Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 27 March 2024

C. Felis Menular ke Manusia ?

 

Mungkinkah Chlamydia Felis Dari Kucing Menginfeksi Manusia ?

 

Feline Chlamydiosis pada kucing disebabkan oleh infeksi Chlamydia felis. Infeksi Chlamydia felis merupakan penyakit menular yang biasanya menyerang kucing muda. Penyakit ini menyebabkan gangguan kelainan pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Meskipun dapat diobati, pemilik kucing perlu mewaspadai penyakit menular ini.

 

Ciri-ciri agen penyebab

 

Proposal nomenklatur baru-baru ini mengklasifikasikan semua ada 11 spesies Chlamydiaceae dalam satu genus Chlamydia (Sachse et al., 2015). Spesies yang paling sering menginfeksi kucing yaitu Chlamydia felis. Chlamydia felis, khas dari genus Chlamydia merupakan bakteri coccoid berbentuk batang Gram-negatif; dinding selnya tidak mengandung peptidoglikan. Sebagai parasit intraseluler obligat, bakteri ini tidak memiliki kemampuan untuk bereplikasi secara otonom.

 

Ketika meninginfeksi sel inang, organisme menempel pada reseptor asam sialat sel. Bakteri ini memiliki pola replikasi yang unik di dalam sel, yang melibatkan badan retikulat dan badan elementer. Yang terakhir merupakan bentuk menular dari mikroorganisme yang dilepaskan setelah sel inang mengalami lisis. Beberapa isolat C. felis tampaknya mengandung plasmid yang ada hubungannya dengan patogenitasnya.

 

Epidemiologi

 

Karena C. felis memiliki viabilitas rendah atau kelangsungan hidup yang rendah di luar inang, sehingga penularannya memerlukan kontak dekat antar kucing memalui transfer cairan yang keluar dari mata. Infeksi sering terjadi di tempat-tempat banyak kucing, khususnya di tempat pembibitan kucing dan penanmpungan kucing. Penelitian lain telah menemukan tingginya prevalensi C. felis pada kucing liar dengan gejala konjungtivitis.

 

Satu studi pada kucing di Slovakia (Halanova dkk., 2019) menemukan bahwa risiko infeksi C. felis secara signifikan lebih besar pada kucing dengan konjungtivitis dan/atau gejala klinis saluran pernapasan atas (30,4% positif dengan PCR) daripada kucing sehat (4,2% ). Selain itu, kucing dari tempat penampungan (31% positif dengan PCR) dan kucing liar jalanan (35,7%) secara signifikan lebih berisiko terinfeksi daripada kucing yang hanya di dalam ruangan (0%).

 

C. felis paling sering dikaitkan dengan konjungtivitis pada kucing dan dapat diisolasi hingga 30% dari kucing yang terkena, terutama pada kucing dengan konjungtivitis kronis dan penyakit mata yang parah (Wills dkk., 1988).

 

Survei serologi menunjukkan bahwa 10% atau lebih hewan peliharaan yang tidak divaksinasi memiliki antibodi. Studi dengan PCR pada kucing dengan tanda penyakit mata atau saluran pernapasan bagian atas menunjukkan prevalensi 12-20%. Prevalensi pada kucing tanpa tanda klinis rendah, dengan PCR menunjukkan kurang dari 2-3% (Fernandez dkk., 2017).

 

Patogenesis

 

Jaringan mukosa merupakan target Chlamydia spp. dan target utama C. felis adalah konjungtiva. Masa inkubasi umumnya 2 - 5 hari. Bakteri ini terutama menyebabkan penyakit mata. Gejala klinisnya meliputi konjungtivitis, dengan keluar cairan dari mata, hiperemia membran nictitating, kemosis dan blepharospasm. Chlamydia spp. terus-menerus menginfeksi sel epitel mata, sistem saluran pernapasan, gastrointestinal dan/atau sistem reproduksi. Organisme Chlamydia dapat diisolasi dari vagina dan rektum kucing, tetapi tidak jelas apakah transmisi memalui kelamin terjadi walaupun ada bukti tidak langsung bahwa Chlamydia dapat menyebabkan keguguran.

 

Pelepasan Chlamydia dari konjungtiva berhenti sekitar 60 hari setelah infeksi, meskipun beberapa dapat terus terinfeksi secara terus-menerus (O’Dair dkk., 1994). C. felis telah diisolasi dari konjungtiva kucing yang tidak diobati hingga 215 hari setelah infeksi secara eksperimen.

