Sejak laporan pertama COVID-19 di Wuhan, Provinsi Hubei,
China, telah banyak didiskusikan tentang asal-usul virus penyebabnya yaitu,
SARS-CoV-2. SARS-CoV-2 merupakan
coronavirus ketujuh yang diketahui menginfeksi manusia. Coronavirus sebelumnya SARS-CoV, MERS-CoV, dan
SARS-CoV-2 yang telah menyebabkan penyakit berat, sedangkan HKU1, NL63, OC43
dan 229E menyebabkan penyakit dengan gejala ringan.
CIRI-CIRI PENTING GENOM SARS-CoV-19
Genom adalah keseluruhan informasi genetik yang dimiliki organisme. Dua ciri genom yang menonjol coronavirus SARS-CoV-2
penyebab COVID-19 yaitu : (1) SARS-CoV-2 bisa berikatan dengan reseptor ACE2
manusia, tempat masuknya virus; dan (2) ‘Protein Spike’ (S) SARS-CoV-2 memiliki ‘Tapak Pemotongan Polibasa Furin’
pada perbatasan S1 dan S2 (dua subunit ‘Protein Spike’) melalui penyisipan 12 nukleotida.
1.
Mutasi domain pengikat-reseptor SARS-CoV-2
Domain
pengikat-reseptor (RBD) pada ‘Protein Spike’ merupakan bagian yang paling mudah berubah-rubah dari
genom coronavirus. Enam asam amino RBD tersebut
terbukti sangat penting untuk mengikat reseptor ACE2 yang berperan dalam menentukan
sebaran (jenis) inang untuk coronavirus yang mirip-SARS-CoV. Berdasar pada urutan asam amino (koordinat)
pada SARS-CoV, 6 residu RBD tersebut adalah Y442, L472, N479, D480, T487 dan
Y4911, sesuai dengan koordinat pada SARS-CoV-2 L455, F486, Q493, S494, N501 dan
Y505. Lima dari enam residu tersebut berbeda
antara SARS-CoV-2 dan SARS-CoV. Atas
dasar studi struktur dan percobaan biokimia, SARS-CoV-2
memiliki RBD yang bisa berikatan dengan afinitas tinggi terhadap ACE2 manusia,
musang, kucing dan spesies lain dengan homologi reseptor tinggi.
Dengan
analisis di atas menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat mengikat ACE2 manusia sangat
rekat, namun pada analisis komputasi diperkirakan interaksinya kurang ideal; urutan
asam amino RBD SARS-CoV-2 berbeda dengan
urutan asam amino RBD pada SARS-CoV yang menjadi pengikat reseptor optimal.
Dengan demikian, pengikatan
afinitas tinggi dari Protein Spike
SARS-CoV-2 pada ACE2-manusia kemungkinan besar merupakan hasil seleksi alam
pada ACE2 manusia; atau pada ACE2-mirip-manusia yang menyebabkan munculnya pengikat
reseptor optimal lain. Hal ini merupakan
bukti kuat bahwa SARS-CoV-2 bukan produk dari manipulasi yang disengaja (Kristian G. A. et al, 2020).
2. ‘Tapak
Pemotongan Polibasa’ Furin dan ‘Glycan berikatan-O’
Ciri
penting kedua SARS-CoV-2 yakni adanya ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dengan urutan
RRAR pada bagian persimpangan dua subunit ‘Protein Spike’ S1 dan S2 yang memungkinkan terjadi pemotongan yang
efektif oleh furin dan protease lain sehingga bisa berperan dalam menentukan
infektivitas virus dan jarak inang. Selain itu, pada SARS-CoV-2 juga terdapat satu
proline tersisip paling depan pada tapak ini; dengan demikian, urutan sisipannya
menjadi PRRA. Pergantian dengan proline
ini diperkirakan menghasilkan penambahan ‘Glycan berikatan-O’ ke S673, T678 dan S686, yang mengapit ‘Tapak
Pemotongan Polibasa’ dan unik bagi SARS-CoV-2. ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ tidak tampak dalam
betacoronavirus yang berhubungan dengan 'garis
keturunan B', meskipun betacoronavirus manusia lainnya, termasuk HKU1 ('garis keturunan A'), memiliki tapak-tapak
tersebut dan prediksi ‘Glycan
berikatan-O’. Mengingat tingkat variasi genetik pada ‘Protein Spike’, ada kemungkinan bahwa virus
mirip-SARS-CoV-2 dengan ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ sebagian atau penuh akan
ditemukan pada spesies lain.
Kepentingan
fungsi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada SARS-CoV-2 tidak diketahui. ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ penting untuk
menentukan dampaknya pada penularan dan patogenesis pada hewan model. Percobaan pada SARS-CoV telah menunjukkan
bahwa penyisipan ‘Tapak pemotongan furin’ pada persimpangan S1 dan S2
meningkatkan fusi sel-sel tanpa mempengaruhi masuknya virus. Selain itu, pemotongan Spike MERS-CoV memungkinkan mirip-MERS coronavirus dari kelelawar bisa
menginfeksi sel manusia.
Untuk
referensi kita bandingkan dengan virus avian influenza (Flu Burung) yang mengalami
replikasi virus dan penularan secara cepat pada populasi ayam yang padat sehingga
menimbulkan ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada Protein Hemagglutinin (HA), yang fungsinya
mirip pada ‘Protein Spike’
coronavirus. Akuisisi ‘Tapak Pemotongan
Polibasa’ pada HA, dengan penyisipan atau rekombinasi telah mengubah virus
avian influenza patogenesitas rendah atau low-pathogenicity avian influenza
(LPAI) menjadi virus yang sangat pathogen atau High-pathogenicity avian
influenza (HPAI). Akuisisi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada
Protein HA juga terbukti setelah melalui pasase virus berulang-kali pada kultur
sel atau pada hewan (Ito, et al. 2001).
Fungsi
prediksi ‘Glycan berikatan-O’ tidak
jelas, namun virus dapat membuat 'domain
mirip-mucin' yang melindungi epitop atau residu utama pada ‘Protein Spike’ SARS-CoV-2. Beberapa virus menggunakan 'domain mirip-mucin' sebagai perisai glycan
yang berperan dalam penghindaran kekebalan tubuh (Immune Evasion). Immune Evasion merupakan strategi yang
digunakan oleh mikroorganisme penyebab penyakit untuk menghindari respon imun
inang untuk memaksimalkan kemungkinan mikroorganisme tersebut ditularkan ke
inang lain. Meskipun prediksi ‘Glikosilasi berikatan-O’
kuat, namun studi percobaan diperlukan untuk menentukan apakah Tapak ini
digunakan pada SARS-CoV-2. ‘Glikosilasi berikatan-O’ merupakan proses perlekatan molekul gula ke atom oksigen serin (Ser) atau residu treonin (Thr) dalam protein.
TEORI
ASAL-MULA SARS-CoV-2
Menurut Kristian G. A. et. al. (2020), mustahil
SARS-CoV-2 muncul melalui manipulasi laboratorium berasal dari coronavirus mirip-SARS-CoV. RBD SARS-CoV-2 bisa optimal mengikat ACE2
manusia dengan solusi efisien yang berbeda daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Lebih lanjut, jika manipulasi genetik
telah dilakukan, salah satu dari beberapa ‘sistem genetik terbalik’ yang
tersedia untuk betacoronavirus mungkin digunakan. Namun, data genetik menunjukkan bahwa
SARS-CoV-2 tidak berasal dari “virus
backbone” yang digunakan sebelumnya. Terdapat dua skenario yang dapat menjelaskan
asal-mula SARS-CoV-2 yaitu: (1) seleksi alam pada inang hewan sebelum
pemindahan zoonosis; dan (2) seleksi alam pada manusia setelah pemindahan
zoonosis.
