Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, 31 March 2009

Petani Beras Jepang Takut Masa Depannya Suram

Dataran pesisir luas ini, yang terletak di dekat Laut Jepang, diberkahi dengan air melimpah dan tanah yang subur, serta dihiasi dengan sawah yang berwarna kuning keemasan di awal musim semi, adalah salah satu lumbung pangan terfertil di negara ini. Namun, ada sebuah perasaan malaise yang tak terbantahkan di sini.

 

Para petani yang mengelola sawah-sawah ini semakin menua dan jumlahnya terus berkurang. Tanah-tanah yang terbengkalai dan ditumbuhi ilalang menjadi pemandangan yang biasa ditemui. Karena ukuran lahan mereka yang kecil dan turunnya harga beras yang drastis, banyak petani yang merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup.

 

"Pertanian Jepang tidak memiliki uang, tidak ada pemuda, dan tidak punya masa depan," kata seorang petani, Hitoshi Suzuki, 57 tahun, yang berdiri di lahan pertanian keluarga yang telah berusia 450 tahun saat angin dingin bertiup dari laut.

 

Masalah di sektor pertanian ini mencerminkan perasaan kelumpuhan yang sedang melanda Jepang, ekonomi terbesar kedua di dunia. Menghadapi tantangan besar akibat populasi yang menua dan pertumbuhan ekonomi yang rendah secara kronis, negara ini berusaha mempertahankan status quo, dengan menghabiskan kekayaan besar yang telah terakumulasi, alih-alih membuat perubahan besar, kata para ekonom.

"Krisis pedesaan Jepang memberikan gambaran tentang masa depan negara ini," kata Yasunari Ueno, seorang ekonom di Mizuho Securities di Tokyo.

 

Menurut banyak petani dan ahli pertanian, pedesaan Jepang sedang mendekati titik mati, akibat depopulasi, liberalisasi perdagangan, dan anggaran pemerintah yang menipis. Mereka menyebutkan ini sebagai krisis pedesaan terbesar sejak Perang Dunia II. Di Shonai, harga tanah pertanian telah turun hingga 70 persen dalam 15 tahun terakhir, dan jumlah petani telah menyusut setengahnya sejak 1990.

 

Di seluruh Jepang, produksi beras—beras yang merupakan makanan pokok tradisional—telah turun 20 persen dalam dekade terakhir, yang memicu alarm di negara yang kini mengimpor 61 persen makanannya, menurut Biro Statistik Pemerintah Jepang.

 

Penuaan dianggap sebagai masalah terbesar di pedesaan, di mana, menurut Kementerian Pertanian, 70 persen dari tiga juta petani Jepang berusia 60 tahun atau lebih. Sejak tahun 2000, defisit anggaran yang melonjak memaksa Tokyo untuk memangkas belanja proyek-proyek infrastruktur publik yang selama ini menopang ekonomi pedesaan, sementara penurunan ekspor kini telah menghilangkan pekerjaan di pabrik yang selama ini menjadi sumber pendapatan tambahan bagi banyak rumah tangga petani.

 

Meskipun krisis keuangan global saat ini semakin memperburuk keadaan, akar masalahnya terletak pada sistem ekonomi pedesaan Jepang yang mengandalkan petani keluarga kecil yang sangat tidak efisien, yang sudah ada sejak akhir Perang Dunia II. Namun meskipun banyak petani dan ahli pertanian sepakat bahwa sistem ini sedang mengalami keruntuhan, perubahan dihalangi oleh berbagai kepentingan yang telah mapan dan ketakutan untuk mengganggu kebiasaan yang sudah ada.

 

Pertanyaannya sekarang adalah apakah titik balik akan segera tercapai. Perubahan tersebut bisa sangat signifikan karena pemilih pedesaan membentuk dasar dari piramida politik, di puncaknya berdiri Partai Liberal Demokrat, yang telah memerintah Jepang selama lebih dari setengah abad. Partai ini diperkirakan akan menghadapi persaingan ketat dengan Partai Demokrat sebagai oposisi dalam pemilihan umum yang harus diadakan paling lambat awal September.

 

Di daerah pedesaan seperti Yamagata, provinsi penghasil beras di utara tempat Shonai berada, tanda-tandanya masih beragam.

Takashi Kudo, pemilik perusahaan konstruksi di sini, mengatakan bahwa dia tetap menjadi pendukung setia anggota parlemen Partai Liberal Demokrat, yang membantu perekonomian lokal dan perusahaannya dengan pengeluaran untuk proyek-proyek lokal. Namun kini, kata Kudo, penjualan perusahaannya telah turun sepertiga dalam dekade terakhir, memaksanya untuk memecat setengah dari 23 karyawannya.

 

Keadaan semakin sulit, bahkan kuil Shinto setempat berhenti mempekerjakan musisi untuk festival musim panas, katanya. Warga setempat merasa ditinggalkan oleh partai, yang menyebabkan menurunnya keanggotaan dalam kelompok pendukung pemilu, katanya. Namun, warga tidak merangkul oposisi, yang, menurutnya, menderita masalah yang sama dengan partai yang berkuasa, yakni kurangnya arah yang jelas.

 

"Reaksi yang muncul adalah kekecewaan politik, bukan pemberontakan politik," kata Kudo, 45 tahun, yang duduk di kantornya di bawah foto anggota parlemen Liberal Demokrat dari distrik setempat, Koichi Kato.

 

Meski demikian, semakin banyak orang yang menyerukan agar Partai Demokrat diberi kesempatan. Pada bulan Januari, seorang anggota dewan sekolah yang tidak dikenal, yang mencalonkan diri sebagai kandidat oposisi, mengalahkan kandidat Liberal Demokrat yang sedang menjabat untuk menjadi gubernur Yamagata, yang sebelumnya telah lama dikuasai oleh Partai Liberal Demokrat.

 

"Rasa bahwa L.D.P. semakin tidak terhubung dengan masalah nyata di pedesaan mulai terasa," kata Takeshi Hosono, seorang direktur di Shogin Future-Sight Institute, sebuah perusahaan riset pasar yang berbasis di kota Yamagata.

 

Banyak warga Yamagata merasa bahwa partai tersebut telah terlalu jauh dalam meliberalisasi perdagangan dan mengurangi pengeluaran publik, kata Hosono, mencerminkan rasa ketidakpuasan bahwa kota-kota besar seperti Tokyo telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, sementara daerah pedesaan semakin merosot.

 

Beberapa orang lain mengatakan mereka merasa bahwa Partai Liberal Demokrat tidak cukup jauh dalam melakukan reformasi, mengeluhkan bahwa partai dan kelompok-kelompok lokal yang mendukungnya telah menghalangi petani lokal untuk melakukan perbaikan besar yang menantang status quo.

Salah satu inovator tersebut adalah Kazushi Saito, seorang petani beras dan babi yang enam tahun lalu menantang salah satu institusi terkuat di pedesaan Jepang, koperasi pertanian nasional, dengan mencoba mendirikan koperasi alternatif yang lebih kecil. Dia mendaftar 120 petani lain yang tidak puas dengan koperasi nasional, yang mereka rasa hanya berusaha menjual mesin dan pupuk mahal.

 

Namun, ketika dia berusaha mendaftarkan koperasi barunya, sebagaimana diizinkan oleh hukum, pejabat pertanian provinsi menolak melakukan prosedur administrasi, yang pada akhirnya menggagalkan rencananya, katanya.

"Kepentingan yang telah mapan sedang mengarahkankan pertanian Jepang ke tembok," kata Saito, 52 tahun.

 

Saito dan petani lain mengatakan bahwa pemerintah juga membuat hambatan terhadap solusi yang paling jelas untuk masalah pertanian, yakni penciptaan lahan pertanian yang lebih besar dan efisien. Rata-rata lahan pertanian komersial di Jepang sekarang hanya 4,6 hektar, dibandingkan dengan sekitar 440 hektar untuk lahan pertanian komersial di Amerika Serikat.

 

Meski pemerintah mengatakan bahwa konsolidasi semacam itu diperlukan, Saito dan yang lainnya mengatakan bahwa usaha mereka untuk mengakumulasi lahan terhambat oleh dukungan harga untuk lahan pertanian, yang dimaksudkan untuk melindungi nilai aset petani kecil tetapi justru membuat lahan terlalu mahal untuk dibeli. Pembatasan produksi beras, yang juga dimaksudkan untuk membantu petani kecil dengan menopang harga beras, membuatnya sulit untuk memperluas produksi, kata banyak petani.

 

Meskipun ada dukungan harga, pembatasan impor yang lebih longgar dan penurunan permintaan terkait dengan perubahan kebiasaan makan Jepang telah menurunkan harga beras, merugikan pertanian dari segala ukuran. Ini telah memicu kemarahan yang meningkat tidak hanya terhadap Partai Liberal Demokrat tetapi juga terhadap kementerian-kementerian Jepang yang kuat, yang selama ini memandu negara ini namun sekarang tampaknya tidak mampu memimpin jalan keluar dari kebuntuan ini.

"Era pasca perang yang bergantung pada Tokyo jelas telah berakhir," kata wali kota Shonai, Maki Harada.

 

Suzuki, dengan pertanian keluarga yang berusia 450 tahun, telah memperluas lahan yang dia kelola menjadi 40 hektar, sebagian besar disewa dari petani yang telah pensiun. Namun harga tanah yang membengkak, pembatasan produksi beras, dan biaya pertanian Jepang yang sangat mekanis hanya membuat lahan yang lebih besar ini merugi lebih banyak daripada lahan yang lebih kecil di sekitarnya, katanya.

 

"Pertanian bisa menghidupkan kembali ekonomi lokal, jika dipulihkan lagi," kata Masayoshi Honma, seorang profesor pertanian di Universitas Tokyo. "Tanpa reformasi, pertanian hanya akan terus merosot hingga mati."

 

 

SUMBER: The New York Times, March 28, 2009

Wednesday, 25 March 2009

Kasus flu burung subtipe H7 pada burung puyuh di Jepang

Virus flu burung subtipe H7 untuk pertama kalinya berhasil terdeteksi di peternakan burung puyuh di kota Toyohashi, Prefektur Aichi Jepang pada 18 Februari.

Menurut informasi situs berita Asahi, keterangan dari pejabat Kementerian Pertanian Jumat (27/2) menyatakan tidak ada satu pun burung puyuh yang mati di peternakan itu.
Selain itu tidak ada laporan mengenai orang yang terjangkit virus karena memakan daging atau telur dari unggas yang terinfeksi.

Penemuan ini merupakan yang pertama kalinya untuk tahun 2009, sebelumnya virus flu burung subtipe H5N1 terdeteksi pada periode Januari sampai Februari 2007 di Prefektur Miyazaki dan Okayama.

Guna menghentikan penyebaran virus, Kota Toyohashi Sabtu (28/2) membinasakan 259,000 ekor burung puyuh yang ada di peternakan tempat ditemukannya unggas yang terjangkit virus flu buung dan langsung dikuburkan di dalam peternakan.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah populasi burung puyuh yang ada di peternakan tempat ditemukannya virus flu burung di Kota Toyohashi sebanyak 320,000 ekor.

Untuk mengantisipasi penyebaran virus flu burung, Kementerian Pertanian dan lembaga berwenang lainnya akan membatasi pergerakan ternak unggas, telur dan pakan ternak dalam radius 10 kilometer dari peternakan.

Bila virus diidentifikasi sebagai virus yang telah melemah maka radius pembatasan akan dikurangi menjadi 5 kilometer.

Namun bila pembatasan didaerah itu diperpanjang maka dapat mempengaruhi pasokan telur burung puyuh karena sekitar 70 persen telur burung puyuh yang dikonsumsi diseluruh Jepang berasal dari Prefektur Aichi.

Dalam radius 10 kilometer dari tempat ditemukannya virus flu burung, terdapat 65 peternakan ayam dan burung puyuh dengan jumlah keseluruhan populasi 4 juta ekor.

Sumber : Nusantara news, Jakarta's shimbun online Jurnal, 2 Maret 2009.

Monday, 16 March 2009

Wisata Petik Strawberry di Yamanashi Jepang

Pada hari Sabtu 14 Mei 2009 kami meninjau pertanian strawberry milik Pak Hiroshi Maeda yang terletak di 260 Yamanashishi Minami, Prefektur Yamanashi, sekitar 150 km ke arah barat dari kota Tokyo. Pertaniannya sengaja diperuntukan sebagai tempat wisata pertanian yang disebut Ichigogari.














Ichigogari merupakan istilah bahasa Jepang yang terdiri dari dua kata. Ichigo berarti Strawberry, dan kari berarti memburu. Digabungkan bunyi ucapannya menjadi Ichigogari, yang berarti memetik buah strawberry di sebuah kebun strawberry dan memakan hasil petikan sendiri sepuasnya. Salah satu daerah yang terkenal dengan Ichigogari adalah Prefektur Yamanashi. Pak Hiroshi Maeda dibantu oleh sang istri asal Thailand (gambar samping) telah melakukan budidaya strawberry sejak tahun 2003. Dengan bantuan JA (Koperasi Pertanian Jepang) mereka memperoleh pinjaman untuk pembangunan prasarana dan sarana pertanian Strawberry.







Pertanian strawberry ini terletak di perbukitan dipinggir kota. Keluarga Maeda mempunyai 6 buah green hause, setiap green house ditandai dengan nomor (gambar samping). Luas setiap green house 1000 m2. Green house dilengkapi dengan pengatur suhu ruangan green house, pengatur penyiraman air-hara, penghangat tanah dan gas CO.














Tempat pendaftaran pengunjung disamping tempat parkir kendaraan. Setiap hari buka pukul 09:00 – 16:00.


















Pengunjung sebelum masuk green house mencuci tangan terlebih dahulu.


















Pengunjung diberikan penjelasan cara memetik strawberry dan mendapatkan layanan satu set plastik yang terdapat dua cekungan, satu berisi susu kental manis dan yang lain tempat sisa strowberry. Pilih strawberry yang sudah matang berwarna merah, celupkan ke dalam susu kental manis, lalu santaplah dan nikmati kelezatannya. Sisa potongan strawbery yang berwarna hijau dikumpulkan di cekungan sebelahnya. Susu kental manis dimakan habis, sampah hijau dimasukkan tempat sampah yang bisa dijadikan pupuk organik, sedangkan tempat plastiknya dimasukkan ke tempat sampah plastik untuk didaur ulang.








Pada gambar sebelah terdapat fasilitas tanki berwarna oranye penyimpan minyak tanah untuk bahan bakar mesin pemanasan green house (sebelah kiri).

Disebelahnya tampak tabung-tabung berwarna hijau berisi gas CO untuk membantu pertumbuhan tanaman strawberry yang diberikan dengan cara menghembuskan gas CO ke dalam ruang green house pada saat sebelum matahari terbit sekitar jam 4 – 6 pagi (sebelah kanan).










Terdapat pengontrol tekanan air yang dialirkan melalui pipa-pipa untuk menyirami tanah media tanaman strawberry.

















Pipa untuk menyalurkan air hangat sebagai pengatur suhu tanah media tanaman strawberry.
























Green house dilengkapi dengan plastik penutup untuk mengatur suhu udara dalam green house yang dapat dibuka-tutup secara otomatis dengan kawat.

















Penarik plastik (penutup dinding) berwarna oranye untuk mengatur suhu dalam green house.
























Pada gambar tampak susana wisatawan ketika memetik, menyantap strawberry, menikmati keindahan deretan strawberry dan bunga-bunga yang ditanam di pot dalam green house. Warna merah strawberry yang menempel di bibir dan pipi membuat gelak tawa riang wisatawan. Ketinggian tempat tanaman telah dibuat sedemikian rupa sehingga strawberry mudah dipetik baik dengan posisi berdiri maupun jongkok.












Pengunjung memetik dan menyatap strawberry di tempat yang rapih dan bersih yang dialasi dengan plastik.
























Heater (Mesin pemanas) ruang Green house untuk menjaga agar ruangan tetap hangat ketika musim dingin. Sebelah kiri tampak locker yang terkunci untuk tempat penyimpanan barang bawaan para pengunjung.
















Wisata Ichigogari untuk umum dibuka pada saat buah strawberry sudah banyak yang memerah matang (gambar samping) dimulai akhir bulan Desember sampai dengan pertengahan bulan Mei tahun berikutnya. Mereka yang ingin datang ke pertanian ichigo ini harus memesan dahulu beberapa hari sebelumnya dengan menyebutkan jam dan tanggal kedatangan serta jumlah orang yang akan datang. Pengunjung dipersilahkan memetik buah strawberry dan memakan sepuasnya selama 30 menit.

Harga tiket masuk untuk masuk kebun ini tergantung bulan. Harga tiket per orang pada bulan Desember 2.000 yen, bulan Januari 1.800 yen, Pebruari 1.700 yen, Maret 1.500 yen, April 1.200 yen, Mei 1000 yen. Sedangkan anak yang berumur kurang dari 7 tahun tiketnya dikenakan lebih murah yaitu 500 – 1.200 yen per anak.
 
Selama kurang lebih empat setengah bulan, pemasukan sekitar 3,5 – 4,0 juta yen. Sebagian besar uang ini dipergunakan untuk ongkos produksi dan cicilan biaya pembangunan green house, prasarana dan sarana pertanian lainnya. Pak Maeda mengaku penghasilannya selama empat setengah bulan 1,0 – 2,0 juta yen.

Thursday, 12 March 2009

Draft Jepang tentang MRL Chlorantranilprole, Metaflumizone, Methyl iodide, Paromomycin, dan Flunixin

Pada tanggal 11 Maret 2009 Standards and Evaluation Division, Department of Safety, Pharmaceutical and Food Safety Bureau, Ministry of Health, Labour and Welfare (MHLW) telah mengadakan Conference for Establishment of Maximum Residue Limits for Agricultural Chemicals (Chlorantranilprole, Metaflumizone, Methyl iodide, Paromomycin, and Flunixin) in Food di Kantor Ministry of Economy, Trade and Industry (METI), Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo.

Konferensi ini selain dihadiri oleh pejabat MHLW juga dihadiri oleh para perwakilan dari beberapa Kedutaan Besar di Jepang, termasuk KBRI Tokyo.

Latar Belakang

Dalam penjelasan artikel 11, paragraf 1 Food Sanitation Law, disebutkan bahwa MHLW berwenang menetapkan standar residu (Maximum Residue Limits: MRL) untuk pestisida, makanan tambahan, dan obat hewan (selanjutnya disebut bahan kimia pertanian) yang masih tersisa dalam makanan. Makanan yang dipasarkan di Jepang harus sesuai dengan standar yang telah di tetapkan oleh pemerintah Jepang.

Pada 29 Mei 2006, MHLW telah memperkenalkan sistem positive list untuk bahan kimia pertanian dalam makanan. Pada prinsipnya semua makanan yang didistribusikan di pasar Jepang harus mengikuti peraturan yang berazaskan pada sistem yang ditetapkan oleh MHLW tersebut.

MHLW akan menetapkan MRL terbaru untuk beberapa komoditi makanan, untuk itu MHLW telah menelaah secara komprehensif MRL yang selama ini berlaku. Kegiatan pengkajian ini ditujukan pada 5 bahan kimia yaitu Chlorantraniliprole (pestisida), Metaflumizone (pestisida), Methyl iodide (pestisida), Paromomycin (obat hewan) dan Flunixin (obat hewan).

Sebagai catatan bahwa sistem positive list ditetapkan berdasarkan pada amandemen 2003 Food Sanitation Law Jepang. Sistem ini bertujuan untuk melarang distribusi makanan di pasar Jepang apabila makanan tersebut mengandung bahan kimia pertanian melebihi kadar tertentu (0.01 ppm) yang telah ditetapkan oleh Peraturan yang berlaku.

Garis Besar Revisi MRL

1. Chlorantraniliprole (insektisida)

Chlorantraniliprole dilarang digunakan di Jepang. Pada saat ini Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF) telah menetapkan aturan tentang bahan kimia ini berdasarkan Agricultural Chemical Regulation Law. Telah terdapat permohonan dari pengusaha asing untuk penetapan MRL bahan kimia ini. Selama ini mengacu pada peraturan MRL untuk bahan kimia pertanian yang digunakan diluar Jepang, yang dipublikasikan 5 Pebruari 2004. Untuk merespon kebijakan MAFF dan permintaan para pengusaha tersebut, MHLW telah menetapkan MRL baru untuk beberapa tanaman pangan. Sebelum ini di Jepang belum terdapat MRL Chlorantraniliprole untuk tanaman pangan.

Pada konferensi ini telah disampaikan draft MRL Chlorantraniliprole untuk Beras 0.05 ppm, Kedelai kering 0.2 ppm, Kentang 0.01 ppm, Kubis, Kubis China dan Brussels sprouts 4.0 ppm; Kol, Komatsuna, Kyona, dan Qing-geng-cai 11 ppm; Kol Kembang dan Broccoli 4.0 ppm; Watercress, Endive, Shungiku, Lettuce, Bayam, Seledri dan daun Seledri 13.0 ppm; Welsh 2.0 ppm; Tomat, Terung, Pimiento 0.7 ppm; Labu, Semangka, Melon 0.25 ppm; Mentimun 0.3 ppm; dan Kedelai hijau 1.0 ppm. MRL untuk buah Apel, Peach, Nectarine, Apricot, Japanese Plum, dan Cherry 1.0 ppm; Pear 0.5 ppm; Quince, Loquat, biji kapas 0.3 ppm; Strawberry 0.7 ppm; anggur 1.2 ppm; Teh 50 ppm. MRL untuk produk binatang daging sapi dan babi, lemak sapi dan babi, hati sapi dan babi, ginjal sapi dan babi, dan susu 0.01 ppm; dan hewan air 0.05 ppm.

2. Metaflumizone (insektisida)

Metaflumizone dilarang digunakan di Jepang. Pada saat ini MAFF telah menetapkan bahan kimia dimasukkan pada Agricultural Chemical Regulation Law. Sebelum ini di Jepang belum terdapat MRL Metaflumizone untuk tanaman pangan. Yang tergolong Metaflumizone meliputi (E)-Metaflumizone, (Z)-Metaflumizone, p(m-(trifluoromethyl)phenacyl)benzonitrile.

Pada konferensi ini telah disampaikan draft MRLs Metaflumizone untuk kubis 5 ppm sedangkan kubis China 10 ppm.

3. Methyl iodide (fumigant)

Methyl iodide dilarang digunakan di Jepang. Pada saat ini MAFF telah menetapkan bahan kimia ini diatur dengan Agricultural Chemical Regulation Law. Sebelum ini di Jepang belum terdapat MRL Methyl iodide untuk tanaman pangan.

Pada konferensi ini telah disampaikan draft MRL Methyl iodide untuk tomat dan melon 0.05 ppm dan chestnut 0.5 ppm. Sedangkan MRL untuk komoditi lain seragam yakni 0.01 ppm.

4. Paromomycin (antimicrobial)

Paromomycin dilarang digunakan di Jepang. MHLW telah menelaah secara komprehensif MRLs guna menetapkan pengenalan sistem baru sementara. MRL sementara yang berlaku pada saat itu berdasarkan pada Stadar Eropa (EU). Akan tetapi MHLW akan mencabut MRLs sementara tersebut yang pada saat ini masih tercatat dalam daftar MRL sementara (Item 7, Section A “General Compositional Standards for Food” Part I “Food” of the Specifications and Standardss for Food, Food Additives, Etc.). Menurut penilaian MHLW sangat sulit untuk menyusun standar berdasarkan alasan ilmiah karena Jepang tidak dapat mengkonfirmasi situasi yang pasti pada saat penetapan standar EU sebagai pedoman disebabkan keterbatasan informasi penting mengenai residu. Setelah revisi ini diberlakukan, Paramomycin (antimicrobial) ini tidak diperbolehkan tersisa dalam semua makanan, berdasarkan persyaratan Item 1, Section A yang menyebutkan bahwa makanan tidak boleh mengandung antimicrobial atau antibacterial sintetis. MRL yang selama ini berlaku untuk Paromomycin pada daging dan lemak sapi dan babi 0.5 ppm; hati dan ginjal sapi dan babi 2 ppm, daging dan lemak ayam dan unggas lain 0.5 ppm; hati dan ginjal ayam dan unggas lain 2 ppm, Salmoniformes, Anguiliformes, Perciformes, Shelled mollusks, Crustaceans, dan ikan dan binatang air lainnya 0.5 ppm. Setelah revisi ini disahkan dan diimplementasikan maka semua komoditi diatas tidak diperbolehkan mengandung Paromomycin dan antibacterial sintetisnya.

5. Flunixin (non-steroidal anti-inflammatory drug)

Flunixin selama ini telah diperbolehkan digunakan di Jepang. Pada saat ini MAFF telah memutuskan untuk merevisi standar penggunaan bahan kimia ini yang mengacu pada Pharmaceutical Affairs Law. Untuk merespon kebijakan MAFF ini, MHLW telah menelaah secara komprehensif MRL yang sedang berlaku untuk menetapkan MRL baru. Draft MRL Flunixin untuk semua komoditi tidak terdapat perubahan, untuk daging sapi 0.02 ppm; hati sapi 0.3 ppm; daging babi 0.05 ppm; lemak sapi dan ginjal babi 0.03 ppm; lemak dan hati babi 0.2 ppm; ginjal sapi 0.1 ppm; dan susu (dalam bentuk 5-hydroxy flunixin) 0.04 ppm.

Sebelum revisi MRL ini diberlakukan, MHLW memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan tanggapan terhadap draft revisi ini agar disampaikan sebelum tanggal 25 Maret 2009 kepada Standards and Evaluation Division, Department of Safety, Pharmaceutical and Food Safety Bureau, Ministry of Health, Labour and Welfare 1-2-2 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-8916, Telepon +81-3-5253-1111 Fax: +81-3-3501-4868. Contact person: Mr. Katsuhiro Ogi (ogi-katsuhiro@mhlw.go.jp)