Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 11 February 2021

Permukiman Terapung Berbasis Untuk Mitigasi Bencana Banjir


Pengelolaan Permukiman Terapung Berbasis Kearifan Lokal untuk Mitigasi Bencana Banjir

Kondisi iklim yang ekstrim terhadap sumber air membuat permukiman terapung memiliki potensi bencana yang lebih besar dibandingkan dengan permukiman di darat. Salah satu cara untuk mengatasi bencana permukiman terapung di danau adalah melalui pengelolaan permukiman di atas air dengan kearifan lokal. Maka dari itu perlu dilakukan pengembangan model pengaturan lingkungan permukiman apung untuk mengatasi bencana secara efektif untuk kelangsungan hidup. Metode penelitian kualitatif dengan analisis yang tepat yaitu Model Spradley digunakan untuk mengidentifikasi pembangunan struktur permukiman guna memaksimalkan model yang ada dalam menghadapi bencana. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa model pengelolaan lingkungan cenderung bergerombol dan tersebar tidak teratur berdasarkan kearifan lokal sesuai dengan arah angin, vegetasi pelampung, kawasan sakral, keberadaan tiang, dan lintasan perahu.

 

1.  Danau sebagai permukiman terapung

Danau yang berukuran besar selain biasa menjadi daerah penangkapan ikan juga dijadikan alternatif tempat hidup di atas air. Karakteristik pasang surut di danau tersebut sangat mempengaruhi pengelolaan danau sebagai tempat hidup dan daerah penangkapan ikan (Naing, 2008).  Permukiman terapung di danau besar biasanya dikelola dengan kearifan lokal terkait dengan sistem pengelolaan sumber daya alam dan pengetahuan berdasarkan hukum adat, selain peraturan pemerintah daerah. Selain itu juga berkaitan dengan cara pandang berupa sistem keyakinan dan interpretasi lingkungan dunia di sekitarnya (Naing, 2008).


Posisi pemukiman terapung menciptakan pola berdasarkan kondisi geografis / aturan alam dan beberapa warisan kearifan lokal selama puluhan tahun. Aturan tersebut meliputi penempatan rumah pada vegetasi, tempat sakral dan jalur perahu. Maka perlu dipelajari model tata kelola lingkungan ini agar bisa memitigasi bencana akibat angin kencang dan gelombang aliran air.

 

Penting untuk mengkaji pola permukiman pada permukiman terapung untuk mengatasi bencana. Studi harus dimaksudkan untuk menemukan model pola tata kelola lingkungan dalam penanggulangan bencana berbasis kearifan lokal.

 

2.  Kajian permukiman terapung

Kajian sebaiknya menggunakan metode kualitatif untuk mengeksplorasi objek alam permukiman terapung di danau besar di Indonesia. Teknik pengumpulan data adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, studi dokumentasi melalui foto atau perekaman gambar melalui film serta rekonstruksi skala sosial. Selain itu, pengumpulan data juga menggunakan teknik triangulasi.

Kajian sebaiknya menggunakan model analisis dari Spradley (1980), karena kegiatan analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, dari domain yang luas kemudian difokuskan pada tahap analisis dari tema analisis domain, taksonomi, komponensial dan budaya. Proses kajian kualitatif diawali dengan “key informant” yang dapat diandalkan untuk “membuka pintu” bagi yang ingin mengkaji lanjutan dalam rangka memasuki objek kajian berikutnya.

 

Informan terdiri dari warga permukiman apung, dan pemerintah terkait. Kajian dilakukan dengan melakukan wawancara kepada informan dan mencatat hasil wawancara tersebut. Setelah itu perhatian kita tertuju pada objek kajian dan mulai mengajukan pertanyaan deskriptif, dilanjutkan dengan analisis hasil wawancara.

 

Berdasarkan hasil analisis wawancara, dilakukan analisis domain. Kajian menentukan fokus dan taksonomi analisis. Berdasarkan analisis taksonomi, peneliti mengajukan pertanyaan kontras dan dilanjutkan dengan analisis komponensial. Hasil analisis komponen menjadi dasar untuk menemukan tema budaya. Berdasarkan temuan kajian tersebut dituliskan laporannya secara etno-arsitektural.

 

3. Pemanfaatan ruang di danau besar

Danau besar dengan luas lebih dari 10.000 ha merupakan lokasi perairan yang potensial. Danau besar merupakan salah satu sumber air tawar besar yang dapat digunakan sebagai tempat hidup diatas air dengan sistem pemukiman apung, vegetasi apung sebagai tempat berkembang biak berbagai jenis burung langka dan bisa dijadikan sebagai tujuan wisata. Berbagai aturan adat dan penambahan peraturan pemerintah diberlakukan untuk mencegah penyalahgunaan danau yang dapat merusak beberapa ekosistem di habitatnya dan melestarikan secara turun-temurun dalam memanfaatkan danau.

Aturan adat berkaitan dengan pemanfaatan danau sebagai lokasi penangkapan ikan, aturan lokasi tempat tinggal, larangan menangkap ikan di daerah tertentu dan daerah untuk tumbuh tumbuhan apung. Perlu diatur tempat-tempat yang merupakan lokasi pembenihan ikan di tepi danau. Kawasan danau bisa dikuasai oleh beberapa kelompok berdasarkan lelang oleh pemerintah atas persetujuan tetua adat dalam kurun waktu tertentu atau seacara berkala.

 

Bagi masyarakat nelayan yang tidak memiliki cukup kemampuan untuk membeli tempat dimaksud, dapat memanfaatkan lokasi memancing di luar daerah dengan membuat penangkaran di tengah danau. Untuk keberlangsungan sumber daya alam perlu disediakan kawasan khusus yang terletak di tengah danau pada tempat-tempat tertentu diberi tanda tiang tinggi sebagai tempat kawasan yang dilarang untuk melakukan pemasangan alat tangkap atau kegiatan memancing.

 

Sebagai contoh sangat menarik hasil penelian Naidah Naing tentang model pengelolaan permukiman terapung berbasis kearifan lokal untuk mitigasi bencana di Danau Tempe menyampaikan bahwa:

 

a.  Orientasi permukiman terapung

Beberapa teori orientasi menyatakan bahwa setiap suku memiliki orientasi yang berbeda-beda untuk menempatkan rumahnya dalam kelompok pemukiman. Itu tergantung pada perkembangan budaya di masyarakat. Ini terkait dengan arah, jalur, dan simpul pelampung pemukiman.  Arah pertentangan kontekstual yang biasa digunakan untuk posisi rumah terhadap benda / rumah lain dalam sebuah rumah. Selain posisi horizontal, juga terdapat pertentangan kontekstual lain untuk menggambarkan pergerakan vertikal air. Penentuan arah didasarkan pada posisi rumah terhadap air danau atau posisi tanah terhadap danau.

 

b. Jalur masuk dan keluar

Permukiman apung di Danau Tempe memiliki pola tata letak berdasarkan jalur masuk dan keluar kapal. Jalur perahu di sekitar pemukiman pelampung terletak di depan, kiri, kanan dan belakang. Setiap rumah mempunyai jarak tertentu dengan rumah lainnya. Tata letak permukiman terapung tidak diatur oleh konsep alam semesta seperti yang dikemukakan Indorf (2002), yang berlaku untuk beberapa lahan permukiman tradisional di Indonesia, tetapi didasarkan pada kemudahan aksesibilitas. Jalur perahu digunakan sebagai pedoman untuk mengakses kelompok pemukiman apung di Danau Tempe. Pengelolaan lintasan perahu juga terkait dengan mitigasi bencana. Jarak tertentu antara rumah dan lintasan perahu berarti gelombang yang ditimbulkan oleh getaran mesin tidak membuat pelampung permukiman bergerak atau bergeser menjauh dari tempatnya.

 

c.   Tiang tunggal tengah

Penilaian arah angin menunjukkan bahwa permukiman apung tidak memiliki orientasi tetap pada empat mata angin. Namun arah angin dapat mempengaruhi arah permukiman apung ini. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan tiang sebagai titik tunggal dalam pengelolaan permukiman apung sebagai pusat horizontal rumah. Tiang yang rapat dapat diartikan sebagai alat untuk mengubah permukiman apung di atas air.  Tiang tunggal sebagai poros rumah dapat sewaktu-waktu mengubah orientasi rumah, tergantung kondisi angin.  Minimal ruang permukiman dua kali panjang pelampung membuat permukiman pelampung tidak pernah berpotongan meski dalam kondisi berangin.

 

d.  Posisi permukiman apung terhadap vegetasi

Terdapat vegetasi apung di sekitar pemukiman apung di Danau Tempe, seperti eceng gondok dan bayam untuk melindungi pemukiman apung dari angin dan gelombang keras. Di tengah rumpun tumbuhan ditanam bambu ke dasar danau untuk menahan tumbuhan ini dari gelombang keras. Angin kencang atau badai dapat menimbulkan gelombang di danau, arah angin akan dibelokkan dan tertahan oleh vegetasi, sehingga rumah dan lingkungan sekitar dapat terlindung dari hambat gelombang.

 

e.   Posisi permukiman terhadap tempat tertentu

Terkait dengan posisi pemukiman, beberapa tempat tertentu oleh masyarakat harus dihindari. Citra lingkungan berkaitan dengan adat istiadat dan kepercayaan yaitu tempat tertentu tersebut tidak dapat digunakan untuk pemukiman. Menurut kearifan lokal, permukiman apung harus dijauhkan dari tempat tersebut karena jika terlalu dekat maka dapat menibulkan rumah terbalik, namun hal ini dapat dijelaskan secara ilmiah. Ada gundukan tanah di permukaan dasar danau yang berkontur di setiap titik tempat tertentu tersebut. Permukiman apung yang bergerak di tempat tertentu akan terbalik karena menabrak gundukan di tempat tersebut. Hal ini untuk menghindari bencana akibat kontur dasar Danau Tempe.

 

4. Kesimpulan

Pola pemukiman apung merupakan perpaduan antara pola tidak beraturan dan mengelompok berdasarkan ikatan / kekerabatan. Untuk mengantisipasi bencana, model pengelolaan permukiman terapung dipengaruhi oleh: (1) Arah angin terdiri dari arah mutlak dan kontekstual mengikuti arah angin dan pergerakan air; (2) Jalur perahu dekat permukiman terapung; (3) Tiang tengah berfungsi untuk membuat rumah lebih fleksibel terhadap pergerakan angin, sehingga berdampak pada ketahanan struktur dan material rumah; (4) Lokasi permukiman apung pada vegetasi, berfungsi sebagai pelindung permukiman dari angin dan ombak yang kuat; (5) Mengapungkan posisi permukiman dari tempat tertentu, menurut kepercayaan masyarakat di Danau Tempe beberapa tempat harus dijauhkan dari permukiman.

 

5. Saran

Pengelolaan permukiman terapung perlu dilestarikan sebagai kearifan lokal. Struktur sistem permukiman apung dengan tiang pengikat telah terbukti mampu memitigasi bencana selama puluhan tahun di atas air, sehingga kehidupan di atas air dapat terus berjalan. Walaupun secara umum tata letak permukiman apung telah mampu menanggulangi bencana, namun masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu disempurnakan seiring pemasangan beberapa rumah secara berkelompok. Selain itu, diperlukan penambahan bambu di sekitar kelompok pemukiman pelampung untuk memecah hembusan angin.

 

Sumber:

Naidah Naing.  2020. Model of settlements float management based on local wisdom for disaster mitigation in Tempe Lake – Indonesia

 

No comments: