Kebijakan
dan program kesehatan hewan bertujuan untuk melindungi masyarakat dan hewan dari
ancaman penyakit hewan,melindungi
lingkungan, dan memfasilitasi
perdagangan. Dalam Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau,
aspek kesehatan hewan memegang peranan penting khususnya dalam pengendalian dan
penanggulangan penyakit hewan yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
produksi dan reproduksi dari hewan.
Dalam
rangka mensukseskan program pembangunan peternakan, beberapa program kesehatan
hewan yang penting diantaranya adalah: (1) Mempertahankan status bebas penyakit
mulut dan kuku (PMK) dan BSE serta peningkatan status kesehatan hewan, (2)
Penguatan pelayanan kesehatan hewan dan surveilans melalui Pusat Kesehatan
Hewan dan Laboratorium Kesehatan Hewan (veteriner),(3) Pemberantasan penyakit
hewan strategis secara bertahap, dan (4) peningkatan ketersediaan obat hewan
yang bermutu.
Pelaksanaan
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan yang didalamnya terdapat
komponen program mempertahankan status bebas penyakit hewan eksotik penting
seperti PMK dan BSE memerlukan adanya kebijakan teknis yang ketat berdasarkan
kaidah ilmiah dalam pelaksanaan pemasukan hewan dan produk hewan dari luar
negeri ke Indonesia. Hal ini diterapkan dalam bentuk penyusunan persyaratan
kesehatan hewan yang mengacu pada standar ilmiah dan berdasarkan kajian analisa
resiko dan rekomendasi pemasukanhanya diberikan dari Negara ataupun peternakan
tertentu yang telah memenuhi persyaratan teknis tersebut.
Program
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan memerlukan adanya infrastruktur
pendukung sebagai pelaksana di lapang.Salah satu komponen penting dari
infrastruktur dilapang ini adalah Pusat Kesehatan Hewan (PUSKESWAN) dalam
memberikan pelayanan kesehatan hewan bagi peternak di seluruh Indonesia
khususnya di basis-basis ternak baik secara aktif maupun pasif. Ke depan, peran
dan fungsi dari Puskeswan akan dioptimalkan dengan upaya mengintegrasikan
fungsi penyuluhan dan pelayanan peternakan dan kesehatan hewan ke dalam
puskeswan serta adanya penambahan jumlah Puskeswan sebanyak 1500 unit dan SDM
–nya sebanyak 1490 orang di seluruh Indonesia. Diharapkan nantinya semua
Puskeswan akan memiliki sumberdaya manusia yang sudah menjadi pegawai negeri
sipil.
Komponen
penting lain dalam pelayanan kesehatan hewan adalah adanya laboratorium
kesehatan hewan (veteriner) yang berkualitas. Saat ini Indonesia memiliki 8
(delapan) Balai Veteriner di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Ditjen PKH) yang berlokasi yang bertanggung jawab daam pengujian dan
surveilans. Kedelapan Balai Veteriner ini telah diakui memiliki kualitas yang
baik dalam pengujian dan pengelolaan laboratoriumnya, hal ini terbukti dengan
kepemilikan ISO 17025:2008 dan ISO 9001:2008 di semua Balai Veteriner di
maksud.Setiap Balai Veteriner telah ditetapkan menjadi
laboratorium referensi nasional untuk penyakit-penyakit hewan menular strategis
tertentu dengan keputusan Menteri Pertanian.Selain itu, Ditjen PKH juga
memiliki Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang
bertanggungjawab dalam melakukan pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan di
Indonesia. Selain memiliki ISO 17025:2008,
BBPMSOH juga telah diakui di tingkat Regional yaitu dengan adanya sertifikasi
dan akreditasi dari ASEAN sebagai laboratorium penguji vaksin hewan di tingkat
Regional Asia Tenggara (ASEAN), khususnya untuk vaksin-vaksin sebagai berikut: Newcastle Disease (live), Newcastle Disease (inaktif), Marek (live), Infectious Laryngtracheitis
(Live), Infectious Bronchitis (Live), Infectious Bronchitis (inaktif), Egg Drop
Syndrome ‘76 (inaktif), Coryza (inaktif), dan Fowl Cholera (inaktif).
Tabel.
Daftar UPT Lingkup Direktorat Jenderal Peternakan bidang Kesehatan Hewan dan
lingkup akreditasinya
No
|
Nama
UPT
|
ISO
17025:2008 (∑Metode Pengujian)
|
ISO
9001:2008
|
Referensi
Nasional
|
1
|
Balai Veteriner Medan
|
38
|
Ya
|
CSF dan PRRS
|
2
|
Balai Veteriner Bukittinggi
|
36
|
Ya
|
Rabies
|
3
|
Balai Veteriner Lampung
|
23
|
Ya
|
ND dan IBD
|
4
|
Balai Veteriner Subang
|
20
|
Ya
|
AI
|
5
|
Balai Besar Veteriner Wates
|
33
|
Ya
|
Anthrax, AI, BSE, Salmonella
|
6
|
Balai Veteriner Banjarbaru
|
44
|
Ya
|
Surra dan IBR
|
7
|
Balai Besar Veteriner Denpasar
|
26
|
Ya
|
Jembrana, SE
|
8
|
Balai Besar Veteriner Maros
|
23
|
Ya
|
BVD, Brucellosis
|
Unit
Pelaksana Teknis di Bawah Ditjen PKH di bidang kesehatan hewan adalah Pusvetma
yang merupakan salah satu Badan Layanan Umum di Kementerian Pertanian dan
bertanggungjawab dalam memproduksi vaksin dan antigen untuk pengujian penyakit
hewan tertentu.Pusvetma telah memiliki ISO 17025:2008 dan ISO 9001:2008 serta
telah mendapatkan sertifikasi Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB). Produk Pusvetma adalah sebagai berikut: (1)
Vaksin (Hogsivet, Lentovet, Komavet, JD Vet, Brucivet, Anthravet, Rabivet Supra
92, Septivet, Afluvet H5N1 Clade 2.3.2) dan (2) Antigen (RBT, ELISA Rabies, Pullorum,
Mycoplasma, AI, ND).
Beberapa
penyakit hewan yang penting antara lain yaitu: Avian Influenza (AI), Rabies dan
Brucellosis. Ketiga penyakit ini merupakan beberapa penyakit yang menjadi
prioritas dalam program pengendalian dan penanggulangan.Saat ini pemerintah
telah menetapkan sebanyak 25 penyakit hewan sebagai penyakit hewan menular
strategis (PHMS).
Avian
Influenza merupakan salah satu PHMS yang menjadi prioritas dalam pengendalian
dan penanggulangan. Kasus pertama AI
ditemukan pada tahun 2003 dan kemudian dengan adanya lalu lintas hewan dan
produknya, AI menyebar ke wilayah lain di Indonesia. Saat ini hampir semua
provinsi tertular AI dan hanya Maluku Utara yang merupakan daerah bebas AI di
Indonesia.Sampai tahun 2012 di Indonesia hanya ditemukan clade 2.1.3, namun
kemudian pada tahun 2012 ditemukan clade baru pada itik yaitu clade 2.3.2 yang bisa
menyerang ayam juga. Kewaspadaan dan pelaksanaan program pengendalian dan
penanggulangan perlu tetap diintensifkan untuk mencegah terjadinya kasus,
sekaligus mengendalikan penyakit.Kewaspadaan juga harus diberikan kepada
kemungkinan timbulnya H7N9 seperti yang terjadi di beberapa Negara pada tahun
2013.
Vaksinasi
merupakan salah satu alat utama dalam program pengendalian dan penanggulangan
AI di Indonesia, untuk pengendalian AI clade 2.1.3, Indonesia telah mampu
memenuhi kebutuhan vaksin dengan produksi dalam negeri sejak tahun 2012.
Pencapaian lainnya adalah ketika terjadi wabah AI clade 2.3.2, Pemerintah
berhasil melakukan isolasi virus dengan cepat untuk kemudian dikembangkan
menjadi seed untuk produksi vaksin.Saat ini vaksin untuk clade 2.3.2 telah diproduksi
dalam negeri. Dalam rangka program pengendalian dan penanggulangan AI secara
bertahap, Pemerintah telah mengembangkan Road map pembebasan AI dengan target
Indonesia bebas AI pada tahun 2020 sejalan dengan target dari ASEAN.
Penyakit
Hewan Menular Strategis yang menjadi prioritas lain adalah Rabies. Rabies
ditemukan di 24 Provinsi di Indonesia, dan 9 (Sembilan) Provinsi dinyatakan
sebagai daerah bebasbaik daerah yang memang secara historis bebas seperti Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa
Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat, maupun provinsi yang berhasil dibebaskan
dengan program pemberantasan yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan
Jawa Timur.Saat ini wilayah bebas secara historis dalam tahapan pernyataan
bebas secara formal dengan pembuktian ilmiah sesuai standar OIE, salah satu
daerah bebas historis yang telah dinyatakan secara formal adalah Provinsi
Bangka Belitung pada tahun 2013. Program pemberantasan Rabies secara bertahap
dilaksanakan di Indonesia dan diharapkan bahwa Indonesia dapat mencapai status
bebas pada tahun 2020 bersama dengan Negara-negara ASEAN lain.
Dalam
rangka pencapaian tersebut, kini telah disusun masterplan (road map) pemberantasan
Rabies secara bertahap di Indonesia. Pada
tahun 2014, Provinsi Klimantan Barat direncanakan dapat dinyatakan bebas Rabies
sesuai standar Internasional setelah dilakukan surveilans terstruktur oleh
Balai Veteriner Banjarbaru. Adapun wilayah lain seperti Sulawesi Utara, Pulau
Nias, Flores dan Lembata, serta Bali dalah tahap pengendalian secara intensif. Salah
satu pencapaian yang penting terkait program pengendalian dan penanggulangan
Rabies adalah penerapan konsep One Health dalam pemberantasan Rabies di Bali
melalui Tata Laksana Kasus Gigita Hewan Terpadu (TAKGIT) dijadikan salah satu
kisah sukses penerapan one health di ASEAN.
Salah
satu PHMS penting dan sangat berpengaruh pada PSDSK adalah
Brucellosis.Brucellosis endemic di sebagian wilayah Indonesia. Namun dengan
program pengendalian dan penanggulangan serta dukungan surveilans yang baik,
Indonesia berhasil membebaskan/menyatakan bebas beberapa wilayah di Indonesia
dari Brucellosis, wilayah-wilayah tersebut adalah: Bali (2002), Lombok dan
Sumbawa (2006), Regional II : Sumatra Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau
(2009), Regional V : Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah (2009), dan Regional III : Lampung, Bangka-Belitung,
Bengkulu, dan Sumatra Selatan (2011). Pada saat ini beberapa wilayah dalam
tahapan pembebasan/surveilan pembebasan.Dalam rangka perencanaan yang lebih
baik dan optimalisasi pelaksanaan program, telah disusun master plan (road map)
pembebasan bertahap Brucellosis di Indonesia dengan target Indonesia bebas
Brucellosis tahun 2025.Pada tahun 2014 ini, direncanakan beberapa daerah
seperti Provinsi Sumatra Utara, Pulau Madura (Jawa Timur) dan Pulau Sumba (NTT)
dapat dibebaskan dan dinyatakan dengan keputusan Menteri Pertanian.
Penyakit
Hewan Menular Strategis lain yang menjadi prioritas dalam pengendalian dan penanggulangan
adalah classical swine fever (CSF), saat ini merupakan salah satu masalah
penting di sentra-sentra peternakan babi. Salah satu pencapaian penting dalam
program pengendalian dan penanggulangan CSF adalah telah berhasilnya
pengendalian CSF di Provinsi Sumatra Barat dan direncanakan bahwa pada tahun
2014 Provinsi Sumatra Barat dapat dinyatakan bebas dari CSF sesuai dengan
standar OIE.
Program
penting lainnya dalam pelaksanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit
hewan adalah peningkatan ketersediaan obat hewan yang bermutu.Adanya BBPMSOH
telah memberikan jaminan bahwa obat yang beredar dan telah disertifikasi di
Indonesia berkualitas dari segi mutunya. Mengingat adanya jaminan mutu
tersebut, walau Indonesia masih mengimpor obat hewan, Indonesia juga telah
mampu mengekspor obat hewan ke beberapa Negara lain. Tercatat bahwa obat hewan Indonesia berhasil
diekspor ke 15 negara untuk produk biologik, 14 negara untuk produk farmasetik
dan 20 negara untuk produk premiks. Terdapat kecenderungan peningkatan volume (ton)
dan nilai (USD) dari ekspor obat hewan ini dalam 5 (lima) tahun terakhir.
No comments:
Post a Comment