim PE
puskesmas, kabupaten/kota atau dengan tim PE provinsi atau pusat sesuai dengan
kebutuhan;
b) Persiapan administrasi (surat tugas, biaya, surat
menyurat);
c) Persiapan logistik (APD, RDT, form isian, pedoman);
d) Persiapan peralatan medis dan laboratorium.
2) Pelaksanaan PE di
Rumah Sakit
a) Pastikan kesiapan pihak RS menerima kedatangan tim,
bertemu dengan dokter yang merawat penderita serta tim Leptospirosis;
b) Diskusikan hasil wawancara, pemeriksaan, laboratorium
serta diagnosis kasus menurut dokter yang merawat dan tim dokter rumah sakit;
c) Dokumentasikan seluruh data yang terdapat dalam rekam
medis, Laboratorium dan kalau diperlukan foto thoraks; d) Isi formulir yang
dibutuhkan secara lengkap dan lakukan wawancara dengan penderita dan keluarganya
untuk mengetahui perjalanan penyakit,
d) Kemungkinan sumber penularan dan kontak kasus
dirumah.
e) Identifikasi dan catat pasien
lain yang berasal dari wilayah yang sama dan mempunyai keterpaparan faktor
risiko Leptospirosis dan catat dalam formulir pelacakan kasus Leptospirosis di
RS;
f) Catat nama dan nomor telepon
kepala ruangan atau kontak person yang ditunjuk untuk memantau pasien suspek
tersebut, nama dan nomor telpon dokter yang merawat penderita;
g) Jika kasus menunjukkan gejala
suspek dan minimal sudah 6 hari sakit dari onset untuk diambil darahnya untuk
dilakukan pemeriksaan RDT dan segera mendapat pengobatan doksisiklin;
h) Pasien yang ditemukan di RS
untuk dilakukan pemantauan dan bisa diambil darahnya untuk dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Untuk pasien Leptospirosis dengan kondisi berat
spesimen diambil untuk diperiksa MAT di laboratorium rujukan nasional.
3) Pelaksanaan PE di lapangan
a) Penyelidikan epidemiologi
dilakukan terhadap semua kasus yang menunjukkan probabel Leptospirosis dan
kasus Leptospirosis positif minimal dengan RDT;
b) Puskesmas menerima laporan
adanya kasus suspek Leptospirosis atau, maka segera dilakukan pencatatan di
buku catatan harian penderita Leptospirosis dan buku laporan kasus rutin mingguan
diteruskan untuk laporan bulanan ke kabupaten;
c) Penyelidikan epidemiologi
kasus Leptospirosis lapangan dilakukan oleh tim penyelidik epidemiologi
puskesmas kabupaten/kota termasuk tim litbangkes dan BBTKL-PP dengan tim
provinsi maupun tim pusat sesuai kebutuhan. Sebaiknya adalah Tim yang melakukan
penyelidikan epidemiologi di rumah sakit pada kasus Leptospirosis yang sama;
d) Untuk penyelidikan awal
dilakukan oleh puskesmas berkoordinasi dengan dinkes kabupaten/kota. Pelaksana
PE adalah perawat/sanitarian di puskesmas yang telah mengikuti pelatihan/
mempunyai kompetensi khusus;
e) Petugas puskesmas menyiapkan
peralatan dan logistik PE seperti (masker, sarungtangan) dll;
f) Memberitahukan kepada
kades/lurah dan ketua RW/RT setempat bahwa wilayahnya ada penderita
Leptospirosis dan akan dilaksanakan PE;
g) Petugas puskesmas melakukan
pencarian penderita baru, dengan pencarian aktif kasus di wilayah yang ada
kasus Leptospirosis;
h) Pencarian penderita baru
setiap hari dari rumah ke rumah apabila ditemukan suspek dengan gejala klinis
Leptospirosis lakukan wawancara dengan keluarga terdekat penderita yang
mengetahui perjalanan penderita, isi formulir penyelidikan epidemiologi
lapangan dengan lengkap;
i) Identifikasi adanya kasus lain
yang menunjukan gejala suspek yang sama dengan kasus Leptospirosis positif yang
dirawat. Catat nama, alamat dan kapan mulai sakit serta keadaan pada saat
wawancara dilakukan;
j) Apabila diantara kontak ada
yang menderita sakit demam, nyeri kepala, myalgia, malaise dan conjunctival
suffusion lakukan pengambilan serum darah untuk dilakukan pemeriksaan RDT atau
PCR, dan segera mendapatkan pengobatan doxyciklin dan rujuk ke RS apabila
menunjukan probable dengan pendarahan dan gagal ginjal;
k) Identifikasi orang-orang yang
mempunyai keterpaparan faktor risiko yang sama dengan penderita terutama yang
tinggal serumah, teman bermain, tetangga terdekat, dan lingkungan sekitar.
