Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 14 November 2024

"One Health" : Membangun Kesehatan Bersama untuk Masa Depan

 

Para ahli mengatakan bahwa kurangnya sistem deteksi dini yang efisien dan kolaborasi antar pemangku kepentingan, serta adanya kesenjangan pengetahuan tentang adaptasi virus zoonosis terhadap inang baru, berkontribusi pada cepatnya penyebaran pandemi Covid-19. Oleh karena itu, untuk mencegah pandemi serupa di masa depan, penting bagi kita untuk mengidentifikasi, mengisi, dan mengendalikan kesenjangan pengetahuan terkait risiko munculnya penyakit menular zoonosis secara cepat sebelum penyakit tersebut menular ke manusia.

 

Di dunia yang semakin terhubung ini, kesehatan manusia, lingkungan, dan hewan memiliki keterkaitan yang kuat. Konsep "One Health" mengakui bahwa kita tidak dapat menjaga kesehatan hanya dengan berfokus pada manusia saja. Kita harus bekerja sama, memperhatikan hewan, dan lingkungan sekitar kita.

 

"Less Me, More We": Kesehatan untuk Semua

Lingkungan dan hewan memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan manusia. Kita harus bergerak dari pola pikir "kurangi ego" dan lebih banyak fokus pada "kita" untuk membangun dunia yang lebih sehat bersama. Prinsip “One Health” menekankan bahwa kesehatan adalah tanggung jawab bersama, dan apa yang kita lakukan terhadap lingkungan dan hewan berdampak pada kesehatan kita sendiri.

 

"Mereka Lebih Dekat dari yang Anda Kira": Fakta Penting Penyakit Zoonosis

Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia. Beberapa fakta penting yang harus kita ketahui:

·       60% dari penyakit menular yang ada pada manusia bersifat zoonosis, artinya penyakit ini berasal dari hewan.

·       75% dari penyakit menular baru yang menyerang manusia (seperti Ebola, HIV, dan influenza) memiliki asal-usul dari hewan.

·       80% agen bioterorisme potensial adalah patogen zoonosis.

·       Faktor lingkungan seperti polusi dan perubahan iklim menyumbang 24% dari semua penyakit pada manusia.

 

Dunia yang Berubah, Tantangan yang Berbeda

Perubahan yang cepat dalam populasi manusia, peningkatan suhu global, perubahan penggunaan lahan, serta meningkatnya perjalanan dan perdagangan internasional, telah membuat dunia lebih rentan terhadap penyebaran penyakit. Saat ini, penyakit yang muncul di satu lokasi dapat dengan mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia.

 

Tidak Ada yang Bisa Menghadapinya Sendiri

Penyakit menular yang muncul secara global adalah masalah kompleks yang tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Namun, di saat penyakit menyebar tanpa batas, kita masih sering bekerja terpisah dan terbatas. Untuk menghadapi tantangan kesehatan global di masa depan, kita harus memahami bahwa manusia, hewan, dan lingkungan memiliki keterkaitan yang tak terpisahkan. Kita perlu bekerja lintas sektor dan disiplin, menjalin kolaborasi antara dokter, dokter hewan, ekologis, dan profesional lainnya.

 

Memahami “One Health

One Health” adalah konsep yang mengakui bahwa kesehatan manusia sangat terkait dengan kesehatan hewan dan lingkungan. Pendekatan ini sangat penting dalam menghadapi penyakit menular yang terus berkembang, karena kita semua berbagi ekosistem yang sama dan dapat terpapar patogen yang sama.

 

Mengapa Kita Membutuhkan Pendekatan “One Health” ?

Hewan dan manusia hidup dalam lingkungan yang sama, dan tidak mengherankan jika kita berbagi banyak penyakit dan patogen yang serupa. Penyakit-penyakit tertentu dapat dengan mudah menyebar dari hewan ke manusia atau sebaliknya, sehingga pengendalian penyakit tidak bisa hanya dilakukan di satu sektor saja.

 

Misalnya, mikroba yang kebal antibiotik bisa berpindah dari hewan ke manusia melalui kontak langsung maupun tidak langsung, sehingga penggunaan antibiotik yang bijak dalam peternakan dan perikanan juga harus diatur untuk menangani infeksi multi-resisten pada manusia.

 

Empat Isu Utama dalam Pertarungan Kesehatan Global

Kenaikan Resistensi Antimikroba: Beberapa bakteri dapat berubah setelah terpapar antibiotik, sehingga menjadi lebih sulit diobati.

Zoonosis: Penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya, termasuk rabies, antraks dan flu burung.

Penyakit Menular Baru: Munculnya wabah penyakit baru sering terkait dengan perjalanan dan perdagangan internasional.

Kesehatan Manusia dan Ekosistem: Kerusakan alam akibat campur tangan manusia berdampak buruk pada kesehatan manusia, seperti penyakit pernapasan dari polusi udara atau wabah penyakit akibat penggundulan hutan.

 

Pendekatan “One Health” adalah cara terbaik untuk menjaga kesehatan kita, hewan, dan lingkungan. Dengan bekerja bersama, kita dapat menghadapi ancaman kesehatan masa depan dan menciptakan dunia yang lebih sehat bagi generasi mendatang.

 

Sebagai kesimpulan, peran utama Pemerintah dalam pendekatan “One Health” saat ini adalah menyusun Rencana Aksi Nasional untuk Keamanan Kesehatan (NAPHS) Indonesia 2024-2029, yang dapat menjadi panduan bagi program pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis.

 

Penerapan konsep “One Health” juga diharapkan menjadi bagian dari gaya hidup sehat masyarakat.

 

Sumber:

iNews.id 13 November 2024
https://www.inews.id/news/nasional/one-health-membangun-kesehatan-bersama-untuk-masa-depan?utm_medium=sosmed&utm_source=whatsapp


 

 

 

Tuesday, 12 November 2024

Chlamydia psittaci: Pembaruan Tentang Agen Zoonosis yang Diremehkan

 


ABSTRAK

 

Chlamydia (C.) psittaci adalah patogen yang memiliki dampak ekonomi signifikan pada unggas dan burung peliharaan, di mana ia menyebabkan penyakit psittacosis/ornithosis, serta merupakan patogen bagi manusia yang menyebabkan pneumonia atipikal setelah penularan zoonosis. Meskipun prevalensinya telah terdokumentasi dengan baik, agen ini kurang mendapat perhatian dari para peneliti dibandingkan dengan spesies Chlamydia lainnya dalam beberapa dekade terakhir. Dalam makalah ini, kami meninjau data terbaru tentang infeksi C. psittaci dan berupaya mengidentifikasi ciri-ciri yang membedakannya dari agen chlamydia terkait lainnya. Hal yang luar biasa adalah bahwa C. psittaci sangat efisien dalam menyebar di dalam tubuh inang, menyebabkan penyakit sistemik yang kadang-kadang dapat berkembang dengan cepat.

 

Pada tingkat seluler, spektrum sel inang yang luas dari patogen ini (mulai dari sel epitel hingga makrofag), kemampuannya untuk masuk dan bereplikasi dengan cepat, pemanfaatan jalur transportasi intraseluler menuju mitokondria dan aparatus Golgi, keterkaitan fisik yang kuat antara inklusi chlamydia dengan kompartemen sel yang menyediakan energi, serta regulasi subversif terhadap kelangsungan hidup sel inang selama kondisi produktif dan persisten, mendukung pertumbuhan yang efisien dan penyebaran antar inang dari C. psittaci.

 

Pada tingkat molekuler, patogen ini menunjukkan peningkatan ekspresi gen-gen chlamydia esensial saat menghadapi respons imun inang. Kami berhipotesis bahwa kemampuan ini, bersama dengan ekspresi efektor spesifik dari sistem sekresi tipe III dan penekanan efisien terhadap sinyal pertahanan inang tertentu, berkontribusi pada keberhasilan pembentukan infeksi dalam tubuh inang. Mengenai imunologi interaksi inang-patogen, C. psittaci telah terbukti membedakan dirinya dengan mengatasi mediator pro-inflamasi lebih efisien dibandingkan chlamydia lainnya selama respons awal inang, yang, dalam beberapa hal, dapat menjelaskan strategi penghindaran dan adaptasi yang efektif dari bakteri ini. Kami menyimpulkan bahwa analisis mendalam terhadap sejumlah besar urutan genom lengkap yang sudah tersedia akan sangat penting untuk mengidentifikasi penanda genetik yang khas spesies ini dan mendorong studi lebih lanjut dalam model seluler dan hewan guna menjawab topik penting seperti pengobatan dan vaksinasi.

 

SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI

 

Bakteri intraseluler obligat Chlamydia (C.) psittaci, agen penyebab psitakosis pada manusia dan burung, biasanya tidak dianggap sebagai patogen prioritas utama. Bahkan di antara organisme Chlamydia, C. psittaci sebagian besar tetap berada di bawah bayang-bayang patogen manusia seperti C. trachomatis dan C. pneumoniae, yang menarik minat utama peneliti dalam tiga dekade terakhir. Hal ini berbeda dengan persepsi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika psitakosis dan agennya menjadi fokus dalam bidang kedokteran manusia dan hewan.

 

Penelitian pionir pada tahun 1960-an dan 1970-an oleh J.W. Moulder, A. Matsumoto, G.P. Manire, T.P. Hatch, P.B. Wyrick, dan beberapa ilmuwan lainnya, yang menggunakan C. psittaci sebagai organisme model dalam studi mereka, menjadi dasar penelitian modern tentang Chlamydia. Moulder (1962) melakukan karakterisasi molekuler pertama dari chlamydiae dengan menganalisis struktur dan komposisi kimia partikel C. psittaci. Citra resolusi tinggi pertama dari tubuh chlamydial diperoleh dari C. psittaci oleh Matsumoto dan Manire (1970) menggunakan mikroskop elektron, dan hingga kini citra tersebut masih digunakan sebagai referensi dalam penelitian Chlamydia karena kualitasnya yang luar biasa. Penelitian revolusioner lainnya dilakukan oleh Hatch (1975), yang menunjukkan kebutuhan C. psittaci akan perantara energi dari sel inangnya. Pada tahun 1978, Wyrick dan koleganya pertama kali menggambarkan fitur struktural kompartemen chlamydial (Narita, Wyrick, dan Manire 1976) serta menunjukkan kemampuan C. psittaci untuk menginfeksi sel imun (Wyrick dan Brownridge 1978). Observasi pertama mengenai "bentuk persisten" juga ditemukan pada C. psittaci (Moulder, Levy, dan Schulman 1980), begitu juga isolasi pertama chlamydiaphage (Richmond, Stirling, dan Ashley 1982).

 

Artikel ilmiah pertama tentang infeksi chlamydial merujuk pada wabah psitakosis pada manusia (Ritter 1879). Pada periode dari tahun 1890 hingga 1930, terjadi berbagai wabah besar psitakosis manusia di Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Selatan (Hegler 1930; Meyer dan Eddie 1935), yang semuanya dikaitkan dengan penanganan, penjualan, dan pembelian burung beo serta burung eksotis lainnya. Dampak peristiwa epizootik ini dapat dipahami dengan mengingat bahwa pembentukan National Institutes of Health (NIH) dipengaruhi oleh wabah psitakosis di Amerika Serikat pada tahun 1930 (Lepore 2009). Kemudian, wabah besar menjadi kejadian langka karena kontrol penyakit yang lebih efektif melalui pemahaman yang lebih baik tentang etiologi dan epidemiologi, alat diagnostik yang lebih baik, serta penggunaan antimikroba dalam terapi.

 

Saat ini, klamidiosis avian (juga disebut sebagai psitakosis, ornitosis, atau demam burung beo) masih tersebar luas dan merupakan faktor utama kerugian ekonomi di industri unggas (Komisi Eropa 2002), serta menjadi risiko penularan zoonosis yang permanen bagi manusia (Harkinezhad, Geens, dan Vanrompay 2009). Penemuan dua spesies Chlamydia avian lainnya, yaitu C. avium dan C. gallinacea (Sachse et al., 2014), menunjukkan kemungkinan etiologi yang lebih kompleks dari klamidiosis avian. Ada indikasi bahwa dalam kasus tertentu, C. psittaci dapat bertindak bersama dengan salah satu spesies baru ini (Krautwald-Junghanns et al., 2013). Selain manifestasi klinis yang nyata (lihat bagian ‘Manifestasi klinis pada manusia dan hewan’), infeksi laten C. psittaci pada burung dapat menyebabkan penyakit klinis yang berulang dan mengarah pada kondisi kronis. Status pembawa pada unggas domestik juga bisa relevan secara ekonomi karena, pada sapi, perkembangan tertunda dan penurunan kinerja pada hewan yang terinfeksi Chlamydia diamati bahkan tanpa adanya gejala klinis (Reinhold, Sachse, dan Kaltenboeck 2011). Ini menunjukkan bahwa dampak buruk infeksi C. psittaci pada kesejahteraan hewan tidak boleh diremehkan. Selain itu, penularan intermiten oleh pembawa merupakan reservoir infeksi penting bagi burung dan manusia.

 

Hingga tahun 1999, spesies C. psittaci (Moulder et al., 1984) terdiri dari empat serovar yang mewakili strain dari burung, ruminansia, kucing, dan marmut. Berdasarkan analisis urutan RNA ribosom, serovar ini direklasifikasi untuk membentuk spesies yang terpisah (Everett, Bush, dan Andersen 1999). Spesies Chlamydophila psittaci yang direvisi, yang kemudian diganti namanya menjadi Chlamydia psittaci (Kuo et al., 2011), dimaksudkan untuk hanya mempertahankan strain avian. Namun, ini terbukti tidak dapat dipertahankan karena agen ini juga ditemukan pada hewan domestik non-avian seperti sapi (Kemmerling et al., 2009), domba (Lenzko et al., 2011), babi (Vanrompay, Geens, dan Desplanques 2004; Kauffold et al., 2006), kuda (Szeredi, Hotzel, dan Sachse 2005; Theegarten et al., 2008), kambing dan kucing (Pantchev et al., 2010), serta pada satwa liar (Hotzel et al., 2004) dan hewan laboratorium (Henning et al., 2008). Peran C. psittaci pada inang non-avian belum sepenuhnya jelas, tetapi tampaknya kasus penyakit klinis jarang terjadi, meskipun agen ini terbukti mampu menyebabkan penyakit pada anak sapi yang terinfeksi secara eksperimental (Reinhold et al., 2012).

 

Infeksi Ganda dan Virulensi C. psittaci dan C. pecorum atau C. abortus

 

Infeksi ganda yang melibatkan Chlamydia (C.) psittaci dan C. pecorum atau C. abortus (serta kombinasi C. pecorum dan C. abortus) cukup umum terjadi pada mamalia (Pantchev et al., 2010; Lenzko et al., 2011). Hal ini membuka kemungkinan adanya efek sinergis yang dapat memengaruhi jalannya infeksi. Peluang strain C. psittaci non-unggas untuk menyebabkan infeksi pada manusia tampaknya kecil dibandingkan dengan isolat unggas, karena kasus psittacosis pada manusia biasanya terkait dengan kontak dengan sumber unggas. Meskipun prevalensi agen ini pada populasi manusia umumnya rendah, baru-baru ini ditemukan lebih tinggi daripada C. pneumoniae pada pasien pneumonia yang didapat dari komunitas di Jerman, yakni 2,2% vs. 1,4% berdasarkan data PCR (R. Dumke et al., [data belum dipublikasikan]).

 

Apakah perbedaan potensi infeksi antara strain unggas dan non-unggas berkaitan dengan perbedaan virulensi intrinsik belum diketahui. Namun, penanda genetik yang mencerminkan spesifisitas inang atau penyakit yang berbeda belum ditemukan dalam studi genomik komparatif (Voigt, Schöfl, dan Saluz 2012), demikian pula faktor virulensi yang kuat belum teridentifikasi (Read et al., 2013). Berdasarkan temuan ini dan pengalaman praktis, dapat dihipotesiskan bahwa burung merupakan inang asli dan khas bagi C. psittaci, sementara mamalia hanya bertindak sebagai inang alternatif sementara. Kemungkinan bahwa setiap peredaran strain unggas melalui inang non-unggas dapat mengakibatkan hilangnya virulensi juga ada.

 

Genetika dan Genomik

 

Di era sebelum genomik, lokus ompA adalah yang pertama digunakan untuk subtipe C. psittaci. Lokus ini mengkode protein membran luar utama (MOMP), antigen permukaan yang mengandung sistein dengan berat sekitar 40 kDa, yang mewakili sekitar 60% berat membran luar. Molekul ini memiliki beberapa penentu antigenik spesifik genus dan spesies di daerah yang terkonservasi serta epitop spesifik serotipe di empat domain variabelnya (Conlan, Clarke, dan Ward 1988). Serotipe awalnya didefinisikan oleh antisera monoklonal, namun kemudian terbukti setara dengan genotipe ompA (Vanrompay et al., 1997), yang menyebabkan serotipe digantikan oleh genotipe pada akhir 1990-an. Hingga saat ini, sembilan genotipe (serotipe sebelumnya) C. psittaci telah dikenali dan memiliki preferensi inang tertentu (Andersen 1991, 1997; Vanrompay et al., 1993; Geens et al., 2005), misalnya, genotipe A pada burung psittacine, B pada merpati, C pada bebek dan angsa, D pada kalkun, E pada merpati, bebek, dan lainnya, E/B pada bebek, F pada parkit, WC pada sapi, dan M56 pada hewan pengerat. Dalam praktiknya, lebih realistis untuk merujuk pada preferensi inang daripada spesifisitas inang genotipe untuk mempertimbangkan beberapa pengecualian. Selanjutnya, enam genotipe ompA tambahan telah diidentifikasi pada burung psittacine dan burung liar, yaitu 1V, 6N, Mat116, R54, YP84, dan CPX0308 (Sachse et al., 2008).

 

Meskipun genotipe ompA dapat berguna dalam penyelidikan epidemiologis, metode ini mulai digantikan oleh pengetikan sekuens multi-lokus yang lebih diskriminatif (MLST). Protokol oleh Pannekoek dan koleganya (Pannekoek et al., 2008) saat ini banyak digunakan untuk MLST C. psittaci. Metode ini berbasis pada segmen diskriminatif dari tujuh gen housekeeping yaitu enoA, fumC, gatA, gidA, hemN, hlfX, dan oppA. Sesuai dengan prinsip MLST yang disepakati secara umum (Maiden 2006), setiap lokus tersebut menampilkan variasi sekuens nukleotida yang serupa, tidak berdekatan dengan gen yang mengkode protein membran luar, protein yang disekresikan, atau protein hipotetik untuk menghindari seleksi diversifikasi, dan lokus-lokus ini cukup berjauhan satu sama lain di dalam kromosom. Sistem ini telah menunjukkan keterkaitan antara tipe sekuens C. psittaci individual dan spesies inang (Pannekoek et al., 2010). Namun, strain mamalia C. psittaci dari genotipe A berkelompok dengan strain yang diisolasi dari burung psittacine (Pannekoek et al., 2012), yang kembali menunjukkan tidak adanya perbedaan genetik antara isolat unggas dan non-unggas pada level ini.

 

Genomik komparatif di antara anggota keluarga Chlamydiaceae saat ini masih pada tahap awal, tetapi studi yang telah dilakukan sejauh ini telah mengungkap sejumlah ciri khas. Di satu sisi, kesetaraan synteny yang terkonservasi, yaitu konservasi urutan dan susunan gen, dalam genom dengan ukuran yang berkurang, dikenali sebagai ciri khas genus Chlamydia (Myers, Crabtree, dan Huot 2012). Hal ini harus dipahami dalam konteks keterbatasan evolusi akibat gaya hidup intraseluler obligat, yang mengimplikasikan ketergantungan pada substrat inang dan kapabilitas metabolik (Read et al., 2000). Tingkat konservasi ini diilustrasikan dalam pan-genome Chlamydiaceae, yang mencakup sekitar dua pertiga dari seluruh protein chlamydial. Dengan demikian, 736 urutan pengkode protein (CDS) dibagikan di antara spesies C. psittaci, C. abortus, C. pneumoniae, dan C. trachomatis, dengan jumlah total CDS pada spesies ini berkisar dari 874 hingga 1097 (Voigt et al., 2012). Analisis 20 genom C. psittaci menunjukkan bahwa total 911 CDS inti dibagikan di antara semua strain C. psittaci yang diurutkan sejauh ini, yang setara dengan sekitar 90% gen yang ada di setiap genom ini (Read et al., 2013).

 

Semua strain C. psittaci yang telah disekuens menunjukkan adanya kromosom tunggal sekitar 1,1 Mbp. Selain itu, sebagian besar strain memiliki plasmid konservatif berukuran 8 kbp yang mengandung tujuh hingga delapan CDS. Pada saat penyerahan naskah ini, urutan genom lengkap (WGS) dari 48 strain C. psittaci telah disimpan di database Genom NCBI dalam berbagai tahap perakitan, sementara 44 entri lainnya yang belum dirakit tersedia dari Sequence Read Archive (SRA). Setidaknya untuk genom yang telah dirakit sebagian atau sepenuhnya, ini lebih dari setengah jumlah genom C. trachomatis (n = 88) dan jauh lebih banyak dibandingkan dengan C. pneumoniae (n = 6). Sekuens lengkap tersedia untuk 17 strain berbeda dari C. psittaci. Tinjauan parameter dasar dari strain yang dipilih disajikan dalam Tabel 1. Terlepas dari jumlah data sekuens mentah yang sangat besar, sangat sedikit studi lanjutan tentang WGS C. psittaci yang telah dilakukan. Dua studi komparatif pada genom Chlamydiaceae memasukkan strain tipe 6BC (Voigt et al., 2012; Sachse et al., 2014), dan hanya satu studi yang benar-benar membandingkan WGS dari strain individu C. psittaci (Read et al., 2013). Situasi ini berbeda dengan C. trachomatis dan C. pneumoniae, di mana beberapa studi semacam itu telah dilakukan [ditinjau oleh Bachmann, Polkinghorne dan Timms (2014)].

 

Table 1. Seleksi WGS C. psittaci*

Strain

Inang

Isolasi

Genotipe

Kromosom

Plasmid

Ukuran Genom

GC%

Scaffold

Gen

Protein

Referensi

6BC

Burung psittacine

1983, USA/CA

A

CP002549.1

CP002550.1

1.171.660

39.1

2

1.016

975

Voigt et al. (2011)

6BC




CP002586.1

CP002587.1

1.171.667

39.1

2

1.055

1.009

Grinblat-Huse et al. (2011)

6BC




SRA061584


SRA saja


1.297


Read et al. (2013)


C19/98

Domba

1998, Jerman

A

CP002804.1

-

1.169.374

39.0

1

1.019

978

Schofl et al. (2011)

01DC11

Babi

2001, Jerman

A

CP002805.1

-

1.172.197

39.1

1

1.019

975

Schofl et al. (2011)

02DC15

Sapi

2002, Jerman

A

CP002806.1

-

1.172.182

39.1

1

1.020

978

Schofl et al. (2011)

08DC60

Manusia

2008, Jerman

A

CP002807.1

-

1.172.032

39.1

1

1.019

973

Schofl et al. (2011)

Mat116

Burung psittacine

2006, Jepang

Mat116

CP002744.1

-

1.163.362

39.1

1

1.058

1.017

Fukushi et al. (pengiriman langsung)

01DC12

Babi

2001, Jerman

E

HF545614.1

HF545615.1

1.171.011

39.1

2

1.015

959

Seth-Smith et al. (2013)

RD1

Tidak diketahui

2010, Inggris

n.a.

FQ482149.1

FQ482150.1

1.164.076

39.1

2

1.009

951

Seth-Smith et al. (2011)

84/55

Burung psittacine

?, Jerman

A

CP003790.1

CP003812.1

1.172.064

39.1

2

1.168

1.127

Van Lent et al. (2012)

CP3

Merpati

1958, USA/CA

B

CP003797.1

CP003813.1

1.168.150

39.1

2

1.165

1.124

Van Lent et al. (2012)

CP3




SRA061582


SRA saja


1.058


Read et al. (2013)


GR9

Bebek

1960, Jerman

C

CP003791.1

-

1.147.152

39.1

1

1.083

1.042

Van Lent et al. (2012)

GR9




SRA061587


SRA saja


1.052


Read et al. (2013)


CT1

Kalkun

1954, USA/CA

C

SRA061680


SRA saja


1.063


Read et al. (2013)


NJ1

Kalkun

1954, USA/NJ

D

CP003798.1

CP003816.1

1.161.434

39.0

2

1.093

1.052

Van Lent et al. (2012)

NJ1




SRA061578


SRA saja


1.364


Read et al. (2013)


FalTex

Kalkun

1980, USA/TX

D

SRA061585


SRA saja


1.332


Read et al. (2013)


Borg

Manusia

1944, USA/LA

D

SRA061576


SRA saja


1.159


Read et al. (2013)


MN

Manusia

1934, USA/CA

E

CP003792.1

CP003815.1

1.168.490

39.1

2

1.084

1.041

Van Lent et al. (2012)

MN



E

SRA061581


SRA saja


1.386


Read et al. (2013)


VS225

Burung psittacine

1991, USA/TX

F

CP003793.1

CP003817.1

1.157.385

39.0

2

1.157

1.116

Van Lent et al. (2012)

VS225




SRA061577


SRA saja


1.053


Read et al. (2013)


WS/RT/E30

Bebek

2001, Jerman

E/B

CP003794.1

CP003819.1

1.140.789

39.0

2

1.093

1.052

Van Lent et al. (2012)

M56

Muskrat

1961, Kanada

M56

CP003795.1

CP003814.1

1.161.385

38.8

2

1.090

1.049

Van Lent et al. (2012)

M56




SRA061583


SRA saja


1.200


Read et al. (2013)


WC

Sapi

1963, USA/CA

WC

CP003796.1

CP003818.1

1.172.265

39.1

2

1.095

1.054

Van Lent et al. (2012)

WC




SRA061579


SRA saja


1.237


Read et al. (2013)


RTH

Elang

2003, USA/CA

G

SRA061571


SRA saja


1.306


Read et al. (2013)


 

*Hanya strain dengan WGS yang telah terangkai sepenuhnya dan/atau yang termasuk dalam studi komparatif yang ditampilkan di sini. Sebanyak 30 urutan yang terangkai sebagian lainnya dapat ditemukan di

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/genome/?term=Chlamydia+psittaci.

SRA: Sequence Read Archive (www.ncbi.nlm.nih.gov/sra).

n.a.: tidak berlaku

 

Sejumlah besar keragaman antarspesies dapat ditemukan di zona plastisitas (PZ), yaitu wilayah yang sangat bervariasi di dekat area perkiraan akhir replikasi (Read et al., 2000). Ukuran dan organisasi PZ berbeda secara substansial di antara Chlamydiaceae, berkisar dari 45 gen pada C. trachomatis hingga 6 gen pada strain koala LPCoLN dari C. pneumoniae (Voigt et al., 2012). Pada strain C. psittaci 6BC, PZ berukuran 29 kbp dan mengode 16 gen. Salah satu ciri terpentingnya adalah gen sitotoksin/adhesin (tox) yang besar, yang mirip dengan faktor adhesi EHEC dan sitotoksin Clostridium (Belland et al., 2001), serta kluster tiga-gen guaAB-add, yang berperan dalam penyelamatan biosintesis nukleotida purin yang diperlukan untuk pertumbuhan klamidia. Mayoritas strain yang diteliti oleh Read dan kolega ditemukan memiliki gen tox dan lokus guaAB-add yang utuh (Read et al., 2013). Menariknya, lokus ini tidak berfungsi pada spesies terkait erat, yaitu C. abortus (Thomson et al., 2005).

 

Sumber keragaman lain di antara spesies Chlamydia adalah keluarga gen pmp. Protein membran polimorfik (Pmp) memiliki urutan sinyal di ujung N, domain mirip autotransporter di ujung C, dan domain ‘penumpang’ tengah yang mencakup sejumlah motif tetrapeptida pendek spesifik Chlamydia, GGA(I, L, V) dan FXXN, di sisi proksimal N sebagai domain struktural utamanya. Namun, kesamaan urutan keseluruhan antara setiap Pmp cukup rendah. Genom C. psittaci diketahui memiliki 21 anggota keluarga pmp (Voigt et al., 2012). Pada masing-masing gen pmp, jumlah motif tetrapeptida konservatif berkisar antara 2 hingga 18 untuk GGA(I, L, V), dan antara 4 hingga 23 untuk FXXN. Unit tetrapeptida berulang ini diduga berperan dalam adhesi klamidia pada sel inang (Molleken, Schmidt, dan Hegemann, 2010), namun studi lebih lanjut diperlukan untuk memverifikasi fungsi adhesin yang dipostulasikan dari Pmp.

 

Seperti bakteri Gram-negatif lainnya, klamidia memiliki sistem sekresi tipe III (T3SS) (Hsia et al., 1997). Pada tahap intraseluler dalam siklus perkembangannya, yang membatasi bakteri di dalam kompartemen seperti vakuola yang terbungkus, patogen ini menggunakan mesin molekuler canggih ini untuk sekresi efektor yang memastikan kelangsungan hidupnya, mendukung pertumbuhannya, serta mempertahankan atau menantang respons inang (lihat Bagian ‘Manifestasi klinis pada manusia dan hewan’). Berdasarkan algoritme pencarian yang digunakan, Voigt dan rekan-rekan mengidentifikasi 40 atau 35 molekul efektor potensial dalam WGS strain C. psittaci 6BC (Voigt et al., 2012). Karena hanya sedikit di antaranya yang telah dikarakterisasi secara fungsional, penelitian lebih lanjut masih sangat diperlukan untuk mengisi kekurangan pengetahuan penting ini.

 

Di antara efektor T3SS, protein Inc adalah perwakilan penting karena terlibat dalam modifikasi membran inklusi untuk berfungsi sebagai antarmuka antara vakuola parasitoforik klamidia dan sitosol serta organel sel inang. Pada C. psittaci, tiga perwakilan, IncA, B, dan C, telah diidentifikasi sejauh ini (dibandingkan dengan tujuh pada C. trachomatis). Karena imunogenisitasnya yang tinggi pada marmut, IncA dari C. caviae adalah protein Inc pertama yang ditemukan (Rockey, Heinzen, dan Hackstadt, 1995). Meskipun anggota keluarga protein ini memiliki sedikit kesamaan urutan umum, mereka memiliki domain hidrofobik bilobed yang khas terdiri dari 60–80 residu asam amino. Menariknya, jumlah motif urutan tandem APA atau AGA dalam incA baru-baru ini ditemukan memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan virulensi strain C. pecorum (Mohamad et al., 2014).

 

Fungsi serupa yang terkait dengan membran inklusi juga telah disarankan untuk protein kepala transmembran (TMH), yang dikode oleh gen-gen dalam kluster TMH/Inc (Thomson et al., 2005). Karena efektor T3SS ini memiliki heliks transmembran berpasangan di ujung N, yang paralog dengan IncA, mereka diasumsikan sebagai anggota keluarga Inc yang diperluas. Pada C. psittaci, lokus tmh mencakup delapan gen, semuanya memiliki domain IncA (Voigt et al., 2012).

 

Wilayah genom yang bervariasi yang dibahas di sini kemungkinan mewakili faktor utama yang terlibat dalam adaptasi spesifik spesies terhadap organisme inang dan ceruk lingkungan, tropisme jaringan, serta patogenesis dan virulensi (Thomson et al., 2005). Namun demikian, para peneliti baru mulai memahami sifat dan kemampuan yang membedakan C. psittaci dari spesies Chlamydia lainnya. Secara keseluruhan, pengetahuan spesifik tentang genom C. psittaci masih sangat terbatas. Analisis mendalam lebih lanjut terhadap data WGS yang telah dihasilkan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi parameter genom yang mencerminkan ciri khas patogen ini.

 

MANIFESTASI KLINIS PADA MANUSIA DAN HEWAN

 

Berdasarkan data dari model hewan, C. psittaci tampaknya menjadi patogen yang sangat kuat, fleksibel, dan tahan. Pada infeksi paru-paru tikus, dosis yang menyebabkan gejala klinis parah sekitar 3 log lebih rendah untuk C. psittaci (4 × 10^4 IFU per tikus C57BL/6) dibandingkan dengan C. pneumoniae dalam pengaturan yang identik (Sommer et al., 2009; Bode et al., 2012). Dibandingkan dengan spesies Chlamydia lainnya, patogen ini juga menunjukkan kelimpahan yang lebih tinggi dalam pengaturan eksperimental tertentu. Pada embrio ayam, infeksi C. psittaci menyebabkan tingkat kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan C. abortus yang berkaitan erat. Patogen ini juga jauh melampaui C. abortus dalam penyebaran pada organ inang, meningkatkan jumlah makrofag, dan menyebabkan peningkatan mediator inflamasi pro (Braukmann et al., 2012). Pada anak sapi, berbagai dosis infeksi C. psittaci menunjukkan gejala pernapasan parah, sedang, atau subklinis (Reinhold et al., 2012).

 

Dalam kultur sel, strain C. psittaci rata-rata berbeda dari spesies Chlamydia lainnya dengan pertumbuhannya yang cepat dalam siklus yang relatif singkat (48 jam atau kurang), hasil yang tinggi, dan inklusi yang relatif besar. Tingkat keberhasilan memperoleh isolat dari jaringan klinis juga relatif tinggi.

 

Penjelasan sederhana untuk perbedaan virulensi antar spesies klamidia bisa terkait dengan proliferasi, yaitu kemampuan patogen untuk berkembang biak dengan cepat dan efisien pada inang. Tingkat replikasi yang lebih tinggi akan meningkatkan kemampuan untuk menetap dalam infeksi dengan memproduksi jumlah elementary bodies (EBs) yang lebih cepat, sehingga memicu respons inflamasi yang lebih kuat dan berpotensi merusak pada inang. Namun demikian, pertumbuhan yang cepat tidak menjadi kriteria yang berguna saat membandingkan virulensi sepanjang spektrum patogen klamidia, karena, misalnya, C. muridarum sebagai yang tercepat berkembang secara alami adalah komensal pada tikus. Demikian juga, studi terbaru tentang dua varian strain C. psittaci 6BC menunjukkan bahwa strain yang dilemahkan dan virulen tampaknya tidak berbeda dalam kinetika pertumbuhan in vitro dan in vivo (Miyairi et al., 2011). Sebaliknya, panjang siklus perkembangan memengaruhi hasil infeksi. Parameter ini independen dari tingkat pertumbuhan badan retikulat (RB) tetapi bergantung pada pertumbuhan inklusi, yang bergantung pada kemampuan memperoleh lipid.

 

Selain itu, C. psittaci tampaknya memodulasi virulensinya melalui perubahan kekebalan inang, yang diduga disebabkan oleh sejumlah kecil mutasi titik (SNP) pada kromosom (Miyairi et al., 2011). Studi yang sama mengidentifikasi homolog dari gen serin/threonine protein kinase mirip eukariotik pkn5, yang mengkode protein efektor yang diduga dari T3SS klamidia, sebagai kandidat gen virulensi. Analisis sekuens mengungkapkan adanya mutasi nonsinonim pada strain yang dilemahkan di situs potensial fosforilasi dekat ujung C-terminus Pkn5 yang mengubah residu serin yang konservatif menjadi glisin. Gen pkn5 adalah bagian dari operon yang mengkodekan T3SS konservatif (Peters et al., 2007), dan sekresi C. trachomatis Pkn5 melalui T3SS telah ditunjukkan dalam sistem ortholog Salmonella enterica serovar Typhimurium (Ho dan Starnbach 2005). Selain itu, Pkn5 C. pneumoniae diketahui berlokasi pada membran inklusi dan mungkin berinteraksi langsung dengan inang, sehingga berfungsi sebagai kandidat faktor virulensi potensial (Herrmann et al., 2006). Sementara C. trachomatis Pkn5 (CT673), yang tidak memiliki domain aktivasi I dan residu arginin kritis dalam domain XI, tampaknya telah kehilangan aktivitas kinases (Verma dan Maurelli 2003), Herrmann dan rekan-rekannya melaporkan bahwa homolog Pkn5 C. pneumoniae (Cpn0703) dan C. psittaci mempertahankan residu arginin ini (Herrmann et al., 2006).

 

Manusia terinfeksi melalui inhalasi bakteri aerosol saat terpapar burung yang terinfeksi atau saat menangani bulu, kotoran, atau bangkai yang terkontaminasi (West 2011). Bahkan paparan singkat terhadap burung yang terinfeksi dan/atau lingkungan yang terkontaminasi dapat menyebabkan infeksi pada manusia.

 

Masa inkubasi C. psittaci pada manusia adalah 5-14 hari (CDC 2000). Gejala umum dari psittacosis termasuk demam yang muncul tiba-tiba, menggigil, sakit kepala, lemah, nyeri otot, batuk non-produktif, dan sesak napas. Komplikasi lainnya termasuk perikarditis, endokarditis atau miokarditis, hepatomegali, dan splenomegali. Kasus fatal menjadi sangat jarang (sekitar 5%) sejak adanya antibiotik (CDC 2000; West 2011). Namun, jika tanda awal infeksi saluran pernapasan atas terkait psittacosis tidak diobati, dapat terjadi penyakit parah atau bahkan kematian. Pengenalan terlambat terhadap penyakit ini masih mungkin terjadi hingga saat ini, karena C. psittaci tidak termasuk dalam jadwal diagnostik rutin di sebagian besar laboratorium medis (Senn dan Greub 2008).

 

Saluran pernapasan tampaknya bukan satu-satunya jaringan yang menjadi target C. psittaci. Dalam sebuah penelitian terbaru pada pasien trakoma, 19,0% dari kasus menunjukkan adanya C. psittaci, baik sebagai infeksi tunggal maupun infeksi ganda, terutama dengan C. trachomatis. Hal ini menunjukkan bahwa, seiring dengan agen penyebab yang telah terbukti, C. trachomatis, C. psittaci mungkin memainkan peran dalam trakoma pada manusia (Dean et al., 2013).

 

Karena spesies Chlamydia diketahui bersifat mitogenik in vitro (Byrne dan Ojcius 2004), menyebabkan resistensi terhadap apoptosis pada sel yang terinfeksi (Miyairi dan Byrne 2006), serta menginduksi proliferasi sel poliklonal in vivo (Ferreri, Ernberg, dan Copie-Bergman 2009), tidak mengherankan jika C. psittaci dan agen klamidia lainnya juga dibahas terkait dengan penyakit kanker. Mikroorganisme ini memang telah diidentifikasi dalam limfoma MALT (jaringan limfoid yang terasosiasi mukosa) adnexa okular (OAML) (Ferreri et al., 2004; de Cremoux et al., 2006). Meskipun limfoma MALT bervariasi dalam hal manifestasi klinis, mereka sering kali bersamaan dengan infeksi bakteri, yang biasanya mengarah pada deregulasasi gen spesifik (Collina et al., 2012). Pasien dengan OAML dilaporkan memiliki prevalensi infeksi C. psittaci yang tinggi, baik dalam jaringan tumor (Aigelsreiter et al., 2011) maupun pada sel mononuklear darah perifer (Ferreri et al., 2004). Chlamydia psittaci tampaknya hadir sebagai bakteri yang masih hidup dalam tumor limfomatosa (Ponzoni et al., 2008), yang lebih sering ditemukan pada organ yang terpapar antigen eksternal, di mana monosit/makrofag bisa bertindak sebagai reservoir utama untuk patogen ini. Telah dispekulasikan bahwa infeksi C. psittaci yang persisten (lihat bagian 'Persistensi intraseluler') mungkin berperan penting dalam perkembangan OAML, yang didukung oleh fakta bahwa penekanan C. psittaci melalui doksisiklin diikuti dengan regresi limfoma yang dapat terdeteksi (Ferreri et al., 2005). Prevalensi infeksi C. psittaci dalam limfoma MALT tampaknya bervariasi antar wilayah (Chanudet et al., 2006), paling sering ditemukan di Jerman (47%), Pantai Timur AS (35%), dan Belanda (29%). Jelas diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menunjukkan hubungan kausal antara keberadaan C. psittaci dalam jaringan yang terinfeksi dan perkembangan limfoma MALT.

 

Infeksi C. psittaci pada burung sering kali bersifat sistemik dan dapat menunjukkan manifestasi yang tidak tampak, parah, akut, atau kronis (Andersen dan Vanrompay 2000; Kaleta dan Taday 2003). Pada burung, bakteri ini menginfeksi sel epitel mukosa serta makrofag di saluran pernapasan. Sepsis akhirnya berkembang, dan C. psittaci menglokalisasi diri dalam sel konjungtiva, saluran pencernaan, dan sebagian besar organ (Stewardson dan Grayson 2010). Bergantung pada strain klamidia dan inang burung yang terlibat, infeksi ini dapat menyebabkan pneumonia, airsakulitis, perikarditis, hepatitis, dan/atau splenitis, kadang-kadang berujung pada hasil yang fatal. Di sini pun, diyakini bahwa bakteri menggunakan monosit/makrofag darah sebagai kendaraan untuk menyebar melalui organisme inang (Beeckman dan Vanrompay 2010).

 

Penelitian terbaru membahas lesi paru pada anak sapi dan tikus yang terinfeksi C. psittaci secara aerogenik untuk menganalisis pola reaksi spesifik spesies pada mamalia (Reinhold et al., 2012; Fiegl et al., 2013; Knittler et al., 2014). Berdasarkan temuan morfologis, penulis awalnya mengamati infeksi pada sel epitel alveolar. Perkembangbiakan patogen diikuti oleh aliran cepat granulosit neutrofil, yang kemungkinan dimediasi oleh sitokin yang dilepaskan dari sel yang terinfeksi. Knittler dan rekan-rekannya (Knittler et al., 2014) mengusulkan bahwa degranulasi dan kerusakan granulosit neutrofil menyebabkan kerusakan spesifik spesies yang luas pada jaringan paru. Selanjutnya, respons imun adaptif, yang melibatkan sel dendritik (DCs), limfosit T dan B, akan menyelesaikan (penghilangan sebagian atau seluruh) bakteri dan akhirnya membuka jalan bagi regenerasi jaringan paru.

 

INTERAKSI INANG–PATOGEN

 

Tahap awal Badan elemental (EB) C. psittaci diperkirakan menginfeksi sel targetnya di paru-paru melalui penempelan pada dasar mikrovili permukaan sel (Beeckman et al., 2008), di mana mereka secara aktif dilahap oleh vesikel endositosis atau fagositosis (Dautry-Varsat, Balana, dan Wyplosz 2004). Pengamatan eksperimental kami yang belum dipublikasikan menunjukkan bahwa C. psittaci dapat memasuki hampir semua jenis sel (sel epitel, fibroblas, makrofag, sel dendritik, dll.) yang menyarankan adanya berbagai mode masuk bakteri dan dapat memberikan penjelasan tentang perkembangan infeksi sistemik C. psittaci pada berbagai organisme inang. Studi pada spesies C. psittaci terkait, yaitu C. caviae, menunjukkan bahwa penempelan awal dimediasi oleh interaksi elektrostatik, kemungkinan besar dengan moiety glikosaminoglikan (GAG) pada permukaan sel inang (Gutierrez-Martin et al., 1997) (Gambar 1). Namun, pengamatan bahwa pengikatan sel C. psittaci dan strain klamidia terkait hanya sebagian atau tidak terhambat oleh heparin sangat menunjukkan bahwa mekanisme adhesi lebih lanjut berkontribusi pada penempelan klamidia (Gutierrez-Martin et al., 1997; Ojcius et al., 1998).

 

Telah dispekulasikan bahwa kontak sel klamidia merupakan proses dua langkah, yaitu pengikatan reversibel yang diikuti oleh penempelan yang tidak dapat dibalikkan (Carabeo dan Hackstadt 2001). Meskipun masuknya klamidia sangat efisien, rincian molekuler pasti dari pengambilan bakteri belum sepenuhnya dipahami. Protein inang disulfida isomerase (PDI) telah diidentifikasi sebagai hal yang penting untuk penempelan C. psittaci dan masuknya ke dalam sel (Abromaitis dan Stephens 2009) (Gambar 1). PDI sangat terkonsentrasi di retikulum endoplasma, tetapi juga ditemukan pada permukaan sel di mana ia mengkatalisis reduksi, oksidasi, dan isomerisasi ikatan disulfida. Meskipun PDI pada permukaan sel diperlukan untuk penempelan C. psittaci, bakteri tampaknya tidak mengikat langsung PDI yang terasosiasi dengan sel. Sebaliknya, reduksi disulfida tampaknya diperlukan untuk masuknya klamidia, dengan penempelan bakteri yang tidak bergantung pada aktivitas enzimatik PDI. Telah dibuktikan bahwa C. psittaci yang terikat diinternalisasi dengan sangat cepat dalam 30–60 menit (pada 37°C).

 

Data mikroskop elektron juga menunjukkan mekanisme seluler yang berbeda untuk proses masuknya klamidia. Salah satu hipotesis melibatkan fagositosis yang bergantung pada mikrofilamen, termasuk kontak antara adhesin bakteri dan reseptor sel inang (Ward dan Salari 1982; Finlay dan Cossart 1997), sementara mekanisme pengambilan lain yang diusulkan didasarkan pada endositosis yang dimediasi oleh reseptor/clathrin (Hodinka et al., 1988), yang biasanya digunakan untuk pengambilan biomolekul besar oleh sel. Studi lebih lanjut memberikan bukti bahwa beberapa strain klamidia mungkin juga memasuki sel inang menggunakan domain rak lipid kaya kolesterol (Norkin, Wolfrom, dan Stuart 2001; Stuart, Webley, dan Norkin 2003). Berbagai molekul permukaan klamidia telah diusulkan berfungsi sebagai adhesin selama proses penempelan/pengambilan klamidia, misalnya MOMP OmcB (Omp2) dan GAGs (Ting et al., 1995; Gutierrez-Martin et al., 1997; Escalante-Ochoa, Ducatelle, dan Haesebrouck 1998; Moelleken dan Hegemann 2008). Meskipun EBs lebih besar daripada vesikel yang dilapisi clathrin (200–300 vs. 100–200 μM), C. psittaci tampaknya mampu memanfaatkan jalur masuk seluler ini (Hodinka dan Wyrick 1986).

 

Telah disarankan sejak lama bahwa, tergantung pada strain klamidia, jenis sel inang, dan kondisi biologi sel lainnya, klamidia mampu menggunakan berbagai jalur untuk memasuki sel targetnya (Wyrick et al., 1989). Memang, baik vesikel yang dilapisi clathrin maupun yang tidak dilapisi clathrin telah ditunjukkan dapat memfasilitasi masuknya klamidia ke dalam sel endometrium manusia yang terpolarisasi (Wyrick et al., 1989).

 



Gambar 1. Siklus perkembangan C. psittaci.

 

Seperti spesies klamidia lainnya, C. psittaci memiliki siklus perkembangan biphasik yang mencakup tahap intraseluler dalam inklusi mirip vakuola. Elementary bodies (EB) yang tidak aktif secara metabolik tetapi infektif diambil oleh sel inang. Setelah internalisasi, EB dikelilingi oleh membran intraseluler untuk membentuk inklusi. Di dalam vesikel ini, EB berubah menjadi retikulat bodies (RB) yang lebih besar dan aktif secara metabolik, yang membelah melalui pembelahan biner. C. psittaci memanfaatkan mesin pengangkutan intraseluler inang dengan merekrut protein motor mikrotubulus dynein ke permukaan luar vakuola, yang menggerakkan migrasi inklusi ke arah ujung minus mikrotubulus dan pusat pengorganisasian mikrotubulus, di mana ia berada di posisi sentral perinuklear untuk membangun niche intraselulernya dekat dengan GA. Fusi, pematangan, dan pemeliharaan inklusi klamidia memerlukan pengelompokan di sekitar daerah perinuklear. Selama pematangan inklusi, protein efek klamidia menyebabkan fragmentasi Golgi dan dengan demikian memastikan akuisisi lipid dan pertumbuhan bakteri. Dalam waktu 24-72 jam, RB berubah kembali menjadi EB yang infektif, yang kemudian dilepaskan dari inklusi untuk menginfeksi sel-sel tetangga. Dengan adanya inhibitor pertumbuhan, seperti IFN-γ, klamidia intraseluler dapat berkembang menjadi bentuk persisten yang tidak berkembang biak.

 

Selama tahap intraseluler, sel yang terinfeksi C. psittaci memproses protein bakteri untuk presentasi antigen. Untuk tujuan ini, fragmen protein bakteri (peptida) mengikat molekul MHC I dan ditampilkan di permukaan sel. Ini dikenali oleh sel T sitotoksik CD8+ yang kemudian menghancurkan sel inang yang terinfeksi bersama dengan patogennya. EB yang dilepaskan dari C. psittaci mengaktifkan kaskade komplemen yang menyebabkan pemotongan faktor komplemen yang tidak aktif, yang kemudian merangsang berbagai sel efektor dari sistem kekebalan adaptif melalui reseptor komplemen yang sesuai.


Beberapa studi juga menyoroti pentingnya mikrofilamen inang, mikrotubulus, dan protein motor mikrotubulus (kinesin dan dynein) untuk pengambilan dan perkembangan intraseluler C. psittaci dan spesies klamidia lainnya (Escalante-Ochoa, Ducatelle, dan Haesebrouck 2000; Carabeo et al., 2002; Grieshaber, Grieshaber, dan Hackstadt 2003). Pada semua tipe sel yang telah diuji sejauh ini, partisipasi aktin dan tubulin tampaknya diperlukan untuk proliferasi bakteri yang optimal (Escalante-Ochoa et al., 2000). Di sisi lain, penghentian sintesis protein prokariotik tampaknya tidak mempengaruhi pengambilan C. psittaci, dengan demikian menunjukkan bahwa proses internalisasi tidak memerlukan sintesis protein pada sisi bakteri (Friis 1972; Tribby, Friis, dan Moulder 1973; Jutras et al., 2004).

 

Pengambilan ke dalam sel inang lebih bergantung pada fungsi yang memerlukan energi dari perangkat makromolekul yang telah terbentuk sebelumnya, yaitu T3SS atau injektisom (lihat juga bagian ‘Genetika dan genomik’), yang memungkinkan mikroorganisme untuk mengatur ekspor protein efek ke dalam sitosol dan membran inklusi, di mana mereka berinteraksi dengan protein inang dan menyebabkan modifikasi fungsi sel inang (Hsia et al., 1997; Scidmore 2011). Seperti yang diasumsikan bahwa T3SS klamidia tetap aktif selama tahap intraseluler (Dautry-Varsat et al., 2004) (Gambar 1), interaksi dari efek ini dengan protein inang tampaknya berperan sejak adhesi dan internalisasi EB hingga pelepasan mereka dari sel inang (Scidmore 2011).

 

Seperti pada patogen bakteri Gram-negatif lainnya, kompleks makromolekuler T3SS klamidia membentang melalui membran dalam dan luar serta membran plasma (karena bakteri ekstraseluler diambil oleh sel inang), atau membran inklusi (pada bakteri intraseluler selama replikasi) (Plano, Day, dan Ferracci 2001). Sistem sekresi jenis ini juga memungkinkan translokasi ke dalam sel inang dari protein bakteri dari lokasi ekstraseluler melintasi selubung sel bakteri (Betts-Hampikian dan Fields 2010), serta untuk sekresi protein yang telah disintesis sebelumnya dari EB yang terikat pada sel (Fields et al., 2003; Jutras et al., 2004; Jamison dan Hackstadt 2008) (Gambar 1). Dalam konteks ini, ditekankan bahwa EB diaktifkan oleh sinyal yang belum diketahui yang memicu T3SS selama adhesi permukaan sel (Jutras et al., 2004).

 

Beeckman dan rekan-rekannya memberikan bukti bahwa T3SS dari C. psittaci berperan dalam pembentukan lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan bakteri intraseluler (Beeckman et al., 2008). Studi eksperimental mereka mengungkapkan bahwa protein struktural T3SS yang penting, SctW, terkait dengan bakteri dan membran inklusi, sedangkan protein T3SS SctC dan SctN berada pada bakteri itu sendiri. Analisis ekspresi gen menunjukkan transkripsi gen pengkode protein struktural T3SS dari tengah siklus perkembangan (12–18 jam setelah infeksi), sementara gen pengkode protein efektor dan protein terkait T3SS diekspresikan lebih awal (1,5–8 jam setelah infeksi) atau terlambat (>24 jam setelah infeksi) dalam siklus perkembangan. Studi lebih lanjut pada makrofag manusia yang terinfeksi C. psittaci mengonfirmasi bahwa T3SS terus diekspresikan dan aktif selama seluruh siklus infeksi (Saad, 2011). Selain itu, tampaknya EBs yang baru terbentuk membawa T3SS yang sudah terisi untuk memastikan masuknya bakteri yang cepat dan subversi sel host baru.

 

Ketika dikombinasikan dengan temuan pada spesies Chlamydia lainnya, data ini sangat menarik dan berpotensi memberikan petunjuk untuk penjelasan mekanisme patogenisitas spesifik. Secara khusus, aksi protein efektor T3SS bisa menjadi faktor signifikan yang mendasari sifat khas C. psittaci dalam hal daya hidup, penyebaran, dan penghindaran sistem kekebalan host. Namun, secara realistis, kita baru mulai memahami peran dan pentingnya T3SS dalam konteks infeksi C. psittaci yang lebih luas.

 

Kelangsungan hidup intraseluler patogen

 

Setelah terinternalisasi dalam inklusi awal, EB yang menginfeksi berubah menjadi bentuk bakteri yang lebih besar dan lebih konvensional, yaitu tubuh retikulat (RB). Selanjutnya, inklusi yang mengandung RB berpindah melalui mekanisme yang bergantung pada sitoskeleton ke daerah perinuklear, dan RB berkembang biak dengan pembelahan biner. Melalui sinyal yang tidak diketahui, RB kemudian berubah kembali menjadi EB setelah 24–72 jam dan akhirnya dilepaskan dari sel host untuk menginfeksi sel-sel tetangga atau dipindahkan ke host baru (Gambar 1). Segera setelah pembentukan inklusi, sifat dari kompartemen bakteri yang baru terbentuk dimodifikasi oleh proses yang bergantung pada ekspresi gen Chlamydia awal dan sintesis protein aktif, yang menghasilkan penghindaran fusi lisosom (Scidmore, Fischer, dan Hackstadt, 2003) (Gambar 1) dan pergerakan inklusi yang bergantung pada mikrotubulus menuju pusat pengorganisasian mikrotubulus (MTOC) di daerah perinuklear (Grieshaber et al., 2003) (Gambar 1).

 

Pencegahan fusi lisosom yang dimediasi oleh Chlamydia psittaci tidak disebabkan oleh penekanan umum fungsi lisosom (Eissenberg dan Wyrick, 1981; Ojcius et al., 1998). Sebaliknya, mekanisme dua tahap berikut yang mengendalikan pelarian intraseluler kompartemen Chlamydia dari kerusakan lisosom disarankan: (i) fase awal dari keterlambatan pematangan lisosom yang disebabkan oleh sifat intrinsik EB dan (ii) modifikasi aktif interaksi vesikuler inklusi (Scidmore et al., 2003). Selain itu, inklusi Chlamydia diketahui mengintersepsi jalur vesikuler dan non-vesikuler untuk memperoleh lipid yang berasal dari host, seperti sfingomielin, kolesterol, gliserofosfolipid, dan lipid netral (Hackstadt, Scidmore, dan Rockey, 1995; Heuer et al., 2009; Elwell dan Engel, 2012).

 

Mekanisme yang digunakan oleh C. psittaci untuk mengelola kelangsungan hidup intraselulernya masih dalam penelitian intensif (Knittler et al., 2014). Studi terbaru menunjukkan bahwa protein Inc (Valdivia, 2008) (lihat Bagian "Genetika dan Genomik") adalah pemain kunci yang menargetkan jalur seluler yang berbeda pada host yang terinfeksi (Borth et al., 2011; Böcker et al., 2014). Penggabungan protein Inc dalam membran inklusi dimediasi oleh T3SS (Mital et al., 2013). Pada C. psittaci, sekresi tipe III baik dari IncA dan IncB serta penggabungannya dalam membran inklusi telah dibuktikan secara eksperimen (Beeckman et al., 2008). Sementara domain hidrofobik mereka memungkinkan penempelan protein Inc pada membran inklusi, ekor sitoplasmik bertanggung jawab untuk interaksi dengan protein host (Jutras et al., 2004). Oleh karena itu, protein Inc dapat dianggap sebagai pengatur sentral dari interaksi patogen-inang karena interaksi ini dapat mempengaruhi berbagai fungsi sel termasuk pensinyalan dan pergerakan (Mital et al., 2013).

 

Pada semua protein IncA Chlamydia yang telah diidentifikasi, motif mirip SNARE (soluble N-ethylmaleimide-sensitive factor attachment protein receptor) telah ditemukan (Delevoye et al., 2004). Motif ini memungkinkan interaksi dengan beberapa protein SNARE host, yang penting untuk fusi membran (Delevoye et al., 2008; Paumet et al., 2009). Memang, beberapa protein host telah diidentifikasi sebagai pasangan interaksi untuk protein Inc. Sebagai contoh, dua studi terbaru pada C. psittaci menggambarkan protein sel host G3BP1 dan komponen kompleks dynein (protein motor dynein) sebagai pasangan interaksi seluler untuk IncA dan IncB, masing-masing (Borth et al., 2011; Böcker et al., 2014) (Gambar 1). Pasangan pengikat IncA, G3BP1, memiliki aktivitas RNase yang bergantung pada fosforilasi yang secara spesifik memotong wilayah 3′-untranslated dari mRNA c-myc manusia (Gallouzi et al., 1998). Bukti eksperimen menunjukkan bahwa interaksi antara IncA Chlamydia dan G3BP1 host mempengaruhi ekspresi c-myc dan pada gilirannya menekan proliferasi seluler dan apoptosis sel host (Borth et al., 2011).

 

Protein IncB dari C. psittaci tampaknya memanfaatkan protein motor dynein (Roberts et al., 2013) untuk mengendalikan transportasi intraseluler dan lokasi MTOC perinuklear inklusi guna mendukung pertumbuhan bakteri di sel yang terinfeksi (Böcker et al., 2014). Data dari Böcker dan rekan-rekannya (Böcker et al., 2014) memberikan bukti eksperimen bahwa protein host Snapin membentuk kompleks heterooligomerik dengan IncB dan dynein dan dengan demikian menghubungkan inklusi C. psittaci dengan jaringan mikrotubulus di sel yang terinfeksi (Gambar 1).

 

Chlamydia dikenal menargetkan aktin, mikrotubulus, dan filamen antara untuk mengatur berbagai aspek kelangsungan hidup intraseluler mereka (Scidmore 2011) (Gambar 1). Sebagai contoh, bakteri mengelilingi inklusi mereka dengan jaringan filamen sitoskeletal inang, yang berfungsi sebagai kerangka yang menstabilkan kompartemen bakteri secara struktural (Scidmore 2011) (Gambar 1). Akibatnya, aktivasi mekanisme pertahanan sel inang terbatas karena kebocoran isi inklusi ke dalam sitosol dapat dicegah (Kumar dan Valdivia 2008). Meskipun partisipasi aktin dan tubulin, serta kinesin dan dynein, sangat diperlukan untuk pertumbuhan optimal C. psittaci (Escalante-Ochoa et al., 2000), keterlibatan fungsional komponen sitoskeletal dalam perkembangan klamidia masih kurang dipahami.

 

Di antara organel sel, mitokondria ditemukan sangat erat kaitannya dengan inklusi C. psittaci (Matsumoto 1981; Knittler et al., 2014). Hubungan yang sangat dekat ini kemungkinan memengaruhi perkembangan klamidia, karena berhubungan dengan perolehan ATP eukariotik (Gambar 1). Menariknya, ini tampaknya merupakan fitur khas C. psittaci karena tidak ada hal serupa yang diamati pada spesies klamidia lain, seperti C. trachomatis atau C. pneumoniae (Matsumoto et al., 1991). Hubungan ini tampaknya begitu erat sehingga mitokondria tetap terhubung dengan membran inklusi bahkan setelah isolasi inklusi dari sel yang terinfeksi. Meskipun signifikansi fungsional dari perekrutan mitokondria belum diketahui, keterikatan dekat inklusi dengan mitokondria dapat memungkinkan C. psittaci memperoleh ATP inang dan/atau substrat penyimpan energi tinggi lainnya menggunakan mekanisme alternatifnya sendiri. Menariknya, protein motor mikrotubulus kinesin dan dynein diketahui terkait dengan kedua organel tersebut (Ball dan Singer 1982; Brady dan Pfister 1991). Tampaknya kinesin bekerja melalui posisi mitokondria yang berdekatan dengan inklusi C. psittaci, sementara dynein bertanggung jawab untuk transportasi dan penempatan inklusi di wilayah perinuklir dari aparatus Golgi (GA) (Escalante-Ochoa et al., 2000; Böcker et al., 2014) (Gambar 1).

Efektor T3SS klamidia, fosfoprotein pengrekrut aktin translokasi (Tarp), yang terlibat dalam masuk dan kelangsungan hidup klamidia (Engel 2004), juga ditemukan pada C. psittaci (Beeckman et al., 2008) (Gambar 1). Transkripsi gen pengkode Tarp terjadi terlambat selama siklus perkembangan (Beeckman et al., 2008). EBs klamidia mentranslokasikan Tarp yang telah disintesis dan disimpan ke dalam sel inang dan dengan demikian memfasilitasi proses remodelasi aktin aktif yang mengarah pada reorganisasi permukaan sel (Engel 2004). Tampaknya Tarp, yang mengandung beberapa domain pengikat aktin (Jewett et al., 2010), menginisiasi polimerisasi aktin melalui interaksi langsung dengan aktin (Jewett et al., 2006).

 

Setelah masuknya klamidia ke dalam sel, dibantu oleh Tarp, vakuola yang mengandung klamidia diangkut ke lokasi perinuklir yang dekat dengan GA (Knittler et al., 2014) (Gambar 1). Transportasi klamidia ke MTOC membutuhkan transportasi vesikel sel inang dan bergantung pada dynein (Grieshaber et al., 2003). Perkembangan intraseluler inklusi disertai dengan perolehan lipid yang ekstensif dari berbagai sumber (Mehlitz dan Rudel 2013). Salah satu sumber lipid utama tampaknya adalah GA (Hackstadt et al., 1996), yang terfragmentasi selama infeksi klamidia (Heuer et al., 2009), mungkin untuk memfasilitasi transportasi lipid ke inklusi. Fragmentasi GA telah diamati pada C. trachomatis serta C. psittaci, di mana efeknya ditemukan lebih mencolok (Knittler et al., 2014). Dalam kasus C. psittaci, sel yang terinfeksi menunjukkan fragmen GA kecil yang tersebar di seluruh sitosol (Knittler et al., 2014). Penggunaan ceramide yang dilabeli dengan fluoresen, yang biasanya mengalami konversi menjadi sphingomyelin di kompartemen GA awal, memfasilitasi visualisasi inkorporasi sphingomyelin pada membran inklusi dan dinding sel RB (Jutras et al., 2004). Beberapa gliserofosfolipid eukariotik, seperti fosfatidilinositol dan fosfatidilkolin, juga ditemukan dipindahkan ke inklusi klamidia (Jutras et al., 2004).

 

Setelah diferensiasi RB menjadi EB yang tidak sinkron, lisis sel menghasilkan pelepasan campuran RB dan EB (Moulder 1991). Sampai saat ini, sinyal yang bertanggung jawab atas lisis sel dan pelepasan klamidia belum teridentifikasi. Namun, dapat diperkirakan bahwa ini melibatkan apoptosis sel inang yang dipicu oleh protein efektor klamidia yang berbeda (Jutras et al., 2004).

 

Persistensi intraseluler

 

Persistensi klamidia biasanya merujuk pada keadaan infeksi di mana patogen tetap hidup tetapi tidak dapat dibudidayakan, sementara sistem kekebalan tubuh inang tidak dapat mengeliminasi patogen tersebut. Secara morfologis, keadaan yang dapat dipulihkan ini ditandai dengan tubuh yang tidak normal, yaitu RB yang membesar dan pleomorfik, serta ukuran inklusi yang lebih kecil. Untuk menghindari kebingungan, istilah "fenotipe RB yang tidak normal" daripada "persistensi" telah diusulkan untuk merujuk pada fenomena yang didefinisikan di dalam vitro (Wyrick 2010; Bavoil 2014).

 

Fenomena persistensi in vitro sudah diamati sejak 1960-an, tetapi baru pertama kali dibahas secara sistematis pada 1980-an. Sekali lagi, eksperimen pertama dilakukan dengan C. psittaci. Moulder dan rekan-rekannya (Moulder et al., 1980) melaporkan subpopulasi fibroblas tikus (sel L) yang terinfeksi "bentuk kriptik" dari C. psittaci, yang tumbuh dengan buruk dan menjadi resisten terhadap superinfeksi. Kemudian, Beatty dan rekan-rekannya (Beatty, Byrne, dan Morrison 1994) mengembangkan model kultur sel yang relevan secara fisiologis untuk persistensi C. trachomatis yang dipicu oleh IFN-γ yang didasarkan pada defisiensi triptofan (lihat Gambar 1). Sementara itu, sejumlah besar faktor penginduksi persistensi in vitro lainnya telah dijelaskan, seperti defisiensi asam amino (Coles et al., 1993), defisiensi zat besi (Raulston 1997), paparan antibiotik (Pantoja et al., 2001), infeksi fag (Hsia et al., 2000), ko-infeksi dengan virus (Borel et al., 2010), atau model infeksi berkelanjutan (Kutlin et al., 2001).

 

Berbagai model persistensi in vitro ini memiliki kesamaan dalam kehilangan infektivitas dan munculnya inklusi kecil yang mengandung lebih sedikit bakteri, yang meskipun demikian lebih besar dari RB normal (Morrison 2003; Wyrick 2010). Karakteristik morfologi lainnya juga mencakup terhentinya siklus perkembangan klamidia, pengurangan besar dalam titer infeksi, dan dalam beberapa kasus, peningkatan "resistensi" terhadap antibiotik. Meskipun persistensi in vitro telah dikarakterisasi secara ekstensif (Wyrick 2010), juga terdapat laporan dari eksperimen in vivo yang menunjukkan bahwa klamidia mengalami stres selama infeksi (Pospischil et al., 2009; Phillips Campbell et al., 2012). Meskipun pengamatan ini menarik, mereka tidak membuktikan hubungan sebab-akibat antara tubuh yang tidak normal dan infeksi kronis, dan karenanya tidak dapat dianggap sebagai bukti persistensi klamidia in vivo. Faktanya, keadaan persistensi in vivo yang sebenarnya mungkin tidak terkait langsung dengan berbagai sistem model yang digunakan. Diharapkan bahwa penyakit klamidia berulang mungkin disebabkan oleh persistensi organisme setelah infeksi yang tidak terselesaikan (Hogan et al., 2004).

 

Studi mikroskopis dan biologi sel menunjukkan bahwa C. psittaci juga mampu memasuki keadaan persistensi in vitro, yang mungkin berperan dalam infeksi kronis, serta kegagalan terapi antibiotik dan imunoprofilsaksis. Goellner dan rekan-rekannya menggunakan tiga model persistensi in vitro yang berbeda (defisiensi zat besi, pengobatan antibiotik, dan paparan IFN-γ) untuk menganalisis perubahan morfologi dan transkripsi mRNA C. psittaci (Goellner et al., 2006). Meskipun karakteristik fenotipikalnya sama dengan klamidia lainnya, yaitu morfologi RB yang tidak normal, kehilangan kemampuan untuk dibudidayakan, dan pemulihan infektivitas setelah penghilangan induktor, respons transkripsional C. psittaci terhadap faktor penginduksi persistensi menunjukkan beberapa ciri khas. Penurunan yang konsisten pada gen-gen yang mengkode protein membran, pengatur transkripsi, faktor pembelahan sel, dan faktor diferensiasi EB-RB sejak 24 jam pasca-infeksi (hpi) terbukti menjadi ciri umum persistensi C. psittaci. Gen-gen lainnya menunjukkan variasi yang signifikan dalam pola responsnya dari satu model ke model lainnya, yang menunjukkan bahwa tidak ada model persistensi yang dapat digunakan secara universal. Berbeda dengan hasil yang diperoleh untuk C. trachomatis, penutupan gen-gen esensial yang terlambat pada C. psittaci jauh lebih menyeluruh pada persistensi yang dipicu oleh IFN-γ, yang kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya operon sintesis triptofan yang fungsional (Goellner et al., 2006). Yang paling menarik, gen protein C. psittaci yang berasosiasi dengan domain kematian (CADD) ditemukan mengalami penurunan pada 48 hpi di hadapan IFN-γ. Hal ini bertentangan dengan data dari persistensi C. trachomatis yang dipicu oleh IFN-γ, di mana gen tersebut teratur naik pada 48 hpi (Belland et al., 2003). CADD memiliki homologi dengan domain kematian dari reseptor keluarga faktor nekrosis tumor dan dapat menginduksi apoptosis ketika ditransfeksi sementara ke sel yang tidak terinfeksi (Stenner-Liewen et al., 2002). Meskipun saat ini tidak diketahui apakah CADD adalah protein dominan yang mengatur apoptosis, sebuah studi terbaru menunjukkan kemampuannya untuk menginduksi kematian sel, mendukung pandangan bahwa penghambatan apoptosis bisa menjadi bagian integral dari infeksi persistensi in vitro (Schwarzenbacher et al., 2004) (Gambar 1). Namun, apakah dan bagaimana hal ini terkait dengan infeksi laten, persistensi, atau kronis yang terjadi pada manusia dan hewan, belum dapat dibuktikan.

 

WAWASAN BARU TENTANG RESPON IMUN INNATE DAN ADAPTIF

 

Imunitas bawaan (innate immunity) memiliki peran penting dalam pengenalan awal infeksi klamidia (Knittler et al., 2014) (Gambar 1). Beberapa bukti menunjukkan bahwa C. psittaci dapat mengatasi pelepasan mediator pro-inflamasi yang meningkat selama respons awal inang pada embrio ayam lebih efisien dibandingkan dengan klamidia lainnya (Braukmann et al., 2012). Temuan ini telah dikonfirmasi pada anak ayam muda (I. Kalmar et al., [data tidak dipublikasikan]). Peningkatan ekspresi incA klamidia (yang kemungkinan berkontribusi pada stabilisasi inklusi), ftsW (replikasi klamidia), groEL (chaperone yang berkolokasi dengan makrofag), dan cpaf (pemrosesan protein inang yang mengontrol integritas inklusi) (Bednar et al., 2011; Bavoil dan Byrne 2014; Snavely et al., 2014) dalam model ayam tampaknya mencerminkan kapasitas spesifik C. psittaci dalam membentuk infeksi dan menyebar dalam organisme inang.

 

Selain itu, sudah lama diketahui bahwa EB (Elementary Bodies) mengaktifkan sistem komplemen in vitro sehingga mengurangi infektivitasnya dalam kultur sel (Fedorko et al., 1987). Sistem komplemen terdiri dari sekitar 40 faktor serum dan diaktifkan oleh komponen permukaan patogen (Klos et al., 2013). Sistem ini juga memodulasi respons inflamasi, melindungi terhadap patogen ekstraseluler, dan sering dianggap sebagai faktor kunci dalam imunitas bawaan. Dalam model murine infeksi C. psittaci pada paru-paru yang diinduksi secara intranasal, telah diamati aktivasi sistem komplemen yang tinggi, cepat, dan berlangsung lama (Bode et al., 2012). Fungsi pelindung dari kaskade komplemen terhadap C. psittaci tampaknya bergantung terutama pada peptida anafilatoksik C3a dan reseptornya (C3a/C3aR). Penelitian terbaru dengan tikus C3aR−/− mengungkapkan bahwa C3aR tidak tergantikan untuk perlindungan yang efektif dan meningkatkan kelangsungan hidup dalam infeksi C. psittaci (Dutow et al., 2014). Berdasarkan data eksperimen ini, disimpulkan bahwa EB mengaktifkan kaskade komplemen, yang menyebabkan pemecahan faktor komplemen C3 yang tidak aktif menjadi C3a dan C3b yang aktif. Terikat pada antigennya, turunan C3b, yaitu C3d, merangsang sel B serta produksi antibodi oleh sel plasma melalui reseptor komplemen 2. C3aR diekspresikan pada DC (sel dendritik) matang dan, kemungkinan besar, juga pada berbagai subtipe limfosit T yang diaktifkan. Dihipotesiskan bahwa C3a memodulasi fungsi sel CD4+, CD8+ dan/atau sel T regulator untuk pengembangan perlindungan adaptif yang efektif terhadap C. psittaci. Selain itu, C3a/C3aR juga dapat mengaktifkan DC, sehingga memfasilitasi migrasi mereka yang lebih baik ke kelenjar getah bening dan meningkatkan presentasi antigen klamidia ke sel T CD4+ dan CD8+ (Knittler et al., 2014). Sesuai dengan lokalisasi intraseluler klamidia, respons imun seluler terhadap C. psittaci dan spesies klamidia lainnya telah diamati pada manusia dan tikus yang terinfeksi (Lammert 1982; Starnbach, Bevan dan Lampe 1995). Transfer sel T spesifik klamidia baik CD4+ dan/atau CD8+ ke tikus naïve terbukti melindungi hewan tersebut dari tantangan dengan klamidia (Starnbach, Bevan dan Lampe 1994; Su dan Caldwell 1995), dan studi pada tikus yang kekurangan MHC mengonfirmasi pentingnya respons yang bergantung pada sel T (Beatty dan Stephens 1994; Morrison, Feilzer dan Tumas 1995).

 

DC menghubungkan imunitas bawaan dengan imunitas adaptif dan merupakan salah satu sel penyaji antigen profesional pertama yang ditemui oleh klamidia selama infeksi (Gervassi et al., 2004), dan sel T sitotoksik CD8+, yang dipersiapkan oleh DC yang terinfeksi, kemungkinan berperan penting dalam respons imun anti-klamidia yang efektif (Ojcius et al., 1998; Gervassi et al., 2004). Baru-baru ini telah dibuktikan bahwa DC yang terinfeksi C. psittaci menggunakan pemrosesan autofagosomal dan endovakolar untuk degradasi kompartemen bakteri, serta produksi proteolitik antigen peptida klamidia (Fiegl et al., 2013). Temuan ini dapat memiliki implikasi penting bagi desain strategi vaksinasi di masa depan yang didasarkan pada antigen yang menargetkan DC. Keuntungan dari pemrosesan autofagosomal adalah bahwa polipeptida dari bakteri intraseluler, yang berada dalam inklusi dan menghindari fusi lisosom, masih dapat dihasilkan untuk presentasi antigen yang dimediasi oleh kompleks histokompatibilitas utama (MHC) kelas I (Fiegl et al., 2013) (Gambar 1). Karena pembersihan klamidia bergantung pada kemampuan sel T CD8+ untuk mengenali sel epitel (Gambar 1), tempat bakteri sebagian besar berkembang biak (Balsara dan Starnbach 2007), dapat dibayangkan bahwa, pada sel epitel yang terinfeksi C. psittaci, IFN-γ dari sel T yang diaktifkan menciptakan situasi yang mencerminkan skenario yang telah dijelaskan sebelumnya untuk DC yang terinfeksi. Memang, pada sel epitel yang terinfeksi, IFN-γ terlihat membatasi pertumbuhan klamidia (Morrison 2003), mempengaruhi translokasi sitoplasmik dari efektor klamidia (Heuer et al., 2003), meningkatkan ekspresi MHC I dan ekspresi permukaan (Kagebein et al., 2014), serta menginduksi degradasi autofagik klamidia (Al-Zeer et al., 2009).

 

Pengembangan Vaksin Sel T-cell Anti-Chlamydia

 

Pengembangan vaksin sel T anti-chlamydia saat ini menjadi fokus utama banyak kelompok penelitian (Karunakaran et al., 2010; Howie et al., 2011; Picard et al., 2012). Meskipun terapi antimikroba yang efektif telah ada, vaksinasi masih dianggap sebagai pendekatan terbaik untuk mengurangi prevalensi infeksi chlamydia (Longbottom dan Livingstone 2006; Biesenkamp-Uhe et al., 2007; Karunakaran et al., 2010; Reinhold et al., 2011; Schautteet, De Clercq dan Vanrompay 2011). Namun, vaksin yang hanya mengandalkan kekebalan humoral tampaknya tidak cukup efektif untuk melindungi terhadap infeksi oleh patogen intraseluler (Seder dan Hill 2000; Rodrigues et al., 2003; Robinson dan Amara 2005). Perlu dicatat bahwa pAPC dan perangkat penyajian antigen-MHC mereka berada di pusat inisiasi respons imun oleh sel T dan tampaknya sangat penting untuk pengembangan kekebalan anti-chlamydia (Karunakaran et al., 2010). Menurut pendapat kami, vaksin sel T yang memicu respons imun seluler, termasuk aktivasi APC dan pembentukan memori sel T jangka panjang, memberikan harapan terbesar untuk menghasilkan kekebalan protektif terhadap Chlamydia spp.

 

KESIMPULAN DAN PANDANGAN KE DEPAN

 

Penelitian terbaru telah mengungkapkan sejumlah sifat luar biasa yang membedakan C. psittaci dari anggota lain dalam keluarga Chlamydiaceae, yang meliputi:

  1. Rentang inang yang luas dengan preferensi pada burung
  2. Pertumbuhan yang kuat dalam kultur sel dan telur ayam yang dierami
  3. Masuknya cepat dan efisien ke dalam sel inang, dikendalikan oleh protein permukaan spesifik dan efek T3SS
  4. Penyebaran yang efisien dalam inang hewan yang menyebabkan penyakit sistemik
  5. Kemampuan untuk menyebabkan infeksi dengan jalur yang sangat cepat
  6. Regulasi yang tepat waktu dan kuat dari gen chlamydia yang penting dalam menghadapi respons imun inang
  7. Penutupan ekspresi gen C. psittaci yang ketat dalam persisten intraseluler in vitro
  8. Penghambatan apoptosis sebagai bagian integral dari fenotip persistensi in vitro
  9. Pemanfaatan protein IncA dan IncB untuk mengendalikan kelangsungan hidup sel dan transportasi intraseluler inklusi untuk mendukung pertumbuhan bakteri dalam sel yang terinfeksi
  10. Keterikatan fisik yang jelas antara inklusi bakteri dengan mitokondria untuk memperoleh substrat eukariotik
  11. Kemungkinan asosiasi dengan penyakit kanker, seperti limfoma MALT okular adnexa.

 

Meskipun fitur-fitur ini tampaknya relevan untuk evaluasi potensi patogen, perlu dicatat bahwa analisis genom penuh belum mengidentifikasi penanda genetik yang terkait dengan penyakit atau inang hingga saat ini, sehingga mekanisme yang mendasarinya masih menunggu penjelasan menyeluruh di tingkat molekuler.

 

Meskipun banyak yang telah dipelajari tentang siklus perkembangan C. psittaci dan spesies chlamydia lainnya, beberapa pertanyaan penting mengenai interaksi patogen–inang masih terbuka.

  1. Bagaimana tepatnya proses perlekatan dan pengambilan chlamydia pada tingkat molekuler?
  2. Apakah ada mekanisme masuk spesifik untuk setiap spesies chlamydia dan pasangan sel inangnya?
  3. Mekanisme intraseluler apa yang memungkinkan patogen menghindari fusi inklusi dengan kompartemen endo- atau lisosom?
  4. Jalur transduksi sinyal mana yang diaktifkan pada berbagai tahap siklus perkembangan chlamydia?
  5. Mekanisme molekuler apa yang mengendalikan pasokan lipid ke inklusi dan pelepasan chlamydia dari sel inang?

 

Model infeksi murine dan bovine yang baru-baru ini dikembangkan dapat digunakan sebagai alat yang serbaguna untuk mempelajari baik kekebalan bawaan maupun adaptif terhadap infeksi bakteri. Selain itu, proyek-proyek mendatang yang menggunakan pendekatan biologi sel dan genomik canggih akan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan penting ini untuk mengungkap misteri yang tersisa dari biologi sel chlamydia dan infeksinya.

 

SUMBER:

Michael R. Knittler, Konrad Sachse. 2015. Chlamydia psittaci: update on an underestimated zoonotic agent. Pathogens and Disease, Volume 73, Issue 1, February 2015, Pages 1–15.