 

Imunitas pasif

 

Kucing yang terinfeksi mengembangkan antibodi dan anak kucing tampaknya dapat dilindungi pada awalnya selama satu sampai dua bulan setelah lahir dengan antibodi yang diturunkan dari induknya (Wills, 1986).

 

Imunitas aktif

 

Sifat dari respon kekebalan protektif terhadap infeksi Chlamydia tidak pasti. Namun respon kekebalan seluler diyakini berperan penting dalam perlindungan (Longbottom and Livingstone, 2006). MOMP dan POMP adalah target penting untuk respon kekebalan protektif pada spesies lain dan telah terbukti ada pada kucing.

 

Tanda-tanda klinis

 

Pada mulanya gejala penyakit terlihat satu mata, tetapi umumnya berkembang menjadi kedua mata. Dapat terjadi konjungtivitis parah dengan hiperemia ekstrem pada membran nictitating, blepharospasm, dan ketidaknyamanan mata. Cairan yang keluar dari mata awalnya cair tetapi kemudian menjadi mukoid atau mukopurulen. Kemosis konjungtiva adalah ciri khas Feline chlamydiosis. Infeksi Chlamydia umumnya kurang menunjukan gejala pernapasan. Komplikasi pada mata seperti adhesi konjungtiva, dapat terjadi tetapi keratitis dan ulkus kornea umumnya tidak berhubungan dengan infeksi. Demam sementara, kurang nafsu makan, dan penurunan berat badan dapat terjadi segera setelah infeksi, meskipun sebagian besar kucing tetap sehat dan nafsu makan baik.

 

Diagnosis deteksi langsung

 

Dimungkinkan untuk mengidentifikasi infeksi dengan biakan, tetapi teknik PCR sekarang merupakan pilihan yang lebih disukai untuk mendiagnosis infeksi Chlamydia. Teknik seperti itu sangat sensitif dan menghindari masalah dengan kelangsungan hidup organisme yang buruk. Swab mata umumnya digunakan sebagai sampel, meskipun sebuah studi baru-baru ini tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam kemampuan untuk mendeteksi C. felis dengan PCR dari swab mata, orofaringeal, hidung dan lidah. Hal ini menunjukkan bahwa situs lain pengambilan sampel dapat digunakan (Schulz dkk., 2015).

 

Selain itu, organisme juga dapat dideteksi pada swab vagina, janin yang diaborsi, dan swab rektal, meskipun ini jarang digunakan untuk diagnosis. Karena organisme bersifat intraseluler, perlu untuk mendapatkan swab berkualitas baik yang mengandung sel. Telah ditunjukkan bahwa proxymetacaine anestesi topikal tampaknya tidak mempengaruhi amplifikasi PCR DNA Chlamydia dari swab mata (Segarra dkk., 2011).

 

Teknik lain untuk mendemonstrasikan organisme kurang sensitif dan kurang dapat diandalkan dibandingkan PCR. Tes antigen Chlamydia berdasarkan pendeteksian antigen spesifik kelompok menggunakan ELISA atau teknik serupa tersedia. Juga, apusan konjungtiva dapat diwarnai Giemsa untuk memeriksa inklusi, tetapi inklusi Chlamydia mudah dibingungkan dengan inklusi basofilik lainnya (Streeten and Streeten, 1985).

 

Diagnosis deteksi tidak langsung

 

Pada kucing yang tidak divaksinasi, deteksi antibodi dapat memastikan diagnosis infeksi C. felis. Teknik imunofluoresensi (IF) dan ELISA digunakan untuk menentukan titer antibodi. Beberapa reaktivitas silang dengan bakteri lain terjadi, dan titer IF rendah (≤32) umumnya dianggap negatif. Infeksi aktif atau baru yang terjadi dikaitkan dengan titer tinggi, seringkali ≥512. Serologi dapat sangat berguna untuk menentukan apakah infeksi endemik dalam suatu kelompok. Ini juga dapat bermanfaat dalam menyelidiki kasus dengan gejala klinis mata kronis. Titer yang tinggi menunjukkan bahwa Chlamydia mungkin merupakan faktor etiologi, sedangkan titer yang rendah mengurangi kemungkinan keterlibatan Chlamydia.

