Drh. Pudjiatmoko, PhD lahir di Purbalingga,17 April 1959, begitu lulus FKH - IPB pada tahun 1983 ia langsung bekerja menjadi Technical Services pada Produsen Obat Hewan, selanjutnya tahun1985-1986 menjadi Manajer Breeding Farm. Pada tahun 1986-1992 ia menjadi Penguji Vaksin Viral pada Lab Virologi Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) Kementerian Pertanian. Ia memperoleh beasiswa Monbusho program PhD (S3) Applied Veterinary Science di Gifu University, Jepang tahun1993-1997, langsung melanjutkan program Post Doctoral Research tahun 1997-2000 di Gifu University dan Lab Kyoto Biken. Ia ditugasi memimpin Lab Bakteriologi BPMSOH tahun 2002-2005. Ia dikirim ke Jepang sebagai Atase Pertanian KBRI Tokyo tahun 2005-2009, begitu kembali ke Indonesia ia dipercaya sebagai Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) tahun 2009-2010, dan ia diamanahi sebagai Direktur Kesehatan Hewan di Ditjen PKH, Kementerian Pertanian tahun 2010 sampai Agustus 2015. Sampai 30 April 2024 sebagai Pejabat Medik Veteriner Ahli Utama.
Nilai defisit Jepang sepanjang 2012 mencetak rekor
seiring dengan kinerja ekspor yang terkena dampak krisis Eropa serta memanasnya
hubungan diplomatik dengan Cina. Kondisi ini berdampak pada turunnya permintaan
terhadap produk-produk Jepang di Negeri Panda. Data yang dilansir Kementerian
Keuangan Jepang, kemarin, menunjukkan nilai defisit Negara Sakura sepanjang
2012 sebesar 6,92 triliun yen (US$
78 miliar).
Nilai defisit bulanan pada Desember 2012 sebesar 641,5
miliar yen. Sepanjang tahun lalu, total nilai ekspor Jepang sebesar 63,7 triliun yen dibanding total nilai
impor sebesar 70,7 triliun yen.
Defisit ini dialami Jepang dalam dua tahun berturut-turut. Realisasi kinerja
perdagangan itu menunjukkan bahwa negara dengan ekonomi terbesar ketiga di
dunia itu masih harus berjuang keras memulihkan ekonomi.
Sebelumnya, Jepang berupaya mencapai pemulihan setelah
musibah gempa dan tsunami pada 2011, krisis nuklir, dan dampak menguatnya nilai
tukar mata uang yen. “Ada banyak hal yang harus dilakukan Jepang untuk mencapai
surplus perdagangan tahun ini,” ujar Kepala Analis Bank of Tokyo-Mitsubishi
UFJ, Minori Uchida.
Meskipun pada tahun lalu Jepang membukukan surplus
perdagangan dengan Amerika Serikat, negara tetap mencatatkan defisit 139,7 miliar yen dengan Uni Eropa. Defisit dengan Uni Eropa
merupakan yang pertama kali terjadi seiring dengan krisis yang melanda kawasan
itu. Defisit Jepang dengan Cina meningkat dua kali lebih besar, menjadi 3,52 triliun yen pada tahun lalu,
sehubungan dengan sengketa wilayah di Kepulauan Laut Cina Selatan yang memuncak
pada September 2012.
Pada Selasa lalu, bank sentral Jepang (BoJ)
mengumumkan paket stimulus moneter tambahan guna mendorong pemulihan ekonomi.
Stimulus itu di antaranya adalah program pembelian kembali surat utang
pemerintah tak terbatas hingga 2014 dan menetapkan target inflasi tahun ini sebesar 2 persen. Pemerintah dan BoJ sepakat menaikkan target pertumbuhan
ekonomi tahun ini menjadi 2,3 persen
pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2014, dari target sebelumnya 1,6 persen.
Kesepakatan itu dituangkan dalam pernyataan bersama
antara BoJ dan pemerintah Jepang kemarin, setelah pemerintah mendesak bank
sentral mengeluarkan kebijakan stimulus tambahan guna mendorong pemulihan
ekonomi. Dalam pernyataan resminya, BoJ menyatakan berjanji menggelontorkan dana stimulus sebesar 101 triliun yen (US$ 1,1 triliun) ke
pasar melalui program pembelian kembali
surat utang pemerintah dan program pinjaman pada akhir tahun ini.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2013/01/24/090456742/Defisit-Jepang-pada-2012-Cetak-Rekor
Avian
Influenza (AI) merupakan penyakit yang mempunyai dampak ekonomi yang sangat
besar pada perunggasan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada
pertengahan tahun 2003, laporan outbreak AI terjadi di Indonesia dimana unggas
yang terinfeksi AI menunjukkan gejala klinis seperti pial dan jengger
membengkak dan kebiruan (sianosis), muka bengkak dan keluar cairan dari hidung
dan mulut, ptekhi subkutan pada kaki dan telapak kaki, tortikolis, diare dan
kematian yang sangat tinggi. Beberapa tahun kemudian, dinamika perkembangan
kasus AI yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kasus AI
yang terjadi pada unggas dengan kematian mendadak tanpa menunjukkan gejala
klinis sebelumnya. Di Indonesia, kasus AI pada manusia ditemukan pertama kali
di Kabupaten Tangerang pada tahun 2005. Perkembangan kasus AI pada manusia di
Indonesia sebanyak 150 orang kematian dari 182 orang yang positif terinfeksi
H5N1 sampai dengan akhir tahun 2011 (DEPKES, 2011). Umumnya, penyakit
influenza pada manusia menyerang saluran pernafasan yang ditandai dengan demam,
sakit kepala, nyeri otot (mialgia), batuk, lesi, kebengkakan (coryza), sakit
tenggorokan dan batuk (CHIN, 2006).
Penyakit Avian Influenza disebabkan virus influenza yang
berdasarkan taxonominya termasuk dalam family Orthomyxoviridae. Virus ini
merupakan virus RNA, berpolaritas negatif, mempunyai envelope dan genomnya
bersegmen. Masing-masing segmen dari virus Influenza tipe A terdiri dari
protein Polymerase component 2 (PB2), Polymerase component 1(PB1) dan
Polymerase component (PA) yang mengkodekan Polymerase, Hemaglutinin (HA),
Nucleocapsid (NP), Neuraminidase (NA), Matrix Protein 1 (M1), Matrix Protein
2(M2), Non Structural Protein 1 (NS1) dan Non Structural Protein 2 (N2). Virus
Avian Influenza berdasarkan kemampuannya dalam menimbulkan penyakit pada unggas
dikarakterisasi menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low
Pathogenic Avian Influenza (LPAI) (SENNE et
al., 1996; PERDUE dan SWAYNE, 2005), sedangkan berdasarkan genetik
dan antigenik, virus influenza dibedakan menjadi tipe A, B dan C. Avian
Influenza atau flu burung termasuk virus Influenza tipe A. Virus influenza A
dapat menginfeksi berbagai unggas, mamalia dan manusia (ALEXANDER, 1982 ;
WEBSTER et al.,
1992). Virus influenza tipe A dibedakan menjadi beberapa subtipe
berdasarkan kombinasi 2 antigen permukaan utama yaitu Hemaglutinin (HA)
dan Neuraminidase (NA). Saat ini, 16 subtipe HA dan 9 subtipe NA telah
diidentifikasi yang memungkinkan berpotensi menjadi 144 kombinasi subtipe.
Virus AI subtipe H5N1 dianggap sebagai agen yang bertanggung jawab terhadap
pandemik influenza pada manusia yang terjadi akhir-akhir ini (FOUCHIER et al., 2005).
Unggas air liar Anseriformes (itik, entok dan angsa) dan
Charadriiformes (burung camar (laut), burung laut, burung liar) yang
keberadaannya tersebar di dunia merupakan reservoir alami dan inang virus
influenza A yang paling heterogen (WEBSTER et al., 1992). Unggas air liar
merupakan reservoir yang unik untuk virus avian influenza
dikarenakan burung air terutama unggas air merupakan reservoir semua
subtipe H dan N virus avian influenza dimana virus AI berkembangbiak dalam
jumlah besar didalam saluran pencernaan unggas air tanpa menimbulkan gejala
klinis (OLSEN et al.,
2006). Keragaman sirkulasi virus AI pada unggas air semakin memperkuat dugaan
bahwa unggas air berperan penting dalam penularan virus AI ke manusia (BAIGENT et al., 2003).
