Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 15 November 2019

Reformasi Kelembagaan Pengelolaan Irigasi


Ada tiga faktor yang saling mempengaruhi yang akan menentukan arah pengelolaan irigasi dimasa yang akan datang yaitu produk hukum berupa undang undang dan peraturan pemerintah, kearifan lokal yang dipraktekkan oleh masya­rakat setempat, dan perkembangan teknologi.

(1) Memperjuangkan Kewenangan Melalui Produk Hukum
Menurut Schlager dan Ostrom(1999) pengelolaan air dari perspektif kelembagaan dapat diartikan sebagai kewenangan membuat keputusan dalam pemanfaatan sumber daya air. Pengelolaan air merupakan salah satu tipe hak atas air yang dapat bersifat kumulatip. Termasuk dalam hak atas air (water rights) misalnya hak untuk akses, yaitu hak untuk masuk dalam suatu kawasan sumberdaya, hak pemanfaatan, yaitu hak untuk mamanfaatkan satuan dari sumberdaya, hak mengenyampingkan (exclusion right), yaitu hak untuk menentu­kan siapa yang boleh dan tidak boleh masuk kawasan dan memanfaatkan sumberdaya, hak transfer yaitu hak untuk menjual atau menyewakan sumberdaya. Hak untuk akses dan pemanfaatan adalah hak pada tingkat operasional sedangkan tiga hak lainnya adalah hak kolektif.
Tatkala krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 mulai berkepanjangan dirasakan bahwa kemampuan pemerintah dalam membiayai operasi dan pemeliharaan sistem irigasi yang menjadi tanggung jawabnya semakin terbatas. Hal ini antara lain terjadi karena meluasnya sistem irigasi berbasis masyarakat yang terkooptasi menjadi sistem irigasi berbasis pemerintah.
Apa sebenarnya permasalahan yang timbul dengan adanya intervensi pemerintah dalam memperbaiki sistem irigasi masyarakat pada masa lampau? Permasalahan utamanya terletak pada kerangka pengelolaan, yaitu rancangbangun yang melandasi pola pengelolaan berbasis pemerintah tersebut. Dalam prakteknya pola ini menghendaki adanya keputusan yang cenderung sentralistik, dalam mengatur pola tanam dan pembagian air. Keputusan yang dibuat diatur melalui operasi bangunan-bangunan air seperti pintu air yang ada dalam suatu sistem irigasi.
Kerangka fisik yang baru dari suatu sistem irigasi dengan demikian menghendaki kerangka pengelolaan tertentu yang berbeda dengan kerangka pengelolaan semula dan sebagai akibat lebih lanjut adalah meningkatnya ketergantungan masyarakat tani setempat terhadap pemerintah dalam pengelolaan irigasi, termasuk pembiayaan operasi dan pemeliharaan (Pasandaran, 2004).
Mencermati perkembangan tersebut sebenarnya PP 77 tahun 2001, yang memberikan kewenangan penuh bagi masyarakat untuk mengelola sistem irigasi dapatlah dianggap sebagai suatu terobosan kelembagaan dalam rangka memulihkan citra irigasi berbasis masyarakat.
Namun demikian upaya mewujudkan pengelolaan irigasi berbasis masyarakat yang mandiri di masa datang hendaknya dilihat dalam kerangka dinamika evolusioner dengan menyegarkan kembali (reinvigoration) secara penuh kekuatan melekat yang menjadi cirinya, misalnya ciri-ciri keterbukaan, musyawa­rah, partisipatif, dan saling mempercayai. Semua ciri tersebut adalah bagian dari kapital sosial yang diperlukan bagi terwujudnya tatanan pemerintahan yang baik (Good Governance) dalam mengelola sumberdaya air. Membangun kembali elemen kapital sosial tersebut berarti juga memperkuat prinsip "subsidiarity" atau ketangguhan lokal untuk menjaga goncangan-goncangan yang berasal dari luar.
Pertarungan kepentingan politik lebih lanjut dalam era reformasi dan desentralisasi menghasilkan Undang Undang no 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air yang tidak memberikan kewenangan kepada petani untuk mengelola irigasi secara menyeluruh. Pada tingkat "judicial review" oleh Mahkamah Konstitusi dipersoalkan apakah undang undang tersebut mampu menterjemahkan aspirasi yang terdapat dalam UUD 1945? Dalam hal memenuhi amanat pasal 33 ayat 3 apakah pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air yang diatur melalui undang-undang ini mampu memberi peluang bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat?
