Pengelolaan Permukiman Terapung Berbasis Kearifan Lokal untuk Mitigasi Bencana Banjir
Kondisi iklim yang ekstrim terhadap sumber air membuat permukiman terapung memiliki potensi bencana yang lebih besar dibandingkan dengan permukiman di darat. Salah satu cara untuk mengatasi bencana permukiman terapung di danau adalah melalui pengelolaan permukiman di atas air dengan kearifan lokal. Maka dari itu perlu dilakukan pengembangan model pengaturan lingkungan permukiman apung untuk mengatasi bencana secara efektif untuk kelangsungan hidup. Metode penelitian kualitatif dengan analisis yang tepat yaitu Model Spradley digunakan untuk mengidentifikasi pembangunan struktur permukiman guna memaksimalkan model yang ada dalam menghadapi bencana. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa model pengelolaan lingkungan cenderung bergerombol dan tersebar tidak teratur berdasarkan kearifan lokal sesuai dengan arah angin, vegetasi pelampung, kawasan sakral, keberadaan tiang, dan lintasan perahu.
1. Danau
sebagai permukiman terapung
Danau yang berukuran besar selain biasa menjadi daerah penangkapan ikan juga dijadikan alternatif tempat hidup di atas air. Karakteristik pasang surut di danau tersebut sangat mempengaruhi pengelolaan danau sebagai tempat hidup dan daerah penangkapan ikan (Naing, 2008). Permukiman terapung di danau besar biasanya dikelola dengan kearifan lokal terkait dengan sistem pengelolaan sumber daya alam dan pengetahuan berdasarkan hukum adat, selain peraturan pemerintah daerah. Selain itu juga berkaitan dengan cara pandang berupa sistem keyakinan dan interpretasi lingkungan dunia di sekitarnya (Naing, 2008).
Posisi pemukiman terapung menciptakan pola
berdasarkan kondisi geografis / aturan alam dan beberapa warisan kearifan lokal
selama puluhan tahun. Aturan tersebut meliputi penempatan rumah pada vegetasi,
tempat sakral dan jalur perahu. Maka perlu dipelajari model tata kelola
lingkungan ini agar bisa memitigasi bencana akibat angin kencang dan gelombang
aliran air.
Penting untuk mengkaji pola permukiman pada
permukiman terapung untuk mengatasi bencana. Studi harus dimaksudkan untuk
menemukan model pola tata kelola lingkungan dalam penanggulangan bencana
berbasis kearifan lokal.
2. Kajian
permukiman terapung
Kajian sebaiknya menggunakan metode
kualitatif untuk mengeksplorasi objek alam permukiman terapung di danau besar di
Indonesia. Teknik pengumpulan data adalah observasi partisipan, wawancara
mendalam, studi dokumentasi melalui foto atau perekaman gambar melalui film
serta rekonstruksi skala sosial. Selain itu, pengumpulan data juga menggunakan
teknik triangulasi.
Kajian sebaiknya menggunakan model analisis
dari Spradley (1980), karena kegiatan analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif, dari domain yang luas kemudian difokuskan pada tahap analisis dari
tema analisis domain, taksonomi, komponensial dan budaya. Proses kajian
kualitatif diawali dengan “key informant”
yang dapat diandalkan untuk “membuka pintu” bagi yang ingin mengkaji lanjutan
dalam rangka memasuki objek kajian berikutnya.
Informan terdiri dari warga permukiman apung,
dan pemerintah terkait. Kajian dilakukan dengan melakukan wawancara kepada
informan dan mencatat hasil wawancara tersebut. Setelah itu perhatian kita tertuju
pada objek kajian dan mulai mengajukan pertanyaan deskriptif, dilanjutkan
dengan analisis hasil wawancara.
Berdasarkan hasil analisis wawancara, dilakukan
analisis domain. Kajian menentukan fokus dan taksonomi analisis. Berdasarkan
analisis taksonomi, peneliti mengajukan pertanyaan kontras dan dilanjutkan
dengan analisis komponensial. Hasil analisis komponen menjadi dasar untuk
menemukan tema budaya. Berdasarkan temuan kajian tersebut dituliskan laporannya
secara etno-arsitektural.
3. Pemanfaatan ruang di danau besar
Danau besar dengan luas lebih dari 10.000 ha
merupakan lokasi perairan yang potensial. Danau besar merupakan salah satu sumber
air tawar besar yang dapat digunakan sebagai tempat hidup diatas air dengan
sistem pemukiman apung, vegetasi apung sebagai tempat berkembang biak berbagai
jenis burung langka dan bisa dijadikan sebagai tujuan wisata. Berbagai aturan
adat dan penambahan peraturan pemerintah diberlakukan untuk mencegah
penyalahgunaan danau yang dapat merusak beberapa ekosistem di habitatnya dan
melestarikan secara turun-temurun dalam memanfaatkan danau.
Aturan adat berkaitan dengan pemanfaatan
danau sebagai lokasi penangkapan ikan, aturan lokasi tempat tinggal, larangan
menangkap ikan di daerah tertentu dan daerah untuk tumbuh tumbuhan apung. Perlu
diatur tempat-tempat yang merupakan lokasi pembenihan ikan di tepi danau.
Kawasan danau bisa dikuasai oleh beberapa kelompok berdasarkan lelang oleh
pemerintah atas persetujuan tetua adat dalam kurun waktu tertentu atau seacara
berkala.
Bagi masyarakat nelayan yang tidak memiliki
cukup kemampuan untuk membeli tempat dimaksud, dapat memanfaatkan lokasi
memancing di luar daerah dengan membuat penangkaran di tengah danau. Untuk
keberlangsungan sumber daya alam perlu disediakan kawasan khusus yang terletak
di tengah danau pada tempat-tempat tertentu diberi tanda tiang tinggi sebagai tempat
kawasan yang dilarang untuk melakukan pemasangan alat tangkap atau kegiatan
memancing.
Sebagai contoh sangat menarik hasil penelian
Naidah Naing tentang model pengelolaan permukiman terapung berbasis kearifan
lokal untuk mitigasi bencana di Danau Tempe menyampaikan bahwa:
a. Orientasi
permukiman terapung
Beberapa teori orientasi menyatakan bahwa
setiap suku memiliki orientasi yang berbeda-beda untuk menempatkan rumahnya
dalam kelompok pemukiman. Itu tergantung pada perkembangan budaya di
masyarakat. Ini terkait dengan arah, jalur, dan simpul pelampung pemukiman. Arah pertentangan
kontekstual yang biasa digunakan untuk posisi rumah terhadap benda / rumah lain
dalam sebuah rumah. Selain posisi horizontal, juga terdapat pertentangan
kontekstual lain untuk menggambarkan pergerakan vertikal air. Penentuan arah
didasarkan pada posisi rumah terhadap air danau atau posisi tanah terhadap
danau.
b. Jalur masuk dan
keluar
Permukiman apung di Danau Tempe memiliki pola tata
letak berdasarkan jalur masuk dan keluar kapal. Jalur perahu di sekitar
pemukiman pelampung terletak di depan, kiri, kanan dan belakang. Setiap rumah mempunyai
jarak tertentu dengan rumah lainnya. Tata letak permukiman terapung tidak
diatur oleh konsep alam semesta seperti yang dikemukakan Indorf (2002), yang
berlaku untuk beberapa lahan permukiman tradisional di Indonesia, tetapi
didasarkan pada kemudahan aksesibilitas. Jalur perahu digunakan sebagai pedoman
untuk mengakses kelompok pemukiman apung di Danau Tempe. Pengelolaan lintasan
perahu juga terkait dengan mitigasi bencana. Jarak tertentu antara rumah dan
lintasan perahu berarti gelombang yang ditimbulkan oleh getaran mesin tidak
membuat pelampung permukiman bergerak atau bergeser menjauh dari tempatnya.
c.
