Kepercayaan masyarakat Jepang terhadap pengemasan dan pelabelan makanan telah menurun di Jepang. Demi kesehatan, mereka telah menaruh perhatian untuk mengkonsumsi sayur-sayuran dan produk lain yang segar berasal dari pertanian lokal.
Beberapa toko grosir mengambil keuntungan milyaran yen dalam penjualan bahan makanan, terjadi pertentangan antara memperbesar super market dan memperbesar keuntungan uang.
Sejak April tahun 2008 di Kawasaki dengan penduduk sekitar satu milyar, koperasi petani setempat telah membuka toko tempat pemasaran produk pertaniannya sendiri guna menjual langsung bahan makanan segar kepada masyarakat.
Suatu pagi pukul 09:30, pelanggan mulai antri di depan toko tersebut, pukul 09:55 telah terdapat 50 orang pengantri, 5 nenit sebelum toko dibuka. ”Setiap orang yang datang kesini pada pagi hari ini beralasan pada saat itu banyak terdapat produk pertanian yang masih segar” kata seorang wanita pelanggan yang biasa datang ke toko tersebut.
Pada akhir pekan, lebih dari 100 orang antri didepan toko sebelum waktu toko dibuka, didepan tempat parkirpun kendaraan macet karena kendaraan pengunjung antri menunggu giliran masuk lapangan parkir yang telah penuh.
Di rak toko dijajakan bayam, kubis, daun bawang, dan sayuran lain serta buah-buahan yang dipetik pada pagi hari. Yang sangat menarik pada label makanan selain dicantumkan nama produk juga ditulis nama petani dan tempat dimana produknya dibudidayakan. Terdapat 300 petani yang terdaftar turut serta mensuplai produk pertanian di toko tersebut.
Masyarakat ini tidak perlu membandingkan harga sayur-sayuran dan buah-buahan yang lebih murah dengan harga di supermarket, akan tetapi tampaknya mereka berminat membeli produk segar karena mereka merasa aman memakan produk yang dibudidayakan oleh petani yang tidak takut mencantumkan namanya pada kemasan produknya.
Menurut JA General Research Institute, terdapat sekitar 5.000 toko penjualan langsung di seluruh Jepang, 2.000 toko diantaranya dikelola oleh koperasi petani dan 3.000 toko lainnya dikelola oleh perusahaan dan kelompok petani.
Rata-rata keuntungan per tahun yang dikeruk oleh toko-toko tersebut berkisar antara 80 – 100 milyar yen.
Toko-toko besar di Jepang mengawali pembukaan outletnya pada tahun 1970-an, ketika masalah polusi merebak sebagai masalah nasional. Kemudian trend ini meluas secara cepat pada tahun 1990-an setelah keruntuhan bubbled economy.
”Banyak konsumen yang mulai meragukan terhadap produksi masal dan sistem eceran masal” pada waktu itu, kata Masayuki Yamamoto, seorang peneliti pada JA General Research Institute.
Toko-toko tersebut telah merubah cara pikir para petani. Banyak toko-toko memasang sistem jaringan komputer sehingga data penjualan harian dapat dikirimkan kepada setiap petani. Para petanipun dapat mengetahui perkembangan produk pertanian yang dibeli oleh para konsumen.
"Saya mulai lebih serius memikirkan bagaimana saya dapat menjual produk sendiri” kata seorang petani pensuplai toko di Kawasaki.
Dengan menjual produk di toko penjualan langsung tersebut memberi kesempatan kepada para petani dapat menetapkan harga sendiri. Hal ini mendorong mereka untuk berkompetisi dengan supermarket dalam hal harga, mutu dan jenis produk, termasuk dapat menyediakan sayur-sayuran yang tidak dijual di toko-toko biasa.
Akan tetapi terdapat masalah lain yang perlu dipecahkan. Seorang pegawai di Toko Kawasaki berkata bahwa pengetahuan pertanian sangat beragam, dan mereka perlu berhati-hati dalam penggunaan bahan kimia sehingga dapat diyakini bahwa produk-produk yang mereka jual telah aman untuk kesehatan.
Beberapa toko grosir mengambil keuntungan milyaran yen dalam penjualan bahan makanan, terjadi pertentangan antara memperbesar super market dan memperbesar keuntungan uang.
Sejak April tahun 2008 di Kawasaki dengan penduduk sekitar satu milyar, koperasi petani setempat telah membuka toko tempat pemasaran produk pertaniannya sendiri guna menjual langsung bahan makanan segar kepada masyarakat.
Suatu pagi pukul 09:30, pelanggan mulai antri di depan toko tersebut, pukul 09:55 telah terdapat 50 orang pengantri, 5 nenit sebelum toko dibuka. ”Setiap orang yang datang kesini pada pagi hari ini beralasan pada saat itu banyak terdapat produk pertanian yang masih segar” kata seorang wanita pelanggan yang biasa datang ke toko tersebut.
Pada akhir pekan, lebih dari 100 orang antri didepan toko sebelum waktu toko dibuka, didepan tempat parkirpun kendaraan macet karena kendaraan pengunjung antri menunggu giliran masuk lapangan parkir yang telah penuh.
Di rak toko dijajakan bayam, kubis, daun bawang, dan sayuran lain serta buah-buahan yang dipetik pada pagi hari. Yang sangat menarik pada label makanan selain dicantumkan nama produk juga ditulis nama petani dan tempat dimana produknya dibudidayakan. Terdapat 300 petani yang terdaftar turut serta mensuplai produk pertanian di toko tersebut.
Masyarakat ini tidak perlu membandingkan harga sayur-sayuran dan buah-buahan yang lebih murah dengan harga di supermarket, akan tetapi tampaknya mereka berminat membeli produk segar karena mereka merasa aman memakan produk yang dibudidayakan oleh petani yang tidak takut mencantumkan namanya pada kemasan produknya.
Menurut JA General Research Institute, terdapat sekitar 5.000 toko penjualan langsung di seluruh Jepang, 2.000 toko diantaranya dikelola oleh koperasi petani dan 3.000 toko lainnya dikelola oleh perusahaan dan kelompok petani.
Rata-rata keuntungan per tahun yang dikeruk oleh toko-toko tersebut berkisar antara 80 – 100 milyar yen.
Toko-toko besar di Jepang mengawali pembukaan outletnya pada tahun 1970-an, ketika masalah polusi merebak sebagai masalah nasional. Kemudian trend ini meluas secara cepat pada tahun 1990-an setelah keruntuhan bubbled economy.
”Banyak konsumen yang mulai meragukan terhadap produksi masal dan sistem eceran masal” pada waktu itu, kata Masayuki Yamamoto, seorang peneliti pada JA General Research Institute.
Toko-toko tersebut telah merubah cara pikir para petani. Banyak toko-toko memasang sistem jaringan komputer sehingga data penjualan harian dapat dikirimkan kepada setiap petani. Para petanipun dapat mengetahui perkembangan produk pertanian yang dibeli oleh para konsumen.
"Saya mulai lebih serius memikirkan bagaimana saya dapat menjual produk sendiri” kata seorang petani pensuplai toko di Kawasaki.
Dengan menjual produk di toko penjualan langsung tersebut memberi kesempatan kepada para petani dapat menetapkan harga sendiri. Hal ini mendorong mereka untuk berkompetisi dengan supermarket dalam hal harga, mutu dan jenis produk, termasuk dapat menyediakan sayur-sayuran yang tidak dijual di toko-toko biasa.
Akan tetapi terdapat masalah lain yang perlu dipecahkan. Seorang pegawai di Toko Kawasaki berkata bahwa pengetahuan pertanian sangat beragam, dan mereka perlu berhati-hati dalam penggunaan bahan kimia sehingga dapat diyakini bahwa produk-produk yang mereka jual telah aman untuk kesehatan.
Sumber : Japan Times, Januari 25, 2009
No comments:
Post a Comment