1.
Seleksi alam pada inang hewan sebelum pemindahan zoonosis
Karena
banyak kasus awal COVID-19 terkait dengan pasar Huanan di Wuhan, ada
kemungkinan sumber hewan berada di tempat tersebut. Mengingat kesamaan dari SARS-CoV-2 dengan
coronavirus kelelawar, mirip-SARS-CoV, terdapat kemungkinan bahwa kelelawar
berfungsi sebagai inang reservoir bagi nenek
moyang virus tersebut. Meskipun
virus RaTG13 dari kelelawar Rhinolophus affinis, secara keseluruhan ~
96% identik dengan SARS-CoV-2, Spike-nya menyimpang pada RBD, hal ini
menunjukkan virus tersebut tidak bisa mengikat secara efisien pada ACE2
manusia.
Pada Trenggiling Jawa (Manis
javanica) yang diimpor secara ilegal ke provinsi Guangdong ditemukan
coronavirus mirip dengan SARS-CoV-2. Meskipun
seluruh genom virus kelelawar RaTG13 terdekat dengan SARS-CoV-2, namun beberapa
coronavirus Trenggiling menunjukkan kemiripan yang kuat dengan SARS-CoV-2 pada
RBD, termasuk keenam residu utama RBD. Hal
ini menunjukkan bahwa ‘Protein Spike’
SARS-CoV-2 bisa optimal mengikat ACE2-mirip-manusia adalah hasil dari seleksi
alam.
Sejauh
ini, baik betacoronavirus kelelawar atau betacoronavirus trenggiling tidak
memiliki ‘Tapak Pemotongan Polibasa’. Meskipun belum ada coronavirus hewan yang
diidentifikasi sebagai nenek moyang
langsung SARS-CoV-2, namun identifikasi keanekaragaman coronavirus pada
kelelawar dan spesies lainnya perlu diupayakan secara masif. Mutasi, penyisipan, dan penghilangan asam
amino dapat terjadi pada persimpangan S1 dan S2 coronavirus, yang menunjukkan
bahwa ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dapat timbul karena proses evolusi alami. Virus prekursor dapat memperoleh ‘Tapak Pemotongan
Polibasa’ dan mutasi pada ‘Protein Spike’
yang cocok untuk mengikat ACE2 manusia.
Pada inang hewan diperlukan kepadatan populasi yang tinggi sehingga terjadi
seleksi alam secara efisien. Dan didapat
pengkodean gen ACE2-mirip-manusia secara nyata.
2.
Seleksi alam pada manusia setelah pemindahan zoonosis
Ada
kemungkinan, nenek moyang SARS-CoV-2
melompat ke manusia, memperoleh cirir genom yang dijelaskan di atas melalui
adaptasi selama penularan dari manusia ke manusia yang tidak terdeteksi. Setelah diperoleh, adaptasi ini akan
memungkinkan pandemi tercetus dan menghasilkan kluster kasus yang cukup besar
yang memicu harus dibangun sistem surveilans untuk mendeteksi kasus-kasus
tersbut.
Semua
sequence (urutan) genom SARS-CoV-2 sejauh ini memiliki ciri genom yang
dijelaskan di atas dan karenanya memiliki nenek moyang bersama. Keberadaan RBD dalam trenggiling yang sangat
mirip dengan SARS-CoV-2 berarti dapat disimpulkan bahwa kemungkinan juga
terjadi pada virus yang melompat ke manusia. Hal ini meninggalkan penyisipan ‘Tapak Pemotongan
Polibasa’ terjadi selama penularan dari manusia ke manusia.
Perkiraan
waktu kemunculan nenek moyang terbaru
SARS-CoV-2 yang dibuat dengan data sequence saat ini mengarahkan
kemunculan virus tersebut pada akhir November 2019 hingga awal Desember 2019, sesai
dengan kasus paling awal dikonfirmasi. Oleh karena itu, skenario ini mengasumsikan
periode penularan tidak dikenal pada manusia antara kejadian zoonosis awal dan
akuisisi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’. Peluang yang cukup bisa muncul jika ada banyak
kejadian zoonosis sebelumnya yang menghasilkan rantai pendek penularan dari
manusia ke manusia melalui jangka waktu yang lama. Hal ini berdasar pada situasi MERS-CoV, di
mana semua kasus manusia adalah hasil dari lompatan berulang virus dari unta
dromedaris, menghasilkan infeksi tunggal atau rantai penularan pendek hingga
berakhir, tanpa adaptasi untuk penularan berkelanjutan.
Studi
sampel manusia dari Bank Sampel dapat memberikan informasi tentang
apakah penyebaran tersembunyi telah terjadi. Studi serologis retrospektif dari sampel lama yang
dikoleksi sebelumnya juga bisa menjadi data yang sangat informatif, dan
beberapa studi seperti itu sebelumnya menunjukkan terdapat paparan rendah
terhadap coronavirus mirip-SARS-CoV di wilayah tertentu di Tiongkok. Namun, secara kritis, studi-studi ini tidak
dapat membedakan apakah pajanan disebabkan oleh infeksi sebelumnya dengan
SARS-CoV, SARS-CoV-2 atau coronavirus mirip-SARS-CoV lainnya. Studi serologis lanjutan harus dilakukan untuk
menentukan sejauh mana paparan manusia sebelumnya terhadap SARS-CoV-2.
3.
Seleksi melalui pasase virus
Penelitian
dasar telah malakukan pasase SARS-CoV-like coronavirus kelelawar pada kultur
sel dan / atau model hewan telah berlangsung selama beberapa tahun dalam
laboratorium BSL2 di dunia, dan ada infeksi SARS-CoV pada manusia terjadi dalam
laboratorium yang didokumentasikan secara ilmiah. Maka dari itu kita harus memeriksa
kemungkinan lepasnya SARS-CoV-2 dari laboratorium SARS-CoV-2 yang tidak
disengaja.
Secara
teori, ada kemungkinan bahwa SARS-CoV-2 memperoleh mutasi RBD selama adaptasi
dalam kultur sel, seperti yang telah diamati dalam studi SARS-CoV. Namun, penemuan coronavirus mirip-SARS-CoV dari
trenggiling dengan RBD yang hampir identik, memberikan penjelasan yang jauh
lebih kuat dan lebih sederhana tentang bagaimana SARS-CoV-2 diperoleh melalui
rekombinasi atau mutasi.
Akuisisi
dari kedua ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dan prediksi ‘Glycan berikatan-O’ juga menyangkal skenario berbasis kultur. ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ baru hanya bisa
diperoleh apabila telah melalui pasase virus yang berlangsung lama seperti yang
terjadi pada virus avian influenza LPAI secara in vitro atau in vivo. Lebih lanjut, generasi hipotetis SARS-CoV-2
melalui pasase virus pada kultur sel atau pasase pada hewan, diperlukan isolasi
virus nenek moyang terlebih
dahulu dengan kesamaan genetik yang sangat tinggi. Generasi selanjutnya ‘Tapak
Pemotongan Polibasa’ membutuhkan pasase virus berulang pada kultur sel atau
hewan dengan reseptor ACE2-mirip-manusia, tetapi kajian tahapan tersebut belum
pernah dijelaskan sebelumnya. Akhirnya,
generasi prediksi ‘Glycan berikatan-O’
juga tidak mungkin terjadi karena perlu dilakukan pasase pada kultur sel dan
keterlibatan sistem kekebalan tubuh.
KESIMPULAN
Pemahaman
secara rinci virus hewan melompati batas spesies sehingga menginfeksi manusia
akan membantu pencegahan kejadian zoonosis di kemudian hari. Sebagai contoh, jika SARS-CoV-2 pra-adaptasi
dalam spesies hewan lain, maka ada risiko muncul kembali kejadian di kemudian
hari. Sebaliknya, jika proses adaptasi
terjadi pada manusia, bahkan jika pemindahan zoonosis berulang terjadi,
virus-virus tidak mungkin ”memicu wabah” tanpa serangkaian mutasi yang sama.
Lebih
banyak data ilmiah diperoleh akan memperkuat bukti untuk mendukung posisi satu
hipotesis berada di atas hipotesis yang lain; mengumpulkan data Sequence
virus terkait SARS-CoV yang berasal dari hewan akan menjadi cara paling pasti
untuk mengungkapkan asal-mula virus ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Alexander,
D. J. & amp; Brown, I. H. Rev. Sci. Tech. 28, 19–38 (2009).
2.
Almazán,
F. et al. Virus Res. 189, 262–270 (2014).
3.
Bagdonaite,
I. & Wandall, H. H. Glycobiology 28, 443–467 (2018).
4.
Chan,
C.-M. et al. Exp. Biol. Med. 233, 1527–1536 (2008).
5.
Corman,
V. M., Muth, D., Niemeyer, D. & Drosten, C. Adv. Virus Res. 100,
163–188 (2018).
6.
Cui,
J., Li, F. & Shi, Z.-L. Nat. Rev. Microbiol. 17, 181–192
(2019.
7.
Dong,
E., Du, H. & Gardner, L. Lancet Infect. Dis. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30120-1 (2020).
8.
Dudas,
G., Carvalho, L. M., Rambaut, A. & Bedford, T. eLife 7,
e31257 (2018).
9.
Follis,
K. E., York, J. & Nunberg, J. H. Virology 350, 358–369
(2006).
10. Ge, X.-Y. et al. Nature
503, 535–538 (2013).
11. Gorbalenya, A. E. et al. bioRxiv
https://doi.org/10.1101/2020.02.07.937862. (2020).
12. Huang, C. et al. Lancet
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30183-5 (2020).
13. Ito, T. et al. J. Virol.
75, 4439–4443 (2001).
14. Jiang, S. et al. Lancet
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30419-0 (2020).
16. Letko,M.,Marzi,A&Munster,V.Nat.Microbiol https://doi.org/10.1038/s41564-020-0688-y (2020).
17. Lim, P. L. et al. N.
Engl. J. Med. 350, 1740–1745 (2004).
18. Liu, P., Chen, W. &
Chen, J.-P. Viruses 11, 979 (2019).
19. Menachery, V. D. et al. J.
Virol. https://doi.org/10.1128/JVI.01774-19 (2019).
20. Nao, N. et al. MBio 8,
e02298-16 (2017).
21. Rambaut, A. Virological.org
http://virological.org/t/356 (2020).
22. Sheahan, T. et al. J.
Virol. 82, 2274–2285 (2008).
23. Walls, A. C. et al. bioRxiv
https://doi.org/10.1101/2020.02.19.956581 (2020).
24. Wan, Y., Shang, J., Graham,
R., Baric, R. S. & Li, F. J. Virol. https://doi.org/10.1128/JVI.00127-20 (2020).
25. Wang, N. et al. Virol.
Sin. 33, 104–107 (2018).
26. Wong, M. C., et al. bioRxiv
https://doi.org/10.1101/2020.02.07.939207 (2020).
27. Wrapp, D. et al. Science
https://doi.org/10.1126/science.abb2507 (2020).
28. Wu, F. et al. Nature
https://doi.org/10.1038/s41586-020-2008-3 (2020).
29. Yamada, Y. & Liu,
D. X. J. Virol. 83, 8744–8758 (2009).
30. Zhang, T., Wu, Q. &
Zhang, Z. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02. 19.950253 (2020).
31.
Zhou,
P. et al. Nature https://doi.org/10.1038/s41586-020-2012-7 (2020).
No comments:
Post a Comment