Umumnya, itik merupakan salah satu unggas air yang sensitif
terhadap infeksi AI. Penelitian yang dilakukan HANSON et al. (2005) menunjukkan
hasil bahwa beberapa subtipe hemaglutinin yaitu H2, H7, H8 dan H1 dapat
dideteksi dari berbagai jenis itik (Anas
crecca, Anas
cyanoptera, Anas
discors, Anas
acuta, dan Anas
discors) yang tinggal di Texas. Keberadaan itik yang tersebar luas
di dunia dan kemampuan itik untuk dapat berpindah atau berpergian dalam jarak
yang sangat jauh dan dihubungkan sebagai carrier dari satu daerah ke daerah
yang lain (BROCHET et al.,
2010; NAGY et al.,
2009). Penggembalaan itik secara bebas dan berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya terutama pada saat musim panen merupakan faktor yang berperan terhadap
penyebaran virus HPAI H5N1 (GILBERT et
al., 2006). Di Indonesia, pengembalaan itik secara berpindah
pada musim panen juga terjadi dimana itik secara berkelompok dibiarkan bebas
berkeliaran untuk mencari makan sendiri di sawah yang habis panen dan
selanjutnya, itik ini akan berpindah ke sawah lain apabila makanan di sawah
sebelumnya sudah mulai habis. Perpindahan itik ini berlangsung selama beberapa
hari dan dalam jarak yang cukup jauh dimana kondisi ini sangat mendukung
terjadinya penyebaran virus oleh itik yang terinfeksi virus AI dari satu tempat
ke tempat lainnya melalui shedding virus. Gambar 1 menunjukkan penggembalaan
unggas air (itik) secara berpindah dari sawah satu ke sawah lain di Indonesia
pada saat musim panen.
Gambar 1. Penggembalaan itik sistem berpindah (Foto: Livestockreview, 2012;
Zakialjufri.com, 2010)
Apabila infeksi dan shedding virus terjadi terus menerus, virus LPAI akan
mempunyai kemampuan untuk bermutasi menjadi HPAI. Virus AI yang tidak patogenik
dalam itik dapat menjadi virus patogenik melalui evolusi atau adaptasi dalam
tubuh itik, dan virus tersebut akan bersifat sangat patogenik apabila
menginfeksi ayam peliharaan atau peternakan ayam. Hal ini menunjukkan kemampuan
itik untuk menularkan virus kepada unggas lain tanpa menderita penyakit yang
parah (HULSE-POST et al.,
2005; KEAWCHAROEN et al.,
2008). Namun demikian, virus AI H5N1 akhir-akhir ini dapat menyebabkan penyakit
yang parah pada itik dengan angka kematian yang tinggi, dan itik yang
terinfeksi AI baik dengan gejala klinis atau tanpa menunjukkan gejala klinis
dan mampu mengeluarkan virus AI dalam jumlah yang sangat besar melalui kloaka
dan oropharing (STRUM-RAMIREZ, 2004).
Virus influenza selama periode infeksi dapat dikeluarkan
itik dalam jumlah besar melalui feses selama 7 hari, bahkan mungkin sampai 21
hari. Itik air sangat peka dan mudah terinfeksi oleh virus influenza AI melalui
makanan dan air yang dikonsumsi (KIDA et al., 1980). Habitat itik yang
dekat dengan lingkungan air sangat memungkinkan untuk transmisi virus influenza
melalui air. Air merupakan suatu media yang disukai untuk penyebaran
virus AI nonvirulent dan sebagian virus AI sangat virulent diantara spesies
unggas yang berkumpul dalam suatu lahan yang basah (unggas air, burung laut dan
burung pantai). Virus AI masih dapat bersifat infektif dalam air yang tergenang
selama 4 hari pada suhu 22oC dan lebih dari 30 hari pada suhu 0oC.
Virus AI akan bertahan dalam periode yang lebih lama lagi jika berada dalam
daerah atau lahan dingin (STALLKNECHT et al., 1990). Di Indonesia, laporan
kasus AI umumnya akan meningkat pada saat musim hujan dimana kelembaban tinggi
menjadi faktor pendukung terhadap perkembang biakan dan penyebaran virus AI di
lingkungan. Hasil penelitian terhadap sirkulasi virus AI subtipe H5 pada unggas
termasuk unggas air di Jawa Barat, Banten, Jawa Timur sepanjang tahun 2008
sampai 2009 yang dilakukan HEWAJULI dan DHARMAYANTI (Unpublised, 2012)
menunjukkan bahwa virus AI subtipe H5 ditemukan pada sebagian besar unggas
termasuk unggas air yang dikoleksi pada musim hujan sedangkan sebagian besar
unggas yang diambil sampelnya pada musim kemarau tidak teridentifikasi virus AI
subtipe H5. Suhu yang tinggi pada musim kemarau kemungkinan menyebabkan virus
AI yang ada di lingkungan menjadi inaktif. CHANG et al. (2004) menyatakan bahwa virus AI dapat
diinaktifasi pada suhu 560C selama 3 jam atau suhu 600C selama 30 menit,
dengan pH <5 atau="atau" ph="ph">8. Gambar 2 menunjukkan kebiasaan unggas air
yang sering berhubungan dengan lingkungan air merupakan faktor resiko terhadap
penularan virus AI ke lingkungan sekitar.5>
Gambar 2. Itik yang berpotensi menularkan virus AI ke lingkungan (foto:
Kulinerkita, 2009)
Pada dasarnya, virus Avian Influenza tidak
dengan mudah menginfeksi manusia (BEARE et
al.,1991) dikarenakan manusia tidak memiliki reseptor a(2,3)
sialyllactose (Neu-Ac2,3Gal) untuk penempelan virus dengan sel epitel. Meskipun
demikian, gen virus AI dapat ditularkan diantara manusia dan spesies unggas
sebagaimana yang diperlihatkan oleh virus human reasortant yang menyebabkan
pandemik influenza pada tahun 1957 dan 1968 (KAWAOKA et al.,1989). Struktur
virus Influenza A yang termasuk virus RNA, single stranded, dan terdiri dari 8
segmen dengan gen yang berbeda adalah faktor-faktor yang kemungkinan berpotensi
besar sebagai penyebab terjadinya genetic reassortment pada infeksi
campuran dengan virus yang berbeda dalam tubuh unggas serta dapat merubah virus
AI menjadi virus yang patogen pada manusia (ALEXANDER, 1982; DASZAK et al., 2006; HEENEY,
2000). Di Indonesia, masyarakat setempat mempunyai kebiasaan bertempat tinggal
atau hidup berdampingan dengan unggas peliharaan dan unggas air dalam
satu lingkungan tempat tinggal. Kondisi ini seperti yang terlihat pada Gambar
3. memberikan peluang yang sangat besar terjadi pencampuran genetik antara
virus influenza manusia dan unggas.
Gambar 3.Manajemen pemeliharaan itik yang sering kontak dengan manusia (Foto:
Faisal, 2012)
Faktor-faktor yang berperan terhadap peningkatan kasus zoonosis
pada manusia meliputi kontak antara manusia dan hewan baik hewan peliharaan
maupun domestik dengan frekuensi yang tinggi serta peningkatan jumlah
perdagangan hewan liar di dunia (KARESH et
al., 2005). Penularan dari manusia ke manusia merupakan faktor
resiko yang sangat berbahaya dalam menyebarkan semua jenis penyakit patogen.
Namun demikian, penularan langsung dari hewan ke manusia untuk beberapa
penyakit zoonosis seperti Avian Influenza juga merupakan faktor resiko yang
sangat penting untuk diwaspadai dan diperlukan suatu upaya pengendalian
penyebaran virus AI dengan memutus mata rantai penyebaran tersebut sehingga
munculnya wabah penyakit dapat diminimalkan. FAO bersama dengan WHO telah bekerjasama
dalam perencanaan upaya pengendalian dan pemberantasan outbreak HPAI yang
terjadi di dunia akhir-akhir ini.
Upaya-upaya pengendalian penyebaran dan pemberantasan virus
AI yang sudah menjadi program pemerintah selama ini sebaiknya harus secara nyata
diterapkan di lapangan dalam rangka upaya untuk memotong mata rantai penyebaran
virus AI dari unggas. Pada tahun 2004, Direktorat Jenderal Peternakan
Departemen Pertanian mengeluarkan kebijakan strategi No. 17/Kpts/
PD.640/F/02/04 yang meliputi 1). penerapan biosekuriti yang tepat, 2).
depopulasi selektif di daerah tertular, 3). vaksinasi, 4). pengendalian lalu
lintas unggas, 5). surveilen dan penelusuran, 6). peningkatan kesadaran
masyarakat, 7). pengisian kandang kembali, 8). stamping out di daerah tertular
baru, 9). monitoring, pelaporan dan evaluasi. Sembilan langkah ini diharapkan
mampu mencegah penyebaran penyakit AI lebih lanjut. Namun demikian, penyakit
ini telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia sejak diketemukan tahun
2003. Sampai dengan tahun 2011, propinsi yang tidak terjadi kasus AI adalah
Maluku, Papua, Papua Barat dan Maluku Utara tetapi pada April tahun 2012,
penyakit AI telah menjadi endemis di 32 propinsi dan hanya 1 propinsi yang
dinyatakan bebas AI yaitu propinsi Maluku Utara. Untuk itu, suatu
pengembangan strategi alternatif untuk pencegahan dan pengendalian
penyebaran virus AI yang efektif sangat diperlukan. Program pengendalian dan
pemberantasan AI memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dan intensif mencakup
tindakan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan AI pada unggas pekarangan,
peternakan unggas komersial, itik dan sepanjang rantai pemasaran unggas serta
melibatkan semua pihak. Pada tahun 2012, strategi utama pengendalian AI yang
ditetapkan pemerintah melalui Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian dititik beratkan pada 1) peraturan perundangan, 2) public
awareness, 3) biosekuriti di farm dan rantai pemasaran unggas, 4) depopulasi
terbatas di daerah endemis dan stamping out didaerah bebas, 5) surveilans yang
meliputi partisipasi, prevalensi, pembebasan dan monitoring dinamika virus, 6)
pengawasan lalu lintas, 7) vaksinasi tertarget di daerah kasus tinggi, 8)
restrukturisasi perunggasan (DIRKESWAN, 2012).
Pengendalian HPAI tidak bisa hanya dilakukan melalui pendekatan teknis saja.
Selain bervariasinya masalah otoritas yang menangani kesehatan hewan di tingkat
Propinsi dan Kabupaten/Kota serta besarnya populasi unggas di Indonesia, banyak
faktor lain yang menjadikan kendala pengendalian seperti aspek kesehatan
masyarakat, dampak ekonomi, sosial budaya, politik, dan efek psikologis
kasus AI sangat menonjol sehingga penanggulangan penyakit AI sangat kompleks
(SYAH, 2011). Selain itu, kerjasama yang baik antara masing-masing instansi
yang berkaitan dengan kesehatan hewan dan manusia serta masyarakat harus selalu
dibina dalam upaya pengendalian dan pemberantasan penyebaran virus AI dari
unggas ke manusia.
Sumber : http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/component/content/article/37-berita-utama/360-peranan-unggas-air-itik-dalam-penyebaran-
Dengan menentukan struktur
protein penting yang merupakan bagian dari virus influenza A, peneliti di Baylor College of Medicine telah
menemukan petunjuk untuk menjelaskan virulensi virus dan juga bahaya yang
ditimbulkan oleh strain terkini flu burung yang dapat menimbulkan kematian pada
unggas dan beberapa orang di seluruh dunia.
Mutasi terjadi pada NS1
Protein - NS1 - memiliki dua
bagian utama, yang disebut domain, kata BV Venkataram Prasad, Ph.D., profesor
biokimia dan biologi molekuler di BCM.
Struktur satu – domain pengikat
RNA beruntai ganda – yang telah ditemukan sebelumnya. Dia dan Zachary A.
Bornholdt, seorang mahasiswa pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Ilmu Biomedis
BCM dan di laboratorium Prasad, menemukan struktur kedua, domain efektor.
Dengan demikian, penemuan ini menunjukan bahwa
beberapa mutasi atau perubahan dalam virus flu burung (H5N1) dapat terjadi pada
protein ini dan dapat dipetakan pada strukturnya.
Secara khusus, kata
Bornholdt, pada strain H5N1 baru-baru ini, NS1 memiliki delesi (penghapusan)
materi genetik yang memotong wilayah linker, yang bisa memainkan peran dalam
bagaimana dua bagian utama (domain) yang berbeda dari virus berinteraksi dengan
molekul lain. Hubungan antara dua domain ini yang menyebabkan virulensi
terlihat pada bentuk terbaru dari pada virus flu burung.
Menangkal respon kekebalan
NS1 sebenarnya menghalangi
kemampuan sel untuk melindungi diri melalui sistem kekebalan tubuh. "Mutasi (terlihat dalam versi dari virus
avian influenza) memungkinkan virus untuk menangkal respon kekebalan lebih
efisien," kata Prasad.
Prasad dan Bornholdt
menekankan bahwa banyak dari apa yang mereka duga dari struktur ini bagian dari
virus perlu diuji di laboratorium.
"Apa yang kami lakukan
adalah menempatkan struktur ini di luar sana dan mengatakan bahwa ini adalah
apa yang mungkin terjadi," kata Prasad. "Ini adalah proposal atau
hipotesis."
Mengganggu Interaksi
Mengetahui di mana NS1
mengikat molekul penting tertentu dalam sel memungkinkan untuk merancang obat
yang akan mengganggu interaksi itu, kata Prasad dan Bornholdt. Dengan demikian,
kemampuan NS1 dalam menangkal respon kekebalan tubuh dapat diganggu atau
dicegah.
Bornholdt mengatakan obat tertentu
akan menguntungkan bagi pasien karena bisa menghentikan virus selama perjalanan
penyakit. Obat harus diberikan pada awal infeksi sehingga efektif.
Para ilmuwan mengatakan karena
banyak virus memiliki protein yang mirip dengan NS1 yang melayani fungsi yang
sama, hal itu juga mengisyaratkan kemungkinan untuk merancang obat yang bisa
mengganggu fungsi ini dalam virus yang berbeda.
Kazuaki Takehara dari Laboratorium Zoonoses dan
kawan-kawannya dari Laboratorium Anatomi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Kitasato, Jepang pada tahun 2009 telah mempublikasikan penemuannya
yaitu bubuk keramik kotoran ayam yang dapat sebagai anti virus Flu Burung.
Bubuk Keramik yang mereka buat dengan bahan baku
kotoran ayam, apabila di dicampur dengan virus flu burung atau avian adeno
virus, dapat menginaktivasi virus-virus tersebut sehingga kandungan virusnya
menjadi lebih rendah.
Ketika bubuk keramik dicampur dengan air suling ganda,
pH air meningkat menjadi 10 tetapi fase cairnya tidak menunjukkan aktivitasnya
sebagai antivirus.
Setelah 10 pembasuhan dengan air atau 5 pembasuhan
dengan 1M Tris-HCl (pH 8,0), bubuk keramik masih mempertahankan aktivitasnya
sebagai antivirus. Aktivitas antivirus bubuk keramik tidak dipengaruhi oleh
adanya bahan organik (33% serum janin sapi).
Ketika anak ayam diberi makan makanan yang mengandung
bubuk keramik 5%, tidak ada perbedaan berat badan antara anak ayam yang diberi
makanan biasa dan makanan yang bercampur keramik. Cara kerja dari bubuk keramik
belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin diduga bekerja dengan cara menyerap
virus. Hasil ini menunjukkan bahwa bubuk keramik memiliki aktivitas antivirus
dan dapat menjadi metoda yang berpotensi berguna melawan flu burung di
peternakan unggas.
Pada penelitiannya, proses inaktivasi virus Flu Burung
dengan bubuk keramik dilakukan dengan cara dua ratus miligram bubuk keramik ini
dicampur dengan virus Flu Burung dalam microtube kemudian diinkubasi
selama 20 jam. Kandungan virus Flu Burung tersebut diukur. Hasilnya menunjukan
bahwa bubuk keramik kotoran ayam dapat menginaktivasi Virus Flu Burung, ketika
dilakukan pada suhu kamar indeks netralisasi bubuk keramik ini terhadap virus
H5N2 sebesar 4,5 sedangkan terhadap virus H7N1 sebesar 5,1. Apabila dilakukan
pada suhu 4 C indeks netralisasi bubuk keramik ini terhadap virus H5N2 sebesar
4,3 sedangkan terhadap virus H7N1 sebesar 4,9.