Sebelah adalah tabel impor produk pertanian Jepang dari negara pemasok utama, diambil dari JETRO. Indonesia termasuk 10 negara pemasok produk pertanian ke Jepang yang menduduki urutan ke 9. Ekspor Indonesia ke Jepang tahun 2004 senilai 542 milyar US $, meningkat menjadi 633 milyar US $ pada tahun 2005 dan meningkat lebih tajam lagi menjadi 996 milyar US $ pada tahun 2006. Peningkatan nilai ekspor tahunan Indonesia ke Jepang sebanyak 57,3% meskipun share dalam pasar Jepang baru sebanyak 2,3%. Share terbesar diduduki Amerika Serikat sebanyak 30,3% diikuti China 13,2%, Australia 9,5%. Thailand menduduki urutan ke 4 dengan share 6,4%.
Tuesday, 22 January 2008
Monday, 21 January 2008
Pembuatan Telur Asin
1. Pendahuluan
Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Selain itu telur mudah diperoleh dan harganya murah. Telur dapat dimanfaatkan sebagai lauk, bahan pencampur berbagai makanan, tepung telur, obat, dan lain sebagainya. Telur terdiri dari protein 13 %, lemak 12 %, serta vitamin, dan mineral. Nilai tertinggi telur terdapat pada bagian kuningnya. Kuning telur mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan serta mineral seperti : besi, fosfor, sedikit kalsium, dan vitamin B kompleks. Sebagian protein (50%) dan semua lemak terdapat pada kuning telur. Adapun putih telur yang jumlahnya sekitar 60 % dari seluruh bulatan telur mengandung 5 jenis protein dan sedikit karbohidrat.
Kelemahan telur yaitu memiliki sifat mudah rusak, baik kerusakan alami, kimiawi maupun kerusakan akibat serangan mikroorganisme melalui pori-pori telur. Oleh sebab itu usaha pengawetan sangat penting untuk mempertahankan kualitas telur. Telur akan lebih bermanfaat bila direbus setengah matang dari pada direbus matang atau dimakan mentah. Telur yang digoreng kering juga kurang baik, karena protein telur mengalami denaturasi/rusak, berarti mutu protein akan menurun. Macam macam telur adalah : telur ayam (kampung dan ras), telur bebek, puyuh dan lain-lain.
Kualitas telur ditentukan oleh : 1) kualitas bagian dalam (kekentalan putih dan kuning telur, posisi kuning telur, dan ada tidaknya noda atau bintik darah pada putih atau kuning telur) dan 2) kualitas bagian luar (bentuk dan warna kulit, permukaan telur, keutuhan, dan kebersihan kulit telur). Umumnya telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari 2 minggu di ruang terbuka. Kerusakkan tersebut meliputi kerusakan yang nampak dari luar dan kerusakan yang baru dapat diketahui setelah telur pecah.
Kerusakan pertama berupa kerusakan alami (pecah, retak). Kerusakan lain adalah akibat udara dalam isi telur keluar sehingga derajat keasaman naik. Sebab lain adalah karena keluarnya uap air dari dalam telur yang membuat berat telur turun serta putih telur encer sehingga kesegaran telur merosot. Kerusakan telur dapat pula disebabkan oleh masuknya mikroba ke dalam telur, yang terjadi ketika telur masih berada dalam tubuh induknya. Kerusakan telur terutama disebabkan oleh kotoran yang menempel pada kulit telur. Cara mengatasi dengan pencucian telur sebenarnya hanya akan mempercepat kerusakan. Jadi pada umumnya telur yang kotor akan lebih awet daripada yang telah dicuci. Penurunan mutu telur sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan kelembaban ruang penyimpanan.
Prinsip pengawetan telur adalah untuk :
1) Mencegah masuknya bakteri pembusuk ke dalam telur;
2) Mencegah keluarnya air dari dalam telur.
Beberapa proses pengawetan telur utuh yang diawetkan bersama kulitnya antara lain :
1) proses pendinginan;
2) proses pembungkusan kering;
3) proses pelapisan dengan minyak;
4) proses pencelupan dalam berbagai cairan.
Untuk menjaga kesegaran dan mutu isi telur, diperlukan teknik penanganan yang tepat, agar nilai gizi telur tetap baik serta tidak berubah rasa, bau, warna, dan isinya. Telur asin adalah telur utuh yang diawetkan dengan adonan yang dibubuhi garam. Ada 3 cara pembuatan telur asin yaitu :
1) Telur asin dengan adonan garam berbentuk padat atau kering;
2) Telur asin dengan adonan garam ditambah ekstrak daun teh;
3) Telur asin dengan adonan garam, dan kemudian direndam dalam ekstrak atau cairan teh.
2. Bahan
1) Telur bebek yang bermutu baik 30 butir
2) Abu gosok atau bubuk batu bata merah 1 ½ liter
3) Garam dapur ½ kg
4) Larutan daun teh (bila perlu) 50 gram teh / 3 liter air
5) Air bersih secukupnya
3. Alat
1) Ember plastik
2) Kuali tanah atau panci
3) Kompor atau alat pemanas
4) Alat pengaduk
5) Stoples atau alat penyimpan telur
4. Cara Pembuatan
1) Pilih telur yang bermutu baik (tidak retak atau busuk);
2) Bersihkan telur dengan jalan mencuci atau dilap dengan air hangat, kemudian keringkan;
3) Amplas seluruh permukaan telur agar pori-porinya terbuka;
4) Buat adonan pengasin yang terdiri dari campuran abu gosok dan garam, dengan perbandingan sama (1:1). Dapat pula digunakan adonan yang terdiri dari campuran bubuk bata merah dengan garam;
5) Tambahkan sedikit air ke dalam adonan kemudian aduk sampai adonan berbentuk pasta;
6) Bungkus telur dengan adonan satu persatu secara merata sekeliling permukaan telur, kira-kira setebal 1~2 mm;
7) Simpan telur dalam kuali atanah atau ember plastik selama 15 ~ 20 hari. Usahakan agar telur tidak pecah, simpan di tempat yang bersih dan terbuka;
8) Setelah selesai bersihkan telur dari adonan kemudian rendam dalam larutan teh selama 8 hari (bila perlu).
5. Keuntungan
1) Telur yang diasinkan bersifat stabil, dapat disimpan tanpa mengalami proses perusakan;
2) Dengan pengasinan rasa amis telur akan berkurang tidak berbau busuk, dan rasanya enak.
Catatan:
1) Asin tidaknya telur asin dan keawetannya, sangat tergantung pada kadar garam yang diberikan. Semakin tinggi kadar garam, akan semakin awet telur yang diasinkan, tetapi rasanya akan semakin asin.
2) Telur asin matang tahan selama 2~3 minggu, sedangkan pembubuhan larutan teh dalam adonan pengasin dapat meningkatkan ketahanan telur asin sampai 6 minggu.
3) Penggunaan ekstrak daun teh bertujuan agar zat tanin yang terkandung dalam daun teh dapat menutupi pori-pori kulit telur serta memberikan warna coklat muda yang menarik dan bau telur asin yang dihasilkan lebih disukai.
6. Daftar Pustaka
1) Pengawetan telur. Dalam : Berkas lembaran petunjuk latihan teknologi makanan. Yogyakarta : Pendidikan Guru Pertanian PGP. Kejuruan Teknologi Makanan, 1975. Hal. 59-60.
2) Sutrisno, Koswara. Perbaikan proses pengasinan telur. Ayam dan Telur, 63, 1991 : 35-36.
3) Syamsinan, S.T. dan Soekarta. Penggunaan teh pada proses pengasinan telur bebek (Muscovy sp.). Buletin Pusbangtepa, Mei 1982 : 9 – 13.
4) Sarwono, B; A. Murtidjo dan A. Daryanto. Telur : Pengawetan dan manfaatnya. Jakarta : Penebar Swadaya, 1985. 73 hal.
5) Telur asin. Dalam : Paket industri pangan. Bogor : Pusbangtepa-IPB, s.a.
Sumber : Tri Margono, Detty Suryati, Sri Hartinah, Buku Panduan Teknologi
Pangan, Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI
bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation, 1993.
Editor : Esti, Agus Sediadi
TTG Pengolahan Pangan
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 15:19 1 comments
Labels: Teknologi Pertanian
Jepang impor telur asin
Jepang telah mengimpor telur asin. Berat telur asin per butir rata-rata 70 gram. Setiap butirnya dikemas dalam plastik tanpa udara. Kemasan tersebut dikumpulkan menjadi satu kemasan plastik yang berisi 6 butir. Satu kemasan terakhir tersebut dijual dengan harga 500 yen di pasar Okachimasi, Tokyo.
Berat telur seragam, rasa asin sedang, warna kulit telur lebih pucat dari pada telur asin Brebes. Warna kuning telur terlihat kuning cerah menunjukan masih segar. Dengan memenuhi persyaratan kwalitas dan Kwantitas yang diminta Jepang diharapkan telur asin Brebes yang warna kulitnya lebih hijau dan tebal dapat bersaing dengan telur tersebut.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 09:27 21 comments
Labels: Pasar Produk Pertanian
Sunday, 20 January 2008
Penyalahgunaan mikroorganisme dalam kesejahteraan manusia
Oleh
Edwi Mahajoeno
Pendahuluan
Tahun-tahun terakhir abad 20 dan awal abad baru, abad 21, beberapa negara di planetini mendapat berbagai ancaman terorisme. Terorisme yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat/ orang yang ingin melaksanakan kehendak dengan berbagai bentuk ancaman baik fisik, mental, maupun tindakan kekerasan berupa perusakan, perbuatan kriminal (aksi peledakan bom), penyebaran penyakit bahkan pembunuhan. Tindakan semacam ini dapat dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan tertentu baik politik, ekonomi atau kepentingan kekuasaan lainnya untuk mendapatkan tanggapan yang diinginkan. Tidak jarang mereka melakukan tindakan teror dengan menggunakan berbagai alat atau senjata yang dapat mengakibatkan kerugian, cidera atau kerusakan dalam jumlah banyak, baik terhadap segala bentuk fasilitas kegiatan masyarakat umum dan penyakit pada hewan serta pertanian maupun kematian manusia. Ancaman terorisme yang marak dalam dekade terakhir ini seringkali dikaitkan dengan penggunaan agen hayati (mikroorganisme) sebagai sumber/penyebab penyakit yang mematikan, yang sering dikenal dengan bioterorisme.
Pada dekade yang sama Indonesia menghadapi persoalan teror, kerusuhan dan tindakan anarkhis marak di mana-mana, terjadi penculikan, pemboman dan pembunuhan, bahkan sampai kini belum diketahui dimana dan apa alasan yang benar terjadinya kasus kasus itu. Aksi teror baik yang berakibat kerusakan bangunan fisik maupun benda lainnya dan kematian manusia di seluruh pelosok nusantara, oleh provokator kerusuhan maupun pelaku utamanya. Tidak luput dari gerakan teror di dalam negeri, di berbagai manca negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Eropah lainnya telah banyak didengar berita mengenai terorisme. Tambahan, terkait dengan aksi terorisme internasional, ketika Menara Kembar World Trade Center di NewYork dan Gedung Markas Besar Pertahanan USA Pentagon pada tanggal 11 September 2001 pagi waktu setempat dengan selang beberapa menit ditabrak oleh tiga pesawat komersial yang berakibat kerugian fisik material sangat besar dan jatuhnya moral/martabat negara adidaya yang tak dapat dinilai.
Sesungguhnya terorisme dengan menggunakan senjata gas, racun hasil metabolit mikroorganisme atau tumbuhan dan bahan kimia lainnya telah lama dilarang dalam peperangan, misalnya pada zaman Yunani atau Romawi kuno dan bangsa India sekitar 500 SM. Peperangan nutfah (germ) bukanlah ancaman baru dan akan menggantikan perang nuklir (konvensional), tetapi dengan perkembangan ilmu pengetahuan mikrobiologi khususnya persenjataan nutfah makin mendapat perhatian besar yang lebih canggih dan menakutkan. Hal ini karena kemampuan membunuhnya lebih efektif daripada bentuk persenjataan api atau nuklir, juga tanpa adanya kemungkinan pengelolaan dan profilaksis lanjut. Meskipun demikian pelarangan menggunakan persenjataan kimiawi dan hayati itu telah disepakati dalam perjanjian internasional yang pertama dalam Protokol Jenewa, 1925, dan kedua pada Konvensi Persenjataan Biologi 1972 yang melarang tidak hanya penggunaan tetapi pengembangan, produksi, dan penimbunan/persediaannya.
Pada kesepakatan internasional ketiga, Konvensi Persenjataan Kimiawi, 1993, mempertegas negara-negara mana yang menuruti perjanjian persenjataan itu dan memberi sanksi bagi yang melanggar. Dalam kaitan ini, tujuan penulisan kaji-pustaka ini akan menguraikan tentang beberapa bentuk penyalahgunaan peran mikroorganisme di dalam lingkungan, kesehatan dan dalam memenuhi kebutuhan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dengan lebih menekankan pada penyalahgunaan fungsi mikroorganisme yang tidak sepatutnya, bioterorisme.
Peran Mikroorganisme dalam Lingkungan - Kesehatan
Peran penting mikrobiologi pertama kali diperkenalkan dalam karya karya Louis Pasteur, Robert Koch, Winogradsky dan lainnya yang menjadi terkenal dengan “Era Emas Mikrobiologi”, (1870-1910). Selama era ini tidak hanya sebagian besar bakteri agen-penyebab penyakit pada manusia telah diidentifikasi, tetapi juga peran mikroorganisme sebagai pendaur-ulang sebagian besar unsur- hara penting kehidupan organisme di bumi telah diketahui. Pertengahan pertama abad 20 para ahli (mikrobiologiwan) banyak mengkonsentrasikan pada identifikasi bakteri (mikroba) dan upaya-upaya perawatan penyakit yang kemungkinan disebabkan oleh jasad renik. Teknik kultur murni (monokultur) mikroba telah dikembangkan oleh Robert Koch, yang bermanfaat untuk mempelajari sifat patogen dan mengkaji interaksinya dalam lingkungan alami yang heterogen. Perkembangan bioteknologi selama paruh akhir abad 20, kemudian dipacu ledakan perkembangan biologi molekuler, memberikan kontribusi keberhasilan perkembangan DNA rekombinan, yang mempunyai banyak peran dalam penggunaannya di lingkungan.
Peran mikrobiologi lain yang menarik bagi manusia diantaranya fungsi dalam ekosistem alami sangat berdayaguna memberi kontribusi dalam perombakan dan perbaikan senyawa-senyawa kimiawi pencemar , kontaminan bahkan senyawa xenobiotik yang sangat sulit dirombak dan persisten (recalcitrant). Kemampuan ini secara alami sangat lambat dalam jangka waktu lama, makin kompleks senyawa kimiawi sintetik dan berbeda jauh dengan struktur senyawa kimia alam, makin kompleks makin sulit dan diperlukan waktu lama bagi mikroba untuk menyesuaikan pertumbuhannya dengan habitat barunya. Usaha-usaha pengembangan fungsi mikroba untuk meningkatkan daya perombakan dan perbaikan bahan-bahan kimia pencemar sering dikenal dengan bioremediasi. Berbalikan dengan kepentingan Bioterorisme, keduanya sama-sama memanfaatkan kemampuan metabolisme mikroba di alam dengan berbagai perlakuan uji-coba berulang dan teknologi yang canggih didukung perkembangan bioteknologi genetika dan biomolekuler dalam laboratorium, Bioremediasi sekarang mendapat perhatian yang makin besar dari para mikrobiologiwan untuk meningkatkan kesejahteran alam hidup manusia. Perkembangan teknologi untuk memanfaatkan peran mikroorganisme maksimum di alam makin bertambah dan makin membuka wacana baru dalam pengelolaan perannya guna mendukung dan meningkatkan dayadukung lingkungan planet ini untuk tetap lestari dan berkelanjutan.
Di pihak lain perkembangan pengetahuan mengenai genetika mikroorganisme ini lebih berkembang akan tetapi masih sedikit diketahui mengenai ekologi mikroba yang berkaitan dengan kelangsungan hidup, kompetisi, pertumbuhan, fungsi dan keamanannya di lingkungan alami.
Berkaitan dengan aspek kesehatan beberapa faktor yang bertanggungjawab terhadap timbulnya patogen baru adalah:
1)perpindahan populasi penduduk (demografi/urbanisasi) dan perilaku
2)teknologi dan industri
3)perkembangan ekonomi dan tataguna lahan
4)perjalanan dan perdagangan internasional
5)adaptasi dan perubahan mikroba
6)penurunan kualitas kesehatan masyarakat
7)kejadian alam yang abnormal yang menaikkan keseimbangan patogen-inang biasa dan akhirnya
8)situasi lain yang mengancam pemaparan jumlah banyak penyakit mapan maupun baru yang mungkin terjadi dalam peperangan hayati.
Beberapa contoh hanya mewakili sedikit cara-cara mikroorganisme dan virus yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, meski pada masa lalu mikroorganisme hanya dianggap sebagai organisme berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit.
Penyakit virus smallpox (cacar) telah diketahui merupakan salah satu pembunuh terbesar dunia. Lebih kurang 4000 tahun lampau diperkirakan 10 juta orang mati karena penyakit ini. Beberapa tahun terakhir ini tidak lahi ditemukan kasus penyakit ini setelah program faksinasi di seluruh dunia telah berhasil dilakukan sejak 1977.
Penyakit yang menjadi pembunuh besar lainnya adalah wabah pes (bubonic plague). Hampir sepertiga seluruh populasi daratan Eropa, kurang lebih 25 juta orang antara tahun 1346 dan 1350 mati karena penyakit yang disebabkan oleh bakteri, tetai kini rata- rata kuran dari 100 orang per tahun di seluruh dunia yang meninggal akibat wabah ini.
Setidaknya ada 500.000 spesies mikroba di alam, dan mungkin lebih banyak lagi tetapi hanya beberapa ratus spesies saja yang berpotensi sebagai patogen pada manusia. Banyak mikroorganisme melakukan aktivitasnya secara bebas yang esensial mendukung kehidupan, dan banyak lain yang erat berhubungan dengan tumbuhan dan hewan yang stabil dan hubungan bermanfaat. Akan tetapi pada spesies yang patogen mempunyai efek sangat negatif terhadap organissme inangnya dan akibatnya seringkali banyak menjadi obyek kajian para pemegang kekuasaan kejahatan.
Beberapa dekade waktu pada abad pertengahan wabah penyakit telah menyerang populasi bangsa Eropah. Wabah epidemi kuno datang berasal dari adanya pergantian populasi tikus dalam tengah kota dan dipengaruhi misalnya oleh variabel-variabel seperti cuaca dan hasil panenan. Kini kita mempunyai pusat wabah baru yang dapat menyerang kota-kota . Akan tetapi wabah baru itu tidak dipengaruhi oleh gejala alam, tetapi agaknya wabah ini dipengaruhi oleh variabel-variabel modern seperti: keinginan politik, ekonomik dan militer. Wabah baru ini merupakan perang biologi yakni penggunaan organisme hayati agen-agen melukai atau membunuh tentara atau populasi penduduk dalam suatu tindakan perang atau terorisme.
Propagasi massa hayati dan Bioterorisme
Pada masa yang bersamaan pengembangan keamanan mikroba di lingkungan menjadi bagian besar perhatian untuk maksud-maksud perdamaian dan pertahanan keamanan suatu negara, sebaliknya erat berkaitan dengan kemampuan mikroba sebagai sarana persenjataan perang, yang dikenal dengan senjata biologi (hayati), atau sering dikonotasikan dengan senjata pembunuh massa.
Persenjataan biologi mendapat perhatian sejumlah kalangan pada akhir-akhir ini karena berkaitan dengan kemudahan pembuatan dan propagasi massa hayati (mikroba) tidak saja oleh ahli biologi/mikrobiologiwan semata tetapi juga mereka yang berpengalaman dalam kerja laboratorium propagasi sel (kultur jaringan). Keahlian demikian diketahui atau dicurigai mendapat pasokan dana atau menjadi alat kekuasaan beberapa pejabat atau rejim pemerintahan dan kelompok radikal/ekstrimis untuk mendukung misi atau untuk penggunaan terorisme. Walaupun kenyataan bahwa senjata biologi sangat bermanfaat dalam penanganan kekuatan militer biasa, kemungkinan terbesar penggunaan senjata biologi boleh jadi oleh kelompok terorist ini merupakan bagian dari para mikrobiologiwan yang terlatih dengan ketrampilan laboratorik tinggi.
Ada organisasi bahkan negara sedang berkembang yang sangat miskin atau kelompok politik yang sangat ekstrim dapat membutuhkan keuangan sangat besar menguasai keahlian teknis untuk memeperoleh dan menggunakan senjata biologik. Jadi agen-agen ini berpotensi merusak massa yang terselubung yang ekivalen dengan bom atom oleh orang-orang di negara maju.
Adanya bakteri patogen dan atau virus yang sangat bermanfaat untuk “perang hayati” dan banyak anggotanya sangat mudah untuk memperolehnya, mengembangbiakannya dan menyebarluaskannya.
Mikroorganisme yang sangat umum menjadi agen-agen tersebut dapat disebutkan sebagaiu berikut:
1) Bacillus anthraxis agen penyebab anthrax. Oleh karena B. anthraxis menghasilkan endospora yang bila disemprotkan akan dapat menyebar luas sangat efektif Bakteri patogen melalui inhalasi berupa bentuk spora atau bakteri hidup dan menyebabkan infeksi paru-paru dengan laju mortalitas hampir 100 persen. Pencegahan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan vaksinasi, namun jarang tersedia vaksin, meskipun tidak terjadi penjalaran melalui persentuhan. Endospora Baccillus ini telah lama digunakana untuk “senjata hayati”, karena mudah diperoleh, yang bersifat endemik pada ternak dan hampir di seluruh dunia. Mudah memproduksi spora dalam jumlah besar dan bertahan lama kemampuan hasil daya-toksisnya. Seringkali bioterorisme dikaitkan dengan spora Bacillus anthraxis , dan Paul Keim, 2001, ahli dalam identifikasi strain anthrax, telah menyimpan koleksi strain sebanyak 1300 dari seluruh dunia.
Dengan teknik identifikasi yang memfokuskan pada sejumlah variasi ulangan tandem dan spot pada genom mikroba ini. Spora ini telah digunakan semenjak Perang Dunia I dan selama “ perang dingin” Ameriak Serikat dan Uni Soviet masih melanjutkan pengembangan program persenjataan hayati ini secara- besar-besaran yang melibatkan ribuan orang, teknik yang lebih canggih dan penyempurnaan daam penyediaan secara cepat maupun penyampaian kepada sasaran yang dikenai.
Spesies lain yang menghasilkan bentuk endospora dan sangat resisten adalah 2) Clostridium botullinum. Calon yang lebih eksoktik adalah agen yang berupa racun botulinum yang dihasilkan bakteri ini. Racun yang bersifar aerosol meskipun membran mukus dapat menyerap racun ini, tapi dapat digunakan sebagai “senjata hayati”. Botulisme ini dapat dicegah dengan vaksinasi, tapi seringkali tidak tersedia, tetapi antitoksin banyak tersedia dan tidak bersiat menular
3) Virus Smallpox juga menjadi calon untuk “persenjataan hayati”, walaupun vaksin smallpox (cacar) yang sangat efektif, belum digunakan secara teratur selama lebih dari 20 tahun karena smallpox telah diberantas di seluruh dunia pada 1980. Akibatnya lebih dari 90% populasi penduduk dunia kini kurang mendapat vaksin yang memadai dan mudah terjangkit penyakit ini.. Virus ini sejak diketahui tok sisitasnya dijadualkan untuk dirusak pada 1999 dan dapat diperkirakan bahwa agen ini secara tetap berpotensi.menjadi daftar calon “senjata hayati”. Penyakit variola ini telah diketahui merupakan salah satu pembunuh terbesar dunia. Lebih kurang 4000 tahun lampau diperkirakan 10 juta orang mati karena penyakit ini.
Penyakit yang menjadi pembunuh besar lainnya adalah wabah pes (bubonic plague),.4) Yersinia pestis; mikroorganisme yang bertanggungjawab selama wabah pandemik abad pertengahan, itu Hampir sepertiga seluruh populasi daratan Eropah, kurang lebih 25 juta orang antara tahun 1346 dan 1350 mati karena penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini. Pentingnya cara penjalaran penyakit ini oleh kutu yang hidup pada hewan mengerat yang menggigit seseorang dan kemudian terinfeksi Yersinia pestis, karenanya penyakit wabah pes ini masih berpotensi disalahgunakan sebagai calon “senjata hayati”. Bakteri membelah berlipatganda dengan cepat dalam nodus limfa, tetapi tidak menular dan memiliki laju mortalitas 50 – 75%.
Beberapa calon mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai “senjata hayati” lainnya misalnya:
5) Salmonella typhi (penyakit-penyakit melalui makanan atau media air) dan tergantung dari jumlah minimum tertentu patogen dalam tubuh untuk menyebabkan gejala sakit. Salmonellosis yang disebabkan oleh bakteri jenis ini, rata-rata 47.500 kasus per tahun dijumpai di Amerika Serikat. Gejala penyakit ini umumnya dikenal dengan demam tiphus, yaitu diarhae, mual-mual, muntah dan demam tergantung dari virulensi strain Salmonella..
6) Francisella tularensis (demam kelinci) penyebab tularemia, dan 7) Brucella abortus (demam dan bacterimia), keduanya mampu menyebabkan infeksi fatal.
8) Virus Rabies dan 9) virus Ebola. Banyak diantara agen-agen yang menyebabkan penyakit selama beberapa hari atau minggu pemaparan dengan laju kematian yang tinggi.
Suatu sifat umum agen pembawa penyakit yang dapat disebarluaskan adalah dalam bentuk aerosol yang mudah menyebar luas serta menginfeksi secara sederhana dan cepat, Pada 1962., terjadi satu ledakan smallpox (cacar) lalu di negara-negara maju terjadi di Jerman.. Penyakit ini menginfeksi para pekerja Jerman sepulang dari Pakistan, terkena wabah cacar yang segera berkembang dan dirawat serta dikarantinakan.. Oleh karena batuk pasien tersebut, berakibat menginfeksi 19 orang menjadi tervaksinasi, setidaknya satu orang meninggal dunia,. Pada kassus lain di Sverdlovs Rusia, sekurangnya satu gram spora telah menyebar ke atmosfer dari fasilitas persenjataan, dan setiap orang disekitar area itu terimunisasi dan diberikan terapi antibiotik profilaksis segera setelah kasus anthrax pertama kali diketahui.
Sekitar 77 orang di luar fasilitas itu terjangkit anthrax sedang 66 individu lainnya mati. Pada tahun 1984 ekstrimis keagamaan di USA menginokulasi Salmonella dalam salad di 10 kedai makanan, yang telah menyebabkan 751 kasus salmonellosis makanan terjadi di daerah yang biasanya hanya 10 %.
Kabar terakhir Lembaga Genetika di Tashkent, Uzbekistan 1996 telah mengungkapkan hasil penelitiannya mengenai jenis jamur (fungi) yang menyerang sistem perakaran tanaman pertanian sebangsa opium poppies. Lembaga yang didukung oleh Dinas Militer Uni soviet ini pada masa itu ditugaskan sebagai pusat pengkajian peran mikroorganisme perusak tanaman pertanian. Pertanian opium merupakan tanaman penghasil bahan narkotika yang cukup tinggi nilai ekonominya, oleh karenanya seorang ahli penyakit tanaman berkevbangsaan Inggris Paul Rogers menyatakan adanya bukti baru penggunaan “senjata hayati” terhadap tanaman pertanian.
Dampak penyalahgunaan peran mikroorganisme
Penyalahgunaan peran mikroorganisme untuk kegiatan yang merugikan seperti halnya bioterorisme ini berdampak sangat luas. Pengawasan dan kewaspadaan terhadap bahaya bioterorisme yang harus selalu ditingkatkan dengan berbagai upaya pengembangan sidik-cepat dan upaya penanggulangannya merupakan kajian yang memerlukan biaya operasi cukup besar. Negara adidaya Amerika Serikat misalnya dalam tahun anggaran belanja 2002 harus menjatahkan dana sebesar lebih kurang 1.500. juta dolar. Dampak penyalahgunaan peran ini sangat meluas baik dari segi politik maupun ekonomi, keamanan, kesehatan dan bahkan peradaban suatu bangsa. Pemberlakuan hukum dalam rangka antisipasi keamanan warganegara dan atau undang-undang perdagangan dalam negeri negara adikuasa itu pun terhadap bahaya bioterorisme secara langsung ataupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara pengekspor komoditas ke negara maju. Rentetan administrasi dan registrasi yang harus memenuhi baku prasyarat keamanan bahaya bioterorisme itu berakibat penambahan prosedur dan beban ekonomi yang tidak saja makin berbelit dan biaya tinggi juga waktu dan tahap penyesuaian yang berlarut. Ironinya banyak dugaan dan ataupun isu yang berkembang asal muasal bioterorisme tidak lepas dari kondisi sosekpolkam negara berkembang dan kekhawatiran negara maju yang berlebihan..
Di lain pihak akhir-akhir ini digalakkan lagi pembuatan vaksinasi besar-besaran guna mengantisipasi aksi ini. engan pemberian vaksinasi dimungkinkan seseorang mengalami kekebalan permanen terhadap penyakit yang ditimbulkan spesies yang sama, meski sampai saat ini lebih kurang seperempat abad lalu penyakit ini dinyatakan telah musnah, misalnya penyakit cacar (variola).
Kesimpulan
Mikroorgansime sebagai bagian struktur biotik dalam ekosistem maupun biosfer memiliki peran besar dalam kehidupan umat manusia di planet bumi ini, yang berfungsi unik, sebagai pengurai atau dekomposer dalam tingkatan trofik ekosistem yang seringkali sangat bermanfaat bagi keberlanjutan kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Namun di pihak lain mikroorganisme dapat berakibat merusak dan kehancuran sendi-sendi kehidupan umat manusia itu sendiri bilamana manusia tidak dapat mengendalikannya ataupun diri manusia itu sendiri.
Bentuk penyalahgunaan peran mikroorganisme yang tidak sepatutnya seperti bioterorisme, dan sebaliknya yang seharusnya untuk kemaslahatan umat manusia, dapat berdampak sangat luas memasuki sendi-sendi kehidupan manusia
Daftar Pustaka
Atlas, RM and R. Bartha. 1999. Microbial Ecology : Fundamentals and Applications. Benjamin Cummings Publisher, USA.
Bioterorisme : URL http://www.ncid.htm 23 Mei 2003
Bioterrorism: URL: http://www.Cdc.gov/ncidod/EID/vol3no2/kaufman.htm 30 Maret 2003 ;
Enserink M and E. Marshall, 2002. News of the Week: Biodefense,Eternal-Universe Idea Comes Full Circle, Science, Vol 296 – 26 April 2002
Enserink M, 2002, News of the Week: Biological and Chemical Warfare, Science, Vol 298 – 18 October 2002
Jenifer Couzin, 2002. Focus: Bioterrorism, A Call for restraint on Biological data. Science, Vol. 297 - 2 August 2002
Kaiser, J, 2002. News of the Week: 2003 Budget, Bioterrorism Drives Record NIH Request. Science, Vol 295 – 1 February 2002
Madigan, MT, JM Martinko and J. Parker. 2000. Brock Biology of Microorganisms. Prentice. Hall Publishers USA.
Michell, R. 1992. Environmental Microbiology. John Wiley and Sons Inc Publisher NY.
Nester, E.W. and CN Sawyer, 2003. Microbiology: A Human Perspective. Mc GrawHill Inc. Publisher NewYork
Ollsnes S and Wesche, 2001. Science’s Compass: Perspectives Microbiology, Fighting Anthrax with a Mutant Toxin. Science, Vol 292 – 27 April 2001
Stone, R, 2000, News of the Week: BioterrorismExperts Call Fungus Threat Poppycock, Science, Vol 290 – 13 October 2000
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 17:42 0 comments
Labels: Tulisan Ilmiah
Japan Rice Trade
A. IDENTIFICATION
1. The Issue
This case involves the United States who demanded that Japan
replace all of its import bans and quotas on rice with tariffs, a
policy known as ratification, through the GATT Uruguay Round of
multilateral negotiations. On September 30,1993, the Japanese
government decided to go into the international rice market on a
major scale of the first time in three decades. Because of a cool,
wet summer growing season and an outbreak of blight, Japan faced
its worst rice harvest in the post war period --only 74% of the
amount of the previous period's harvest-- and was forced to
purchase, on an emergency basis, foreign rice in the coming 12
months --two metric ton, to one fifth of yearly consumption-- to
bridge this supply shortfall.
Consequently, Japan became the
largest rice importer in the world. On December 14, 1993 the
Japanese government accepted a limited opening of the rice market
under the GATT plan. Currently, 1994's bumper rice crop has
resulted in much of imported rice piling up, unused at warehouses
throughout the nation [Cordy, Jennifer."Growing Japanese Rice Glut
is Causing a Sticky Situation for Foreign Growers", Asian Wall
Street Journal Weekly (September 5,1994.): A4.] In 1994, Japan
harvested 11.98 million tons of rice in 1994, compared with 7.83
million tons last year.] (This is similar to Japan Apple Imports
case, see APPLE case).
2. Description
This case was actually involved in the bilateral trade negotiations
of the United States and Japan. The logic of US's demand for the
Japanese opening of the rice market was theoretically derived from
US's US$50 billion trade deficits with Japan [Smith, Charles.
"Staple of Dispute: Tokyo Hints at Concessions on Rice Trade," Far
Eastern Economic Review (vol.155. no.40, October 28, 1993.): 33.]
Therefore, this GATT proposal was seen as the one part that forms
a linkage of the US-Japan trade dispute. It was a symbolic issue,
representing "Japan's sagging, heavily regulated" market, along
with sectors such as medical equipment, telecommunications, and
insurance auto parts.[Sapsford, Jathon and Williams, Michael, "Panel
Proposes Basic Shift in Japan Economic Policy," Asian Wall Street
Journal Weekly (December 20,1993.): A7. ] Rice has encouraged the
world to blame Japanese protectionism for the country's vast trade
surplus.["The Voice of Rice: Korean for Protection," The Economist.
(vol.7841, no.329. December 11, 1993.):34.] Accordingly
manufactures have been major beneficiaries of the multilateral
trade regime and will not view a Japanese-instigated collapse of
the Uruguay Round with equanimity ["Away from the Brink: Japan on
Defensive as GATT Talks Look to Restart" Far Eastern Economic
Review. (December 23, 1992.): 53. For another example, Shinroku
Morohashi, chairman of Mitsubishi Corp., expressed his satisfaction
with the rice liberalization, saying "Hosokawa (prime minister) has
shown international common sense." ].On the other hand, Japan
argues that foreign rice must be barred to ensure self-sufficiency
in the country's food staple. From the international trade
perspective, only 3 to 4% of the world rice production --roughly
14metric tons-- goes for export. The US's share of world
production is 2%. [The Economist. "Starters-and-Stripes Sushi: Rice
Production," (November 27, 1993.):30.]
As the background of this dispute, the United States Rice Millers
Association (RMA) asked for a quota of up to 2.5% of the Japanese
market. Although the US Trade Representative (USTR) turned down this
request in October 1986, it agreed to put it on the agenda for the
Uruguay round of multilateral trade negotiations in 1987. Onward,
the US demanded the Japanese open the rice market via the 108
nation GATT. In 1993, the Clinton administration trade policymakers
indicated that the White House would act on petition under Sanction
301 if Japan decided to maintain its ban on rice. The Japanese
counterpart, the powerful Central Union of Agricultural
Cooperatives opposed strongly. Furthermore, opposition against
lifting the import ban came not only from farmers but also from
consumers. In the late 1993, Japanese were boiled over this
historical rice dispute.
For the Japanese, this case was focused from its self-sufficiency
point of view, as well as from the cultural implications of rice.
In 1989, Japan was the world's largest net agricultural products
importer and its self-sufficiency ratio has been slumped to 46% in
1991 (in comparison to France 143%, US 113%, W Germany 94%). The
Japanese consume 26% of the total calories from rice, the largest
source of caloric intake. However, it has dramatically decreased by
half, from that of in 1960 (50%). [Soda, Osamu. Fact about Japan:
Japanese Agriculture, (International Society for Educational
Information. Tokyo, 1993.):6.] Calorie self-sufficiency has
constantly declined after the World War II: in 1965, 73%, in 1985,
52%, and in 1991, 46%. Among the major products, such as wheat
(12%), soybean (4%), beef (52%), sugar (36%), only rice is the
self-sufficient (100%) product.[Soda, Osamu. Fact about Japan:
Japanese Agriculture, (International Society for Educational
Information. Tokyo, 1993.):4.] As of 1990, total Japanese
agricultural production had a value of 11.42 trillion yen broken
down as follows: rice 28%, livestock 27%, vegetables 23%, fruit 9%,
and others 13%[Soda, Osamu. Fact about Japan: Japanese Agriculture,
(International Society for Educational Information. Tokyo,
1993.):5. ].
Since the Japanese domestic rice price is as seven times as high as
the international rice price, ratification of rice might force the
Japanese to go out of farming. Accordingly the Japanese might not
achieve rice self-sufficiency in the 21st century. This raise
questions on the Japanese national security. Rice is also the
center of Japanese traditional village-based culture; for example,
in Japanese the word rice (gohan) means meal. For instance, in
Japanese "did you eat a meal?" is literally, "did you eat rice?"
Currently, the Japanese government predicts nation will not begin
substantial rice imports until late 1995, because there are ample
leftover supplies from the bumper 1994 domestic crop.["Japanese Say
Substantial Imports of Rice Unlikely Until Late 1995," Journal of
Commerce. (April 11 1995.):A5.]
3. Related Cases
Korean Case Korea also negotiated with GATT multilateral trade
negotiation for its opening of rice market. Korea accepted the same
agreement as Japan accepted, with 10 years moratorium period. Prime
Minister Kim Young Sam apologized to farmers for ending government
protection of the market and eliminating subsidies.[Shanda Islam.
"A Deal, of Sorts: GATT Comes up with an 11th-Hour Global Trade
Accord." Far Eastern Economic Review. (vol.156. no.50. December
23, 1993.):54.] However this decision impact on Korea much worse
than on Japan. In Korea the portion of rice producer to the total
GNP is 3.1%, whereas Japanese counterpart is only 0.6% in
1991[Hasegawa, Hiroshi. "Read the Six Years; After the Opening Rice
Market (Kome Koaiho Rokunengo O Yomu)." in Asahi Shinbun Weekly
AREA ( December 20, 1993. Tokyo.):16-17]. Korean farmers' one forth
of income is derived from rice; on the contrary in Japan, it
consist of only one eighth of income. According to an estimate of
Korean Foreign Economic Institute, as a result of this concession,
Korea could correct its trade surplus to US by 1400 million dollar
a year. On the other hand, Korean farmers would lose 50 million
dollar a year[Ibid. p.16.].
(1) Keyword Clusters
(1): Trade Product = Rice
(2): Bio-geography = Temp
(3): Environmental Problem = Habitat Loss
4. Draft Author: Junko Saito
B. LEGAL Clusters
5. Discourse and Status: Agreement and Complete
Agreement was reached on December 15,1993. According to the
agreement, ratification of rice imports will come into effect after
a six-year period during which a fixed, but limited quantity of
rice (between 4%, 4m ton to 8%, 8m ton of total consumption [Smith,
Charles. "Rice Resolve: Tokyo Makes Last-Minute Concession on
Imports," Far Eastern Economic Review (vol.156. no.50, December
23, 1993.): 14. ]) will be imported. This implementation might
affect on the Food Control Law, which provides the government with
strong power over the rice market and allows it to restrict
imports. It was originally legislated during the World War II, to
centralized the authority of providing food on the government. The
law either might have to be revised or given a new interpretation
to allow market forces to operate.
6. Forum and Scope: Japan and Multilateral
7. Decision Breadth: MULTI (USA, Thailand, Myanmar, etc.)
Japanese participation in the world rice trade has significant
effects on world rice trade. Iwakura [The director general for
agricultural policy at the Liberal Democratic Party in Japan]
argues that the world market can not accommodate another major
importer. "If Japan were buy 1 million tones of rice in the next 12
months that would be certain to push prices sharply."[ ]Actually
international prices have been rising almost daily since it became
apparent that Japan would be a major player in the thin world
market for rice.[Smith, Charles. "Steamed Up : Japan's Rice-Import
Ban Stays, Despite Shortfall", Far Eastern Economic Review,
(vol.156. no.41, October 14, 1993.):73.]
On the other hand, suddenly the export of rice polishing equipment
is growing. Asian countries have begun to improve the quality of
their rice, in preparation for the expansion of the global rice
trade predicted in the wake of the Uruguay Round Agricultural
Agreement. Since Japanese equipment is said to be the best in the
world, in 1995 manufactures of rice polishing equipment expect an
increase of 30% of to 50% in the value of exports over 1994.[Japan
Agrinfo Newsletter, (vol.12, no.6, International Agricultural
Council, Tokyo, February 1995): 5]
8. Legal Standing: TREATY
The GATT provision was invoked in this case. The Japanese
government shifted a ban on rice import in December 1993.
C. GEOGRAPHIC Clusters
9. Geographic Locations
a. Geographic Domain : ASIA
b. Geographic Site : EAST ASIA
c. Geographic Impact : JAPAN
10. Sub-National Factors: NO
11. Type of Habitat: Temperate [TEMP]
D. TRADE Clusters
12. Type of Measure: QUOTA [QUOTA] Japan will import 4 % (4 metric
ton) to 8% (8 metric ton) of rice from 1994 to 2000. This quota is
called as "minimum access clause" and this is the previous
moratorium stage toward tariffication.
13. Direct vs. Indirect Impacts: Indirect
14. Relation of Measure to Environmental Impact
a. Directly Related : YES
b. Indirectly Related : No
c. Not Related : No
d. Process Related : YES (Rice Paddy Loss)
15. Trade Product Identification: Agricultural Production, Rice
16. Economic Data
Total farmers/Total Japanese population : 10.9% (1991)
Number of farming house holds: 3.8 million 3.1% (1991)
Agricultural products/total GNP: 2.4% (1991)
Rice production/total GNP: 0.6% (1991)
Rice income/total agricultural income per house hold: 4.0% (1991)
Full time farmer/ Part time farmer : 12.1% (1991)
Rice paddy/ Japanese total land: 13.7% (1992)
17. Impact of Measure on Trade Competitiveness: BAN
18. Industry Sector: FOOD
19. Exporter and Importer US and Japan
The agricultural Ministry planed to import 200.000 metric tons of
foreign rice by the end of 1993, mainly from Thailand. Japan
imported 500.000 to 600.000 metric tons of rice from Thailand in
1994. The rest purchased from the US and China.[Owens, Cynthia.
"Thai Could Get Gob Boost if Japan Opens Rice Market." Asian Wall
Street Journal Weekly. (December 13, 1993.): A20.] Only 3-4% of
world rice production -roughly 14m tones- goes for export.
American's share of export world production is barely 2%, yet, it
ships out about 18% of all the rice in international trade, a
proportion second only to Thailand's.[The Economist. "Starters-and
-Stripes Sushi: Rice Production," (November 27, 1993.):30 ] The
international rice market itself is thin, no homogeneous, and
highly influenced by trade restrictions. The "thin market" problem
of rice trade is compounded by the fact that many consumers prefer
specific types and qualities of rice.[Gail L. Cramer, Eric J.
Waules, and Shangna Shui. "Impact of Liberalizing Trade in the
World Rice Market." American Journal of Agricultural Economy.(
vol.75. Feburuay,1993):219 ]
E. ENVIRONMENT Clusters
20. Environmental Problem Type: Source Problem [DEFOR] (potential
rice paddy loss)
Rice paddies contributes to maintain Japanese environmental
condition through the securing of greenbelt zones and the water
purification and groundwater enrichment.
21. Name, Type, and Diversity of Species
Name: Rice
Type: Japonica rice
Diversity: NA
Two major rice types are indica and japonica. Strong consumer
preferences for particular rice types are based primarily on
cooking and taste characteristics. Japonica rice is relatively
sticky when it cooked and has shorter, thicker grain. It also
called "short rice."
22. Impact and Effect: LOW and Scale
23. Urgency and Lifetime: MEDIUM / several years
24. Substitutes: CONSV
VI. OTHER Factors
25. Culture: Yes
For the Japanese the symbolic importance of rice is deeply rooted
in the Japanese cosmology: rice as soul, rice as pure money, and
ultimately, rice as self. During Edo era (1603-1867), rice was
circulated as intermediate, money. Sushi is one of the
traditional cooking methods. Originally, it was one way to
preserve fish, putting rice and fish alternately in a wooden pail,
for fermenting. Nowadays this kind of sushi is called
"oshi-shushi."
Even though the Japanese had the custom of eating rice since
ancient times, only after the nineteenth century, did rice became
the national food staple. Therefore rice has been valued as a
special food, associated with rituals. Rice harvest rituals, both
among the folk and at the imperial court, have been a major
cultural institution.
The Japanese emperor originally was the
shaman who celebrated rice harvest in ancient times. Harvest ritual
celebrate cosmic rejuvenation through an exchange of their souls,
that is, selves, as objectified in rice. People believed that rice
had mysterious super-natural power. One example can be seen in an
ancient custom; people shook rice in bamboo and let the dying
person hears the sound at his deathbed. On mountainsides, people
called rice "the Buddhist saint (Bosastu)." The word "offering (to
the God)," osonae, itself used to refer to the rice cake prepared
for ritual services. It means that the rice had been used as main
servings for the formal rituals to God.
Rice is not a mere grain,
rather a personified thing that has soul. People perceived rice
cropping to be closely connected to the super-natural, religious
behavior, rather than an economic activity.
Rice farmers had a
notion of "ina-dama," the soul of rice, and personified a rice.
Therefore even today, people believe that the soul of rice, which
is called the God of rice paddy, dwell in the last rice stubble.
The person who reaped the last rice would bring it back home and
hold service. This custom is still practiced at the rice harvest
rituals.
Rice paddies have been a common theme portrayed in woodblocks
prints, printings, and contemporary posters in travel agents'
offices to attract urbanites to "the countryside." They have been
intimately portrayed in the representation of agriculture, the
countryside, the seasons, and the past. As a metaphor for self,
rice paddies are our ancestral land, our village, our region, and
ultimately, our land, Japan. Therefore, the Japanese has strong
cultural attachments to rice.
26. Trans-Border: No
27. Rights: NO
28. Relevant Literature
Ohunuki-Tierey, Emiko. Rice as Self. (Princeton University Press.
1993.)
Avery, P. William. World Agriculture and the GATT. (Lynne Reinner
Publishers. 1993.)
Inoue, Hisashi. Inoue Hisashi no Kome Koza[Mr. Inoue's Lecture on
Rice.] (Tokyo, Iwanami Shoten. 1989.)
-------------- Zoku-Inoue Hisashi no Kome Koza [Mr. Inoue's Lecture
on Rice: Part II.] (Tokyo, Iwanami Shoten. 1991.)
References
Asahi Nenkan 1994 [Asahi Yearbook 1994] (Asahi Shinbun sha, 1993,
Tokyo.):164-167.
The Economist. "Starters-and -stripes Sushi: Rice Production,"
(November 27, 1993.):30.
---------------. "The Voice of Rice: Korean for Protection,"
(vol.7841, no.329. December 11,1993.): 33-34.
---------------. "Ricable: World Trade," (vol.7831. no.329. October
2, 1993): 75-76.
Freidland, Jonathan and Smith, Charls. "Staple of Dispute: Tokyo
Hits at Concessions on Rice Trade," Far Eastern Economic Review.
(vol. 156. no.43, October 28, 1993.): 22.
Gail L. Cramer, Eric J. Waules, and Shangna Shui. "Impact of
Liberalizing Trade in the World Rice Market." American Journal of
Agricultural Economy. (vol.75. February, 1993): 219-226.
Fukui, Yuki. "Japan agriculture on the Rips," Tokyo Business Today.
(vol.62, no.12. December
1994):28-29.
Hasegawa, Hiroshi. "Read the Six Years; After the Opening Rice
Market (Kome Koaiho
Rokunengo O Yomu)." in Asahi Shinbun Weekly AREA ( December 20,
1993. Tokyo.):16-17.
-------------------. "Jiristu seyo Kome Noumin[Rice Farmers, Be
Independent]," in Asahi Shinbun
Weekly AERA, (November 22, 1993. Tokyo.):26-28.
Machight, Susan. "Short Rice Crop Process Challenges, Opportunities
for Tokyo," Japan
Economic Institute Report.(no. 37b, October 8,1993.):8-10.
MacKnight, Sesame. "Short Rice Crop Posed Challenges, Opportunities
for Tokyo" Japan
Economic Institute, (no.37b. October 8,1993): 8-10
------------------. Japan Agrinfo Newsletter, (vol.11, no.12,
International Agricultural Council,
Tokyo, August 1994): 5-6.
Islam, Shanda. "A Deal, of Sorts: Gatt Comes up with an 11th-Hour
Global Trade Accord. "Far
Eastern Economic Review. (vol.156. no.50. December 23, 1993.):54.
Japan Agrinfo Newsletter, (vol.12, no.6, International Agricultural
Council, Tokyo,
February1995): 5.
Smith, Charles. "Rice Resolve: Tokyo Makes Last-Minute Concession
on Imports," Far Eastern
Economic Review ( vol.156. no.50, December 23, 1993.): 14.
-------------. "Steamed Up : Japan's Rice-Import Ban Stays, Despite
Shortfall", Far Eastern
Economic Review, (vol.156. no.41, October 14, 1993.):73.
-------------. "Staple of Dispute: Tokyo Hints at Concessions on
Rice Trade," Far Eastern
Economic Review ( vol.155. no.40, October 28, 1993.): 33.
Soda, Osamu. Fact about Japan: Japanese Agriculture, (International
Society for educational
Information. Tokyo, 1993.):1-8.
Yamagata, Yuichiro. "Probing the Impact of the Uruguay Round" Tokyo
Business Today.
(April 1993.):34-36.
Wander, Berber. "Rice Decision Strains Coalition Unity, Jeopardized
Political reform" Japan
Economic Institute Report.(no. 46b, December 17, 1993.):5-7.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 16:32 0 comments
Labels: Kebijakan Pemerintah Jepang
Monday, 14 January 2008
Regulasi impor rempah-rempah di Jepang
1. Tinjauan Pasar Jepang
Orang Jepang banyak menggunakan rempah-rempah (HS.090..) Karena dianggap selain untuk menambah cita rasa makanan juga untuk melancarkan pencernaan. Sehingga Jepang mengimpor rempah-rempah dalam jumlah cukup signifikan. Bentuk rempah-rempah yang biasa digunakan rumah tangga di Jepang adalah dalam bentuk powder (bubuk) dan pasta yang dikemas dalam tube dan dalam kemasan lainnya.
Rempah-rempah yang paling banyak digunakan orang Jepang adalah olahan wasabi (green horseradish), mustard, lada hitam, lada putih, cabe bubuk, bumbu kari. Sedangkan rempah-rempah lainnya yang juga biasa diimpor adalah: cardamom (kapulaga), cinnamon (kayu manis), cloves (cengkeh), coriander (ketumbar), nutmeg (pala), turmeric (kunyit) dan biji vanilla.
Produksi dari rempah-rempah yang dapat diimpor dikategorikan dalam 2 kategori yaitu produk yang sudah diolah (processed) dan semi olahan (semi-processed). Produk yang sudah diolah (final) adalah produk yang sudah dimasukkan kedalam kemasan dan siap untuk dipasarkan sedangkan pada produk semi olahan, rempah-rempah mentah (belum diolah) yang dicampur dengan rempah-rempah lainnya untuk diolah kembali oleh industri makanan. Informasi dari the Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF) permintaan akan rempah-rempah semi olahan peningkatannya cukup proposional.
Jepang mengimpor rempah dari beberapa negara, yang terbanyak dari Malaysia sedangkan Indonesia berada pada urutan ke 4 setelah China dan India. Jenis komoditi rempah-rempah yang mempunyai nilai dan volume terbesar adalah lada dan cabe bubuk. Impor dari Indonesia yang paling banyak adalah pala, lada dan kunyit.
2. Peraturan Impor
Peraturan dan prosedur impor rempah-rempah untuk makanan mengacu pada the Plant Protection Law and the Food Sanitation Law.
a. Plant Protection Law
Bertujuan untuk mengimpor dan mengekspor tumbuh-tumbuhan, seperti pada tanaman domestic diawasi dari penggunaan pestisida yang membahayakan, dan menjaga dari penyebaran penyakit tanaman. Sedangkan rempah-rempah yang diimpor dari luar negeri diwajibkan untuk menjalani pengawasan impor (karantina tanaman) sebagaimana ditentukan dalam peraturan ini.
Saat pengimporan, aplikasi Pengawasan Karantina Impor berikut sertifikat pengawasan yang dikeluarkan oleh pemerintah di Negara pengekspor harus diserahkan pada pos karantina tanaman saat kedatangan. Jika dalam pengawasan ditemukan serangga yang berbahaya, barang yang dipesan akan dikapalkan kembali ke Negara pengekspor. Namun, kunyit dan biji lada yang dikeringkan dibebaskan dari the Plant Protection Law, sama seperti rempah-rempah yang dikeringkan dan sudah dikemas untuk eceran.
b. Food Sanitation Law
Bertujuan untuk mencegah dari kondisi yang tidak sehat dan membahayakan yang mungkin timbul dari makanan dan minuman dan untuk meningkatkan dan mempromosikan sanitasi
kepada masyarakat.
Saat pengimporan, rempah-rempah diajukan ke pos karantina di pelabuhan pada saat melalui bea dan cukai berikut lampiran formulir Pemberitahuan Importasi Makanan.
Jika pengawasan kesehatan dianggap perlu sebagai hasil pengujian pada pemberitahuan dari importasi makanan, rempah-rempah akan diperiksa di bonded area dan importasi rempah-rempah diijinkan hanya apabila telah lolos uji. Pengawasan sanitari mungkin akan dibebaskan jika rempah-rempah sudah diawasi secara sukarela oleh organisasi pengawas domestik yang ditunjuk dan organisasi pengawas umum di negara pengekspor.
3. Prosedur dan Peraturan Penjualan
Pada saat spices dikemas dalam kemasan untuk eceran di Jepang, berikut adalah informasi yang diperlukan pada pelabelan untuk semua produk sesuai dengan Food Sanitary Law the Measurement Law and the Law Concerning Standarization and Forestry Products :
a. Nama produk
b. Bahan baku (Jika hanya satu bahan yang digunakan, dapat diabaikan)
c. Berat bersih
d. Tanggal kadaluarsa
e. Bahan tambahan (jika ada)
f. Metode penyimpanan
g. Nama dan alamat importer atau distributor
h. Negara asal (Jika spices langsung diimpor) Label harus dicantumkan pada kemasan dan dapat terlihat tanpa harus membuka kemasan atau pembungkus.
4. Rekomendasi
Saat eksportir mempertimbangkan untuk memperkenalkan produknya ke Jepang, sangat perlu untuk membentuk sistim kerjasama dengan importer Jepang atau pabrik/industri rempah-rempah yang mengerti secara baik pasar rempah-rempah Jepang, konsumen yang membutuhkan, system distribusi, dan peraturan yang berlaku. Melalui komunikasi yang terbuka dengan importer domestik dan industri rempah-rempah, eksportir akan mengetahui dan memahami kebutuhan konsumen Jepang dan memperoleh petunjuk dan cara yang lebih efektif untuk memperkenalkan produknya.
Pada saat merencanakan untuk menjual rempah-rempah dan hanya sedikit mengetahui pasar Jepang, dimana di negara tersebut rempah-rempah digunakan dalam jumlah besar dan harus melayani begitu banyak referensi.
Jika alasan-alasan mengapa spices diterima dan dapat dipakai di Jepang, pengenalan pasar sangat bermanfaat untuk studi lebih lanjut. Jika spices digunakan untuk memelihara kesehatan dimana pasar, eksportir membangun sebuah kesempatan untuk memperkenalkan rempah-rempah kepada pasar Jepang, dimana para konsumen akan berorientasi pada peningkatan kesehatan.
5. Organisasi Terkait
Instansi pemerintah terkait :
a. Food Industry Promotion Division General Food Policy Bureau Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries 1-2-1 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-0013, Phone : +81-03-3502-8111
b. Plant Protection Division Agricultural Production Bureau Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries 1-2-1 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-0013, Phone : +81-03-3502-8111
c. Plicy Planning Division, Departement of Food Sanitation Ministry of Health, Labor and Welfare 1-2-2 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-0013, Phone : +81-03-5253-1111
d. Weight and Measures Administration Council Industrial Science and Technology Policy and Environtment Bureau Ministry of Economy, Trade and Industry 1-1 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-0013, Phone : +81-03-3501-8111
Organisasi perdagangan terkait:
a. Japan Flavor & Fragrance Manufactures’ Association (JFFMA)
Ninjin Bldg, 6F, 4-7-1 Nihonbashihon-cho, Chou-ku Tokyo 103-0023, Phone +81-03-3663-2471
b. Ali Nippon Spice Association (ANSA)
c/o Tokyo Sales Office,K, Kobayashi & Co, Ltd. 2-13-1 Nishigahara, Kita-ku, Tokyo 114-0024, Phone : +81- 03-3940-2791
c. Japan Mustard Co-operative
c/o Nihon Shokuryo Shinbun Co, Ltd. 1-9-9 Yaesu, Chou-ku, Tokyo 103-0028, Phone : +81-03-3271- 4815
d. Japan Dried Vegetables Association (JDVA)
M-1 Bldg, 3F,3-4-1 Nihonbashi Kayaba-cho, Chuo-ku, Tokyo 103-0025, Phone : +81-03-3669-0286
Industri rempah-rempah dan Importir:
a. House Food Industrial Co, Ltd
6-3 Kioi-cho, Chiyoda-ku, Tokyo 102-8560, Phone : +81-03-3668-0551
b. S&B Food Inc
18-6 Nihonbashi Kabuto-cho, Chuo-ku, Tokyo 103-0026, Phone : +81-03-3668- 0551
c. Yasuma Co, Ltd.
5-23-2 Nishi-Gotanda, Shinagawa-ku, Tokyo 141-0031, Phone : +81-03-3490-5211
d. Gaban Spice Co, Ltd
Tsukiji Shimizu Bldg, 3F, 3-7-10 Tsukiji, Chou-ku, Tokyo 104-0045, Phone : +81-03-3345-6741
e. Kaneka Sun Spice Co, Ltd.
1-10-19 Juso-Higashi, Yodogawa-ku, Osaka-shi, Osaka 532-0023, Phone : +81-06-6306-0311
f. Amari Koshin Shokuhin Co, Ltd.
13-295 Shin-machi, Fushimi-ku, Kyoto-shi, Kyoto Pref, 612-8081, Phone : +81-075-621-2447
Sumber Referensi : Japan External Trade Organization (JETRO)
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 11:58 1 comments
Labels: Pasar Produk Pertanian
Monday, 7 January 2008
Ranking Pertama masuk Jepang produk pertanian ASEAN
Sebagai bahan kajian negara-negara ASEAN telah dikumpulkan data tentang produk pertanian dan perikanan serta hasil olahannya yang diekspor ke Jepang pada tahun 2006 yang bersumber dari Japan ASEAN Center.
Ekspor dari Indonesia ke Jepang yang menduduki urutan teratas adalah sebagai berikut:
1. Technically specified natural rubber (TSNR) (Commodities Code: 4001.22-000)
Indonesia berperan memberikan bagian (share) terbesar yaitu sebanyak 69,2% senilai 79 milyar 51 juta yen, urutan kedua diduduki Thailand memberikan share 29,0%, dan urutan ketiga Vietnam dengan share 1,1%.
2. Fillets of Marine, Frozen (Commodities Code: 0304.20-093)
Indonesia memberikan share terbesar yaitu sebanyak 69,2% senilai 559 juta yen, urutan kedua diduduki Vietnam memberikan share 18,2%, dan urutan ketiga Taiwan dengan share 5,3%.
3. Nutmeg (Commodities Code: 0908.10-100,210,220)
Indonesia memberikan share terbesar yaitu sebanyak 84,8% senilai 373 juta yen, Urutan kedua diduduki Malaysia memberikan share 12,8%, dan urutan ketiga Sri Langka dengan share 1,8%.
Ekspor dari Malaysia ke Jepang yang menduduki urutan teratas adalah sebagai berikut:
1. Palm oil and its fraction (Commodities Code: 1511.10-00,90-090)
Malaysia berperan memberikan share terbesar yaitu sebanyak 99,3% senilai 27 milyar 86 juta yen, urutan kedua diduduki Singapura memberikan share 0,6%, dan urutan ketiga Indonesia dengan share 0,1%.
2. Palm Kemel oil (Commodities Code: 1513.21-100,29-100)
Malaysia memberikan share terbesar yaitu sebanyak 99,6% senilai 3 milyar 973 juta yen, urutan kedua diduduki Singapura memberikan share 0,4%, dan urutan ketiga U.S.A dengan share 0,1%.
3. Palm Stearin not chemically modified (Commodities Code: 1511.90-010)
Malaysia memberikan share terbesar yaitu sebanyak 99,5% senilai 1 milyar 281 juta yen, urutan kedua diduduki Singapura memberikan share 0,4%, dan urutan ketiga China dengan share 0,1%.
4. Sago Starch, dextrin glue, dissolve starch, roasted starch or starch glue for ”the pooled quota” (Commodities Code: 1108.19-011,012)
Malaysia memberikan share terbesar yaitu sebanyak 99,6% senilai 553 juta yen, urutan kedua diduduki Indonesia memberikan share 0,4%, dan urutan ketiga tidak ada.
Ekspor dari Thailand ke Jepang yang menduduki urutan teratas adalah sebagai berikut:
1. Smoked sheet of natural rubber (Commodities Code: 4001.21-000)
Thailand memberikan share terbesar yaitu sebanyak 94,6% senilai 64 milyar 709 juta yen, urutan kedua diduduki Malaysia memberikan share 2,7%, dan urutan ketiga Indonesia dengan share 2,5%.
2. Other natural rubber, not latex, in plates, sheet or strip (Commodities Code: 4001.29-000)
Thailand memberikan share terbesar yaitu sebanyak 73,5% senilai 20 milyar 853 juta yen, urutan kedua diduduki Indonesia memberikan share 18,1%, dan urutan ketiga Vietnam dengan share 4,7%.
3. Vulcanized rubber tread and cord (Commodities Code: 4007.00-000)
Thailand memberikan share terbesar yaitu sebanyak 72,2% senilai 1 milyar 730 juta yen, urutan kedua diduduki Singapura memberikan share 17,9%, dan urutan ketiga Malaysia dengan share 9,0%.
4. Manioc (Cassava) Starch (Commodities Code: 0714.10-110,210,290)
Thailand memberikan share terbesar yaitu sebanyak 91,0% senilai 3 milyar 113 juta yen, urutan kedua diduduki Vietnam memberikan share 8,9%, dan urutan ketiga Thaiwan dengan share 0,1%.
5. Young Coconut (Commodities Code: 2005.90-221,229)
Thailand memberikan share terbesar yaitu sebanyak 96,7% senilai 448 juta yen, urutan kedua diduduki China memberikan share 3,2%, dan urutan ketiga Vietnam dengan share 0,1%.
6. Durians, fresh (Commodities Code: 0810.60-000)
Thailand memberikan share terbesar yaitu sebanyak 100% senilai 121 juta yen, urutan kedua dan ketiga tidak ada.
Ekspor dari Vietnam ke Jepang yang menduduki urutan teratas adalah sebagai berikut:
1. Sesame oil and its Fraction (Commodities Code: 1515.50-100,200)
Vietnam memberikan share terbesar yaitu sebanyak 52,9% senilai 379 juta yen, urutan kedua diduduki China memberikan share 42,1%, dan urutan ketiga Singapura dengan share 1,8%.
2. Sweat potatoes, frozen (Commodities Code: 0714.20-100)
Vietnam memberikan share terbesar yaitu sebanyak 48,0% senilai 139 juta yen, urutan kedua diduduki China memberikan share 40,2%, dan urutan ketiga Indonesia dengan share 11,9%.
3. Shrimps and prawns (Commodities Code: 0306.13-000)
Vietnam memberikan share terbesar yaitu sebanyak 22,9% senilai 52 milyar 108 juta yen, urutan kedua diduduki Indonesia memberikan share 20,2%, dan urutan ketiga India dengan share 11,5%.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 20:46 0 comments
Sunday, 6 January 2008
Peran Pelaku Perlindungan Tanaman
PERAN PELAKU PERLINDUNGAN TANAMAN DALAM PASAR INTERNASIONAL PRODUK-PRODUK HORTIKULTURA INDONESIA [1]
Oleh: Soekirno [2]
I. Pendahuluan
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Indonesia (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden RI pada tahun 2005 yang lalu mengamanatkan bahwa sektor pertanian secara luas dijadikan andalan dalam pembangunan nasional. Selain memberikan sumbangan yang besar dalam perekonomian nasional, sektor pertanian juga berperan secara signifikan dalam penyerapan tenaga kerja, khususnya di pedesaan.
Secara nasional, fokus pengembangan produk dan bisnis PPK mencakup lingkup kategori produk yang berfungsi dalam hal (Anonim, (?)):
a. Membangun ketahanan pangan, yang terkait dengan aspek pasokan produk, aspek pendapatan dan keterjangkauan, dan aspek kemandirian.
b. Sumber perolehan devisa, terutama yang terkait dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar internasional.
c. Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, terutama yang terkait dengan peluang pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik.
d. Pengembangan produk-produk baru yang terkait dengan berbagai isu global dan kecenderungan pasar global.
Dari empat fokus pengembangan tersebut, fokus ketiga dan keempat secara jelas mengangkat produk/komoditas hortikultura sebagai salah satu unggulan. Fokus pengembangan kesempatan usaha dan pertumbuhan baru antara lain dimulai pada produk-produk hortikultura, disamping produk-produk lain. Sementara fokus pengembangan produk baru, salah satu produk yang digarap adalah biomedicine (biofarmaka). Biofarmaka merupakan salah satu kelompok komoditas hortikultura.
Kebijakan dan strategi umum yang diambil dalam pelaksanaan RPPK adalah pengurangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam berkelanjutan. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian dilakukan antara lain dengan praktek usaha pertanian yang baik (Good Agriculture Practices = GAP).
Untuk Mewujudkan RPPK, telah ditetapkan visi Pembangunan Pertanian tahun 2005 – 2009 (Anonim, 2006) yaitu: Terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, serta peningkatan kesejahteraan petani. Dalam mencapai visi yang telah ditetapkan tersebut, misi yang diemban adalah 1) Mewujudkan birokrasi pertanian yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, 2) Mendorong pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan, 3) Mewujudkan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi dan penganekaragaman konsumsi, 4) Mendorong peningkatan peran sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, 5) Meningkatkan akses pelaku usaha pertanian terhadap sumberdaya dan pelayanan, 6) Memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani dan pertanian dalam sistem perdagangan domestik dan global.
Dalam merumuskan visi dan misi pembangunan pertanian tersebut, Departemen Pertanian melandaskan diri pada ruh yang merupakan nilai dan jiwa (spirit) pembangunan dan penyelenggaraan pembangunan pertanian. Ruh yang melandasi penyelenggaraan pembangunan pertanian adalah bersih dan peduli. Bersih dimaksudkan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, amanah, transparan dan akuntabel. Peduli berarti memberikan fasilitas, pelayanan, perlindungan, pembelaan, pemberdayaan dan keberpihakan terhadap kepentingan umum (masyarakat pertanian) diatas kepentingan pribadi dan golongan, serta aspiratif.
Salah satu kebijakan pembangunan yang dilakukan langsung Departemen Pertanian adalah meningkatkan promosi dan proteksi pertanian, yang diarahkan antara lain peningkatan ekspor dan pengendalian impor. Kebijakan ini sudah barang tentu termasuk komoditas hortikultura.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengembangan hortikultura di Indonesia, arti penting atau posisi perlindungan tanaman dalam perdagangan produk hortikultura, dan tuntutan bagi sumberdaya manusia (SDM) perlindungan tanaman dalam perdagangan produk hortikultura tersebut. Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Sesuai dengan sifat hortikultura yang unik, pasar atau perdagangan hortikultura menjadi area kegiatan yang perlu mendapatkan perhatian yang memadai. Sementara dalam perdagangan inilah, perlindungan tanaman mempunyai peran yang unik pula.
II. Pengembangan Hortikultura di Indonesia
Hortikultura merupakan salah satu komoditas yang mempunyai peran yang penting dalam sektor pertanian, baik dari sisi sumbangan ekonomi nasional, pendapatan petani, penyerapan tenaga kerja maupun berbagai segi kehidupan masyarakat. Selama ini dikenal beberapa manfaat komoditas hortikultura dalam kehidupan masyarakat (Anomin, 2007), antara lain 1) Manfaat sebagai bahan pangan, 2) Manfaat di bidang ekonomi, 3) Manfaat di bidang kesehatan, dan 4) Manfaat di bidang budaya.
Kemanfaatan komoditas hortikultura sebagai bahan pangan, ditunjukkan oleh kandungan nutrisi yang berguna sebagai sumber-sumber energi, vitamin, mineral dan serat alami. Kemanfaatan di bidang ekonomi dapat dilihat secara nasional, regional maupun tingkat rumah tangga petani. Di tingkat nasional komoditas hortikultura menyumbang produk domestik bruto (PDB) maupun penyerapan tenaga kerja cukup signifikan. Nilai PDB ini sama dengan sekitar 21,17% dari PDB sektor pertanian, menduduki urutan kedua setelah subsektor tanaman pangan yang sebesar 40,75% (Sumber Ditjen Hortikultura). Selain sumbangan terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja, komoditas hortikultura berperan penting dalam perdagangan lokal, regional maupun nasional. Sementara di tingkat rumah tangga petani, hortikultura merupakan sumber pendapatan rumah tangga yang penting pula. Bahkan banyak diantara petani-petani hotikultura yang mempunyai kehidupan ekonomi yang cukup baik di pedesaan.
Kemanfaatan dalam bidang kesehatan dapat digambarkan peranannya dalam menjaga kesehatan, terutama terhadap penyakit-penyakit degeneratif. Pencegahan penyakit-penyakit diabetes, hipertensi, gangguan jantung dan penyakit-penyakit yang terkait dengan umur lanjut manusia, sangat dipengaruhi oleh konsumsi hortikultura. Berkembangnya semboyan kembali ke alam, semakin menegaskan manfaat hortikultura yaitu buah-buahan, sayuran dan biofarmaka dalam kesehatan. Selain itu, komoditas hortikultura juga mempunyai manfaat yang cukup penting dalam pengembangan kosmetik.
Di bidang budaya, komoditas hortikutura sangat erat berkaitan dengan keindahan rumah, perkantoran dan sarana umum (taman-taman, dan lain-lain), pesta-pesta dan upacara-upacara adat/keagamaan serta pariwisata.
Pada dasarnya, komoditas hortikultura dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan biofarmaka (tanaman obat-obatan). Komoditas hotikultura terdiri dari 323 jenis, yaitu buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, biofarmaka 66 jenis, dan tanaman hias 117 jenis. Mengingat banyaknya jenis komoditas yang harus ditangani dan berbagai pertimbangan strategis lain, selama ini pengembangan hortikultura diprioritaskan pada komoditas-komoditas unggulan yang ada.
Di tingkat nasional, komoditas unggulan tersebut adalah mangga, manggis, pisang, durian, jeruk, bawang merah, cabai merah, kentang, anggrek dan rimpang. Namun demikian, di tingkat daerah diberikan kesempatan untuk mengembangkan komoditas unggulan masing-masing sesuai keunggulan yang ada.
Sesuai dengan perkembangan situasi dan untuk lebih meningkatkan upaya pengembangan agribisnis hortikultura, ke depan akan dikembangkan kawasan-kawasan agribisnis hortikultura. Dalam pengembangan kawasan ini, komoditas unggulan menjadi tidak terbatas pada 10 unggulan nasional, tetapi komoditas-komoditas unggulan yang ada di masing-masing kawasan tersebut. Kawasan tidak dibatasi oleh batas administrasi, tetapi merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan hortikultura yang mempunyai kondisi ekosistem yang serupa, dengan jaringan infrastruktur yang menyatukan. Dengan pengembangan kawasan sebagai satu kesatuan pengembangan agribisnis hortikultura, diharapkan penyediaan bahan ekspor menjadi lebih terjamin.
Terdapat fokus-fokus kegiatan pengembangan hortikultura, yaitu peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk melalui penerapan budidaya pertanian yang baik (Good Agriculture Practices = GAP), penerapan manajemen rantai pasokan (Supplay Chaim Management = SCM), fasilitasi terpadu investasi hortikultura (FATIH), dan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura.
GAP merupakan panduan umum dalam melaksanakan budidaya secara baik. Dalam pelaksanaannya, GAP dilengkapi dengan Procedure Operational Standart (POS), yang spesifik komoditas dan lokasi secara lebih rinci. Dalam GAP/POS, berbagai praktek budidaya sejak dari perencanaan, pengelolaan lahan, budidaya sampai dengan panen dan pengelolaan secara keseluruhan distandarisasikan dengan baik. Penerapan GAP/POS harus dicatat secara baik sehingga dapat ditelusuri balik (prinsip traceability).
GAP/POS pada prinsipnya merupakan panduan budidaya agar mampu menghasilkan produksi yang tinggi, bermutu baik, aman dikonsumsi, efisien dalam berproduksi dan memanfaatkan sumberdaya, kelestarian lingkungan terjamin sehingga mampu mempertahankan sistem produksi secara berkelanjutan dan memberikan kesejahteraan kepada petani. Penerapan GAP/POS diharapkan mampu meningkatkan daya saing dalam perdagangan. GAP/POS menjadi salah satu sistem jaminan mutu produk-produk pertanian, khususnya hortikultura. Terhadap komoditas buah-buahan, telah diterbitkan Permentan nomor 61/Permentan/OT.160/11/2006 tanggal 28 November 2006, untuk menjadi landasan pelaksanaannya di lapang.
Secara teknis operasional di lapang, penerapan GAP/POS sangat terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan penerapan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) maupun sistem pengelolaan pestisida secara baik. Titik-titik kendali penilaian pelaksanaan GAP/POS, sangat terkait erat dengan teknik-teknik pelaksanaan PHT dan sistem pengelolaan pestisida yang baik. Bahkan hampir 30% titik kendali penilaian tersebut terkait dengan masalah pestisida. Penerapan PHT merupakan bagian yang penting dan vital dalam penerapan GAP/POS.
Penerapan manajemen rantai pasokan (SCM) dimaksudkan untuk mengelola jejaring organisasi yang saling tergantung dalam suatu rantai pasokan produk hortikultura, sehingga memberikan keuntungan yang seimbang di antara berbagai anggota rantai dan meningkatkan daya saing. Dalam SCM ini tercakup pengelolaan sejak dari hulu sampai hilir, sejak dari sistem produksi sampai dengan konsumen.
Untuk lebih mendorong pengembangan agribisnis hortikultura, dikembangkan kawasan-kawasan agribisnis hortikultura. Kawasan pengembangan ini secara geografis merupakan satu kesatuan kawasan agribisnis hortikultura yang mencakup berbagai komoditas unggulan hortikultura setempat, tanpa dibatasi sekat-sekat batas administrasi daerah. Dengan demikian, kawasan akan merupakan suatu “kebun produksi” yang mempunyai skala ekonomi yang besar. Berbagai jaringan pendukung agribisnis hortikultura berada dalam satu kesatuan wilayah kawasan tersebut, membentuk suatu wilayah agribisnis hortikultura yang menguntungkan semua pihak, berdaya saing dan berkelanjutan.
Dalam upaya pengembangan agribisnis hortikultura diperlukan dukungan dari berbagai sektor, termasuk swasta dan berbagai pelayanan. Oleh karena itu dikembangkan fasilitasi terpadu investasi hortikultura (FATIH), yang merupakan jejaring kerja berbagai institusi pemerintah, swasta, permodalan dan lain-lain di suatu wilayah agribisnis hortikultura. FATIH diarahkan untuk mendorong dan memfasilitasi investasi dalam pengembangan hortikultura.
Selain itu, dalam pengembangan hortikultura juga dilakukan peningkatan SDM, kelembagaan, maupun penerapan teknologi yang lebih baik dan tepat guna.
III. Perlindungan Tanaman Hortikultura dan Pasar Produk-produk Hortikultura
1. Kebijakan Perlindungan Tanaman Hortikultura
Perlindungan tanaman pada prinsipnya mempunyai peran dalam menjamin agar kuantitas produksi mencapai sasaran yang telah ditetapkan, kualitas produk yang baik dan keberlanjutan produksi serta berperan dalam mendukung perdagangan produk hortikultura. Pada komoditas hortikultura, peran tersebut sangat terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan sistem perdagangan global. Hal ini sangat terlihat pada berbagai persyaratan teknis produk hortikultura yang diperdagangkan, yang tidak dapat dipisahkan dengan persoalan perlindungan tanaman.
Pencapaian produksi hortikultura tidak terlepas dari gangguan-gangguan sistem produksi yang dialami di lapang. Berbagai serangan OPT dan gangguan akibat anomali iklim/bencana alam sering mengakibatkan kerugian hasil yang cukup besar, apalagi dilihat ditingkat petani secara individual. Dengan pengelolaan perlindungan tanaman yang baik, diharapkan gangguan-gangguan tersebut dapat dihilangkan atau diminimalisasikan, sehingga pencapaian target produksi tidak terganggu.
Serangan OPT atau cemaran biologi dan kimia yang digunakan dalam perlindungan tanaman sangat berpengaruh terhadap mutu produk hortikultura. Produk hortikultura dituntut mempunyai mutu yang tinggi, apabila akan diperdagangkan. Akibat serangan OPT yang menyebabkan produk rusak, berlubang, busuk, ukuran tidak optimal, maupun tampilan yang kurang optimal akan sangat berpengaruh terhadap standar mutu yang ditetapkan/diinginkan. Produk-produk hortikultura yang tetap membawa sisa-sisa OPT, apakah itu serangga, cendawan jelaga, patogen lain, juga berpengaruh terhadap pencapaian standar mutu yang diinginkan. Sementara itu, sisa-sisa/residu pestisida yang digunakan untuk pengendalian OPT, selain berbahaya juga berpengaruh terhadap standar mutu keamanan pangan. Standar mutu tersebut yang sangat dituntut oleh pasar (konsumen).
Banyak permasalahan dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan tanaman hortikultura, antara lain banyaknya komoditas hortikultura yang masing-masing disertai jenis OPT yang beragam pula. Sementara teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan OPT tersebut sangat terbatas. Bahkan teknologi budidaya komoditasnya dan identifikasi jenis OPT di masing-masing komoditas juga sangat terbatas. Selain permasalahan banyaknya jenis komoditas dan jenis OPT, jumlah dan kemampuan SDM yang menangani perlindungan tanaman juga sangat terbatas, dukungan saran prasarana yang belum optimal, pemahaman petani dan masyarakat terhadap upaya perlindungan tanaman secara benar belum memadai. Masih banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa perlindungan tanaman adalah persoalan yang rumit (karena menyangkut perikehidupan serangga dan organisme mikro), dan pengendalian OPT dipahami dengan cara yang sederhana yaitu dengan pestisida. Pada berbagai hal yang spesifik, sarana pengelolaan OPT juga belum tersedia/tidak tersedia.
Kebijakan Pemerintah dalam melaksanakan perlindungan tanaman sudah cukup jelas dan mempunyai dasar hukum yang kuat. UU nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman telah ditetapkan bahwa dalam pelaksanaan perlindungan tanaman harus dilakukan dengan sistem pengendalian hama terpadu, dan perlindungan tanaman menjadi tanggung jawab petani (masyarakat) bersama pemerintah.
PHT menitikberatkan pemanfaatan berbagai teknik pengendalian yang dikombinasikan dalam satu kesatuan program, sehingga dicapai keuntungan ekonomi yang maksimal, dan memberikan dampak yang aman bagi pekerja, konsumen dan lingkungan hidup. Secara prinsip, berbagai cara pengendalian diterapkan harus secara teknis efektif dan dapat diterapkan, secara ekonomi menguntungkan, secara ekologi aman dan secara sosial budaya dapat diterima.
Dalam pelaksanaannya, PHT mendorong untuk memanfaatkan dan memanipulasi unsur-unsur lingkungan alamiah demi terkendalinya populasi OPT berada pada kondisi yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi. Berbagai faktor lingkungan fisik dan biologi, seperti iklim, pengairan, suhu, musuh alami, agens antagonis dan lain-lain dieksplorasi dan dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam pengelolaan OPT. Pestisida yang berasal dari tumbuhan dieksplorasi untuk dimanfaatkan dalam menekan populasi OPT secara cepat.
Penggunaan pestisida, terutama pestisida kimia sintetik masih dibenarkan dalam prinsip PHT, seyogyanya penggunaannya proporsional dan bijaksana. Apabila berbagai cara pengendalian yang diterapkan tidak mampu mengatasi populasi OPT, pestisida dapat dimanfaatkan. Pada kasus-kasus tertentu, penggunaan seed treatment juga masih dilakukan. Namun penggunaan pestisida harus tetap mempertimbangkan efektivitas, efisiensi, keamanan terhadap konsumen, keamanan terhadap jasad bukan sasaran, polusi/pencemaran, dan lain-lain. Prinsip 6 tepat dalam penggunaan pestisida perlu mendapatkan perhatian. Dengan demikian prinsip pemanfaatan pestisida dengan residu minimum menjadi pertimbangan penting.
Selain pemanfaatan di lapang/ disistem budidaya, pestisida juga perlu mendapat perhatian yang besar dalam pengelolaannya. Prinsip pengelolaan pestisida secara aman, baik dalam pemilihan untuk penggunaannya, persiapan penggunaan, pasca penggunaan, pengelolaan sisa dan wadah pestisida, penyimpanan, dan lain-lain harus memenuhi kaidah-kaidah keamanan bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan.
Beberapa hal terkait dengan prinsip-prinsip penerapan PHT dan pengelolaan pestisida kimia sistetik tersebut sangat terkait erat dengan tuntutan pasar, terutama pasar global saat ini. Dalam GAP/POS, hal ini mendapatkan porsi yang sangat signifikan.
Perlindungan tanaman hortikultura terus berupaya mendukung ekspor dengan upaya-upaya pemenuhan standar mutu produk dan standar teknis lain yang terkait dengan perlindungan tanaman.
2. Tuntutan Pasar Produk Hortikultura
Tuntutan pasar terhadap produk hortikultura sangat ketat. Apalagi untuk produk-produk yang dikonsumsi dalam kondisi segar (bukan hasil olahan). Sebagian dari tuntutan pasar tersebut sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan perlindungan tanaman, baik secara langsung di lapang, dalam sistem pengelolaannya dan sistem perdagangan antar negara.
Pasar produk hortikultura segar secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi pasar tradisional, pasar modern dan pasar ekspor. Pasar tradisional termasuk pasar-pasar di pinggir jalan tidak/belum menuntut standar produk yang terlalu tinggi. Namun demikian, harga yang diberikan juga belum optimal. Pasar modern, yang dicirikan dengan bentuk pasar swalayan di kota-kota besar, menuntut standar mutu yang lebih tinggi, dan memberi harga yang secara relatif tinggi pula. Namun demikian, tuntutan standar mutu yang ada, sejauh ini masih terfokus pada mutu fisik produk. Produk dengan tampilan yang baik dan menarik masih menjadi pilihan utama konsumen. Standar mutu yang terkait dengan cemaran biologi dan cemaran kimia (residu pestisida) belum mendapatkan perhatian yang memadai. Kedepan, konsumen pasti akan semakin memberi perhatian yang lebih besar terhadap residu pestisida, seiring dengan kesadaran terhadap kesehatan.
Tuntutan pasar global merupakan tuntutan yang paling ketat dan sampai dengan saat ini paling sulit dipenuhi. Standar mutu produk yang diminta negara pengimpor (konsumen) semakin tinggi dan beragam. Buah dengan tampilan fisik yang baik saja belum tentu mampu memenuhi keinginan konsumen. Selain itu, selera konsumen terhadap cita rasa produk, sangat berbeda dari konsumen negara yang satu dengan yang lainnya. Keseragaman bentuk ukuran produk juga menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Disamping itu, kesinambungan pasokan merupakan salah satu tuntutan untuk menjamin kesuksesan pemasaran di luar negeri. Persoalannya banyak produk-produk hortikultura Indonesia yang bersifat musiman.
Produk-produk hortikultura yang menunjukkan tampilan yang kurang menarik banyak yang terkait dengan OPT. Akibat serangan OPT dan atau bekas-bekas dari keberadaan populasi OPT seringkali mengakibatkan produk tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Padahal banyak diantaranya yang mungkin secara ekonomi tidak menimbulkan kerugian usahatani.
Banyak negara-negara pengimpor produk hortikultura juga mensyaratkan batas residu yang ada dalam produk. Produk-produk yang mengandung residu pestisida melebihi batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan, akan ditolak masuk negara tersebut. Saat ini semakin banyak angka BMR yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) yang diadopsi berbagai negara importir. Tidak mustahil, angka BMR tersebut akan terus bertambah dan semakin kecil pula nilainya, seiring dengan tuntutan kesehatan yang diinginkan konsumen.
Selain tuntutan yang terkait dengan standar mutu produk yang secara langsung melibatkan praktek-praktek perlindungan tanaman, terdapat pula tuntutan persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh sistem perlindungan tanaman, khususnya dalam perdagangan internasional. Tidak/belum semua negara menerapkan persyaratan ini, tetapi dengan semakin gencarnya tuntutan penghilangan hambatan tarif dalam perdagangan bebas, nampaknya persyaratan teknis karantina ini menjadi semakin populer dan penting.
Dengan demikian, beberapa hal yang sangat terkait perlindungan tanaman dalam perdagangan internasional hortikultura antara lain standar mutu fisik, cemaran biologis, sistem jaminan mutu GAP/POS dan standar yang terkait dengan sanitari dan fitosanitari (SPS) termasuk residu pestisida.
3. Sanitari dan Fitosanitari (SPS)
Perjanjian sanitari dan fitosanitari (Sanitary and Phytosanitary = SPS) merupakan perjanjian dalam kerangka perdagangan internasional, komoditi pertanian yang mengatur tentang keamanan pangan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan. Perjanjian SPS merupakan salah satu bagian dari perjanjian dalam putaran Uruguay – GATT (belakangan menjadi WTO), khususnya untuk perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman. Perjanjian SPS diadminstrasikan oleh Committee on SPS Measures, yang merupakan forum konsultasi dimana anggota-anggota WTO secara reguler bertemu mendiskusikan tentang SPS Measures, dampaknya bagi perdagangan, penerapannya dan melakukan upaya-upaya menghindari terjadinya perselisihan.
Pada dasarnya terdapat tiga lembaga internasional yang menetapkan standar-standar yang terkait dengan Perjanjian SPS, yang sering disebut sebagai “Three Sisters” (Anonim, (?)) yaitu International Plant Protection Convention (IPPC), World Orgatization for Animal Health (OIE) dan Codex Alimentarius Commission (CAC).
IPPC diberi kewenangan oleh FAO, tetapi dalam pelaksanaannya melalui kerjasama antara pemerintah anggota dan Regional Plant Protection Organisation (di Asia Pasific, ada APPPC). Lembaga ini mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan untuk mencegah menyebar dan masuknya OPT pada tumbuhan dan produk tumbuhan, mempromosikan ketentuan-ketentuan pengendalian, dengan seminimal mungkin mengganggu perdagangan (trade). IPPC mengembangkan Internasional Standard for Phytosanitary Measures (ISPMs), yang merupakan standar-standar yang harus dipenuhi apabila memperdagangkan produk-produk hortikultura. Sampai dengan edisi terbitan tahun 2005, telah terbit 24 ISPM (secara lengkap tercantum pada lampiran).
Salah satu contoh ISPM tersebut adalah ISPM nomor 6 tahun 1997 tentang Pedoman Surveilans. Dalam pedoman ini, pelaksanaan surveilans harus dilakukan sesuai standar tertentu, OPT yang ditemukan diidentifikasi sampai dengan spesies oleh ahli yang dapat dipercaya, dan hasil surveilans disimpan dalam koleksi secara benar dilengkapi keterangan antara lain nama spesies, lokasi ditemukan, waktu dan lain-lain. Koleksi ini dijadikan bahan rujukan apabila terjadi keragu-raguan dan kesalahpahaman tentang keberadaan spesies OPT di suatu wilayah. Saat ini, terdapat kecenderungan negara-negara pengimpor produk hortikultura menginginkan pest list hasil surveilans untuk menentukan diterima tidaknya produk tersebut dan atau langkah-langkah pengelolaan dan tindakan karantina yang harus dilakukan.
WOAH (OIE) dibentuk untuk menetapkan standar-standar yang terkait dengan bidang kesehatan hewan.
CAC, merupakan lembaga kerjasama antara FAO dan WHO, yang mengembangkan dan mendorong penerapan standar-standar, code of practice pedoman dan rekomendasi yang mencakup semua aspek keamanan pangan. Dalam hal ini termasuk handling dan distribusi. Mandat CAC/Codex adalah melindungi kesehatan konsumen dan memastikan perdagangan pangan yang dilakukan secara fair. Dalam kaitannya dengan perlindungan tanaman, standar yang dibuat Codex adalah Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida.
4. Langkah-Langkah Yang Telah Dan Sedang Dilakukan
Beberapa langkah telah dan sedang dilakukan dalam upaya untuk memenuhi standar-standar yang terkait dengan perlindungan tanaman untuk mendukung ekspor produk-produk hortikultura. Upaya sosialisasi, pelatihan-pelatihan teknis, penerbitan bahan cetak/informasi, bimbingan teknis, penguatan kelembagaan perlindungan tanaman dilakukan dalam upaya menekan penggunaan pestisida yang tidak proporsional, sehingga residu pestisida minimum. Pengembangan penerapan PHT melalui SLPHT dan penerapan PHT skala luas, eksplorasi dan pengembangan penerapan agensia hayati, pengembangan penggunaan pupuk kompos + agensia hayati, pengembangan kelompok tani pengguna agens hayati, penguatan laboratorium agensia hayati di berbagai daerah turut mendukung pemenuhan standar-standar mutu produk. Penyelenggaraan SLPHT dan pengembangan penerapan agens hayati akan semakin ditingkatkan pada masa-masa yang akan datang.
GAP/POS merupakan salah satu andalan program pengembangan hortikultura. Dalam penerapannya, GAP/POS dan PHT dalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan salah satu persyaratan teknis petani/peserta GAP/POS adalah yang menerima pelatihan teknis dan atau SLPHT. Kedepan, semakin diprioritaskan bahwa penerapan GAP/POS adalah kelompok tani alumni SLPHT. Peran petugas perlindungan tanaman di lapang sangat penting dalam pendampingan petani dalam pelaksanaan GAP/POS.
Penyusunan pest list pada komoditas unggulan ekspor mendapatkan prioritas pelaksanaannya. Saat ini telah diselesaikan draft pest list untuk mangga di daerah-daerah sentra produksi dan spesies-spesies lalat buah di wilayah Kalimantan dan Jawa. Kedua kegiatan tersebut mendapatkan bantuan kerjasama teknis (mangga) dan teknis dengan pembiayaan (lalat buah) dari ACIAR (Australia).
Pelaksanaan surveilans, identifikasi dan pembuatan koleksi referensi juga dilakukan bekerjasama antara petugas Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, BPTPH, UGM, IPB, Barantan, BB Biogen (Litbang Deptan), BBPOPT dan ACIAR. Pada tahun 2007, diharapkan dapat diselesaikan pest list untuk manggis, durian, paprika, anggrek. Komoditas lain yang diharapkan juga dapat diselesaikan antara lain salak, pepaya, rambutan. Tahun 2008 direncanakan dapat diselesaikan untuk antara lain nenas, jahe, belimbing dan lain-lain.
Penyusunan Pest Risk Analysis = PRA (ISPM nomor 2 tahun 1995) telah dilakukan untuk mengendalikan masuknya nematoda sista kuning (Globodera rastochiensis = NSK) yang kemungkinan terbawa impor benih kentang dari Belanda dan OPT lain dari negara-negara lain.
Melalui Permentan nomor 37/2006 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-buahan dan atau Sayuran Buah Segar ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Permentan ini mengatur pemasukan buah dan sayuran buah segar, untuk mencegah masuk dan tersebarnya 31 spesies lalat buah yang belum ada di Indonesia. Pemasukan buah dan sayuran buah impor hanya diperbolehkan melalui 7 pintu pemasukan, yang mempunyai SDM dan infrastruktur karantina yang memadai, atau daerah lain yang menurut pertimbangan strategis dapat diterima.
Untuk memperkuat kemampuan Indonesia dalam memenuhi persyaratan-persyaratan SPS tersebut, terus digalang kerjasama dengan negara/lembaga donor dan Perguruan Tinggi Nasional dan Lembaga Penelitian Departemen Pertanian. Pelatihan-pelatihan teknis identifikasi spesies-spesies lalat buah, thrips, kutu putih, kutu kebul, cendawan cercosporoid, latihan-latihan pemantapan data base, latihan pemahaman tentang SPS diikuti staf Perlindungan Tanaman Hortikultura (dan Perguruan Tinggi, Barantan, BBPOPT) ke Malaysia, Thailand, Vietnam, Australia, China, selama periode 2005 – 2007. Khusus untuk pelatihan identifikasi lalat buah, telah lebih dari 30 staf yang mendapatkan pelatihan di Australia dan di dalam negeri.
Dalam upaya mengatasi lalat buah pada mangga sehingga mampu menembus pasar ekspor, tahun 2007 dimulai kerjasama dengan Jepang dalam kerangka program IJ-EPA untuk pelatihan-pelatihan dan bantuan peralatan Vapour Heat Treatment (VHT). Dengan pemanfaatan VHT, produk mangga segar dapat lolos dari persyaratan SPS yang terkait dengan keberadaan lalat buah.
IV. Tuntutan bagi SDM Perlindungan Tanaman
Dari paparan singkat dari bab-bab terdahulu, terlihat jelas bahwa perlindungan tanaman hortikultura mempunyai beberapa dimensi yang harus ditangani antara lain tanaman, OPT, iklim, lingkungan, sosial budaya, kesehatan maupun politik/administrasi perdagangan. Dimensi tanaman dan OPT sangat jelas bahwa perlindungan tanaman hortikultura menangani berbagai persoalan hubungan/interaksi antara tanaman dan OPT. Sementara dimensi iklim, terkait dengan hubungan langsung dan tidak langsung dengan situasi pertumbuhan tanaman dan populasi OPT. Dalam hal tugas fungsi kedinasan Direktorat, iklim terkait dengan dampak anomali yang terjadi, yang mengakibatkan bencana alam.
Dampak negatif terhadap lingkungan telah diketahui secara luas dalam penerapan perlindungan tanaman, terutama dampak negatif penggunaan pestisida. Selain dampak negatif kepada resistensi OPT, resurjensi, matinya organisme bukan sasaran, juga pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sisa-sisa penggunaan pestisida. Dimensi kesehatan manusia juga masih terkait dengan penggunaan pestisida, yaitu keberadaan residu pestisida pada produk-produk pertanian.
Dimensi sosial budaya masyarakat sangat terkait dengan pelaksanaan cara-cara pengendalian OPT yang dilakukan, apa dapat diterima apa tidak oleh masyarakat. Dimensi politik/administrasi perdagangan, sampai dengan saat ini terutama terfokus pada persyaratan-persyaratan perdagangan internasional produk-produk pertanian (hortikultura). Namun pada masa yang akan datang, kemungkinan besar persyaratan-persyaratan yang terkait dengan perlindungan kesehatan manusia menjadi fokus yang penting pada perdagangan hortikultura di dalam negeri, khususnya terkait dengan residu pestisida.
Dari berbagai dimensi perlindungan tanaman hortikultura tersebut, dimensi politik/administrasi perdagangan (internasional) merupakan salah satu dimensi yang cukup pelik. Sebagai salah satu instrumen pendukung perdagangan internasional, khususnya produk-produk hortikultura, perlindungan tanaman memerlukan SDM yang memahami berbagai hal, tidak saja ilmu-ilmu dasar entomologi dan fitopatologi, tetapi juga berbagai pengetahuan implementasi konsep-konsep perlindungan tanaman di tataran administrasi maupun lapangan.
Pengetahuan dan keterampilan dasar entomologi dan fitopatologi sangat diperlukan untuk kegiatan surveilans, identifikasi secara benar jenis OPT, misalnya dalam penyusuanan pest list, identifikasi OPT dalam pelabuhan-pelabuhan masuk produk impor, maupun penentuan cara-cara pengelolaan yang tepat. Khususnya dalam hal koleksi referensi, pengetahuan dasar proteksi termasuk dalam pembuatan dan pemeliharaan koleksi tersebut sangat diperlukan.
Pengetahuan bioekologi OPT, termasuk distribusi geografisnya dan teknologi pengelolaannya, disamping diperlukan untuk pengelolaan di lapangan, juga sangat diperlukan misalnya dalam penyusunan Pest Risk Analysis (PRA). Bioekologi, nilai ekonomi yang diakibatkan (kerusakan yang timbul, konsekuensi biaya pengelolaan dan lain-lain), upaya-upaya pengelolaan, mitigasi dan lain-lain harus dianalisis secara akurat.
Standar-standar perdagangan internasional yang terkait dengan perlindungan tanaman hortikultura merupakan persyaratan perdagangan yang perlu dipahami secara cermat dan baik. Pemahaman terhadap standar-standar tersebut, digabungkan dengan pemahaman pengetahuan dasar maupun pemahaman penerapan perlindungan tanaman secara umum, dijadikan suatu bahan dalam merumuskan langkah-langkah operasional pemenuhan persyaratan-persyaratan tersebut. Dalam operasionalisasi, pemenuhan persyaratan perdagangan internasional, terutama yang di tingkat lapang, perlu ditambah pemahaman yang baik kondisi pengelolaan tanaman, sosial ekonomi-budaya masyarakat, pengelolaan pestisida secara aman dan benar, organisasi pemerintahan dan masyarakat/petani, penyuluhan dan lain-lain. Karena pada dasarnya, operasionalisasi di tingkat lapang menghadapi masalah yang sangat kompleks.
V. Penutup
Perlindungan tanaman mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam ikut mendukung kelancaran perdagangan internasional produk-produk hortikultura. Berbagai persyaratan produk-produk hortikultura, untuk dapat diperdagangkan secara global sangat terkait dengan perlindungan tanaman. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain mutu fisik, mutu akibat cemaran biologi, mutu oleh adanya residu pestisida, mutu yang merupakan hasil proses produksi yang baik (GAP), maupun persyaratan yang sifatnya teknis administratif. Persyaratan teknis administratif tersebut antara lain persyaratan-persyaratan standar-standar fitosanitari yang telah ditetapkan oleh konvensi internasional pelindungan tanaman (IPPC). Sedangkan persyaratan yang terkait dengan mutu oleh adanya residu pestisida telah ditetapkan angka-angka batas minimum residu (BMR) pestisida oleh Codex Alimentarius Commission (CAC).
Melihat pentingnya dan strategisnya posisi perlindungan tanaman dalam perdagangan internasional hortikultura tersebut, dituntut keberadaan dan kesiapan SDM perlindungan tanaman, baik di lapangan, laboratorium maupun pada tataran kebijakan/administrasi. Pengetahuan-pengetahuan dasar proteksi, persyaratan-persyaratan perdagangan internasional, perumusan kegiatan dan operasionalisasi upaya-upaya pemenuhan persyaratan yang cukup kompleks tersebut perlu dipahami oleh para pelaku perlindungan tanaman dengan baik.
Jakarta, 10 Mei 2007
________________________________________
[1] Disampaikan pada seminar dalam rangka:”Plant Protection Show” Ikatan Mahasiswa Hama Penyakit Tumbuhan (IMHPT), Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta pada tanggal 13 Mei 2007. (Penyesuaian judul terhadap permintaan panitia: Peran Pelaku Perlindungan Tanaman terhadap Pertanian Indonesia di Pasar Internasional)
[2] Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian.
Jl. AUP, Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Bacaan
Anonim (?) Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta. 56 hal.
______ (?) The WTO Sanitary and Phytosanitary (SPS) Agreement. SPS Cap. Build. Program. AUSAID. 18 pgs.
______ (2002) Pedoman Teknis Perjanjian Sanitasi dan Fitosanitasi Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures WTO). Barantan, Deptan. Jakarta. 55 hal.
______ (2006) Agricultural Statistics. Statistical Pocketbook of Indonesia. 2006. MOA. Cent. of . Agric. Data and Info. Jakarta. 246 pgs.
______ (2006) International Standards for Phytosanitary Measures 1 to 24 (2005 edition). FAO-UN. Roma. 291 pgs.
______ (2006) Rencana Pembangunan Pertanian 2005 – 2009. Biro Perencanaan Departemen Pertanian RI. Jakarta. 88 hal.
______ (2007) Pedoman Khusus Pelaksanaan Kegiatan Utama Pengembangan Hortikultura Tahun 2007. Ditjen Hortikultura, Jakarta.
Lampiran
International Standards For Phytosanitary Measures (ISPMs), (Anonim, 2006)
ISPM No. 1. (1993) Principles of plant quarantine as related to international trade
ISPM No. 2. (1995) Guidelines for pest risk analysis
ISPM No. 3. (2005) Guidelines for export, shipment, import and release of biological control agents and other benefecial organisms
ISPM No. 4. (1995) Requirements for the establishment of pest free areas
ISPM No. 5. (2005) Glossary of phytosanitary terms
ISPM No. 6. (1997) Guidelines for surveillance
ISPM No. 7. (1997) Export certification system
ISPM No. 8. (1998) Determination of pest status in an area
ISPM No. 9. (1998) Guidelines for pest eradication programmes
ISPM No. 10. (1999) Requirements for the establishment of pest free places of production and free pest production sites
ISPM No. 11. (2004) Pest risk analysis for quarantine pests, including analysis of environmental risks and living modified organisms
ISPM No. 12. (2001) Guidelines for phytosanitary certificates
ISPM No. 13. (2001) Guidelines for the notification of non-compliance and emergency action
ISPM No. 14. (2002) The use of integrated measures in a system approach for pest risk management
ISPM No. 15. (2002) Guidelines for regulating wood packing material in international trade
ISPM No. 16. (2002) Regulated non-quarantine pests: concept and application
ISPM No. 17. (2002) Pest reporting
ISPM No. 18. (2003) Guidelines for the use of irradiation as a phytosanitary measure
ISPM No. 19. (2003) Guidelines on lists of regulated pests
ISPM No. 20. (2004) Guidelines for a phytosanitary import regulatory system
ISPM No. 21. (2004) Pest risk analysis for regulated non-quarantine pests
ISPM No. 22. (2005) Requirements for the establishment of areas of low pest prevalence
ISPM No. 23. (2005) Guidelines for inspection
ISPM No. 24. (2005) Guidelines for the determination and recognition of equivalence of phytosanitary measures
ISPM No. 25. (2006) Consignment in transit
ISPM No. 26. (2006) Establishment of pest free areas for fruitflies (Tephritidae)
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 19:36 1 comments
Labels: Seminar Pertanian