Ada tiga faktor yang saling
mempengaruhi yang akan menentukan arah pengelolaan irigasi dimasa yang akan
datang yaitu produk hukum berupa undang undang dan peraturan pemerintah,
kearifan lokal yang dipraktekkan oleh masyarakat setempat, dan perkembangan
teknologi.
(1) Memperjuangkan
Kewenangan Melalui Produk Hukum
Menurut Schlager dan Ostrom(1999)
pengelolaan air dari perspektif kelembagaan dapat diartikan sebagai kewenangan
membuat keputusan dalam pemanfaatan sumber daya air. Pengelolaan air merupakan
salah satu tipe hak atas air yang dapat bersifat kumulatip. Termasuk dalam hak
atas air (water rights) misalnya hak untuk
akses, yaitu hak untuk masuk dalam suatu kawasan sumberdaya, hak pemanfaatan, yaitu hak untuk mamanfaatkan satuan dari
sumberdaya, hak mengenyampingkan (exclusion right), yaitu hak untuk menentukan siapa
yang boleh dan tidak boleh masuk kawasan dan memanfaatkan sumberdaya, hak
transfer yaitu hak untuk menjual atau menyewakan sumberdaya. Hak untuk akses
dan pemanfaatan adalah hak pada tingkat operasional sedangkan tiga hak lainnya
adalah hak kolektif.
Tatkala krisis ekonomi yang terjadi
sejak 1997 mulai berkepanjangan dirasakan bahwa kemampuan pemerintah dalam
membiayai operasi dan pemeliharaan sistem irigasi yang menjadi tanggung
jawabnya semakin terbatas. Hal ini antara lain terjadi karena meluasnya sistem
irigasi berbasis masyarakat yang terkooptasi menjadi sistem irigasi berbasis
pemerintah.
Apa sebenarnya permasalahan yang
timbul dengan adanya intervensi pemerintah dalam memperbaiki sistem irigasi
masyarakat pada masa lampau? Permasalahan utamanya terletak pada kerangka
pengelolaan, yaitu rancangbangun yang melandasi pola pengelolaan berbasis
pemerintah tersebut. Dalam prakteknya pola ini menghendaki adanya keputusan
yang cenderung sentralistik, dalam mengatur pola tanam dan pembagian air.
Keputusan yang dibuat diatur melalui operasi bangunan-bangunan air seperti
pintu air yang ada dalam suatu sistem irigasi.
Kerangka fisik yang baru dari suatu
sistem irigasi dengan demikian menghendaki kerangka pengelolaan tertentu yang
berbeda dengan kerangka pengelolaan semula dan sebagai akibat lebih lanjut
adalah meningkatnya ketergantungan masyarakat tani setempat terhadap pemerintah
dalam pengelolaan irigasi, termasuk pembiayaan operasi dan pemeliharaan
(Pasandaran, 2004).
Mencermati perkembangan tersebut
sebenarnya PP 77 tahun 2001, yang memberikan kewenangan penuh bagi masyarakat
untuk mengelola sistem irigasi dapatlah dianggap sebagai suatu terobosan
kelembagaan dalam rangka memulihkan citra irigasi berbasis masyarakat.
Namun demikian upaya mewujudkan
pengelolaan irigasi berbasis masyarakat yang mandiri di masa datang hendaknya
dilihat dalam kerangka dinamika evolusioner dengan menyegarkan kembali (reinvigoration) secara penuh kekuatan melekat yang
menjadi cirinya, misalnya ciri-ciri keterbukaan, musyawarah, partisipatif, dan
saling mempercayai. Semua ciri tersebut adalah bagian dari kapital sosial yang
diperlukan bagi terwujudnya tatanan pemerintahan yang baik (Good Governance) dalam mengelola sumberdaya air.
Membangun kembali elemen kapital sosial tersebut berarti juga memperkuat
prinsip "subsidiarity"
atau ketangguhan
lokal untuk menjaga goncangan-goncangan yang berasal dari luar.
Pertarungan kepentingan politik
lebih lanjut dalam era reformasi dan desentralisasi menghasilkan Undang Undang
no 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air yang tidak memberikan kewenangan kepada
petani untuk mengelola irigasi secara menyeluruh. Pada tingkat "judicial review" oleh Mahkamah Konstitusi
dipersoalkan apakah undang undang tersebut mampu menterjemahkan aspirasi yang
terdapat dalam UUD 1945? Dalam hal memenuhi amanat pasal 33 ayat 3 apakah
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air yang diatur melalui undang-undang
ini mampu memberi peluang bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat?
Mengingat cukup banyak undang-undang
yang dihasilkan dimasa lampau menjadi tidak efektif dalam pelaksanaannya, salah
satu cara untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah menyoroti apakah suatu
produk hukum merupakan perwujudan dari prinsip atau kerangka dasar yang dapat
diterima oleh masyarakat pada umumnya atau kelompok masyarakat yang terkait
dengan masalah yang diatur. Sebelum menjawab secara langsung tentang apa
relevansi undang-undang ini dari sudut pandang tersebut, terlebih dahulu
digambarkan kontekstualisasi politik penyusunan undang-undang yang menyangkut
sumberdaya air di Indonesia.
Ada dua undang-undang yang
mendahului yaitu "Algemeen
Water Reglement" (AWR)
pada tahun 1936 (Staatsblad, 489), dan UU No. 11 tahun 1974 yang perlu
diperhatikan mengingat kedua produk hukum ini turut memberi warna
terhadap
UU No. 7, 2004.
AWR pada hakekatnya adalah produk
hukum yang memberi landasan bagi pengelolaan sumberdaya air khususnya irigasi,
mengingat irigasi adalah salah satu instrumen kebijakan yang dituangkan dalam
politik etika (Ethiesche
Politiek) yang di
sampaikan Ratu Wilhelmina tatkala membuka lembaran abad 20 pada tahun 1900 di
depan perlemen Belanda (Tweede
Kamer). Setelah
mengalami ujicoba pembangunan irigasi dalam skala besar selama kurang lebih 50
tahun sejak pertengahan abad 19 dan mengalami evaluasi oleh berbagai komisi,
antara lain komisi Van
Deventer, barulah
formalisasi kebijakan dilakukan.
Demikian pula AWR disusun
berdasarkan suatu proses yang memakan waktu, terutama menyangkut prinsip
pengelolaan yang digunakan misalnya apakah prinsip yang mengutamakan otonomi
masyarakat dalam pengelolaan irigasi ataukah prinsip yang didominasi oleh
pengaturan pemerintah (Hasselman, 1914). Walaupun kebijakan pembangunan irigasi
dimaksudkan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat pribumi, upaya pembangunan
tersebut tidak lepas dari kepentingan ekonomi pemerintah jajahan yaitu
mendukung komoditas ekspor seperti tanaman tebu. Oleh karena itu dibangun suatu
prinsip pengelolaan bahwa pengaturan irigasi pada jaringan utama dikuasai oleh
pemerintah, sedangkan pada tingkat tersier dikelola oleh masyarakat tani.
Termasuk dalam prinsip pengelolaan adalah rencana tata tanam (cultuur plan) yang perlu mendapat persetujuan
representasi lembaga-lembaga pemerintah yang duduk dalam panitia irigasi.
Ujicoba terhadap prinsip tersebut berlangsung cukup lama, termasuk
desentralisasi pengelolaan ke tingkat provinsi (Van der Giessen,1946). Dapatlah
disimpulkan bahwa AWR dan kemudian disusul dengan Provinciale
Water Reglement (PWR) merupakan formalisasi terhadap
peraturan yang telah dipraktekkan.
Berpangkal tolak dari irigasi, upaya
membangun kesejahteraan masyarakat kemudian dikembangkan oleh Blomestijn pada
tahun 1946 dengan mengusulkan pembangunan dalam lingkup yang lebih luas seperti
pembangunan waduk guna memenuhi kebutuhan air untuk berbagai keperluan seperti
tenaga listrik, air minum, dan keperluan lainnya. Rencana tersebut diwujudkan
dalam pemerintahan Presiden Sukarno dengan pembangunan waduk Jatiluhur, karena
bagi Bung Karno, seperti yang diucapkannya dalam upacara peletakan batu pertama
Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada tahun 1952, bahwa
masalah pangan adalah hidup atau matinya bangsa Indonesia.
Tatkala revolusi hijau mulai
bergulir dengan ditemukannya varitas padi unggul yang responsif terhadap pupuk
dan air pada tahun 1960 an terbersit harapan bagi Indonesia untuk mencapai
swasembada beras. Komitmen untuk swa sembada beras dituangkan sejak Repelita
pertama dengan memberikan porsi anggaran pembangunan yang besar pada sektor
pertanian dan pengairan.
UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan pada
hakekatnya memberi lingkup yang lebih luas dari AWR dan memberi kewenangan
kepada Pemerintah dalam berbagai dimensi pembangunan dan pengelolaan dibidang
pengairan termasuk didalamnya irigasi, pengendalian banjir, pengembangan air
tanah dan pengusahaan air untuk berbagai keperluan dan memberikan landasan
hukum pada pelaksanaan berbagai program pembangunan yang sedang berjalan
termasuk didalamnya perbaikan dan perluasan irigasi. Upaya pembangunan tersebut
khususnya perbaikan dan perluasan irigasi memberikan sumbangan yang besar bagi
pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 bersama sama dengan teknologi
pertanian, dan kebijakan insentif harga yang memadai.
Setelah tahun 1984 muncul
masalah-masalah baru, seperti semakin mahalnya biaya investasi dan semakin
seringnya terjadi gejala-gejala yang disebabkan oleh semakin rusaknya sumber
daya alam yang tersedia yang disebabkan oleh semakin tingginya tekanan terhadap
sumberdaya lahan dan air dan yang juga dipicu oleh kebijakan pembangunan
sektoral yang tidak seirama. Masalah yang muncul dipermukaan adalah efisiensi
pemanfaatan sumberdaya air dan munculnya gejala seperti banjir dan kekeringan
yang frekuensinya semakin tinggi. Barulah disadari bahwa pendekatan sektoral
yang selama ini dianut tidak memadai, karena masalah banjir ataupun kekeringan
tidak dapat dipecahkan oleh satu sektor pembangunan saja, demikian pula tidak
dapat dipecahkan dengan mengandalkan pendekatan prasarana saja. Setelah adanya oil shock tahun 1987 diuji coba berbagai
pendekatan kelembagaan, namun itu semua dianggap kurang efektif karena
terbelenggu oleh pendekatan sektoral.
UU No. 7 tahun 2004 menempatkan
konservasi sebagai upaya kebijakan utama untuk memulihkan kinerja sumberdaya
alam termasuk air, dan menempatkan pendekatan keterpaduan melalui Dewan
Sumberdaya Air pada berbagai jenjang wilayah, termasuk Wilayah Sungai, sebagai
upaya strategis untuk memecahkan masalah tersebut diatas. Inilah kekuatan
tetapi sekaligus merupakan tantangan besar dari undang-undang baru ini. Karena
berbeda dengan dua undang-undang terdahulu yang telah mengalami proses
pematangan sebelum diundangkan, undang-undang baru ini semata mata didasarkan
pada keberanian moral termasuk didalamnya komitmen politik.
Suatu kerangka dasar yang memberikan
inspirasi bagi pelaksanaan pengelolaan terpadu sumberdaya air yang memuat
berbagai asas seperti aturan keterwakilan dalam berbagai jenjang dewan
sumberdaya air, keadilan dalam alokasi dan distribusi air, kemitraan dalam
proses dialog antar pemangku kepentingan, dan pelayanan yang bertanggung jawab
(accountability), perlu dibangun terlebih dahulu. Namun demikian apabila
undang-undang ini dilaksanakan secara arif dengan berpijak pada kerangka dasar
tersebut dan menempatkan Dewan Sumberdaya Air sebagai kekuatan pendukung,
masalah yang dipersoalkan seperti ancaman dominasi sektor swasta dan dominasi
pemerintah dalam menetapkan batas kewenangan dalam pengelolaan irigasi
dapatlah dihindarkan melalui pendekatan keterpaduan. Apabila pendekatan
keterpaduan tersebut efektif dilaksanakan, amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945
mudah-mudahan dapat dirasakan oleh generasi yang akan datang.
(2) Mengintegrasikan Kearifan Lokal
dalam Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan
Tanah dan Air adalah identitas
kultural bagi banyak suku bangsa di dunia termasuk suku-suku bangsa di
Indonesia. Tanah dapat diwariskan sebagai milik individu ataupun kelompok
sedangkan air dalam suatu wilayah pada umumnya dipandang sebagai warisan
bersama (common
heritage resources). Dalam
praktek irigasi di pedesaan dikenal berbagai kearifan lokal yang memungkinkan
terjadinya interaksi antar individu, antar kelompok dalam suatu sistem irigasi,
dan antar kelompok masyarakat dalam sistem irigasi yang berbeda dalam suatu
Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam sistem interaksi tersebut penggunaan air
antar individu ataupun antar kelompok dapat dipertukarkan pada suatu musim
ataupun antar musim berdasarkan prinsip kepercayaan timbal balik (mutual trust) dan ada sanksi yang dilaksanakan
berdasarkan norma yang berlaku setempat. Pengawasan terhadap proses yang
berlaku dilakukan secara kolektif dan transparan dan pengambilan keputusan yang
dilakukan bersama didorong oleh rasa tanggung jawab bahwa sumberdaya air adalah
kepentingan bersama yang perlu dipelihara dengan baik.
Prinsip lain yang sangat penting
dalam pengelolaan irigasi adalah asas keadilan dalam pembagian air. Banyak
contoh irigasi yang dibangun masyarakat setempat mewariskan rancangbangun
pembangunan dan pengelolaan irigasi yang mencerminkan keadilan pembagian air
yang dihubungkan dengan antara lain luasnya lahan yang diairi. Pembagian air
proporsional secara konsisten dilakukan pada berbagai jenjang sistem irigasi.
Pembagian air dengan sistem bifurkasi dan proporsional merefleksikan asas
keadilan berdasarkan kesamaan dalam memperoleh kesempatan atau menurut kategori
Rawls (1971) dalam bukunya yang berjudul A Theory of
Justice disebut
sebagai ''principle of equality of opportunity" Contoh yang baik untuk ditampilkan
adalah irigasi subak di Bali yang rancang bangunnya memudahkan pengawasan bagi
setiap anggota subak.Prinsip keputusan yang demokratis pada tingkat karama
subak memperkuat pandangan bahwa sistem subak dikelola sebagai suatu "self
governing system" (Ostrom,1999) Berbeda dengan irigasi besar di kawasan
Asia lainnya seperti Cina
dan India terjadi apa yang disebut oleh Karl Wittfogel (1957) sebagai "oriental despotism"
yaitu polarisasi
kekuasaan melalui penguasaan atas sumberdaya air, gejala tersebut sampai
sekarang ini tidak nampak di Indonesia (lihat Geertz, 1980 ).
Keterkaitan melalui proses interaksi
tidak saja terjadi antar sistem irigasi saja tetapi dengan unit-unit kegiatan
lainnya yang terkait dengan air baik lahan kering di hulu maupun lahan pantai
di hilir yang memungkinkan terjadinya suatu sistem pengelolaan yang bersifat "Policentric
Governance' yang
dicirikan oleh interaksi harmonis berbagai lembaga yang ada dalam suatu Daerah
Aliran Sungai (Cardenas, 2002).
Uraian tersebut sesungguhnya
mencerminkan praktek pengelolaan yang bersifat "good governance", suatu modal budaya yang terdapat
tidak saja di Bali tetapi juga pada sistem irigasi yang dibangun petani di
kawasan pedesaan Jawa dan Sumatra. Pendekatan skolastik dalam upaya memperbaiki
irigasi desa dan subak pada masa Orde Baru dalam banyak hal mengabaikan
prinsip-prinsip tersebut yaitu memperbaiki irigasi masyarakat tani dengan
rancangbangun yang standar yang diturunkan dari "Dutch School of Thought" yang berbasis hukum AWR yang pada hakekatnya
mengutamakan prinsip kegunaan dan kepentingan (the classical principle of utility, lihat Rawls,1970).
UU No. 7 tahun 2004 memberikan ruang
gerak bagi masyarakat petani untuk membangun sistem irigasinya sendiri dan juga
mengakui hak-hak tradisional seperti hak ulayat, suatu langkah yang lebih maju
dibandingkan dengan UU 11 tahun 1974. Walaupun hal ini merupakan "necessary
condition" namun
perlu dimunculkan 'sufficient condition". UU tersebut perlu diterjemahkan
lebih lanjut berupa peraturan yang hendaknya dapat menjadi pemicu bagi
pemulihan kembali dan pemanfaatan nilai-nilai budaya luhur yang terkandung
dalam pengelolaan sumberdaya air khususnya dan sumberdaya alam pada umumnya
yang diwariskan dari generasi kegenerasi.
Apabila harapan tersebut dapat
diwujudkan, yang mungkin terjadi dalam jangka panjang, visi terwujudnya
kesejahteraan rakyat yang seluas-luasnya dapat terpenuhi karena munculnya
peluang yang lebih luas bagi pembangunan ekonomi yang berlanjut adil dan
terpelihara serta berkembangnya nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Undang undang no. 7 tahun 2004
memberikan landasan hukum yang cakupannya lebih luas dibandingkan dengan dua
undang-undang sebelumnya namun demikian terbentang tantangan yang jauh lebih
besar dalam menghadapi permasalahan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya air
dimasa sekarang dan yang akan datang.yang memerlukan kemampuan pemahaman yang
lebih jernih dan dalam untuk mengetahui hakekat permasalahan yang dihadapi dan
dalam menentukan agenda dan langkah pembangunan yang tepat untuk mewujudkan
amanat oleh UUD 1945.
(3) Perkembangan Teknologi
Teknologi irigasi dapat dipandang
sebagai suatu kerangka fisik yang melandasi perkembangan kelembagaan
pengelolaan irigasi. Oleh karena itu perkembangan teknologi irigasi terkait
erat dengan fase-fase perkembangan kelembagaan pengelolaan irigasi. Teknologi
penyadapan air dengan pengambilan bebas dari sungai (free intake diversion system) dilengkapi dengan cross regulator yang sederhana dan sementara untuk
memasukkan air ke blok persawahan mungkin merupakan inovasi awal yang dilakukan
oleh masyarakat petani.
Perkembangan lebih lanjut adalah
teknologi yang menggunakan pembagian proporsional dengan bangunan-bagi
bercabang (bifurcation
structure). Teknologi
pembagian air proporsional secara utuh dipraktekkan pada irigasi Subak di Bali.
Sedangkan teknologi free
intake dengan cross regulator yang sederhana banyak dipraktekkan
pada irigasi berbasis masyarakat di pulau Jawa. Karena sifatnya yang otonom dan
transparan, teknologi ini merupakan penciri dari irigasi berbasis masyarakat.
Irigasi yang dibangun dengan teknologi ini umumnya berskala kecil, sesuai
dengan ciri kelompok masyarakat seperti yang terdapat di pulau Jawa umumnya
berbasis desa. Karena itu sistem irigasi seperti ini biasanya disebut irigasi
desa atau irigasi pedesaan.
Pada jaman kolonial Belanda mulai
dibangun irigasi yang membendung sungai dengan berbagi kelengkapan pengaturan
air. Horst (1998) membangun dua kategori teknologi yang dipraktekkan yaitu yang
disebut teknologi buka dan tutup yaitu yang menggunakan pintu air yang dapat
dibuka dan ditutup sedangkan kategori yang kedua adalah teknologi yang dapat
mengatur air secara bertahap (gradually
adjustable system). Sistem
irigasi yang dibangun dengan menggunakan teknologi ini umumnya berskala lebih
besar dari pada irigasi berbasis masyarakat dan memerlukan hirarki pengelolaan
pada berbagai jenjang yang mendorong munculnya pengelolaan yang bersifat
sentralistik. Inilah ciri-ciri dari irigasi berbasis pemerintah yang
diintroduksi oleh pemerintah kolonial yang dimaksudkan baik untuk mengurangi
kemiskinan yang terjadi pada masyarakat pribumi maupun untuk menjaga
kepentingan komoditi ekspor yang memerlukan dukungan irigasi seperti tanaman
tebu.
Perkembangan yang menggunakan
teknologi yang lebih maju yaitu yang menggunakan peralatan otomatik untuk
mengatur air dan yang menggunakan bantuan komputer untuk mengatur presisi
suplai air. Sumber air yang dimanfaatkan dapat berupa air permukaan dan air
tanah secara sendiri sendiri atau bersama (Conjunctive use). Seperti yang telah dibahas
sebelumnya pengelolaaan air yang berbasis pasar mungkin saja akan menggunakan
teknologi seperti dalam kategori tersebut apabila komoditas yang diusahakan
memberikan keuntungan yang besar dan diperlukan efisiensi yang tinggi serta
pemberian air yang tepat waktu.
Pada masa yang akan datang,
disamping irigasi berbasis pemerintah dan irigasi berbasis masyarakat
pengelolaan irigasi berbasis pasar sebagai respons permintaan pasar terhadap
komoditas yang bernilai tinggi diharapkan akan semakin meluas baik sebagai
segmen sistem irigasi yang sudah ada maupun sebagai sistem irigasi yang berdiri
sendiri. Sistem irigasi tersebut diharapkan akan memperkuat daya saing sesuatu
komoditas dalam persaingan pasar global sedangkan sistem irigasi lainnya
diharapkan memperkuat ketangguhan kinerjanya dengan memanfaatkan kearifan lokal
dan sumberdaya setempat sehingga beban pengeluaran untuk operasi dan
pemeliharaan, demikian pula rehabilitasi, turut dipikul oleh masyarakat
setempat.
Oleh karena persaingan dalam
memanfaatkan air akan semakin luas sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan
penduduk, dan perkembangan teknologi, maka konsep keterpaduan dalam lingkup
yang luas dalam pengelolaan sumberdaya air menjadi semakin relevan.
Sumber :
Effendi Pasandaran, 2006. Reformasi Irigasi dalam Kerangka Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 3,
September 2005 : 217-235.
No comments:
Post a Comment