 

Pengobatan

 

Infeksi Chlamydia pada kucing dapat diobati sangat efektif dengan antibiotik. Antibiotik sistemik lebih efektif daripada pengobatan topikal.

 

Tetrasiklin umumnya dianggap sebagai antibiotik pilihan untuk infeksi Chlamydia. Doksisiklin memiliki keuntungan karena hanya memerlukan dosis harian tunggal dan paling sering digunakan dengan dosis harian 10 mg/kg secara oral, walaupun 5 mg/kg secara oral dua kali sehari dapat digunakan jika muntah terjadi dengan dosis satu hari. Pemberian preparat hyclate doksisiklin harus selalu diikuti dengan makanan atau air minum karena kemungkinan dapat menyebabkan esofagitis pada kucing dengan menelan yang tidak sempurna. Studi telah menunjukkan bahwa pengobatan harus dipertahankan selama 4 minggu untuk memastikan eliminasi organisme (Dean dkk., 2005).

 

Pada beberapa kucing, kambuh kembali dapat terlihat beberapa saat setelah penghentian terapi. Kelanjutan pengobatan selama dua minggu setelah resolusi gejala klinis dianjurkan. Tetrasiklin memiliki potensi efek samping pada kucing muda meskipun hal ini tampaknya lebih jarang terjadi pada doksisiklin dibandingkan oksitetrasiklin. Antibiotik alternatif dapat dipertimbangkan jika ini menjadi perhatian.

 

Baik enrofloxacin dan pradofloxacin telah menunjukkan beberapa khasiat melawan Chlamydia spp., meskipun pradofloxacin lebih disukai daripada enrofloxacin mengingat degenerasi retina difus dan kebutaan akut yang telah dilaporkan setelah pengobatan enrofloxacin pada kucing, walaupun sangat jarang. Terapi selama 4 minggu dengan amoksisilin yang berpotensi asam klavulanat dapat menjadi pilihan alternatif yang paling aman untuk doksisiklin pada anak kucing muda (Sturgess dkk., 2001).

 

Vaksinasi

 

Vaksin C. felis merupakan tambahan pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Telah tersedia baik vaksin hidup yang dilemahkan maupun yang dimodifikasi, mengandung seluruh organisme Chlamydia. Tetapi vaksin ini hanya sebagai komponen vaksin multivalen. Vaksin efektif dalam melindungi terhadap manifestasi klinis penyakit, namun kurang efektif terhadap terjadinya infeksi (Wills dkk., 1987).

 

Vaksinasi harus dipertimbangkan untuk kucing yang berisiko terpapar infeksi, terutama di tempat yang banyak kucing, dan pernah ada riwayat infeksi Chlamydia sebelumnya.

 

Vaksinasi anak kucing umumnya dimulai pada usia 8-9 minggu dengan suntikan kedua 3-4 minggu kemudian sekitar usia 12 minggu. Informasi terbatas tersedia tentang durasi kekebalan. Ada beberapa bukti bahwa kucing yang sebelumnya terinfeksi dapat menjadi rentan terhadap infeksi ulang setelah satu tahun atau lebih. Vaksinasi booster tahunan direkomendasikan untuk kucing berisiko terkena infeksi.

 

Tempat penampungan kucing

 

Infeksi Chlamydia dapat menjadi penyebab penyakit yang signifikan di tempat penampungan kucing tetapi umumnya merupakan masalah yang kurang signifikan dibandingkan penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus. Vaksinasi harus dipertimbangkan jika sebelumnya pernah ada riwayat penyakit Chlamydia di tempat penampungan.

 

Kontak dekat diperlukan untuk penularan, selain itu organisme memiliki kelangsungan hidup yang rendah di luar inang, maka perlu disiapkan kandang kucing sendiri dan tindakan sanitasi rutin untuk menghindari infeksi silang. Bagi kucing yang dipelihara bersama dalam jangka panjang harus divaksinasi secara teratur.

 

Peternakan pembibitan

 

Pada kucing dengan infeksi Chlamydia endemik, langkah pertama umumnya pengobatan semua kucing di rumah dengan doksisiklin selama minimal 4 minggu untuk mencoba menghilangkan infeksi. Pada beberapa kucing yang sekandang, perawatan minimal 6 - 8 minggu telah terbukti diperlukan untuk menghilangkan infeksi alami. Setelah tanda-tanda klinis dapat dikendalikan, kucing harus divaksinasi untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit jika terjadi infeksi ulang di kandang.

 

Kucing yang mengalami gangguan kekebalan hanya boleh divaksinasi jika dianggap benar-benar diperlukan, dan kemudian vaksin yang inaktif harus digunakan.

 

Risiko zoonosis

 

Tidak ada bukti epidemiologis untuk risiko zoonosis yang signifikan meskipun konjungtivitis yang disebabkan oleh C. felis dilaporkan pada pasien yang terinfeksi HIV (Hartley et al., 2001) dan, baru-baru ini, ada wanita imunokompeten terinfeksi dari anak kucing peliharaannya (Wons dkk., 2017).

 

Selain itu, C. pneumoniae, patogen manusia yang terkenal, telah diidentifikasi pada sejumlah kecil kucing, meskipun penularan dari kucing ke manusia belum didokumentasikan.

 

C. psittaci terutama menginfeksi burung menjadi agen zoonosis penting yang menyebabkan pneumonia atipikal pada manusia. Kadang-kadang, infeksi pada kucing dilaporkan. Laporan kasus infeksi C. psittaci yang fatal pada anak kucing berumur 7 minggu telah dilaporkan (Sanderson dkk., 2021); anak kucing ini menunjukkan sepsis Gram Negatif dengan hepatitis necrosupurative akut dan pneumonia nonsuppurative dan leptomeningitis ringan, dan diduga infeksi induk anak kucing tersebut terjadi ketika bunting berburu burung.

 

SUMBER

Pudjiatmoko. Mungkinkah Chlamydia Felis Dari Kucing Menginfeksi Manusia ? Pangan News. 28 April 2023. https://pangannews.id/berita/1682670979/mungkinkah-chlamydia-felis-dari-kucing-menginfeksi-manusia

Penyakit Tular Vektor Akibat Perubahan Iklim

 

Dampak Perubahan Iklim pada Penyakit Tular Vektor


Penyakit infeksi baru terutama yang berpotensi zoonosis (penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya) merupakan ancaman yang semakin besar terhadap kesehatan dan keselamatan global. Dampak perubahan iklim terhadap epidemiologi zoonosis dapat diketahui dari terjadinya perubahan dinamika inang, vektor, dan patogen serta interaksinya. Banyak proyeksi iklim mengungkapkan potensi perluasan geografis dan tingkat keparahan zoonosis yang ditularkan melalui vektor. Proyeksi iklim dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk mendapatkan gambaran mengebai respons sistem iklim terhadap perubahan gaya radiatif (radiative forcing) terutama akibat kenaikan konsentrasi GRK di atmosfir di masa depan. Indonesia sebagai negara kepulauan di wilayah tropis merupakan negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Di sini akan disampaikan dampak perubahan iklim secara global terhadap zoonosis yang ditularkan melalui vektor.

 

Vektor penyakitnya

 

Vektor penyakit adalah arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia. Arthropoda tersebut seperti nyamuk, kutu, dan lalat. Vektor ini bersifat ektotermik, artinya untuk menghangatkan tubuhnya dengan cara menyerap panas dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, suhu lingkungan berdampak lansung pada kelangsungan hidup vektor. Suhu lingkungan memengaruhi laju reproduksi, distribusi, kelimpahan, kesesuaian habitat, aktivitas, perkembangan dan kelangsungan hidup vektor. Suhu lingkungan juga memengaruhi reproduksi patogen yang berada dalam vektor.

 

Curah hujan yang tinggi akan menambah tempat berpotensi untuk berkembangbiaknya vektor seperti nyamuk. Selanjutnya, vegetasi-tetumbuhan berkembang lebat setelah hujan menjadi tempat berlindung yang cocok bagi vektor. Jadi perubahan iklim berkaitan erat dengan perubahan ekologi yang memengaruhi kejadian dan penyebaran penyakit tular vektor.

 

Vektor nyamuk

 

Nyamuk dapat membawa berbagai patogen, seperti virus, parasit protozoa, dan bakteri. Nyamuk sebagai vektor menyebabkan amplifikasi penyakit dan penularan banyak jenis penyakit zoonosis seperti zika, demam berdarah, dan chikungunya. Maka dari itu kita perlu memahami tren prediksi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk guna merespon perubahan iklim. Suhu yang baik memengaruhi peningkatan reproduksi dan aktivitas nyamuk. Selain itu frekuensi mengisap darah tinggi dan mencerna lebih cepat. Suhu air yang hangat menyebabkan jentik nyamuk berkembang pesat.