Catat nama-nama suspek tersebut dalam formulir pelancarkan pelacakan kasus
tambahan;
l) memberikan penjelasan kepada
semua masyarakat di lingkungan kasus Leptospirosis memantau kondisi diri
sendiri, jika menunjukan gejala dengan demam atau sama dengan kasus suspek
Leptospirosis segera ke puskesmas terdekat untuk dilakukan pemeriksaan dan
pengobatan lebih lanjut;
m) Tim puskesmas agar melakukan
pemantauan wilayah setempat di daerah terjadinya kasus untuk mencari kasus
tambahan dan catat hasilnya dalam formulir dan apabila ditemukan suspek
Leptospirosis segera melaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota untuk diambil
spesimennya dan segera dilakukan pengobatan;
n) Catat nama dan nomor telpon
kontak person dari keluarga penderita serta tim puskesmas dan kabupaten/kota;
o) Observasi lingkungan sekitar
tempat tinggal, adakah faktor risiko seperti banjir, daerah kumuh dengan banyak
genangan air, daerah pertanian, perkebunan dan banyak populasi tikus, sanitasi
lingkungan jelek dll. Ambil foto-foto yang dianggap penting. Jika disekitar
rumah tidak ditemukan adanya faktor risiko, tanyakan lebih jauh tempat
penderita bermain/pergi dalam 2 minggu terakhir;
p) Dilakukan pengambilan spesimen
tikus, air dan tanah untuk dilakukan pemeriksaan PCR dan MAT;
q) Pemantaun Wilayah Setempat
(PWS) oleh puskesmas dilakukan 2 kali masa inkubasi kasus Leptospirosis dari
terjadinya puncak dan apabila ada yang menunjukan gejala dari terjadinya puncak
kasus dan apabila ada yang menunjukan gejala suspek untuk segera dilakukan
pengobatan.
4) Mengumpulkan mengolah dan
menganalisa informasi termasuk faktor risiko yang ditemukan (contoh form PE KLB
Leptospirosis terlampir). Sementara surveilans rutin mingguan tetap berjalan.
5) Membuat kesimpulan
berdasarkan: a) Faktor tempat yang digambar dalam suatu peta (spot map) atau
tabel tentang:
• Kemungkinan faktor risiko yang
menjadi sumber penularan;
• Keadaan lingkungan biologis
(agen, penderita), fisik dan sosial ekonomi;
• Cuaca, ekologi, adat kebiasaan,
sumber air minum dll.
b) Membuat grafik histogram yang
mengambarkan hubungan waktu (harian), masa inkubasi dan agen. Setelah dibuat
grafik dapat dipersentasikan:
• Kemungkinan penyebab KLB;
• Kecenderungan perkembangan KLB;
• Lamanya KLB.
c) Faktor orang terdiri dari
umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, suku, adat
istiadat agama kepercayaan dan sosial ekonomi.
6) Pemutusan rantai penularan
meliputi: Peningkatan kualitas kesehatan lingkungan yang mencakup:
a) Identifikasi dan melakukan
kontrol pada sumber infeksi (seperti pembuangan kotoran yang terbuka, dan
sumber air yang terkontaminasi);
b) Pengawasan pada hewan
reservoir seperti hewan pengerat termasuk juga hewan lain yang berisiko seperti
anjing dan hewan ternak;
c) Desinfeksi permukaan tanah
yang terkontaminasi seperti lantai rumah, teras, dan sebagainya, dengan cairan
desinfektan;
d) Jika memungkinkan, tandai area
yang berisiko tinggi terkontaminasi dengan tanda larangan masuk.
7) Promosi kesehatan yang
mencakup :
a) Gunakan baju pelindung diri,
seperti sepatu boot, sarung tangan karet, dan sebagainya;
b) Lakukan penyuluhan kepada
masyarakat agar selalu meningkat kesadaran terhadap pencegahan penyakit dan
cara penularannya;
c) Segera melapor bila terjadi
keluhan penyakit Leptospirosis kepada petugas kesehatan terdekat.
8) Penanggulangan KLB
a) Mengaktifkan TIM Gerak Cepat
(TGC) yang terdiri lintas sektor dan lintas program: b) Pembentukan Posko KLB
Leptospirosis
• Sebagai koordinasi pengendalian
Leptospirosis;
• Melakukan pencatatan penderita;
• Melakukan pengaturan distribusi
logistik;
• Melakukan penyuluhan dan
sosialisasi;
• Membuat laporan harian/mingguan
penderita rawat jalan dan rawap inap.
9) Pembuatan Laporan Hasil PE KLB
Dalam laporan hasil PE sebaiknya dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
a) Diagnosis KLB Leptospirosis;
b) Penyebaran kasus menurut waktu
(minggu) wilayah geografi (RT/RW, desa dan kecamatan) umur dan faktor lainnya
yang diperlukan misalnya sekolah tempat kerja dan sebagainya;
c) Peta wilayah berdasarkan
faktor risiko antara lain, daerah banjir, pasar, sanitasi lingkungan, dan
sebagainya;
d) Status KLB pada saat
penyelidikan epidemiologi dilaksanakan dan perkiraan peningkatan dan penyebaran
KLB;
e) Tuliskan rekomendasi dan
alternatif rencana tindak lanjut sebagai upaya penaggulangannya.
3. PASCA KLB
Setelah KLB atau wabah selesai,
beberapa kegiatan yang perlu dilakukan :
a) Pengamatan intensif masih
dilakukan selama 2 minggu berturut-turut (2 kali masa inkubasi terpanjang),
untuk melihat kemungkinan timbulnya kasus baru;
b) Setelah dilakukan pengamatan
surveilans intensif selama 2 kali masa inkubasi tidak ditemukan kasus baru,
maka KLB dinyatakan selesai;
c) Membuat laporan akhir
terjadinya KLB/wabah;
d) Memperbaiki kualitas
lingkungan sebagai penyebab penularan Leptospirosis;
e) Kegiatan promosi kesehatan
tentang PHBS, terutama pada populasi rentan (berisiko).
Sumber: Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis, Kemenkes.https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/Buku_Petunjuk_Teknis_Pengendalian_Leptospirosis.pdf
No comments:
Post a Comment