Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 30 January 2009

Seminar on Agricultural Science (SAS-2009)



Tema:

“Menggali dan Mengembangkan Potensi Sumber Daya Nasional Menuju
Swasembada Pangan dan Kelestarian Lingkungan yang Berkelanjutan”

Waktu :

Minggu, 22 Februari 2009

Tempat :

Tokyo University of Agriculture

Diselenggarakan oleh:

Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA)


Dalam seminar SAS-2009 ini, materi utama merupakan (1) keynote address dari Sekretaris Menteri Pertanian - Dr. Ir. Abdul Munif, M.Sc.Agr dan (2) Hasil-hasil penelitian serta kajian dari anggota IASA yang merupakan hasil utama disertasi program Doktor dan thesis program Master. Tema keynote address terkait dengan “Strategi dan Pencapaian Swasembada Pangan di Indonesia”, sedangkan hasil kajian disertasi Doktor dan Master berupa 10 (sepuluh) sub-tema yang memiliki kaitan erat dengan penggalian dan pemanfaatan sumber daya nasional.

Secara umum tema-tema kajian mencakup bidang-bidang berikut:

1.Kehutanan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang disampaikan oleh:
-Arif Darmawan (The University of Tokyo)
-Syartinilia (The University of Tokyo)

2. Ilmu Hayati Murni dan Terapan yang disampaikan oleh:
- Davin H.E Setiamarga (The University of Tokyo)
- Roni Wijaya (The University of Tokyo)
- Tatang Sopian (Tokyo University of Agriculture and Technology)

3. Peternakan, Perikanan dan Medis Veteriner yang disampaikan oleh:
- Bainah Sari Dewi (Utsonomia University-Tokyo University of Agriculture and
Technology)

4. Sosial, Ekonomi dan Politik Pertanian yang disampaikan oleh:
- Lukytawati Anggraeni (The University of Tokyo)
- Mohamad Dwi Wicaksono (Tokyo University of Agriculture and Technology)
- Syahmir Ramadhan Siregar (Tokyo University of Agriculture)

5. Teknologi dan Informasi Pertanian yang disampaikan oleh:
- Ardiansah (The University of Tokyo)

Direncanakan seminar akan dibagi menjadi 3 sesi utama dengan pembagian sebagai berikut:

1. Sesi 1 : presentasi dan diskusi keynote address
(Sektetaris Menteri Pertanian: Dr.Ir. Abdul Munif, MSc.Agr)

2. Sesi 2 : presentasi dan diskusi pararel 5 (lima) pemakalah/narasumber

3. Sesi 3 : presentasi dan diskusi pararel 5 (lima) pemakalah/narasumber

Thursday, 29 January 2009

Pertanian Percontohan Bawah Tanah Pasona O2 di Tokyo

Projek Pasona O2 didirikan pada tanggal 11 Pebruari 2005, berlokasi di B2F Otemachi-Nomura Building, 2-1-1 Otemachi, Chiyoda-ku, Tokyo dengan luas sekitar 1000 m2, dibuka pada hari kerja Senin sampai Jumat, jam 11:00 – 18:00. Tujuan projek ini adalah membangkitkan kesadaran dan minat masyarakat pada sektor pertanian dengan sasaran penciptaan dan membuka peluang lapangan pekerjaan.

Fasilitas yang disediakan: 1) Green house menggunakan teknologi hydrophonic dan light-emiting diode (LED); 2) Fasilitas Pelatihan untuk kuliah dan seminar pelatihan yang berhubungan dengan pertanian; 3) Ruang Rileks untuk terapi alami.

Latar belakang didirikannya Pasona O2, dimulai pada akhir-akhir ini terdapat banyak para kaum muda dan setengah baya yang ingin merealisasikan impiannya bekerja dan tinggal di desa dari pada di kota.

Ditengah-tengah meningkatnya impor produk pertanian, telah berkembang minat masyarakat pada keamanan pangan, dan bayak orang yang menyewa lahan pertanian untuk membudidayakan produk pertanian bersama-sama dengan mereka yang tertarik pada bidang pertanian.

Dipihak lain telah bertambah dengan pesat jumlah populasi usia lanjut, terjadi penurunan jumlah petani yang mengeluti sektor pertanian. Diantara Negara maju, Jepang mempunyai self-sufficiency ratio paling rendah, hanya 28% bahan makanan biji-bijian yang diproduksi di dalam negeri.

Dalam rangka revitalisasi pertanian sebagai industri bisnis, sistem sewa bagi perusahaan umum yang tertarik dalam bidang pertanian telah meningkat, dan diharapkan terjadi peningkatan perusahaan umum yang mengembangkan pertanian sebagai industri bisnis, dan juga terjadi peningkatan jumlah korporasi produk pertanian. Maka dari itu pemimpin baru bidang pertanian sangat diperlukan, dan penyediaan tenaga kerja menjadi kunci yang baik untuk revulosi pertanian.

Perusahaan Pasona O2 bersama dengan perusahaan terkenal lain telah mendirikan sebuah perusahaan patungan yang berkerak dalam perekrutan tenaga kerja di Kanto dan Kansai. Melalui “Agriculture Internship Project” di Desa Ogata, Prefektur Akita, Perusahaan telah menyelenggarakan pelatihan pertanian dan sejak 2003 pelatihan ini diberikan kepada kaum muda dan setengah baya yang tertarik pada bidang pertanian.

Mulai tahun 2005 Palatihan pertanian telah dilaksanakan di Nambu-cho, Prefektur Aomori dan di Hidagawa-machi dan Aritawa-cho di Prefektur Wakayama.

Pada Pebruari 2005 Perusahaan ini meresmikan “Pasona O2”, menyediakan sarana yang digunakan untuk meningkatkan minat bekerja pada sektor Pertanian. Melalui fasilitas ini yang berlokasi di lantai 2 bawah tanah Kantor Pusat Perusahaan di Otemachi, Pasona O2 berupaya menciptakan kesempatan bekerja di sektor pertanian dengan cara memperkenalkan sektor pertanian yang menarik dan menyenangkan.

Langkah pertama yang dilakukan yaitu membangkitkan minat yang lebih besar pada sektor pertanian kepada mereka yang tidak mempunyai pengalaman lapangan. Kemudian, melalui pelatihan bidang pertanian, Pasona O2 menentukan pengetahuan, pengalaman dan bakat yang penting untuk projek ini, dan menciptakan prasarana yang berguna untuk memotivasi orang bekerja dalam sektor pertanian.

Berdasarkan konsep pertanian sebagai suatu bisnis, Pasona O2 berusaha agar memungkinkan seseorang dengan ide baru dan pengetahuan baru dapat memasuki industri revitalisasi pertanian secara menyeluruh, termasuk industri terkait dan sekaligus untuk meningkatkan penciptaan lapangan kerja berikutnya.

Wednesday, 28 January 2009

Seberapa banyak air diperlukan untuk memproduksi beras?

Banyak orang bertanya, ”Seberapa banyak air yang diperlukan untuk memproduksi 1 kg beras?” tetapi masih sedikit jawaban yang memuaskan. Jawaban pertanyaan ini terletak pada definisi ”penggunaan air untuk bercocok tanam padi”. Kita dapat mengidentifikasikan tiga macam penggunaan ”air”, yaitu melalui 1) Transpirasi, 2) Evaporasi dan 3) Gabungan perembesan dan penapisan air.

Bercocok tanam padi menggunakan air melalui proses transparirasi untuk mendinginkan tanaman dan membawa unsur hara yang dibutuhkan tanaman dari tanah naik ke atas sampai ke daun. Proses ini merupakan penggunaan air secara nyata, tumbuhan mengambil air dan melepaskannya ke atmosfir melalui transpirasi. Air yang dipergunakan dalam proses ini tidak dapat dipergunakan kembali oleh tumbuhan yang sama dalam siklus pertumbuhan yang sama. Air yang ditranspirasi tersebut masuk ke siklus air alam dan pada waktunya kembali ke bumi lagi melalui hujan atau salju.

Untuk bercocok tanam padi terdapat dua unsur yaitu tanaman padi dan tanah media bercocok tanam. Disamping transpirasi dari tumbuhan, air yang diatas tanah meninggalkan tempat bercocok tanam melalui evaporasi. Seperti transpirasi, evaporasi air menghilang dan tidak dapat digunakan lagi oleh tanaman yang sama dalam masa siklus pertumbuhannya. Kombinasi dua jenis penggunaan air oleh tanaman padi ini disebut ”evapotranspirasi”.

Air di sawah biasa digenangkan dalam jumlah cukup banyak sehingga dapat memenuhi kebutuhan tanaman padi. Selain evapotranspirasi seperti tersebut diatas, air dapat mengalir ke luar sawah melalui perembesan dan penapisan: menuju ke bawah merembes ke dalam tanah dan menuju kesamping mengalir ke luar sawah. Bagi seorang petani, perembesan dan penapisan air ini merupakan kehilangan air yang nyata. Ketika air dipergunakan untuk tanaman padi di sawah petani sebaiknya mempertimbangkan jumlah air yang terpakai untuk evapotranspirasi, perembesan dan penapisan. Petani memerlukan air irigasi yang cukup, untuk menggantikan air hujan jika curah hujan tidak cukup. Pada hamparan sawah yang lebih luas, perembesan dan penapisan air dari permukaan sawah masuk ke air tanah atau air selokan maupun anak sungai. Dengan air tersebut petani lain bisa menggunakannya lagi untuk mengaliri sawah yang lain. Sedangkan air untuk evapotranspirasi tidak dapat dipergunakan kembali.

Penggunaan air tanaman padi melalui transpirasi

Menurut Haefele dkk (2008) hasil kajian percobaan di dalam pot dan greenhouse yang dilaksanakan di International Rice Research Institute (IRRI) memperlihatkan bahwa penggunaan air untuk memproduksi 1 kg gabah berkisar antara 500 – 1.000 liter. Kebutuhan air untuk tanaman padi terbanyak dibandingkan dengan cereal lain seperti gandum (Wheat) dan Barley.

Penggunaan air tanaman padi melalui evapotranspirasi

Perkiraan penggunan air melalui evapotranspirasi dalam sawah padi di dunia adalah 859 kubik kiloliter per tahun. Produksi beras gabah sedunia diperkirakan sejumlah 600 juta ton. Untuk memproduksi satu kilogram gabah memerlukan 1,432 liter air evapotranspirasi. Secara kasar rata-rata penggunaan air untuk budidaya padi sedunia sama dengan untuk budidaya Wheat, akan tetapi lebih tinggi dari pada penggunaan untuk budidaya jagung dan Barley. Menurut Falkenmark dan Rockstrom (2004) untuk memperoleh satu kilogram Wheat memerlukan air sebanyak 1.480 liter, jagung (Maize) 1.250 liter, dan Barley 1.000 liter. Sedangkan menurut Chapagain and Hoekstra (2004) untuk memperoleh satu kilogram Wheat memerlukan air sebanyak 1.300 liter dan untuk jagung 900 liter.

Jumlah air yang dibutuhkan dalam evapotranspirasi untuk budidaya padi sangat bervariasi. Menurut Zwart and Bastiaansen (2004) hasil penelitian pada sawah dataran rendah menyebutkan jumlah air evapotranspirasi untuk menghasilkan satu kilogram beras paling sedikit 625 liter, pertengahannya 909 liter dan paling banyak 1.667 liter.

Penggunaan air per tahun secara global pada evapotranspirasi dilihat dari peruntukannya, Chapagain dan Hoekstra (2004) menyebutkan bahwa air yang diperlukan untuk produksi makanan sebesar 6.390 kilometer kubik, untuk keperluan industri 716 kilometer kubik dan untuk keperluan domestik 344 kilometer kubik, sedangkan menurut Falkenmark dan Rockstrom (2004) untuk makanan 7.200 kilometer kubik, industri 780 kilometer kubik dan untuk domestik 180 kilometer kubik. Kebutuhan air untuk memproduksi beras total sedunia adalah 12 – 13 % dari jumlah air evapotranspirasi yang diperlukan untuk memproduksi semua bahan makanan di dunia. Sebagai catatan bahwa rumput dan bahan pakan ternak dikategorikan kedalam kebutuhan peternakan.

Penggunaan air sawah untuk tanaman padi melalui evapotranspirasi, perembesan dan penapisan air

Rata-rata sekitar 2.500 liter air yang diperlukan (dengan air hujan dan / atau irigasi) tanaman padi untuk memproduksi satu kilogram gabah padi. Angka 2.500 liter ini dihitung dari evapotranspirasi, perembesan dan penapisan. Rata-rata angka ini berasal dari data penelitian terhadap sawah perorangan di Asia. Angka dari hasil penelitian tersebut sangat beragam yaitu antara 800 – 5.000 liter lebih. Keberagaman ini disebabkan oleh tata laksana budidaya yang beragam seperti penggunaan varietas tanaman, penggunaan pupuk dan cara penanggulangan penyakit, juga tergantung pada iklim dan kesuburan tanah yang berbeda. Penggunaan air di sawah yang ditanami padi memerlukan air 2 - 3 kali lebih banyak dibandingkan tanaman cereal utama yang lain.

Meskipun kebutuhan air untuk evapotranspirasi dalam memproduksi padi hampir sama dengan Wheat, padi memerlukan lebih banyak air sawah dari pada tanaman cereal yang lain karena diperlukan pengaliran air yang tinggi baik perembesan maupun penapisan. Akan tetapi air yang mengalir tersebut dapat diambil dan dipergunakan lagi di bagian hilir. Efisiensi penggunaan air untuk tanaman padi dalam sistem irigasi yang dikelola dengan banyak sawah (dikelola secara kelompok) lebih tinggi dari pada penggunaan air untuk sawah perorangan (dikelola sendiri). Sekitar 1/4 – 1/3 sumber air bersih yang dibangun di dunia digunakan untuk irigasi padi.

Sebagai catatan bahwa beras merupakan bahan makan pokok yang dikonsumsi oleh separuh populasi manusia di planet bumi ini.

Dalam rangka usaha peningkatan produksi padi, yang perlu kita perhatikan adalah masalah krisis air, imbas perubahan iklim terhadap pola curah hujan serta penggunaan saluran air irigasi di perkotaan dan wilayah industri. Ketika terjadi kelangkaan air untuk irigasi pertanian diperlukan peningkatan teknologi penghematan air seperti aerobic rice yaitu varietas padi yang tumbuh baik di sawah yang tidak tergenang air, dan sistem irigasi yang lebih efisien seperti pengairan dan pengeringan sawah secara bergantian.

Sumber : Rice Today, Vol 8, No. 1, 2009.

Sunday, 25 January 2009

Konsumsi Produk Segar Lokal untuk Keamanan Pangan

Kepercayaan masyarakat Jepang terhadap pengemasan dan pelabelan makanan telah menurun di Jepang. Demi kesehatan, mereka telah menaruh perhatian untuk mengkonsumsi sayur-sayuran dan produk lain yang segar berasal dari pertanian lokal.

Beberapa toko grosir mengambil keuntungan milyaran yen dalam penjualan bahan makanan, terjadi pertentangan antara memperbesar super market dan memperbesar keuntungan uang.

Sejak April tahun 2008 di Kawasaki dengan penduduk sekitar satu milyar, koperasi petani setempat telah membuka toko tempat pemasaran produk pertaniannya sendiri guna menjual langsung bahan makanan segar kepada masyarakat.

Suatu pagi pukul 09:30, pelanggan mulai antri di depan toko tersebut, pukul 09:55 telah terdapat 50 orang pengantri, 5 nenit sebelum toko dibuka. ”Setiap orang yang datang kesini pada pagi hari ini beralasan pada saat itu banyak terdapat produk pertanian yang masih segar” kata seorang wanita pelanggan yang biasa datang ke toko tersebut.

Pada akhir pekan, lebih dari 100 orang antri didepan toko sebelum waktu toko dibuka, didepan tempat parkirpun kendaraan macet karena kendaraan pengunjung antri menunggu giliran masuk lapangan parkir yang telah penuh.

Di rak toko dijajakan bayam, kubis, daun bawang, dan sayuran lain serta buah-buahan yang dipetik pada pagi hari. Yang sangat menarik pada label makanan selain dicantumkan nama produk juga ditulis nama petani dan tempat dimana produknya dibudidayakan. Terdapat 300 petani yang terdaftar turut serta mensuplai produk pertanian di toko tersebut.

Masyarakat ini tidak perlu membandingkan harga sayur-sayuran dan buah-buahan yang lebih murah dengan harga di supermarket, akan tetapi tampaknya mereka berminat membeli produk segar karena mereka merasa aman memakan produk yang dibudidayakan oleh petani yang tidak takut mencantumkan namanya pada kemasan produknya.

Menurut JA General Research Institute, terdapat sekitar 5.000 toko penjualan langsung di seluruh Jepang, 2.000 toko diantaranya dikelola oleh koperasi petani dan 3.000 toko lainnya dikelola oleh perusahaan dan kelompok petani.

Rata-rata keuntungan per tahun yang dikeruk oleh toko-toko tersebut berkisar antara 80 – 100 milyar yen.

Toko-toko besar di Jepang mengawali pembukaan outletnya pada tahun 1970-an, ketika masalah polusi merebak sebagai masalah nasional. Kemudian trend ini meluas secara cepat pada tahun 1990-an setelah keruntuhan bubbled economy.

”Banyak konsumen yang mulai meragukan terhadap produksi masal dan sistem eceran masal” pada waktu itu, kata Masayuki Yamamoto, seorang peneliti pada JA General Research Institute.

Toko-toko tersebut telah merubah cara pikir para petani. Banyak toko-toko memasang sistem jaringan komputer sehingga data penjualan harian dapat dikirimkan kepada setiap petani. Para petanipun dapat mengetahui perkembangan produk pertanian yang dibeli oleh para konsumen.

"Saya mulai lebih serius memikirkan bagaimana saya dapat menjual produk sendiri” kata seorang petani pensuplai toko di Kawasaki.

Dengan menjual produk di toko penjualan langsung tersebut memberi kesempatan kepada para petani dapat menetapkan harga sendiri. Hal ini mendorong mereka untuk berkompetisi dengan supermarket dalam hal harga, mutu dan jenis produk, termasuk dapat menyediakan sayur-sayuran yang tidak dijual di toko-toko biasa.

Akan tetapi terdapat masalah lain yang perlu dipecahkan. Seorang pegawai di Toko Kawasaki berkata bahwa pengetahuan pertanian sangat beragam, dan mereka perlu berhati-hati dalam penggunaan bahan kimia sehingga dapat diyakini bahwa produk-produk yang mereka jual telah aman untuk kesehatan.


Sumber : Japan Times, Januari 25, 2009

Monday, 19 January 2009

Kajian Potensi Pasar Buah Tropis di Jepang

Dalam rangka pengamatan produk ekspor berpotensi dari Indonesia di Jepang, KJRI Osaka telah melakukan kajian potensi pasar produk buah tropis di Jepang bagian barat.

Metoda kajian dilakukan dengan cara menyebar 250 buah angket kepada responden dari kalangan pengusaha dan investor serta masyarakat Jepang bagian barat yang sering melakukan wisata ke luar negeri. Angket didistribusikan melalui beberapa Institusi Jepang yang terpercaya yaitu Osaka Chamber of Commerce and Industry (OCCI), Kobe Chamber of Commerce and Industry (KCCI), Japan External Trade Organization (JETRO), Kankeiren (Federasi Ekonomi Kansai) serta Asosiasi Persahabatan di Wilayah Jepang Barat.

Hasil kajian secara ringkas dapat diutarakan sebagai berikut:

1. Dari hasil kajian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar responden telah terbiasa dan menggemari buah-buahan impor sehingga mereka dapat menyebutkan nama buah dan negara pengekspornya seperti Pisang, Mangga dan Nanas berasal dari Indonesia, Pilipina, Meksiko, Taiwan dan Ekuador, Apel dan Kiwi diimpor dari China, Kiwi dan anggur dimasukkan dari Australia serta Durian dan Manggis dikirim dari Thailand.

2. Produk buah-buahan yang paling banyak disukai masyarakat Jepang wilayah Barat adalah buah Mangga. Responden yang menyukai buah Mangga sebanyak 127 orang dari 250 responden, atau 50,8%. Urutan ke dua ditempati penggemar buah pisang sebanyak 34,4%, sedangkan yang ke tiga penggemar buah Nanas sebanyak 12,8%.

3. Kesukaan reponden terhadap cara penyajian buah-buahan tersebut, dari 176 responden terdapat 115 orang (65,3%) menyukai buah yang disajikan dalam bentuk segar tanpa diolah atau diproses. Responden yang menyukai buah olahan atau dipotong agar mudah dimakan sebanyak 23,3%, sedangkan yang menyukai buah kalengan sebanyak 6,3%.

4. Ketika ditanya tentang keinginannya mengimpor buah dari Indonesia, dari 123 responden terdapat 103 orang / perusahaan (83,7%) menyatakan keinginannya mengimpor buah-buahan dari Indonesia dengan alasan karena rasanya enak, harganya murah, bermutu baik, banyak jenisnya, jarak pengiriman dekat, tidak tumbuh di Jepang, aman bagi kesehatan, banyak manfaatnya, khas tropis dan unik.

5. Berhubungan dengan hambatan ekspor buah Indonesia ke Jepang dari 119 responden terdapat 22 orang (18%) mengkhawatirkan lalat buah dan biaya kirim, 21 orang (17,6%) khawaitir akan kandungan pestisida dan 13 orang (10,9%) khawatir buahnya tidak segar lagi.

6. Dari 250 responden, terdapat responden yang pernah mengkonsumsi buah-buahan Indonesia yaitu mangga sebanyak 66 orang (26,40%), pisang 16,4% dan manggis 14,40%.

Sumber : Laporan Kajian KJRI Osaka

Pasar Induk Produk Pertanian di Jepang Secara Ringkas

1. Alur Distribusi Produk Pertanian


a. Produk pertanian dari petani dikumpulkan di Koperasi Petani atau dijual kepada Pembeli Perantara atau dikirim langsung ke Pasar Induk.
b. Koperasi dan Pembeli Perantara mengirim produk pertanian ke Pasar Induk. Produk impor asal luar negeri dikirim ke pasar Induk oleh Importir.
c. Di Pasar Induk, produk pertanian yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dilelang kepada calon pembeli yang tercatat resmi (berotoritas). Pembeli berotoritas (penjual perantara) mengajukan penawaran tertinggi mengikuti sistem yang berlaku di Pasar Induk setempat.
d. Penjual perantara menjual komoditas pertanian kepada pedagang Eceran dan Supermarket.
e. Konsumen membeli komoditas pertanian ini dari pedagang pengecer atau supermarket.


2. Fungsi Pasar Induk produk Pertanian


a. Pasar induk sebagai tempat pengumpulan produk pertanian dari dalam maupun luar negeri.
b. Pasar Induk merupakan tempat untuk menentukan harga yang adil memalui lelang atau kesepakatan langsung antara penjual induk dan pembeli dalam partai besar.
c. Tempat pendistribusian produk pertanian yang efektif dan efisien, karena dengan system ini distribusi produk pertanian menjadi lebih cepat dan ekonomis.
d. Proses pembayaran lebih cepat karena terikat oleh peraturan perundangan.
e. Dapat dikelola informasi jumlah dan harga barang secara harian sehingga dapat memprediksi pasokan dan kebutuhan dalam jangka waktu tahunan.
f. Tempat menginspeksi keamanan pangan untuk menjamin kesehatan konsumen.


3. Fasilitas Pasar Induk Produk Pertanian


a. Sistem informasi jumlah dan harga komoditas.
b. Sistem dan peralatan pelelangan produk pertanian yang dilakukan secara elektronik.
c. Gudang penyimpanan, Cold Storage, alat angkut dalam pasar dan transportasi luar pasar.
d. Sistem monitoring keamanan pangan yang ketat, kwalitas produk pertanian diinspeksi secara rutin.
e. Kios-kios penjual perantara yang jumlahnya cukup banyak.


4. Peran Pemerintah dalam Pasar Produk Pertanian


a. Pemerintah Daerah membangun kontruksi fisik Pasar. Di Tokyo terdapat 11 Pasar Induk.
b. Pasar Induk dikelola oleh perusahaan pengelola Pasar Induk, yang membayar sewa kepada Pemerintah Daerah.
c. Pemerintah Daerah menetapkan regulasi yang berhubungan dengan Pasar Induk, penjual induk dan pembeli berotoritas serta keamanan konsumen.
d. Sesuai regulasi pengelola pasar induk menerima komisi yang nilainya tergantung komoditasnya, 9,5% untuk bunga, 8,5% untuk sayuran, 7,0% untuk buah-buahan, 5,5% untuk produk perikanan, 3,5% untuk daging.


5. Kasus Impor dalam Pasar Induk


a. Negara ekportir utama produk pertanian ke Jepang yang dilelang di Pasar Induk adalah China, Amerika Serikat, Korea, Taiwan, Thailand, New Zeland, Australia, Kanada, Philipina, Belanda.
b. Peluang untuk Indonesia adalah Mangga, Manggis, Pisang, Ubi jalar, Talas Satoimo, Edamame, Okura, Jahe dan Produk sayuran beku Terong dsb.
c. Agar dapat mudah masuk pasar induk, produsen Indonesia mesti sudah berhubungan dengan penjual induk di Jepang yang tercatat di pasar Induk. Memasuki pasar Induk melalui jalur mereka, kita tidak dapat masuk langsung karena pembeli dan penjual di Pasar Induk ini diberikan otoritas/sertifikat yang terikat regulasi.

Sunday, 18 January 2009

Manisan Jahe Kering Masuk Pasar Jepang

Jepang sudah mengimpor manisan jahe kering dari salah satu negara di Asia Tenggara. Pada tanggal 17 Januari 2009 manisan jahe tersebut tampak dijual di sebuah supermarket di Meguro Tokyo. Ketika diamati ketebalan jahe manisan ini sekitar 3 - 4 mm. Jahe kering ditaburi dengan gula pasir, rasanya cukup enak. Mirip manisan pala yang di jual di Bogor. Manisan ini dikemas oleh perusahaan di Jepang, pada plastik tertulis asal negara eksportirnya, tanggal kadaluarsa 11 Maret 2009, cara penyimpanan dan terdapat tanda bahwa kemasan dan kertas labelnya dapat didaur ulang. Dalam satu kemasan plastik yang beratnya 150 gram dipasang bandrol harga 298 yen. Jadi harga per kilogramnya sekitar 1987 yen atau sekitar 200.000 rupiah. Biar harganya lumayan mahal tapi cocok dikonsumsi ketika musim dingin seperti sekarang ini untuk penghangat tubuh.

Saturday, 17 January 2009

JFIR's Recommendation for Japan's Strategy for its Agriculture in the Globalized World

The Policy Council of the Japan Forum on International Relations (JFIR) has completed its one year long deliberation on its Policy Recommendation on the theme of “Japan’s Strategy for its Agriculture in the Globalized World”. Following its presentation of the recommendations, signed by the 99 members of the Council, to Prime Ministers Taro Aso, the Policy Council of JFIR held a Press Conference to announce its publication of the recommendations on January 2009 in Tokyo. The initial briefing was conducted in Japanese by Mr. Ito Kenichi President of JFIR and Prof. Honma Masayoshi Head of the Task Force for the Recommendations.

The 31st Policy recommendations of The Policy Council, The Japan Forum on International Relations.


I. Key Concepts to Change the Structure of Japan’s Agriculture

1. Regard Japanese Agriculture as Growing Industry and Make it Target the world markets.
2. Establish 21st-Century Food Production Base Area to Ensure a Stable Food Supply.
3. Integrate Plans for Farmland Use within Plans for the Effective Use of the Total National Land Base.
4. Use Agriculture to Revitalize Local Economies.
5. Abolish Policies that Reduce Rice Acreage.
6. Implement Food Security Policy from Two Perspectives: a Stable, Daily Supply of Food, and a Possible Severe Food Shortage due to Emergency Conditions in Japan.
7. Open Japan’s Agriculture to the World.

II. Mid- to Long-Term Measures

8. Assemble 1.5 Million hectares of Land into 10,000 Core Farms in Food Production Base Areas Measuring about 100 hectares each.
9. Designate the Food Production Base Areas as Special Economic Zones for Deregulated Farming.
10. Establish Financing Policies to Encourage Production, and Forgive the Loans of Highly Effective Farm Managers.
11. Introduce Land Use Planning that Emphasizes Optimal Use of Farm Land and the Surrounding Environment.
12. Compile Road Maps Showing a move toward Eliminating Rice Production Quotas and Increasing Annual Rice Production to 12 million tons.
13. Establish with in the Prime Minister’s Office a Pan-Ministerial Organization Responsible for the Economic Security of the Japanese People.
14. Use Japan’s Agricultural Technologies to Help Eliminate Food Problems in the World.

III. Key Measures for Urgent Needs

15. Assemble Large Blocks of Farmland Rapidly, by Helping Farmers Transfer Ownership of Their Land by Retiring Early.
16. Develop Agriculture-Commerce-Industry Partnerships to Create New Employment Opportunities in Farming Villages.
17. Establish Tax- and Donation-based Mechanisms to support the Employment of Retirees and the Establishment of Multifunctional farming.
18. Assist in the Training of Professionals, Especially Young Professionals, Who Will Promote Agricultural Exports.
19. Establish a Market for Transfer of Production Quotas, as an Essential Step toward Eliminating Rice Acreage Reduction Measures.
20. Accept 50,000 Foreign Farmlands under a Government-regulated Program.
21. Show Leadership in Guiding WTO Agricultural Negotiation to a successful Conclusion.

Friday, 16 January 2009

Hailing Prime Minister Aso's Stance towards China

by YUSHITA Hiroyuki,

Visiting Professor of Kyorin University

Newly-elected Prime Minister Aso Taro held bilateral talks respectively with Chinese President Hu Jintao, Chinese Prime Minister Wen Jiabao and South Korean President Lee Myung-bank in October on the occasion of his attendance at the Asia-Europe Meeting (ASEM) summit in Beijing, thereby kicking off his summit-level diplomacy with neighboring Asian countries. After the repeated changes of Prime Minister in Japan, both national and international attention was focused on how the Japanese new leader works out his policies towards China and South Korea. To our delight, during these meetings, the basic outline for building solid relationships and cooperation was confirmed among those heads of government, and the implementation of reciprocal visits and a frequent exchange of views on the telephone were also agreed upon between Japan and South Korea. Worthy of special note concerning Japan's relations with China was Mr. Aso's remarks at the Reception to commemorate the 30th anniversary of the Treaty of Peace and Friendship between Japan and China. Reading the press coverage of his remarks, I fully sympathized with him in the following three points.

The first point is concerning Mr. Aso's basic understanding of the nature of Japan-China relations. He stated, "It is not easy to name other countries as important to Japan as China. The essence of Japan-China bilateral relations is that our two countries are 'mutually indispensable to each other.' Japan and China are neighbors in perpetuity, that is, 'neighbors that cannot relocate.' Japan and China should make a concerted effort and grow together in order to realize an Asia that is both open and increasingly vibrant."

The second point is about Mr. Aso's basic perception of the status quo of Japan-China relations. He stated, "When we look at public opinion surveys regarding Japan-China relations, I cannot help feeling a touch of concern. In both Japan and China, the percentage of people holding at least some degree of positive feelings towards the other country does not reach even 30%. Even if we hold different views, we should always have a correct understanding of what the other is thinking. The important thing is to promote dialogue and exchanges at every possible level, thereby deepening our mutual understanding on broader basis."

The last point is about Mr. Aso's basic posture on the bilateral relations. He said, "We should not refrain from doing things in the name of 'friendship' between Japan and China. Rather, active cooperation through sound competition will constitute a true 'mutually beneficial relationship based on common strategic interests.' There are a host of issues that Japan and China should engage in cooperatively, proactively sending a message from Asia to the world. We are looking towards the same future. We can have even more confidence in 'the latent power and vitality' of the Japan-China bilateral relationship."

Witnessing the dramatic rise of China, some Japanese have increased their wariness or strengthened their alarmist attitudes towards China. They center on such questions as "what will become of China" or "what China is trying to do." However, diplomacy or foreign relations are, by nature, processes on interactive basis; one nation cannot stand independent of other nations' actions. That is to say, China might transform itself according to the actions taken by Japan or the U.S. It is imperative, therefore, that Japan, instead of being passively gripped by anxiety or wariness, should enhance mutual understanding with China, thereby forging close ties with it, while the Japan-U.S. alliance remains the axis of Japan's foreign policy. Interestingly enough, France and Germany today go hand-in-hand taking the lead in advancing European integration; their present amity is startlingly contrasted to their hostile relationship in the past, exemplified by such instances as Franco-German War, World War I and World War II. I really hope to see Prime Minister Aso's basic posture on Japan-China relations will sooner or later take a concrete shape.

Source: GFJ Commentary, 20 November, 2008

Tuesday, 13 January 2009

Pertemuan Asosiasi Teh Jepang di awal tahun 2009

Di usianya yang menginjak 70 tahun, Japan Tea Association (JTA) atau Asosiasi Teh Jepang menyelenggarakan pesta Perayaan Tahun Baru pada tanggal 13 Januari 2009 di World Trade Center, berlokasi di Hamamatsucho, Tokyo. Pertemuan ini dihadiri oleh Pengurus dan anggota JTA, perwakilan Kedutaan Besar Negara penghasil teh (Malawi, India, Srilangka, Kenya dan Indonesia) pejabat dari Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF), Ministry of Health and Welfare, Media Masa, Instruktur Teh, perusahaan teh dan perusahaan yang mendukung industri minuman teh. Wakil KBRI Tokyo yang hadir dalam pertemuan ini Wakepri Bapak Ronny P. Yuliantoro, Atase Pertanian Pudjiatmoko dan Atase Perdagangan Tulus Budhianto.

Pada kesempatan ini Indonesia ditunjuk sebagai wakil dari Negara-negara pengekspor teh untuk memberikan sambutan. Sambutan ini disampaikan oleh Bapak Ronny P. Yuliantoro. Dalam sambutannya beliau menegaskan bahwa Indonesia telah meningkatkan kwalitas produksi teh sehingga menghasilkan teh yang aman dan enak dikonsumsi serta baik untuk kesehatan.

Sambutan Ketua JTA, Mr. Kenji Kataoka mengungkapkan bahwa kebutuhan teh Jepang cukup besar dibarengi banyak penggemar teh yang telah mengetahui khasiat teh untuk kesehatan, tetapi mereka juga sadar akan pentingnya mutu teh yang aman bagi tubuh mereka, sehingga para perusahaan industri teh sangat memperhatikan terhadap ketetapan Positive List untuk produk teh yang ditetapkan oleh pemerintah Jepang.

Asosiasi Teh Jepang telah melakukan kegiatan-kegiatan berupa seminar tentang proses pembuatan teh, cara penyajian teh, dan khasiat teh bagi kesehatan tubuh. Untuk menjaga hubungan baik dengan para pencinta teh, JTA juga melaksanakan lomba pidato untuk masyarakat pencinta teh.












Dalam sambutan Mr. Kobayashi pejabat dari Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (MAFF) Jepang menyatakan bahwa untuk menjamin keamanan minuman dan makanan Jepang pada prinsipnya mengacu kepada ketentuan yang telah diterapkan oleh WHO dan FAO.

Dari beliau juga diperoleh keterangan bahwa petani teh di Jepangpun perlu dibantu oleh pemerintah untuk memperoleh produksi yang baik dan berkesinambungan. Karena jumlah produksi teh dalam negeri Jepang masih kurang maka Jepang perlu mengimpor banyak teh dari negara lain.

Menurutnya harga teh yang telah diolah bisa mencapai 5 kali lipat dari harga bahan baku teh dari petani, sehingga para perusahaan minuman teh dapat memperoleh keuntungan yang lumayan. Ini merupakan informasi yang penting agar industri teh di Indonesia juga dapat terpacu berkembang pesat untuk mengisi pangsa pasar teh di masa datang.

Pemandangan yang sangat menarik pada acara ini adalah biasanya orang Jepang menggunakan minuman sake (minuman beralkohol) ketika bersulang, tetapi kali ini mereka bersulang menggunakan teh hitam tanpa gula yang telah mereka sediakan dengan rapih di atas nampan. Meskipun semua hadirin bersulang minum teh, semua hadirin tampak ceria. Berarti bukan hal yang aneh kalau bersulang mengangkat gelas berisi teh. Setelah bersulang, disela-sela perbincangan ketika makan siang satu perusahaan yang cukup besar menyampaikan keinginannya untuk melakukan penambahan impor teh Indonesia dalam tahun 2009. Arigatou Gozaimasu....

Japanese Rice Trade Policy Overview

By Steve Moody
Japanese Department, Brigham Young University

Claiming a need for self-sufficiency stable supply, Japan has a long history of heavy protectionism in the rice sector. Despite pressures from virtually every single trading partner Japan deals with, they have maintained a rigidly stubborn stance opposing foreign imports of rice. At the peak of such protectionist policies in 1985, Japan records that imports of rice from the US barely totaled .2% of total domestic consumption. In fact, until very recently, Japan has been closed to virtually all rice imports.

Japan’s aggressive protectionist stance began with strict quantitative limitations on imports shortly after World War II. These policies continued to be modified to further restrict trade until the mid 1980’s when, due to pressure from many trading partners—particularly the US—the country began to grudgingly open its borders to foreign rice. For example, in 1986 California rice producers filed a petition to the US government under section 301, claiming that Japan’s policies caused significant injury to their industry. At this time, Japan was providing a $2,200-per-metric-ton subsidy to Japanese domestic producers. This subsidy was as much as ten times the world price (Unites States House of Representatives, 1986). Following this complaint and many similar, the US began to put heavy pressure on Japan to open its market. Although slow to respond initially, due to this and other negotiations, Japan has begun to liberalize its market.

However, despite this gradual reduction of tariffs, subsidies, and other policies, current trade barriers in Japan are still very prevalent. Recently, Japan has relied most heavily on domestic subsidies, although quota and tariff policies are also in effect. The most recent information available indicates that the Japanese government directly subsidizes rice production by as much as $1.82 billion (206 billion yen) (Fukuda, Dyck, & Stout, 2003).

Japanese subsidies come via a number of different government programs. The most direct subsidy program, called the Japanese Rice Farming Income Stabilization Program, was implemented in 1998. The Income Stabilization Program allows for rice farmers to claim payments equal to the difference of domestic rice prices and a predetermined standard, should the market price fall. In 1999, such payments totaled $815 million (92.7 billion yen). On a per-hectare basis, Japan subsidizes an incredible $9,600 more than the United States. The Office of the Unites States Trade Representative (USTR) reports that, “. . . because of high tariffs and other barriers to trade, Japan's rice producers are very insulated from the open market” (2003). Such programs enable inefficient Japanese rice producers to continue to produce rice and charge a much higher price to the domestic consumers than the world price, greatly reducing the net social welfare. This effect will be discussed in greater detail in the following section.

With total direct subsidies, as well as more indirect programs designed to enhance rice farmer competitiveness and drive up domestic process, taxpayers spent an estimated $2.8 billion in support of just the rice industry in 1999 alone (Fukuda et al., 2003). On a per-hectare of production basis, Japan’s subsidy is enormous, over 12 times that of the US and EU subsidies combined. A more detailed breakdown of subsidy programs is shown in Table 1.

Table 1 – Japanese Subsidy Details for Rice Production in 1999

Subsidy Program : Million US$ (Billion ¥)

Rice Farming Income Stabilization Program : 815 (92.7)
Insurance premium payments : 231 (24.2)
Interest payments : 315 (35.8)
Extension services : 40 (4.6)
Investments in farm capital : 432 (49.1)

Total : 1.82 (206.4)

Per-Hectare Expenditure

Country : US$ (¥ )

Japan : 9,706 (1,016,000)
United States : 117 (12,000)
European Union : 676 (70,800)

Sources: Fukuda et al., 2003; USTR, 2003

Beyond subsidy programs, Japan also has a myriad of border policies in relation to the rice industry. Japan currently has a tariff of 150 yen per kilogram imposed on all rice as it crosses the border. Additionally, rice imports are subject to a quota of 682,000 tons, above which imports are taxed with a tariff of 341 yen per kilogram. Statistics show that this tariff rate effectively prohibits all imports above the quota (Fukuda, et al., 2003). Without exception, every policy has been designed to protect a comparatively disadvantaged domestic industry. Figure 1 illustrates the nominal rate of protection in the Japanese rice sector due to high tariff levels.

Domestic Welfare Effects

The Japanese have a culture deeply rooted in traditional behavioral models. Japanese feel an intense sense of obligation to keep things stable and are thus very resistant to change. These attitudes are manifest in their policies (Yoshimura & Anderson, 1997).

However, in this case it is clear that resisting change—refusing to allow more foreign rice into the domestic economy—is not benefiting the Japanese economy at all. While admittedly producers receive some benefit from protection, with prices continuing to climb, the welfare loss to consumers is tremendous. The result is the country as a whole loses. Even several Japanese economists and politicians have finally admitted the poor stance of their policies and have suggested that heavy rice protection is no longer the answer (United States Senate, 1986).

The purpose of Japan’s protectionist policies is to drive domestic prices up and provide producers with higher incomes. However, this welfare gain is immediately lost by the fact the consumers must pay higher prices. Thus the policies do not increase welfare, but simply divert income from producers to consumers.

Additionally, due to the fact that rice is a main stable in the Japanese diet, empirical research indicates that consumer demand for rice is inelastic—as prices increase, demand is not likely to change very much (Fukuda et al., 2003). Therefore raising the domestic price of rice imposes a severe burden on consumers.

In 2000 consumers spent over 1% of their income ($638 per individual) to cover the merely the difference between domestic and world rice process. This problem directly affects an individual when he goes shopping at the local market. Current data shows that Japanese consumers pay roughly $2.63 per kilogram compared to the US price of $.20 per kilogram (Ministry of Agriculture and Forestry [MAFF], 2001).

Other welfare losses are shouldered by the government, which then taxes consumers and imposes further welfare losses. One example of such expenditures is storage costs. As indicated previously, the government has agreed to pay the difference to producers when the domestic price falls below a predetermined standard. It accomplishes this buy buying surplus rice stocks at the predetermined price. The government has then chosen to store the rice rather than export it, and this then requires increased taxes to provide for the storage facilities.

Figure 2 illustrates a few of these effects. Note that when consumption exceeds production, storage volumes and the associated expenses increase. Also interesting to note is the import level of nearly zero until 1993. The lack of imports can be taken as evidence of the welfare loss experienced by consumers.

International Welfare Effects

The negative effects of Japan’s rice protection are not limited to the domestic market alone. Virtually every economy involved in rice trading has felt adverse effects from the Japanese policies. As a specific case study, this report will look the welfare effects felt by Burma, a small rice-exporting country in Southeast Asia.

Burma entered the rice market in the late 1920’s, producing just under half of the quantity of Japanese production at the time. Like Japan, traditionally Burma has not been lacked protectionist tendencies. Until recent decades, privately-owned firms were not allowed to export rice at all. However, the Burmese government realized the effects and in an effort to encourage expansion of its relatively small rice industry has begun to move toward more liberal policies (Siok-Hwa & Lumpur, 1968).

However, this move toward trade liberalization has been complicated by the aggressive protectionist policies still in place in developed countries such as Japan (Kazmin, 2004). Being geographically close and also a large consumer of rice, Japan is a natural export target for Burmese producers. However, high tariffs and vast array of protectionist policies have severely limited Burma’s ability to trade. As shown in Table 2, over the past several years, Burma’s export volume of rice has significantly increased. A major portion of this increase has been going to Japan. At this same time, Japan has been gradually reducing trade barriers. This trend suggests that Japan’s limitations on imports have played an influential role in limiting past exports of Burmese rice and thus imposing a welfare loss on the country’s producers (United States Department of Agriculture [USDA], 2002).

Table 2 – Burmese Rice Export Volume (thousands of metric tons)

1997 : 15
1998 : 94
1999 : 57
2000 : 159
2001 : 250
2002 : 750

Source: USDA 2002

From a theoretical standpoint, the trade pattern between Burma and Japan suggest that Burma has a comparative advantage in the rice industry. Burma tends to export and Japan tends to import. When the specific data is considered, it becomes clear that Burma does indeed have a comparative advantage over Japan in rice production. Japan is one of the highest cost rice producers in the world, requiring as much as $12,000 to produce one hectare of rice. Burma, on the other hand, enjoys some of the lowest production costs, around $500 per hectare (Yap, 1991).

As a normative argument, the trends suggest that global welfare is better off by allowing Burma to specialize in rice production and export. On the other hand, Japan should use its resources to specialize in another sector where it can produce efficiently, for in rice, it is rather inefficient. This pattern is occurring, but the ridiculous degree of protectionism demonstrated by the Japanese government limits the extent. The result is a set of policies that does not allow the world to enjoy an optimal level of efficiency.

Burma, although a more efficient producer of rice, is unable to produce at its free-trade equilibrium. Additionally, Burmese producers must pay significant costs to get their rice across the Japanese border. These distortions yield a negative net welfare effect on the Japanese, Burmese, and world economies.

Econometric studies have indicated that Japan has the ability to influence market prices in rice, but Burma behaves more like a price-taker (Barker, Herdt, & Rose, 1985). Thus Burma is subject in part to the whims of the Japanese government. Qualitatively, the isolation of the Japanese economy in the rice sector decreases the demand that Burmese producers face. With lower demand than free trade would otherwise allow, Burmese producers are unable to produce as much and are stuck with higher production costs. Rice demand in the small Burmese economy is saturated and if Burmese producers wish to expand production, they must try and sell in foreign markets. The Japanese market exhibits severely inflated prices due to tariffs and other restrictions and thus the growth of the otherwise competitive Burmese rice industry is greatly hindered by the Japanese restrictions which are destroying the possibility of trade between the two economies (Coyle, 1981).

A comparison of the costs of rice production, as well as other indicators in the two economies make it is obvious that Burma is the more efficient producer of the rice and Japanese resources would be better spent elsewhere. It can also be seen that Japanese protectionism is causing unnecessary costs on everyone else participating in the market (Yap, 1981).

Benefits of Trade Liberalization

Clearly, the best course of action, when considering world welfare, is to eliminate all trade barriers. Senator Pete Wilson gave his opinion to the US Congress that Japanese protectionism harms international rice trade. Total liberalization would benefit all involved, not just the United States. He stated that “the elimination of Japan’s unfair import ban would also benefit rice growers in Burma, Thailand, Pakistan, and other developing countries” (United States House of Representatives, 1986).

Burma, as well as other small, developing countries, are typically the recipients of the greatest injury from trade barriers. The rice industry in Burma is still small and is struggling to get a firm hold in international markets. However, Japan’s policies drive up domestic prices of the otherwise low-priced Burmese rice. Because Burma’s costs of producing rice are so much lower than Japan’s, Burma has a comparative advantage in its production. Trade barriers distort this advantage.

Burmese producers are faced with high costs when selling their stocks to Japanese consumers. These costs come primarily from the enormous tariffs that must be paid as the rice crosses the border. The result: Burmese producers are not able to sell as much rice as they would otherwise. Japanese consumers also lose out by being forced to pay much higher prices than they would with international free trade.

In the event that the trade between the two countries was to be completely liberalized, the benefits would be abundant. Burmese producers would have a much larger consumer base to sell to and the elimination of trade barriers would allow them to produce more rice much more efficiently than the Japanese. Japanese consumers would likewise benefit from the increased supply and subsequent decline in prices.

WTO Meetings in Cancun

The issue of Japan’s rice protectionism proved to be a major obstacle up during the World Trade Organization negations in Cancun. In fact, it was one of the primary contributors to destroying negotiations completely. Japan, along with several other Asian countries, pressed very hard for exceptions allowing them to impose even more barriers on trade than the current policies. They surrounded this stance in an argument saying it is necessary for the survival of the domestic rice industry (Reuters, 2003). This is a sensible argument when view the situation from the perspective of the Japanese rice producers. As demonstrated earlier, the Japanese rice producers are not efficient at all and produce rice at a very high cost. In order for them to survive against low-cost producers—such as Burma—they must protect the industry.

Unfortunately, Japanese producers represent only a small fraction of the world population. Their stance fails to take into account the other welfare effects imposed on other players in the world economy. The other countries were fighting to get Japan to open its borders to rice. They argued that doing so will not only improve the industries abroad, but will also allow rice production to move to producers who are the most efficient. In the long run, this is better for everyone involved.

Japan’s stubborn stance seemed to be more political than economic. When one takes a good look at the statistic presented in the report, it should be quite clear that trade liberalization is the best policy. However, rice farmers provide votes and Japanese politicians depend on these votes for their survival. Although they did make a few minor compromises, Japan continued to refuse to reduce its trade restrictions. This was a major factor in the breakdown of negotiations (Azuma, 2001).

Conclusion

Thus it is easy to see that rice trade in Japan—and the Orient in general—is a very sensitive topic to all involved. The powerful countries, such as Japan, seem to be the highest-cost producers and are experiencing a comparative disadvantage. The low-cost producers, such as Burma, are the ones who should be producing the bulk of product. The interesting thing is that if Japan was to really act in its own self-interest, considering the welfare imposed on the country as a whole, it would open its borders to trade. Such a move would, in the long run, increase Japan’s domestic welfare, and the welfare of all of its trade partners. Japanese consumers would enjoy the price reductions and use the extra money to build up other sectors in the struggling economy. However, the politicians are bowing to the wishes of a powerful special interest groups—rice farmers—and are refusing to liberalize. There remains some hope, however, as Japan’s borders are more open now than they have been in the past. But unfortunately for the Asian rice consumer, it will likely be a long road until free trade will become the rule, not the exception.

References:

• Azuma, Yasushi. (2001, September). WTO Failure Relief for Japan. Japan Today.
• Barker, Randolph, Herdt, Robert W., & Rose, Beth. (1985). The Rice Economy of Asia. Washington D.C.
• Coyle, William T. (1981). Japan’s Rice Policy. Foreign Agricultural Economic Report, Number 164. Washington D.C.: United States Department of Agriculture
• Foreign Agricultural Service. (2002). Burma: Rice Situation Update. www.fas.usda.gov
• Fukuda, Hisao, Dyck, John & Stout, Jim. (2003). Rice Sector Policies in Japan. Electronic Outlook Report from the Economic Research Service. United States Department of Agriculture. www.erc.usda.gov
• Harvey, David. (2002). Japanese Farm Policy. www.staff.ncl.ac.uk/david.harvey
• Hayami, Yujiro & Yoshihisa, Godo. (1995). Economics and Politics of Rice Policy in Japan: A Perspective on the Uruguay Round. Working Paper Series, Number 5341. Cambridge: National Bureau of Economic Research, Inc.
• Kazmin, Amy. (2004, February). Burma’s Rice Policy Chaos Sows Economic Seeds of Doubt. Financial Times. www.burmalibrary.org
• Nagai, Shinya & Takahashi, Kunio. (1996). 1194-95 Annual Abstracts of Official Reports and Statistics of the Japanese Government. White Papers of Japan. Tokyo.
• Office of the United States Trade Representative. (2003). Farm Policies in the U.S., EU, and Japan. Trade Facts. www.ustrade-wto.gov
• Rae, Allan & Josling, Timothy. (2001). Processed Food Trade and Developing Countries: Protection and Trade Reform. NZ Trade Consortium Working Paper Series, Number 15. Wellington: The NZ Institute of Economic Research, Inc
• Reuters. (2001, September). WTO on a Sticky Wicket Against Japan’s Rice Bowlers. The Age. theage.com.au
• Siok-Hwa, Cheng & Lumpur, Kuala. (1968). The Rice Industry of Burma 1852~1940. Singapore: University of Malaya Press.
• United States Department of Agriculture. (2001, February). 2001/02 Global Wheat and Course Grain Trade Diverge. Grain: World Markets and Trade. www.fas.usda.gov
• United States House of Representatives, Committee on Agriculture. (1986). Review of Japan’s Policy Concerning the Importation of Rice (Serial No. 99-49). Washington D.C.: U.S. Government Printing Office
• United States Senate, Committee on Agriculture, Nutrition, and Forestry. (1986). U.S.-Japan Rice Trade (Serial Number 99-1051). Washington D.C.: U.S. Government Printing Office
• Yap, C.L. (1991). A Comparison of the Cost of Producing Rice in Selected Countries. Food and Agriculture Organization of the United Nations, FAO Economic Social Development Paper, Number 101.
• Yoshimura, Noboru & Anderson, Philip. (1997). Inside the Kaisha. Boston: Harvard Business School Press.

Source : Japan-101 Information resource

Monday, 12 January 2009

Agricultural investment and Trade Opportunities in Indonesia (3)

Indonesia's land legislations do not recognize the concept of freehold land rights. Instead the various right attached to the land are subdivided into separates titles.


The Basic Agrarian Law (Law no. 5 of 1960) recognizes type of rights on land of non-state-forest area, whereas state forest-area, the Law no 5 0f 1967 on forestry is applied. To foreign as well as domestic investor, the following three main rights are significant; the Land Cultivation Rights (Hak Guna Usaha, abbreviated as HSU), the Right of Building on Land (Hak Guna Bangunan, abbreviated as HGB) and the Right of Use on Land (Hak Pakai, abbreviated as HP). These rights authorize the use of land in some ways, and their differences are mainly on the duration of validity, the nature of utilization, the opportunity to mortgage (to use as asset or collateral) and proof of title:

1. The Land Cultivation Right (HGU) is the right to use a state Owned Land for the purposes of agriculture namely plantation, or cattle rising. By law the title is granted for maximum period of 35 years, but can be extended to 25 years is the land is properly used and managed. This title of right is given to Indonesian individual(s) or legal entities domiciled in Indonesia including PMA companies. It can be used as collateral or transferred to other party with the government approval.
2. The Right Building of the Land (HGU) is the right to construct and own building on a peace of land that one has purchased. The title is granted for a maximum period of 30 years and can be extended for maximum period for 20 years for Indonesian individual(s) and / or legal entities domiciled in Indonesia including PMA companies. It can be used as collateral or transferred to other party. This is also applicable and generally granted to tenants in Industrial estates.
3. Right of Use on Land (HGB) is the right to use land for a specific purpose and granted for a period of 25 years and can be extended for period of 20 years or as long as the land is used for certain (normal) utilization. Now, this right can also be used as a mortgage. In addition, it can also be transferred to other party through a government approval.

Dwelling House or a residence that can be owned by a foreign person shall be :
1. A separate house constructed on a piece of land with the right of utilization on state land or controlled on the basis of an agreement with a land holder: or,
2. An apartment constructed on a piece of land with the right of utilization on state land.

Foreign investors who obtained mining contract from the minister of Mines and Energy or the respective Governor / the District Head or forest exploitation rights and or plantation right from the Ministry of Agriculture or the Respective Governor / District Head could automatically use the land within their business license. In case investors want to use the land for different purposes, special applications should be submitted to the Ministry or the respective Governor / District Head concerned. These rights have no collateral value to the owner.

To be continued.

Source: Guide to Agricultural Investment and Trade Opportunities in Indonesia, Ministry of Agriculture, the Republic of Indonesia

Friday, 9 January 2009

Satu Milyar Rupiah Lebih Harga Satu Ekor Tuna Bluefin

Pada lelang perdana tahun 2009 yang dilaksanakan 8 Januari di Tsukiji Market (Tokyo Metropolotan Central Wholesale Market) seekor ikan Tuna Bluefin telah dilelang dengan harga 9,63 juta yen per ekor. Kalau kurs hari ini 1 yen = 120 rupiah maka satu ekor ikan tersebut seharga 1,15 milyar rupiah. Angka tersebut merupakan harga lelang termahal di Jepang dalam kurun waktu 8 tahun terakhir.

Dengan harga fantastik ini ikan Tuna Bluefin tersebut telah diperebutkan oleh dua orang penawar yang satu dari China dan yang lainnya dari Jepang. Yang pertama bernama Ricky Cheng Wai-tao berumur 41 tahun asal China seorang manejer Restoran Itamame Shusi di Hongkong dan beberapa tempat lainnya. Yang kedua asli Jepang bernama Yasuke Imada berumur 63 tahun manejer Restoran Susi yang sangat bergengsi, Restoran Kyubey namanya yang berlokasi di daerah elit Ginza, Tokyo.

Akhirnya keduanya sepakat untuk saling berbagi, masing-masing memperoleh separuh ikan yang ditangkap di Oma, Prefektur Aomori, Jepang. Imada menerima cara ini karena dia ingin menghindari perang penawaran yang akan mendongkrak harga ikan tuna semakin tinggi.

Sushi “Otoro” dengan bahan dari bagian ikan yang banyak mengandung lemak, di Hongkong harga satu potongnya (satu suap) sekitar 1.100 yen, sedangkan di Ginza 2.000 yen. Pada awal tahun lalu (2008) di tempat yang sama Cheng menang lelang ikan yang sejenis dengan harga 6,02 juta yen per ekor.

Konsumsi ikan tuna di China telah meroket 20 kali menjadi 4.000 ton pada tahun 2005 dari 200 ton pada tahun 2000, kata Lou Xiaobo, Profesor Tokyo University of Marine Science and Technology. Lou mengharapkan jumlah konsumsi ikan tuna di China meningkat terus akibat peningkatan jumlah masyarakat ekonomi kelas atas.

Sumber: Japan Times, 9 Januari 2009

Thursday, 8 January 2009

Persyaratan dan Prosedur Karantina Hewan Republik Indonesia

Untuk Hewan dan Produk Hewan

A.Persyaratan Umum Karantina Hewan

1. Dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan/Sanitasi oleh pejabat yang berwenang dari negara asal/daerah asal.

2. Melalui tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan.

3. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina hewan di tempat pemasukan atau tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.

B. Persyaratan Teknis impor dan ekspor hewan dan produk hewan

Selain persyaratan karantina yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.82/2000 sebagaimana tersebut diatas, diperlukan kewajiban tambahan berupa persyaratan teknis impor/ekspor hewan dan produk hewan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, sebagai berikut :

Negara yang belum melakukan kerjasama bilateral perdagangan.

a. Negara pengekspor harus bebas dari penyakit hewan menular atau berbahaya tertentu yang tidak terdapat di negara pengimpor

b. Mendapatkan persetujuan impor/ekspor dari pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.

c. Perlakuan tindakan karantina di negara pengimpor bertujuan untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan teknis yang dipersyaratkan tersebut benar telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.

d. Melengkapi komoditi tersebut dengan Surat Keterangan Kesehatan atau Sanitasi dan surat keterangan lainnya yang menerangkan bahwa komoditi tersebut bebas dari hama penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, disamping menerangkan pemenuhan persyaratan ketentuan teknis seperti tersebut di atas.

e. Negara pengimpor berhak melakukan penelitian dan pengamatan secara epidimilogy terhadap situasi dan kondisi penyakit hewan menular dan berbahaya yang ada di negara pengekspor secara tidak langsung melalui data-data yang ada dan tersedia.

f. Pengangkutan komoditi impor tersebut harus langsung ke negara tujuan pengimpor tanpa melakukan transit di negara lain.

g. Negara pengimpor berhak melakukan tindakan-tindakan penolakan dan pencegahan masuknya penyakit hewan menular dan berbahaya, jika dijumpai hal yang mencurigakan, dilaporkan tidak benar atau ada kemungkinan bahwa komoditi tersebut dapat bertindak sebagai media pembawa hama penyakit hewan menular dan berbahaya.

Negara yang telah melakukan kerjasama bilateral perdagangan.

a. Negara pengekspor harus bebas dari penyakit hewan menular dan berbahaya tertentu yang dipersyaratkan negara pengimpor

b. Melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor tersebut di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.

c. Mendapatkan persetujuan impor/ekspor dari pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri (Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan/ Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.

d. Perlakuan tindakan karantina di negara pengekspor dengan tujuan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan teknis yang dipersyaratkan dalam perjanjian bilateral tersebut telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.

e. Negara pengimpor berhak melakukan penelitian dan pengamatan secara langsung terhadap situasi dan kondisi penyakit hewan menular dan berbahaya yang ada di negara pengekspor (approval and accreditation).

f. Melengkapi komoditi tersebut dengan Surat Keterangan Kesehatan atau Sanitasi dan surat keterangan lainnya yang menerangkan bahwa komoditi tersebut bebas dari hama dan penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, disamping menerangkan pemenuhan persyaratan ketentuan teknis seperti tersebut di atas.

g. Pengangkutan komoditi impor tersebut harus langsung ke negara tujuan pengimpor tanpa transit di negara lain, kecuali telah disetujui oleh ke dua negara dalam perjanjian bilateral atau trilateral dengan ketentuan negara transit minimal mempunyai situasi dan kondisi penyakit hewan yang sama dengan negara pengimpor.

h. Negara pengimpor berhak melakukan tindakan-tindakan penolakan dan pencegahan masuknya penyakit hewan menular dan berbahaya, jika dijumpai hal yang mencurigakan, dilaporkan tidak benar atau ada kemungkinan bahwa komoditi tersebut dapat bertindak sebagai media pembawa hama penyakit hewan menular dan berbahaya.

i. Tindakan karantina diutamakan terhadap hewan yang tidak atau belum sempat dilaksanakan di negara pengekspor sesuai dengan persyaratan teknis yang telah disepakati.

Prosedur Tindakan Karantina Hewan

1. Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan dan tindakan karantina kepada pimpinan UPT Karantina Hewan tempat pemasukan atau pengeluaran.

2. UPT Karantina Hewan memproses secara administrasi permohonan tersebut, untuk selanjutnya menugaskan pejabat fungsional karantina hewan untuk melakukan tindakan karantina tahap I yaitu pemeriksaan (P1). Dari hasil pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan beberapa tindakan karantina lainnya.

3. Untuk media pembawa yang menurut hasil pemeriksaan memerlukan tindakan pengasingan (P2) dan pengamatan (P3), segera dimasukkan ke dalam instalasi karantina untuk selama masa karantina yang dapat diperpanjang menurut pertimbangan dokter hewan karantina.

4. Untuk media pembawa yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit hewan karantina, tidak menunjukkan perubahan fisik dan tidak memerlukan masa pengasingan untuk pengamatan, dapat langsung dilakukan tindakan pembebasan (P8).

5. Sebaliknya, untuk media pembawa yang menunjukkan gejala penyakit hewan karantina atau perubahan fisik yang mengarah kepada penyakit hewan golongan I, dapat langsung dilakukan tindakan penolakan (P6).

6. Media pembawa yang mempunyai dokumen tidak benar dan tidak lengkap atau menurut hasil pemeriksaan menunjukkan gejala penyakit hewan golongan II, dilakukan tindakan penahanan (P5) untuk selanjutnya dapat dikembalikan ke proses tahap II yaitu pengasingan dan pengamatan.

7. Hasil tindakan pengasingan dan pengamatan, dapat dilanjutkan ke proses tahap III yaitu tindakan perlakuan (P4) untuk meyakinkan kembali bahwa media pembawa bebas dari hama penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi menularkan atau menyebarkan hama penyakit hewan ke media pembawa lainnya.

8. Jika dari hasil tindakan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan, media pembawa tidak dapat dibebaskan dari penyakit hewan karantina atau telah mengalami perubahan fisik, maka terhadap media pembawa tersebut lansung dilakukan tindakan pemusnahan (P7).

9. Setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan serta perlakuan media pembawa diyakini tidak mengandung penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi bertindak sebagai media penular atau penyebar, maka dapat dilakukan tindakan pembebasan (P8).

10. Hasil tindakan pembebasan, penahanan, penolakan, dan pemusnahan kemudian diserahkan kembali kepada UPT Karantina Hewan yang memberi tugas untuk diproses secara administrasi termasuk memenuhi kewajiban tambahan, yang selanjutnya disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait lainnya untuk dilaksanakan.

Prosedur Tindakan Karantina Hewan

1. Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan dan tindakan karantina kepada pimpinan UPT Karantina Hewan tempat pemasukan atau pengeluaran.

2. UPT Karantina Hewan memproses secara administrasi permohonan tersebut, untuk selanjutnya menugaskan pejabat fungsional karantina hewan untuk melakukan tindakan karantina tahap I yaitu pemeriksaan (P1). Dari hasil pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan beberapa tindakan karantina lainnya.

3. Untuk media pembawa yang menurut hasil pemeriksaan memerlukan tindakan pengasingan (P2) dan pengamatan (P3), segera dimasukkan ke dalam instalasi karantina untuk selama masa karantina yang dapat diperpanjang menurut pertimbangan dokter hewan karantina.

4. Untuk media pembawa yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit hewan karantina, tidak menunjukkan perubahan fisik dan tidak memerlukan masa pengasingan untuk pengamatan, dapat langsung dilakukan tindakan pembebasan (P8).

5. Sebaliknya, untuk media pembawa yang menunjukkan gejala penyakit hewan karantina atau perubahan fisik yang mengarah kepada penyakit hewan golongan I, dapat langsung dilakukan tindakan penolakan (P6).

6. Media pembawa yang mempunyai dokumen tidak benar dan tidak lengkap atau menurut hasil pemeriksaan menunjukkan gejala penyakit hewan golongan II, dilakukan tindakan penahanan (P5) untuk selanjutnya dapat dikembalikan ke proses tahap II yaitu pengasingan dan pengamatan.

7. Hasil tindakan pengasingan dan pengamatan, dapat dilanjutkan ke proses tahap III yaitu tindakan perlakuan (P4) untuk meyakinkan kembali bahwa media pembawa bebas dari hama penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi menularkan atau menyebarkan hama penyakit hewan ke media pembawa lainnya.

8. Jika dari hasil tindakan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan, media pembawa tidak dapat dibebaskan dari penyakit hewan karantina atau telah mengalami perubahan fisik, maka terhadap media pembawa tersebut lansung dilakukan tindakan pemusnahan (P7).

9. Setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan serta perlakuan media pembawa diyakini tidak mengandung penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi bertindak sebagai media penular atau penyebar, maka dapat dilakukan tindakan pembebasan (P8).

10. Hasil tindakan pembebasan, penahanan, penolakan, dan pemusnahan kemudian diserahkan kembali kepada UPT Karantina Hewan yang memberi tugas untuk diproses secara administrasi termasuk memenuhi kewajiban tambahan, yang selanjutnya disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait lainnya untuk dilaksanakan.

Sumber: Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian RI

Wednesday, 7 January 2009

Pembahasan Restorasi Terumbu Karang di Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang nomor dua setelah Kanada yaitu 81.000 km. Luas wilayah teritorial Indonesia yang sebesar 7,1 juta km2 didominasi oleh wilayah laut yaitu kurang lebih 5,4 juta km2. Dengan potensi fisik sebesar ini, Indonesia dikaruniai pula dengan sumberdaya perikanan dan kelautan yang besar. Dari sisi keanekaragaman hayati, Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati kelautan terbesar. Dalam hal ekosistem terumbu karang (coral reefs) misalnya, Indonesia dikenal sebagai salah satu penyumbang kekayaan hayati terumbu karang terbesar di dunia. Menurut data World Resources Institute (2002), dengan luas total sebesar 50.875 km2, maka 51 % terumbu karang di kawasan Asia Tenggara dan 18 % terumbu karang di dunia, berada di wilayah perairan Indonesia.

Isu-isu rusaknya sumberdaya alam perikanan dan kelautan pun telah lama diketahui. Studi yang dilakukan oleh Burke dan kawan pada tahun 2002 menyebut bahwa kerusakan terumbu karang di Indonesia telah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Hampir 51 % kawasan terumbu karang yang terancam di Asia Tenggara berada di Indonesia, disusul sebesar 20 % di Filipina.

Pada tanggal 6 Januari 2009 di KBRI Tokyo telah dilakukan pembahasan restorasi terumbu karang Indonesia. Pembahasan dihadiri oleh Perwakilan dari Tokyo University of Marine Science and Technology yaitu Prof. Mineo Okamoto, Ph.D (baju putih) dan Kandidat Dr. Kakaskasen A. Roeroe (baju biru), Perwakilan dari JFE Steel Corporation yaitu Mr. Jun Ogawa dan 4 orang Stafnya, sedangkan dari KBRI Tokyo diwakili oleh Atase Pertanian, Atase Perindustrian, Atase Kehutanan, Atase Pendidikan, Koordinator Fungsi Ekonomi dan Koordinator Fungsi Politik.

Pada kesempatan pertama diawali penyampaian hasil penelitian kerjasama antara Universitas Samratulangi, Manado, Indonesia dan Tokyo University of Marine Science and Technology, yang disampaikan oleh Prof. Mineo Okamoto, Ph.D. Dalam pemaparan hasil penelitian yang berjudul kondisi dan reporoduksi terumbu karang sekitar pulau Bunaken Indonesia, Prof. Okamoto menyampaikan sebagai berikut:

1. Terumbu karang merupakan produser lingkungan hidup utama di wilayah pantai laut tropis dan sub tropis. Terumbu karang memberikan andil besar dalam pembentukan bukit karang yang berfungsi sebagai pemecah ombak laut.

2. Masalah global disebutkan bahwa terumbu karang telah rusak karena terkena dampak peningkatan suhu air laut yang ditimbulkan akibat global warming sehingga menimbulkan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia.

3. Masalah lokal disebutkan bahwa kerusakan terumbu karang merupakan isu lama sebelum isu peningkatan suhu air laut. Kerusakan terumbu karang ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: a) penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), b) terbawanya material ke perairan pantai berupa lumpur dan unsur hara seperti Nitrogen, Phospat dsb. dari sungai, dan c) akibat aktivitas pembangunan di sekitar pantai menimbulkan kerusakan habitat.

4. Teknologi Baru pemulihan terumbu karang sedang dikembangkan di Jepang. Teknologi baru ini menggunakan repuduksi sexual terumbu karang yang sedang dilakukan di pulau Sekisei Lagoon (terumbu karang terbesar di Jepang) dan pulau Miyako. Diharapkan teknologi baru ini dapat diaplikasikan di Indonesia, dan telah dilakukan penelitian di Indonesia.

5. Dalam perbaikan terumbu karang diperlukan tiga langkah. Langkah pertama melakukan penelitian tahap awal yang meliputi: a) Waktu Mass spawning Acropora coral, b) Meneliti tempat yang tepat untuk lokasi tumbuhnya larva terumbu karang, c) Pertumbuhan terumbu karang, d) Meneliti tempat yang cocok untuk pemempatan pertumbuhan terumbu karang. Sedangkan langkah kedua adalah Pengembangan program perbaikan terumbu karang. Dan langkah ketiga, menentukan rencana dan melakukan tindakan apa yang harus dikerjakan dalam Perbaikan terumbu karang.

6. Penelitian yang dilakukan peneliti dari Jepang dan Indonesia ini dilakukan di Perairan Bunaken dimulai dari awal tahun 2007. Agar dapat memperoleh banyak terumbu karang muda untuk transplantasi diperlukan penelitian penentuan waktu mass spawning. Dalam penelitian ini menggunakan Coral Settlement Device (CSD) yang terbuat dari ceramic. Penggunaan CSD bertujuan untuk : a) menyediakan permukaan yang baik untuk tempat bertumbuhnya larva, b) Melindungi larva berdiam di tempatnya dan terumbu karang dapat tumbuh di tempatnya, sehingga terhindar dari ancaman goyangan, benturan dan gangguan dari luar, c) Memfiksir terumbu karang pada tempatnya agar mudah tumbuh.

Untuk pengganti lubang-lubang yang seperti pada batu karang dipergunakan Marine Block (MB). MB terbuat dari bahan-bahan yang seperti terkandung dalam terumbu karang, shellfish, dan calcium carbonate merupakan material yang sesuai untuk membudidayakannya.

7. Metoda penelitiannya dilakukan dengan cara menempatkan rak-rak besi stainless di dasar laut perairan Bunaken. Sebuah MB dan empat buah CSD 120 disusun di dalam rak-rak tersebut pada tanggal 11 Februari 2007. Kemudian dengan jumlah yang sama MB dan CDS disusun lagi di dalam rak-rak sejenis pada tanggal 22 April 2007. Beberapa waktu kemudian dilakukan observasi pertumbuhan Acropora dan dilakukan pendataan jumlah yang tumbuh serta pencatatan ukuran Acropora dsb.

8. Penelitian ini diperoleh hasil bahwa a) Waktu Mass Spawning terumbu karang terjadi setahun dua kali, yaitu pada bulan Mei dan bulan Juli 2007, b) Acropora yang diperoleh sangat rendah, c) Pertumbuhan Acropora dalam setahun telah dapat diketahui, pertumbuhan Acropora dalam lubang-lubang MB diperoleh antara 7 – 11 bulan, d) Telah dapat dipilih tempat berkembang larva paling baik pada dinding tembok tempat reklamasi, e) Pertumbuhan Acropora pada tempat tersebut selama sampai dengan satu tahun telah dapat diketahui, f) Pertumbuhan terumbu karang Acropora di Bunaken diperkirakan tiga kali lebih cepat dari pada di perairan Sekisei Lagoon, Okinawa, Jepang. Hal ini terjadi disebabkan suhu air laut di Bunaken selama satu tahun lebih hangat dari pada di Sekisei Lagoon.

Perwakilan dari KBRI memberikan beberapa masukan untuk waktu kedepannya sebagai berikut:

1. Dalam rangka peningkatan SDM Indonesia perlu ditingkatkan transfer teknologi maka projek penelitian ini perlu diteruskan melangkah ke tahap berikutnya dengan melibatkan banyak peneliti yang berasal dari Indonesia.

2. Untuk melanjutkan penelitian di Indonesia bagi peneliti Jepang atau peneliti asing akan diberikan izin oleh Kementerian Riset dan Teknologi.

3. Untuk projek restorasi terumbu karang di Indonesia bisa dijajagi dengan melakukan kerjasama dengan bantuan JICA dan lembaga penyandang dana lainnya.

Sedangkan JFE Steel Corporation menginformasikan bahwa pihaknya telah mengembangkan Marine Block-Artificial Base for Coral Reef yang setiap unitnya berukuran sekitar 1 m kubik siap untuk diuji coba penggunaannya.

Monday, 5 January 2009

Merajut diplomasi total dikala libur tahun baru 2009

Pada Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, Indonesia mencanangkan kembali diplomasi total. Menurut Menlu Hasan Wirayuda, Diplomasi total ialah diplomasi yang melibatkan semua komponen bangsa dalam suatu sinergi dan memandang substansi permasalahan secara integratif.

Diplomasi tersebut dilakukan antara pemerintah dengan pemerintah, swasta dengan swasta, NGO dengan NGO, masyarkat dengan masyarakat dan komponen bangsa lainnya atau kombinasinya. Dengan diplomasi total terdapat banyak langkah kreatif dan inovatif yang perlu dikembangkan oleh semua komponen bangsa.

Pada tanggal 1 Januari 2009, di pagi buta selepas subuh kami meluncur ke arah timur menuju Prefektur Ibaraki yang jaraknya 120 km dari Gotanda, Tokyo. Bersama Ketua Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) wilayah Sulawesi Selatan, Syamsari, S.Pt.MM. dan seorang mahasiswa S3 IPB yang sedang melakukan penelitian di Tokyo Marine Science University Sdri. Irma, kami bermaksud melakukan diplomasi people to people di Prefektur Ibaraki melalui partisipasi lomba lari marathon.

Pukul 08:00 tiba di Kantor Asosiasi Hortikultura dan Pertanian di Obata, Ibarakimachi, Prefektur Ibaraki. Kami melakukan persiapan dengan Mr. Syozo Fujita Pimpinan Asosiasi tersebut yang mengelola trainee bidang pertanian. Kami bersama 17 trainee bidang pertanian yang sedang berlatih di Prefektur Ibaraki membaur dengan masyarakat Mitoshi mengikuti lomba Gantan Marathon ke 34 di Mitoshi.


Meskipun udara dingin, suhu sekitar 0 derajat C, para trainee tetap bersemangat melakukan pemanasan sebelum berlomba. Lomba lari Marathon ini diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Mitoshi bertempat di taman Kairakuen di Prefektur Ibaraki.















Masyarakat Jepang biasa menyebut Marathon untuk lari selain lari cepat 100 m. Meskipun lomba ini hanya berjarak 3000 m, mereka menyebutnya lomba lari marathon. Lomba lari Marathon ini yang diselenggarakan untuk umum dari anak SD hingga dewasa, diikuti oleh 2.500 orang dimulai pukul 08.30. Setiap peserta lari mengelilingi Mizumi (danau kecil) bernama Senbakou yang kelilingnya 3 km. Tampak pada gambar suasana pendaftaran ulang sebelum lomba dimulai.










Danau mungil ini indah dihiasi pepohonan yang sudah gugur daunnya (gambar atas), dipadu kebebasan itik dan angsa berenang serta kilauan pantulan sinar mentari di permukaan air nan jernih.
















Tujuan kami berpartisipasi dalam lomba ini yaitu dalam rangka menjalin silaturahmi dengan warga di Mitoshi. Kami ingin tunjukan kepada mereka bahwa trainee dari Indonesia sehat, sportif, dan siap berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan positif yang diselenggarakan oleh masyarakat di Prefektur Ibaraki.













Tampak gambar saat lomba marathon 3000 m dimulai. Di antara waktu lomba telah dilakukan silaturahmi dengan Mr. Tachi anggota DPRD Prefektur Ibaraki. Menurut Mr. Fujita Ketua Asosiasi Hortikultura bahwa beliau menyampaikan terimakasih atas partisipasi para trainee asal Indonesia dalam kegiatan masyarakat Prefektur Ibaraki dan beliau berharap hubungan Indonesia dengan Jepang semakin erat, para trainee bisa berlatih pertanian di Ibaraki dengan sukses.










Dengan berpartisipasi dalam event penting ini, masyarakat Mitoshi dapat mengenal orang Indonesia dan mereka bersimpati terhadap masyarakat Indonesia. Salah satu buah silaturahim ini terdapat sekeluarga Jepang yang ingin mempelajari tentang Indonesia dan ingin belajar bahasa Indonesia kepada para trainee.













Pada kesempatan itu Syamsari Ketua PPNSI Wilayah Sulawesi Selatan mengajak para trainee yang berasal dari Sulawesi Selatan, ”Setelah kembali ke Sulawesi Selatan para trainee akan diajak bekerjasama membangun pertanian daerahnya, Sulawesi Selatan masih mempunyai lahan sekitar 130 ha yang siap untuk dikembangkan untuk tanaman pangan termasuk kedelai”.

Pada kesempatan yang baik ini tidak kami sia-siakan, kami tanamkan kepada para trainee bahwa profesi petani sangat mulia. Petani berjasa banyak karena telah bekerja keras memproduksi bahan makanan yang merupakan kebutuhan pokok umat manusia. Petani telah andil dalam pemenuhan gizi anak-anak pada masa pertumbuhan sehingga anak-anak tumbuh dan berkembang sehat, cerdas dan pintar. Anak-anak ini di kemudian hari kelak menjadi Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri dan Presiden yang pandai dan bijaksana yang akan membawa Negara kita menjadi adil, makmur, sejahtera, aman sentosa”.