 

Perubahan iklim mengubah kapasitas vektor dan menularkan banyak penyakit. Hal ini dapat mengubah dinamika penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Sebagai contoh, hasil studi retrospektif wabah virus West Nile di Perancis Selatan pada tahun 2000 menunjukkan bahwa agresivitas vektor tergantung pada suhu dan kelembaban, juga berhubungan dengan intensitas curah hujan dan sinar matahari. Cuaca hangat dan kering meningkatkan reproduksi nyamuk yang menimbulkan jumlah vektor nyamuk berlebih di perkotaan seperti Culex pipiens.

 

Kontak vektor nyamuk dengan inang unggas yang berkumpul di sekitar sumber air, menimbulkan peningkatan multiplikasi virus. Sebuah studi tentang proyeksi perubahan iklim memperkirakan pada tahun 2025 kemungkinan infeksi virus West Nile menjadi lebih besar, terutama di perbatasan wilayah penularan yang sudah ada seperti Kroasia Timur, Kroasia Timur Laut, dan Turki Barat Laut. Diprediksi perluasan akan terjadi pada tahun 2050 (Semenza dkk., 2016).

 

Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus menularkan lebih dari 22 arbovirus ke manusia sehingga habitat vektor ini banyak menjadi perhatian di kalangan kesehatan masyarakat. Studi sebelumnya memproyeksikan terjadi perluasan habitat yang cocok untuk kedua spesies Aedes ini di Amerika Utara, Australia, dan Eropa. Namun demikian, kesesuaian iklim spesies Aedes di Eropa Selatan diperkirakan akan menurun selama abad ke-21, kemungkinan disebabkan cuaca yang lebih panas dan kering.

 

Sebuah studi tentang demam berdarah menunjukkan bahwa batas geografis penularan demam berdarah sangat ditentukan iklim. Dengan proyeksi populasi dan perubahan iklim pada tahun 2085, diperkirakan sekitar 50 – 60% populasi dunia yang diproyeksikan (5 – 6 miliar orang) akan berisiko terhadap penularan demam berdarah, dibandingkan dengan 35% populasi (3,5 miliar orang) jika tidak terjadi perubahan iklim (Hales dkk., 2002).

 

Di bawah skenario emisi karbon paling ekstrem, terdapat penelitian yang memperkirakan risiko penularan demam berdarah terjadi karena vektor Aedes aegypti selama musim panas di Inggris pada tahun 2100 (Liu-Helmersson dkk., 2016). Menurut penelitian lain, pada tahun 2100, tidak ada wilayah Inggris yang cocok untuk amplifikasi virus dengue di dalam tubuh serangga Aedes aegypti (Thomas dkk., 2011).

 

Masuknya Aedes albopictus dan virus chikungunya ke Italia telah dicatat sebagai kejadian yang tidak disengaja. Namun, kepadatan Aedes albopictus di Italia diakui sebagai kontribusi utama wabah chikungunya pertama saat iklim sedang (Rezza dkk., 2007). Transmisi dan distribusi Aedes albopictus kemudian diprediksi dalam kondisi iklim yang menguntungkan di negara-negara beriklim sedang. Aedes albopictus merupakan vektor utama untuk berbagai penyakit, seperti virus West Nile, Yellow Fever, St. Louis encephalitis, Japanese encephalitis, demam berdarah, Rift Valley Fever, dan demam chikungunya pada manusia (Mitchell, 1995).

 

Kombinasi faktor iklim dan lingkungan, termasuk suhu, kelembaban, curah hujan, dan penyinaran, diyakini berkontribusi terhadap wabah demam berdarah dan chikungunya sebelumnya di Eropa. Faktor-faktor tersebut dapat memperparah masuknya Aedes albopictus ke daerah baru (Mitchell, 1995). Jika terdapat infeksi nyamuk Aedes aegypti maka peningkatan suhu rata-rata akan mengakibatkan penularan demam berdarah musiman di Eropa Selatan (ECDC, 2019).