Mengingat cukup banyak undang-undang yang dihasilkan dimasa lampau menjadi tidak efektif dalam pelaksanaannya, salah satu cara untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah menyoroti apakah suatu produk hukum merupakan perwujudan dari prinsip atau kerangka dasar yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya atau kelompok masyarakat yang terkait dengan masalah yang diatur. Sebelum menjawab secara langsung tentang apa relevansi undang-undang ini dari sudut pandang tersebut, terlebih dahulu digambarkan kontekstualisasi politik penyusunan undang-undang yang menyangkut sumberdaya air di Indonesia.
Ada dua undang-undang yang mendahului yaitu "Algemeen Water Reglement" (AWR) pada tahun 1936 (Staatsblad, 489), dan UU No. 11 tahun 1974 yang perlu diperhatikan mengingat kedua produk hukum ini turut memberi warna
terhadap UU No. 7, 2004.
AWR pada hakekatnya adalah produk hukum yang memberi landasan bagi pengelolaan sumberdaya air khususnya irigasi, mengingat irigasi adalah salah satu instrumen kebijakan yang dituangkan dalam politik etika (Ethiesche Politiek) yang di sampaikan Ratu Wilhelmina tatkala membuka lembaran abad 20 pada tahun 1900 di depan perlemen Belanda (Tweede Kamer). Setelah mengalami ujicoba pembangunan irigasi dalam skala besar selama kurang lebih 50 tahun sejak pertengahan abad 19 dan mengalami evaluasi oleh berbagai komisi, antara lain komisi Van Deventer, barulah formalisasi kebijakan dilakukan.
Demikian pula AWR disusun berdasarkan suatu proses yang memakan waktu, terutama menyangkut prinsip pengelolaan yang digunakan misalnya apakah prinsip yang mengutamakan otonomi masyarakat dalam pengelolaan irigasi ataukah prinsip yang didominasi oleh pengaturan pemerintah (Hasselman, 1914). Walaupun kebijakan pembangunan irigasi dimaksudkan untuk memper­baiki kesejahteraan masyarakat pribumi, upaya pembangunan tersebut tidak lepas dari kepentingan ekonomi pemerintah jajahan yaitu mendukung komoditas ekspor seperti tanaman tebu. Oleh karena itu dibangun suatu prinsip pengelolaan bahwa pengaturan irigasi pada jaringan utama dikuasai oleh pemerintah, sedangkan pada tingkat tersier dikelola oleh masyarakat tani. Termasuk dalam prinsip pengelolaan adalah rencana tata tanam (cultuur plan) yang perlu mendapat persetujuan representasi lembaga-lembaga pemerintah yang duduk dalam panitia irigasi. Ujicoba terhadap prinsip tersebut berlangsung cukup lama, termasuk desentralisasi pengelolaan ke tingkat provinsi (Van der Giessen,1946). Dapatlah disimpulkan bahwa AWR dan kemudian disusul dengan Provinciale Water Reglement (PWR) merupakan formalisasi terhadap peraturan yang telah dipraktekkan.
Berpangkal tolak dari irigasi, upaya membangun kesejahteraan masya­rakat kemudian dikembangkan oleh Blomestijn pada tahun 1946 dengan mengusulkan pembangunan dalam lingkup yang lebih luas seperti pembangunan waduk guna memenuhi kebutuhan air untuk berbagai keperluan seperti tenaga listrik, air minum, dan keperluan lainnya. Rencana tersebut diwujudkan dalam pemerintahan Presiden Sukarno dengan pembangunan waduk Jatiluhur, karena bagi Bung Karno, seperti yang diucapkannya dalam upacara peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada tahun 1952, bahwa masalah pangan adalah hidup atau matinya bangsa Indonesia.
Tatkala revolusi hijau mulai bergulir dengan ditemukannya varitas padi unggul yang responsif terhadap pupuk dan air pada tahun 1960 an terbersit harapan bagi Indonesia untuk mencapai swasembada beras. Komitmen untuk swa sembada beras dituangkan sejak Repelita pertama dengan memberikan porsi anggaran pembangunan yang besar pada sektor pertanian dan pengairan.
UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan pada hakekatnya memberi lingkup yang lebih luas dari AWR dan memberi kewenangan kepada Pemerintah dalam berbagai dimensi pembangunan dan pengelolaan dibidang pengairan termasuk didalamnya irigasi, pengendalian banjir, pengembangan air tanah dan pengusahaan air untuk berbagai keperluan dan memberikan landasan hukum pada pelaksanaan berbagai program pembangunan yang sedang berjalan termasuk didalamnya perbaikan dan perluasan irigasi. Upaya pembangunan tersebut khususnya perbaikan dan perluasan irigasi memberikan sumbangan yang besar bagi pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 bersama sama dengan teknologi pertanian, dan kebijakan insentif harga yang memadai.
Setelah tahun 1984 muncul masalah-masalah baru, seperti semakin mahalnya biaya investasi dan semakin seringnya terjadi gejala-gejala yang disebabkan oleh semakin rusaknya sumber daya alam yang tersedia yang disebabkan oleh semakin tingginya tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air dan yang juga dipicu oleh kebijakan pembangunan sektoral yang tidak seirama. Masalah yang muncul dipermukaan adalah efisiensi pemanfaatan sumberdaya air dan munculnya gejala seperti banjir dan kekeringan yang frekuensinya semakin tinggi. Barulah disadari bahwa pendekatan sektoral yang selama ini dianut tidak memadai, karena masalah banjir ataupun kekeringan tidak dapat dipecahkan oleh satu sektor pembangunan saja, demikian pula tidak dapat dipecahkan dengan mengandalkan pendekatan prasarana saja. Setelah adanya oil shock tahun 1987 diuji coba berbagai pendekatan kelembagaan, namun itu semua dianggap kurang efektif karena terbelenggu oleh pendekatan sektoral.
UU No. 7 tahun 2004 menempatkan konservasi sebagai upaya kebijakan utama untuk memulihkan kinerja sumberdaya alam termasuk air, dan menempatkan pendekatan keterpaduan melalui Dewan Sumberdaya Air pada berbagai jenjang wilayah, termasuk Wilayah Sungai, sebagai upaya strategis untuk memecahkan masalah tersebut diatas. Inilah kekuatan tetapi sekaligus merupakan tantangan besar dari undang-undang baru ini. Karena berbeda dengan dua undang-undang terdahulu yang telah mengalami proses pematangan sebelum diundangkan, undang-undang baru ini semata mata didasarkan pada keberanian moral termasuk didalamnya komitmen politik.
Suatu kerangka dasar yang memberikan inspirasi bagi pelaksanaan pengelolaan terpadu sumberdaya air yang memuat berbagai asas seperti aturan keterwakilan dalam berbagai jenjang dewan sumberdaya air, keadilan dalam alokasi dan distribusi air, kemitraan dalam proses dialog antar pemangku kepentingan, dan pelayanan yang bertanggung jawab (accountability), perlu dibangun terlebih dahulu. Namun demikian apabila undang-undang ini dilaksanakan secara arif dengan berpijak pada kerangka dasar tersebut dan menempatkan Dewan Sumberdaya Air sebagai kekuatan pendukung, masalah yang dipersoalkan seperti ancaman dominasi sektor swasta dan dominasi pemerin­tah dalam menetapkan batas kewenangan dalam pengelolaan irigasi dapatlah dihindarkan melalui pendekatan keterpaduan. Apabila pendekatan keterpaduan tersebut efektif dilaksanakan, amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mudah-mudahan dapat dirasakan oleh generasi yang akan datang.

(2) Mengintegrasikan Kearifan Lokal dalam Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan
Tanah dan Air adalah identitas kultural bagi banyak suku bangsa di dunia termasuk suku-suku bangsa di Indonesia. Tanah dapat diwariskan sebagai milik individu ataupun kelompok sedangkan air dalam suatu wilayah pada umumnya dipandang sebagai warisan bersama (common heritage resources). Dalam praktek irigasi di pedesaan dikenal berbagai kearifan lokal yang memungkinkan terjadinya interaksi antar individu, antar kelompok dalam suatu sistem irigasi, dan antar kelompok masyarakat dalam sistem irigasi yang berbeda dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam sistem interaksi tersebut penggunaan air antar individu ataupun antar kelompok dapat dipertukarkan pada suatu musim ataupun antar musim berdasarkan prinsip kepercayaan timbal balik (mutual trust) dan ada sanksi yang dilaksanakan berdasarkan norma yang berlaku setempat. Pengawasan terhadap proses yang berlaku dilakukan secara kolektif dan transparan dan pengambilan keputusan yang dilakukan bersama didorong oleh rasa tanggung jawab bahwa sumberdaya air adalah kepentingan bersama yang perlu dipelihara dengan baik.
Prinsip lain yang sangat penting dalam pengelolaan irigasi adalah asas keadilan dalam pembagian air. Banyak contoh irigasi yang dibangun masyarakat setempat mewariskan rancangbangun pembangunan dan pengelolaan irigasi yang mencerminkan keadilan pembagian air yang dihubungkan dengan antara lain luasnya lahan yang diairi. Pembagian air proporsional secara konsisten dilakukan pada berbagai jenjang sistem irigasi. Pembagian air dengan sistem bifurkasi dan proporsional merefleksikan asas keadilan berdasarkan kesamaan dalam memperoleh kesempatan atau menurut kategori Rawls (1971) dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice disebut sebagai ''principle of equality of opportunity" Contoh yang baik untuk ditampilkan adalah irigasi subak di Bali yang rancang bangunnya memudahkan pengawasan bagi setiap anggota subak.Prinsip keputusan yang demokratis pada tingkat karama subak memperkuat pandangan bahwa sistem subak dikelola sebagai suatu "self governing system" (Ostrom,1999) Berbeda dengan irigasi besar di kawasan Asia lainnya seperti Cina dan India terjadi apa yang disebut oleh Karl Wittfogel (1957) sebagai "oriental despotism" yaitu polarisasi kekuasaan melalui penguasaan atas sumberdaya air, gejala tersebut sampai sekarang ini tidak nampak di Indonesia (lihat Geertz, 1980 ).
Keterkaitan melalui proses interaksi tidak saja terjadi antar sistem irigasi saja tetapi dengan unit-unit kegiatan lainnya yang terkait dengan air baik lahan kering di hulu maupun lahan pantai di hilir yang memungkinkan terjadinya suatu sistem pengelolaan yang bersifat "Policentric Governance' yang dicirikan oleh interaksi harmonis berbagai lembaga yang ada dalam suatu Daerah Aliran Sungai (Cardenas, 2002).
Uraian tersebut sesungguhnya mencerminkan praktek pengelolaan yang bersifat "good governance", suatu modal budaya yang terdapat tidak saja di Bali tetapi juga pada sistem irigasi yang dibangun petani di kawasan pedesaan Jawa dan Sumatra. Pendekatan skolastik dalam upaya memperbaiki irigasi desa dan subak pada masa Orde Baru dalam banyak hal mengabaikan prinsip-prinsip tersebut yaitu memperbaiki irigasi masyarakat tani dengan rancangbangun yang standar yang diturunkan dari "Dutch School of Thought" yang berbasis hukum AWR yang pada hakekatnya mengutamakan prinsip kegunaan dan kepentingan (the classical principle of utility, lihat Rawls,1970).
UU No. 7 tahun 2004 memberikan ruang gerak bagi masyarakat petani untuk membangun sistem irigasinya sendiri dan juga mengakui hak-hak tradisional seperti hak ulayat, suatu langkah yang lebih maju dibandingkan dengan UU 11 tahun 1974. Walaupun hal ini merupakan "necessary condition" namun perlu dimunculkan 'sufficient condition". UU tersebut perlu diterjemahkan lebih lanjut berupa peraturan yang hendaknya dapat menjadi pemicu bagi pemulihan kembali dan pemanfaatan nilai-nilai budaya luhur yang terkandung dalam pengelolaan sumberdaya air khususnya dan sumberdaya alam pada umumnya yang diwariskan dari generasi kegenerasi.
Apabila harapan tersebut dapat diwujudkan, yang mungkin terjadi dalam jangka panjang, visi terwujudnya kesejahteraan rakyat yang seluas-luasnya dapat terpenuhi karena munculnya peluang yang lebih luas bagi pembangunan ekonomi yang berlanjut adil dan terpelihara serta berkembangnya nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Undang undang no. 7 tahun 2004 memberikan landasan hukum yang cakupannya lebih luas dibandingkan dengan dua undang-undang sebelumnya namun demikian terbentang tantangan yang jauh lebih besar dalam menghadapi permasalahan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya air dimasa sekarang dan yang akan datang.yang memerlukan kemampuan pemahaman yang lebih jernih dan dalam untuk mengetahui hakekat permasalahan yang dihadapi dan dalam menentukan agenda dan langkah pembangunan yang tepat untuk mewujudkan amanat oleh UUD 1945.