Tiang
tunggal tengah
Penilaian
arah angin menunjukkan bahwa permukiman apung tidak memiliki orientasi tetap
pada empat mata angin. Namun arah angin dapat mempengaruhi arah permukiman
apung ini. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan tiang sebagai titik tunggal
dalam pengelolaan permukiman apung sebagai pusat horizontal rumah. Tiang yang
rapat dapat diartikan sebagai alat untuk mengubah permukiman apung di atas air. Tiang tunggal sebagai poros rumah dapat
sewaktu-waktu mengubah orientasi rumah, tergantung kondisi angin. Minimal ruang permukiman dua kali panjang
pelampung membuat permukiman pelampung tidak pernah berpotongan meski dalam
kondisi berangin.
d. Posisi permukiman apung terhadap
vegetasi
Terdapat vegetasi apung di sekitar pemukiman apung
di Danau Tempe, seperti eceng gondok dan bayam untuk melindungi pemukiman apung
dari angin dan gelombang keras. Di tengah rumpun tumbuhan ditanam bambu ke
dasar danau untuk menahan tumbuhan ini dari gelombang keras. Angin kencang atau
badai dapat menimbulkan gelombang di danau, arah angin akan dibelokkan dan
tertahan oleh vegetasi, sehingga rumah dan lingkungan sekitar dapat terlindung
dari hambat gelombang.
e.
Posisi
permukiman terhadap tempat tertentu
Terkait
dengan posisi pemukiman, beberapa tempat tertentu oleh masyarakat harus
dihindari. Citra lingkungan berkaitan dengan adat istiadat dan kepercayaan
yaitu tempat tertentu tersebut tidak dapat digunakan untuk pemukiman. Menurut
kearifan lokal, permukiman apung harus dijauhkan dari tempat tersebut karena
jika terlalu dekat maka dapat menibulkan rumah terbalik, namun hal ini dapat
dijelaskan secara ilmiah. Ada gundukan tanah di permukaan dasar danau yang
berkontur di setiap titik tempat tertentu tersebut. Permukiman apung yang
bergerak di tempat tertentu akan terbalik karena menabrak gundukan di tempat tersebut.
Hal ini untuk menghindari bencana akibat kontur dasar Danau Tempe.
4. Kesimpulan
Pola
pemukiman apung merupakan perpaduan antara pola tidak beraturan dan mengelompok
berdasarkan ikatan / kekerabatan. Untuk mengantisipasi bencana, model
pengelolaan permukiman terapung dipengaruhi oleh: (1) Arah angin terdiri dari
arah mutlak dan kontekstual mengikuti arah angin dan pergerakan air; (2) Jalur
perahu dekat permukiman terapung; (3) Tiang tengah berfungsi untuk membuat
rumah lebih fleksibel terhadap pergerakan angin, sehingga berdampak pada
ketahanan struktur dan material rumah; (4) Lokasi permukiman apung pada
vegetasi, berfungsi sebagai pelindung permukiman dari angin dan ombak yang
kuat; (5) Mengapungkan posisi permukiman dari tempat tertentu, menurut
kepercayaan masyarakat di Danau Tempe beberapa tempat harus dijauhkan dari
permukiman.
5. Saran
Pengelolaan
permukiman terapung perlu dilestarikan sebagai kearifan lokal. Struktur sistem
permukiman apung dengan tiang pengikat telah terbukti mampu memitigasi bencana
selama puluhan tahun di atas air, sehingga kehidupan di atas air dapat terus
berjalan. Walaupun secara umum tata letak permukiman apung telah mampu
menanggulangi bencana, namun masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu
disempurnakan seiring pemasangan beberapa rumah secara berkelompok. Selain itu,
diperlukan penambahan bambu di sekitar kelompok pemukiman pelampung untuk
memecah hembusan angin.
Sumber:
Naidah Naing.
2020. Model of settlements float management based on local wisdom for
disaster mitigation in Tempe Lake – Indonesia
No comments:
Post a Comment