 

Malaria merupakan penyakit parasit menular yang disebabkan oleh parasit plasmodium, sering dilaporkan di negara tropis. Namun, hubungan antara kondisi meteorologi (misalnya suhu dan curah hujan) dan penularan malaria di negara beriklim sedang telah dibahas dalam beberapa penelitian, di mana mereka menggambarkan potensi invasi malaria dan “penyakit tropis” lainnya ke Eropa Selatan, sebagai contoh perluasan geografis risiko malaria akibat perubahan iklim.

 

Sebuah studi di Portugal memperkirakan peningkatan jumlah hari per tahun yang cocok untuk penularan malaria jika ada vektor yang terinfeksi (Casimiro dkk., 2006). Sebuah penelitian di Inggris memperkirakan peningkatan risiko penularan malaria lokal sebesar 8 – 14%, berdasarkan proyeksi perubahan suhu yang akan terjadi pada tahun 2050 (ECDC, 2019).

 

Sebuah studi tentang model dampak malaria menunjukkan peningkatan global jumlah orang berisiko per bulan dari tahun 2050-an hingga 2080-an. Studi tersebut menunjukkan bahwa iklim di masa mendatang lebih cocok untuk penularan malaria di daerah dataran tinggi tropis, seperti di dataran tinggi Afrika Timur (Caminade dkk., 2014). Epidemi malaria diperkirakan akan bergerak ke selatan di Afrika sub-Sahara dan menuju dataran yang lebih tinggi (Emert dkk., 2012). Pada akhir abad ke-21, kondisi suhu di wilayah semikering Sahel diperkirakan menjadi tidak menguntungkan bagi vektor malaria (Caminade dkk., 2014).

 

Di bawah skenario perubahan iklim sedang – tinggi, sebuah penelitian memproyeksikan bahwa wilayah selatan Inggris Raya menjadi cocok iklimnya untuk penularan malaria Plasmodium vivax selama dua bulan dalam setahun, dan sebagian Inggris tenggara selama empat bulan per tahun, pada tahun 2030. (Lindsay dkk., 2010). Pada tahun 2080, Skotlandia Selatan juga diperkirakan akan cocok secara iklim selama dua bulan dalam setahun (Lindsay dan Thomas, 2001).

 

Vektor lalat pasir

 

Seperti pada nyamuk, suhu berdampak pada laju gigitan lalat pasir. Larvanya dapat bertahan hingga 2 tahun untuk berkembang biak dan hidup di pasir lepas. Terjadi perkembangan patogen (protozoa) di dalam vektor. Di Eropa, lalat pasir tersebar di selatan 45°garis lintang utara dan kurang dari 800 m di atas permukaan laut. Namun, baru-baru ini telah meluas hingga setinggi 49° garis lintang utara (ECDC, 2019).

 

Suhu di Eropa Utara diperkirakan akan menjadi lebih hangat, dan curah hujan akan meningkat. Selain itu, suhu musim dingin diperkirakan akan meningkat di dataran yang lebih tinggi. Perubahan iklim ini diperkirakan akan memperluas jangkauan lalat pasir ke Eropa Barat Laut dan Eropa Tengah dan pada dataran yang lebih tinggi di wilayah yang sudah ada (Medlock dkk., 2014).

 

Perubahan iklim yang diproyeksikan di Eropa akan memberikan suhu yang menguntungkan bagi lalat pasir, sehingga lalat itu akan dengan cepat berkembang biak di negara-negara yang saat ini berada di batas jangkauan geografisnya, seperti Jerman, Austria, Swiss, dan di sepanjang pantai Atlantik (Naucke dkk., 2011).

 

Lalat pasir mampu menularkan leishmaniasis, yaitu infeksi parasit protozoa yang disebabkan oleh Leishmania infantum. Saat ini, Eropa Tengah dan Utara hanya mengimpor kasus anjing yang terinfeksi leishmaniasis. Jika perubahan iklim yang diproyeksikan membuat transmisi cocok di garis lintang utara, daerah endemik baru dapat dikembangkan dengan menjadi kasus impor ini sebagai sumber infeksi.

 

Di sisi lain, cuaca yang terlalu panas dan kering tidak menguntungkan bagi lalat pasir, yang akan menyebabkan hilangnya penyakit dari garis lintang selatan. Oleh karena itu, perubahan iklim yang diproyeksikan akan terus mengubah distribusi leishmaniasis di Eropa (ECDC, 2019). Sebuah studi di Eropa memperkirakan perluasan wilayahnya ke utara dengan kondisi iklim yang menguntungkan (di Eropa Tengah dan Utara) untuk sebagian besar spesies vektor, mencapai Inggris Raya dan Skandinavia pada 2061 – 2080 (Koch dkk., 2017).

 

Di Brasil, pertumbuhan 15% dalam jumlah rawat inap tahunan diperkirakan karena leishmaniasis pada akhir abad ke-21, dengan pertumbuhan relatif lebih tinggi di wilayah selatan (Mendes dkk., 2016). Studi lain memproyeksikan bahwa vektor Lutzomyia whitmani kemungkinan akan berkembang secara substansial di Brasil Tenggara, menyebabkan munculnya kembali leishmaniasis kulit pada tahun 2055. Gonzalez dkk. (2010) memproyeksikan kemungkinan perluasan leishmaniasis ke arah utara dari Meksiko dan Amerika Serikat Bagian Selatan, berpotensi mencapai batas selatan Kanada. Selain itu, mereka memperkirakan jumlah individu yang terpapar setidaknya dua kali lipat dari angka saat ini pada tahun 2080 (Gonzalez dkk., 2010).

 

Vektor kutu

 

Seperti pada penyakit yang ditularkan melalui vektor lainnya, peningkatan suhu memengaruhi produksi telur, kepadatan populasi, siklus perkembangan, distribusi kutu, dan tingkat kelangsungan hidup kutu selama musim dingin. Kutu dapat bertahan hidup di garis lintang dan dataran yang lebih tinggi jika iklim menjadi lebih hangat. Model kesesuaian iklim Ixodes scapularis menggambarkan potensi perluasan populasi kutu yang signifikan ke utara hingga Kanada dengan peningkatan 213% habitat yang cocok pada tahun 2080-an (Brownstein dkk., 2005).

 

Selain itu, perubahan iklim yang diproyeksikan akan menarik vektor dari Amerika Serikat Selatan dan menuju ke Amerika Serikat Tengah. Ixodes scapularis adalah vektor utama Penyakit Lyme di Amerika Utara, yang disebabkan oleh Borrelia burgdorferi yang ditularkan ke manusia selama pemberian makan darah. Studi ini memperkirakan dampak perubahan iklim terhadap risiko Penyakit Lyme dan munculnya penyakit menular yang ditularkan melalui kutu di Kanada.

 

Penyakit Lyme adalah salah satu penyakit yang ditularkan melalui kutu yang paling umum di Eropa, dengan sekitar 85.000 kasus setiap tahunnya. Insiden Penyakit Lyme telah meningkat di beberapa negara Eropa, termasuk Jerman, Finlandia, Rusia, Skotlandia, Slovenia, dan Swedia (Fulop dan Poggensee, 2008).

 

Peningkatan suhu musim dingin yang diproyeksikan dapat memperluas Penyakit Lyme ke garis lintang dan dataran yang lebih tinggi jika semua persyaratan lain (keberadaan inang vertebrata yang sesuai) terpenuhi (ECDC, 2019). Temperatur yang terlalu tinggi, iklim yang lebih kering, kekeringan, dan banjir yang parah akan berdampak negatif pada distribusi kutu, mengubah aktivitas musiman dan metode paparannya. Eropa Utara diperkirakan akan mengalami suhu yang lebih tinggi dengan curah hujan yang meningkat, sedangkan Eropa Selatan akan menjadi lebih kering, yang akan mengubah dinamika penyakit di kedua wilayah Eropa tersebut.

 

Selain itu, perubahan iklim berdampak pada populasi dan habitat spesies inang seperti rusa, hewan pengerat, dan burung, yang mengubah kelimpahan dan distribusi populasi kutu. Tikus berkaki putih, inang reservoir penting untuk Penyakit Lyme, diperkirakan berkembang ke utara di Québec karena musim dingin yang ringan dan lebih singkat. Pada tahun 2050, habitat tikus putih diperkirakan akan menyebar lebih jauh ke utara dengan garis lintang 3°, yang dapat mengubah jangkauan geografis patogen dan distribusi kasus Penyakit Lyme.

 

Monaghan dkk. (2015) memprediksi pergeseran temporal dari timbulnya Penyakit Lyme di Amerika Serikat karena proyeksi perubahan iklim selama abad ke-21, di mana musim Penyakit Lyme diproyeksikan akan dimulai 0,4 – 0,5 minggu lebih awal pada tahun 2025 – 2040 (p<0,05) dan 0,7 – 1,9 minggu sebelumnya pada 2065 – 2080 (p<0,01). Demikian pula, Levi dkk. (2015) mengusulkan bahwa aktivitas puncak nimfa dan larva Ixodes scapularis akan meningkat masing-masing 8 – 11 hari dan 10 – 14 hari, karena proyeksi pemanasan pada tahun 2050-an.

 

Menurut penelitian di Republik Ceko, perluasan Ixodes ricinus ke dataran yang lebih tinggi selama dua dekade terakhir dikaitkan dengan peningkatan suhu rata-rata. Kutu Ixodes ricinus bertindak sebagai reservoir dan vektor untuk Penyakit Lyme dan virus tick-borne encephalitis (TBE) di Eropa.

 

Sebuah analisis di Swedia menunjukkan bahwa peningkatan kejadian TBE sejak pertengahan 1980-an berhubungan dengan musim dingin yang lebih hangat dan lebih pendek. Model iklim yang terdiri dari musim panas yang lebih hangat dan lebih kering memperkirakan TBE akan didorong ke dataran tinggi dan garis lintang yang lebih tinggi bersama dengan 3,8% perluasan habitat secara keseluruhan untuk Ixodes ricinus di Eropa (berpotensi di Eropa Utara dan Tengah) pada tahun 2040 – 2060 (Boeckmann dan Joyner, 2014). Risiko TBE diperkirakan akan berkurang di Eropa Selatan. Namun, banyak ketidakpastian yang ada dalam model ini, dan faktor sosial ekonomi lainnya. Program vaksinasi yang ditargetkan, dan surveilans TBE dapat menurunkan kejadian dan distribusi TBE.

 

Vektor lainnya

 

Contoh jenis vektor lain yang menularkan zoonosis yaitu lalat hitam (misalnya, Onchocerciasis), tungau (misalnya, Scrub typhus), serangga triatomine (misalnya, penyakit Chagas), dan lalat tsetse (misalnya, trypanosomiasis Afrika). Beberapa penelitian telah mencatat korelasi positif antara penyakit yang ditularkan oleh vektor ini dan faktor iklim seperti suhu, lama penyinaran matahari, curah hujan, dan kelembapan.

 

Spesies vektor, seperti spesies Triatoma dan lalat tsetse, sering diprediksi mencerminkan perluasan dan penyempitan wilayah layak huni saat ini sebagai respons terhadap proyeksi perubahan iklim global. Menurut kondisi iklim di masa mendatang, pergeseran geografis vektor atau patogen ke wilayah kecil baru telah diprediksi: spesies Triatoma di Amerika Utara pada tahun 2050 dan Trypanosoma brucei rhodesiense di Afrika Selatan dan Timur pada tahun 2090 (Garza dkk., 2014).

 

Selain itu, juga diproyeksikan terjadinya pengurangan wilayah yang cocok untuk vektor atau populasi vektor, misalnya, penurunan 13 – 41% lalat hutan di Liberia dan lalat sabana di Ghana pada tahun 2040 (Nnko dkk., 2021). Musim Scrub typhus telah didokumentasikan dengan baik di berbagai negara Asia, misalnya di Jepang Utara, Korea, dan Cina Utara. Oleh karena itu, pergeseran temporal dan geografis Scrub typhus dapat diantisipasi, dengan proyeksi pemanasan global dan kejadian cuaca ekstrem yang sering terjadi di masa mendatang.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

1.) Perubahan iklim merupakan salah satu masalah paling memprihatinkan yang mengancam planet kita dan umat manusia di abad ke-21.

2.) Perlu dilakukan prediksi ilmiah yang sangat penting bagi pembuat kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam membangun kapasitas untuk : (a) menurunkan kerentanan zoonosis akibat perubahan iklim, (b) meningkatkan kesehatan hewan dan manusia, dan (c) mengembangkan dan memfasilitasi agenda global untuk meminimalkan penyebab perubahan drastis.

3.) Perlu dilakukan KIE pengetahuan tentang dampak perubahan iklim terhadap kesehatan di kalangan masyarakat luas.


SUMBER:

Pudjiatmoko. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Penyakit Tular Vektor. Pangan News 10 Agustus 2023. https://pangannews.id/public/berita/1691634341/dampak-perubahan-iklim-terhadap-penyakit-tular-vektor.