(3) Perkembangan Teknologi
Teknologi irigasi dapat dipandang sebagai suatu kerangka fisik yang melandasi perkembangan kelembagaan pengelolaan irigasi. Oleh karena itu perkembangan teknologi irigasi terkait erat dengan fase-fase perkembangan kelembagaan pengelolaan irigasi. Teknologi penyadapan air dengan pengambilan bebas dari sungai (free intake diversion system) dilengkapi dengan cross regulator yang sederhana dan sementara untuk memasukkan air ke blok persawahan mungkin merupakan inovasi awal yang dilakukan oleh masyarakat petani.
Perkembangan lebih lanjut adalah teknologi yang menggunakan pembagian proporsional dengan bangunan-bagi bercabang (bifurcation structure). Teknologi pembagian air proporsional secara utuh dipraktekkan pada irigasi Subak di Bali. Sedangkan teknologi free intake dengan cross regulator yang sederhana banyak dipraktekkan pada irigasi berbasis masyarakat di pulau Jawa. Karena sifatnya yang otonom dan transparan, teknologi ini merupakan penciri dari irigasi berbasis masyarakat. Irigasi yang dibangun dengan teknologi ini umumnya berskala kecil, sesuai dengan ciri kelompok masyarakat seperti yang terdapat di pulau Jawa umumnya berbasis desa. Karena itu sistem irigasi seperti ini biasanya disebut irigasi desa atau irigasi pedesaan.
Pada jaman kolonial Belanda mulai dibangun irigasi yang membendung sungai dengan berbagi kelengkapan pengaturan air. Horst (1998) membangun dua kategori teknologi yang dipraktekkan yaitu yang disebut teknologi buka dan tutup yaitu yang menggunakan pintu air yang dapat dibuka dan ditutup sedangkan kategori yang kedua adalah teknologi yang dapat mengatur air secara bertahap (gradually adjustable system). Sistem irigasi yang dibangun dengan menggunakan teknologi ini umumnya berskala lebih besar dari pada irigasi berbasis masyarakat dan memerlukan hirarki pengelolaan pada berbagai jenjang yang mendorong munculnya pengelolaan yang bersifat sentralistik. Inilah ciri-ciri dari irigasi berbasis pemerintah yang diintroduksi oleh pemerintah kolonial yang dimaksudkan baik untuk mengurangi kemiskinan yang terjadi pada masyarakat pribumi maupun untuk menjaga kepentingan komoditi ekspor yang memerlukan dukungan irigasi seperti tanaman tebu.
Perkembangan yang menggunakan teknologi yang lebih maju yaitu yang menggunakan peralatan otomatik untuk mengatur air dan yang menggunakan bantuan komputer untuk mengatur presisi suplai air. Sumber air yang dimanfaat­kan dapat berupa air permukaan dan air tanah secara sendiri sendiri atau bersama (Conjunctive use). Seperti yang telah dibahas sebelumnya pengelolaaan air yang berbasis pasar mungkin saja akan menggunakan teknologi seperti dalam kategori tersebut apabila komoditas yang diusahakan memberikan keuntungan yang besar dan diperlukan efisiensi yang tinggi serta pemberian air yang tepat waktu.
Pada masa yang akan datang, disamping irigasi berbasis pemerintah dan irigasi berbasis masyarakat pengelolaan irigasi berbasis pasar sebagai respons permintaan pasar terhadap komoditas yang bernilai tinggi diharapkan akan semakin meluas baik sebagai segmen sistem irigasi yang sudah ada maupun sebagai sistem irigasi yang berdiri sendiri. Sistem irigasi tersebut diharapkan akan memperkuat daya saing sesuatu komoditas dalam persaingan pasar global sedangkan sistem irigasi lainnya diharapkan memperkuat ketangguhan kinerjanya dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumberdaya setempat sehingga beban pengeluaran untuk operasi dan pemeliharaan, demikian pula rehabilitasi, turut dipikul oleh masyarakat setempat.
Oleh karena persaingan dalam memanfaatkan air akan semakin luas sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan perkembangan teknologi, maka konsep keterpaduan dalam lingkup yang luas dalam pengelolaan sumberdaya air menjadi semakin relevan.

Sumber :
Effendi Pasandaran, 2006. Reformasi Irigasi dalam Kerangka Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air.  Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 3, September 2005 : 217-235.

No comments: