Latar Belakang
Sejak jaman dahulu sampai saat ini dan ke depan, pola pemeliharaan ternak
di Indonesia akan tetap didominasi oleh usaha peternakan berskala kecil dengan
karakteristik sebagai berikut:
1. Rata-rata kepemilikan ternak rendah;
2. Ternak digunakan sebagai tabungan hidup;
3. Dipelihara dalam pemukiman padat penduduk dan
dikandangkan di belakang rumah;
4. Terbatas lahan
pemeliharaannya sehingga pakan harus dicari di kawasan yang seringkali jauh
dari rumahnya;
5. Usaha beternak dilakukan secara turun temurun; dan
6. Jika tidak ada modal untuk membeli ternak, mereka
menggaduh dengan pola bagi hasil.
Peternak berskala kecil yang berjumlah 4.204.213 orang
pada tahun 2011 menguasai lebih dari 98% ternak di Indonesia dengan jumlahnya
masing-masing sebagai berikut: sapi pedaging 14.8 juta ekor, sapi perah 0.597
juta ekor, kerbau 1.305 juta ekor, kambing 16.946 juta ekor, domba 11.791 juta
ekor, kuda 0.409 juta ekor, babi 7.525 juta ekor, ayam lokal 264.340 juta ekor,
dan itik 43.488 juta ekor. Jutaan peternak dan ratusan juta ternak tersebut
merupakan aset penting dalam membantu program pemerintah menyediakan produk
ternak bagi bangsa Indonesia.
Prosedur dan Mekanisme SPR
Prosedur pembentukan Sentra Peternakan Rakyat (SPR) sangat ditentukan
berbagai pihak, tidak hanya Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan
(PKH). Partisipasi dalam bentuk usulan calon lokasi SPR dari masyarakat
menjadi penting dalam keberlanjutan SPR. Persetujuan dari Pemerintah Daerah
menjadi pondasi dan dukungan atas pembentukan SPR di daerah. Keterlibatan
Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian pertanian atau lembaga sejenisnya
menjadi penting untuk mendampingi SPR dalam melakukan transfer pengetahuan dan
teknologi, serta penguatan kapasitas peternak berskala kecil. Demikian
halnya dengan keberadaan Gugus Perwakilan Pemilik Ternak (GPPT) sangat
menentukan dalam hal membangun kesadaran untuk bertindak secara kolektif dari
peternak rakyat yang menjadi sasaran dalam pelaksanaan SPR. Sebagai “perpanjangan tangan” Dirjen PKH,
keberadaan manajer penting untuk menyampaikan laporan terkait segala hal yang
terjadi di lapangan.
Sementara itu, GPPT bersama Manajer dan Perguruang Tinggi menyusun rencana
aksi yang difasilitasi oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk merumuskan
kegiatan/aktivitas, rencana waktu, kurikulum pembelajaran, lokasi dan target,
serta sasaran dari setiap kegiatan yang akan dilaksanakan.
Untuk pembentukan lokasi SPR dapat
dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:
1. Lokasi SPR yang saat ini sebagai lokasi Sarjana
Membangun Desa Wirausahawan Pendamping (SMD WP) dan
daerah terpilih perbibitan yang masuk di dalam kawasan;
2. Lokasi SPR yang saat ini sebagai lokasi SMDWP
dan daerah terpilih perbibitan yang berada di luar kawasan; dan
3. Lokasi SPR yang berasal dari inisiatif lokal
yang diinisiasi oleh pemerintah daerah, perguruan tinggi, kepala desa,
organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain.
Visi
SPR
Peternak Mandiri dan Berdaulat.
SPR
dibangun dengan menjalankan 10 strategi.
Kegiatannya
menerapkan:
1. Teknologi Produksi;
2. Teknologi Pakan;
3. Pemuliaan dan Pembibitan;
4. Riset dan Pengembangan;
5. Pengembangan Jejaring;
6. Sosial Ekonomi;
7. Manajemen dan Bisnis.
Dalam Satu SPR minimal terdapat 1000 ekor induk dan maksimal
100 ekor pejantan.
Tujuan
SPR-1111 IPB didirikan dengan tujuan memberi ilmu
pengetahuan kepada peternak berskala kecil tentang berbagai aspek teknis
peternakan dan nonteknis yang melandasi terwujudnya perusahaan kolektif dalam
satu manajemen yang dikelola oleh satu manajer dalam rangka meningkatkan daya
saing usahanya untuk meningkatkan pendapatannya serta kesejahteraannya.
Hasil
Yang Diharapkan:
1. Berdirinya perusahaan kolektif
peternakan berbadan hukum milik peternak berskala kecil yang dikelola secara
profesional dan proporsional;
2. Ternak pedaging atau ternak
perah atau ternak unggas yang berkualitas dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan
bagi masyarakat Indonesia;
3. Ternak
bibit bersertifikat (pedaging, perah, atau unggas) untuk memenuhi kebutuhan
peternak lainnya; dan
4. Kedaulatan peternak berskala
kecil dan posisi tawar yang lebih tinggi.
Sumber :
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan