Konferensi para menteri anggota Organsasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-9 telah berakhir pada hari Sabtu tanggal 7 Desember 2013. Hasil konferensi di Bali ini dapat menurunkan rasa putus asa yang semakin menumpuk setelah bertahun-tahun konferensi WTO tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti. Sejak Putaran Doha (Doha Round) diluncurkan pada tahun 2001 di Doha-Qatar, negosiasi tidak pernah mengalami kemajuan. Bali yang indah mempesona, hangat, sekaligus memiliki aura yang menenangkan hati, tampaknya mampu membuat para delegasi saling memberi dan menerima, yang pada akhirnya sampai pada kesepakatan. Kesepakatan konferensi WTO di Bali, yang disebut Paket Bali, disambut gembira oleh negara-negara para peserta konferensi, yang memiliki berbagai latar belakang ideologi pembangunan ekonomi yang berbeda-beda.
Perdebatan Putaran Doha, atau disebut juga Agenda
Pembangunan Doha, dimaksudkan untuk menciptakan aturan tunggal yang berlaku
bagi 159 negara anggota WTO di berbagai bidang, seperti menurunkan pajak impor,
mengurangi subsidi pertanian yang mendistorsi perdagangan, dan menciptakan
prosedur standar kepabeanan. Dengan disepakati dan diterapkannya
aturan-aturan yang seragam tersebut, diharapkan pergerakan barang antar negara
dapat lebih lancar dan perdagangan dunia semakin meningkat lebih cepat.
Dasar pemikiran Putaran Doha adalah, jika seluruh negara menjalankan
aturan perdagangan yang sama maka semua negara akan dapat memperoleh keuntungan
dari perdagangan, baik itu negara kaya maupun negara miskin. Perdagangan
yang semakin berkembang diharapkan akan menciptakan peluang-peluang usaha yang
lebih banyak lagi dan membuka kesempatan kerja yang lebih besar.
Dalam prakteknya, banyak negara yang merasa bahwa
perdagangan yang lebih bebas ternyata tidak memberikan manfaat seperti yang
diharapkan. Perdagangan memang meningkat pesat, baik volume maupun
nilainya, namun distribusi manfaat dari perdagangan itu dipandang belum
adil. Pada aspek keadilan inilah kritik keras disuarakan oleh banyak
pihak di luar ruang-ruang konferensi WTO di berbagai tempat dan waktu.
Dalam sambutan pembukaan konferensi WTO di Bali, Presiden RI juga mengingatkan
perlunya perdagangan yang memenuhi aspek keadilan bagi semua.
Aspek keadilan telah menjadi hambatan utama bagi
konferensi-konferensi WTO untuk mencapai kesepakatan di tahun-tahun sebelumnya,
dan mungkin juga di tahun-tahun mendatang. Tiadanya kemajuan yang berarti
dalam konferensi-konferensi Putaran Doha WTO telah menyebabkan banyak negara
membuat kesepakatan-kesepakatan perdagangan bilateral dan
kesepakatan-kesepakatan perdagangaan regional dan antar kawasan, seperti
Trans-Pacific Partnership antara Amerika Serikat dengan 11 negara kawasan
Pasifik ataupun pasar bebas Amerika Serikat dengan Uni Eropa. Itu
sebabnya, kesepakatan yang berhasil dicapai pada konferensi WTO di Bali ini
dipandang sebagai salah satu tonggak penting pagi kemajuan menuju Agenda Pembangunan
Doha, sekaligus menyelamatkan relevansi WTO sebagai lembaga perdagangan
multilateral.
Paket Bali (Bali
Package) terdiri dari 10 dokumen yang mencakup fasilitasi perdagangan,
pertanian, dan berbagai isu pembangunan. Paket Bali memberikan ruang dan
fleksibilitas bagi negara-negara berkembang untuk mengatur kebijakan ketahanan
pangannya. Bagi Indonesia, Paket Bali tidak memberikan hambatan terhadap
agenda-agenda ketahanan pangan dan pembangunan pertanian yang selama ini telah
dijalankan. Subsidi maksimal sebesar 10 persen dari total produksi pangan
dalam rangka stok untuk ketahanan pangan, yang menjadi isu panas dalam
konferensi WTO di Bali, juga belum pernah terlampaui oleh Indonesia.
Perbaikan prosedur kepabeanan yang ada dalam Paket Bali, juga telah menjadi
program pemerintah selama ini. Perbaikan prosedur kepabeanan di Indonesia
tidak hanya dimaksudkan agar barang lebih mudah mengalir keluar-masuk, tetapi
juga agar korupsi dan pungutan liar dapat dihilangkan dari kepabeanan.
Posisi pemerintah Indonesia tetap tegas dalam
menempatkan pertanian sebagai sektor strategis dalam pembangunan.
Pemerintah menyadari sektor pertanian masih menjadi sumber matapencaharian bagi
mayoritas tenaga kerja di Indonesia, dan di sektor ini masih banyak petani yang
taraf kehidupannya perlu ditingkatkan. Indonesia juga telah mengalami
dampak buruk dari lonjakan-lonjakan harga pangan. Harga pangan yang naik
tajam tidak saja menurunkan daya beli dan mendorong inflasi, tetapi juga
menimbulkan berbagai masalah sosial dan politik. Iklim yang semakin tidak
mudah diramalkan menjadikan risiko produksi dan risiko harga meningkat,
sehingga ketahanan pangan Indonesia menjadi rentan apabila sepenuhnya
mengandalkan pada pasar internasional. Indonesia tetap perlu memiliki
stok pangan sebagai salah satu faktor penunjang penting ketahanan pangan.
Stok pangan nasional pada tingkat yang aman juga tetap diperlukan untuk
program-program pengentasan kemiskinan dan dalam menghadapi bencana.
Berbagai aspek tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjuangan
Indonesia di berbagai forum WTO. Dalam konferensi WTO di Bali, Indonesia
bersama-sama dengan negara berkembang lain tetap memperjuangkan subsidi
pertanian.
Bagi Indonesia Paket Bali bukanlah akhir, tetapi awal
dari upaya-upaya lebih keras untuk meningkatkan daya saing pertanian, ketahanan
pangan nasional, dan kesejahteraan petani. Subsidi dan topangan harga
adalah kebijakan-kebijakan jangka pendek yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Tetapi kebijakan-kebijakan
ini sering tidak berkelanjutan hasilnya dan juga dapat menciptakan
ketidakadilan baru, karena sifatnya yang poorly
targeted. Kebijakan yang bertumpu hanya pada harga sering mengalami
hambatan dari sisi penyediaan anggaran dan ketepatan waktu, sehingga
efektivitasnya redah. Kebijakan harga dapat membenturkan kepentingan
produsen dengan kepentingan konsumen, apabila anggaran yang dialokasikan tidak
memadai.
Kebijakan meningkatkan harga untuk membantu produsen dapat berarti
naiknya harga di tingkat konsumen. Sebaliknya, menurunkan harga di
tingkat konsumen bisa berdampak menekan harga yang diterima petani.
Keberlanjutan pertanian tergantung pada
kebijakan-kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara
berkelanjutan. Perbaikan dan pembangunan sarana dan prasarana pertanian,
jalan desa, kelembagaan pemasaran faktor produksi dan hasil produksi, akses
terhadap sarana produksi, akses terhadap tanah dan kapital, dan penemuan
benih/bibit unggul dan teknik budidaya pertanian yang lebih baik adalah
tugas-tugas publik yang perlu terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, untuk
memastikan petani meningkat kesejahteraannya. Tugas pemerintah, dari
tingkat pusat sampai daerah, untuk memastikan bahwa produktivitas pertanian terus
tumbuh dari tahun ke tahun. Tanah-tanah pertanian juga perlu terus
dikembangkan dan tidak hanya mengandalkan tanah-tanah di Jawa. Untuk itu
diperlukan pemuliaan tanaman dan pengembangan teknologi budidaya yang sesuai
dengan kondisi agro-ekologi setempat.
Kebijakan harga dan subsidi harga memang hasilnya
dapat secara cepat dapat dilihat daripada kebijakan non-harga. Itu
sebabnya kebijakan harga dan subsidi harga adalah kebijakan yang paling banyak
digunakan di berbagai negara. Namun kebijakan harga dan subsidi harga
memiliki banyak kelemahan dari aspek sosial ekonomi, karena sifatnya yang
distortif.
Sebaliknya kebijakan non-harga memerlukan kerja keras dan
waktu yang lebih lama untuk memperlihatkan hasilnya. Kebijakan non-harga,
seperti kebijakan irigasi, kebijakan kelembagaan, maupun kebijakan teknologi
memerlukan konsistensi dan persistensi dalam jangka panjang, sebelum hasilnya
dapat dilihat dan dirasakan dengan nyata. Pada aspek inilah tampaknya
yang belum dimiliki Indonesia, yaitu konsistensi dan persistensi kebijakan
pertanian dari waktu ke waktu, antar pemerintahan dan antar generasi.
Perjalanan Putaran Doha, dimana Paket Bali menjadi bagiannya, diperkirakan
masih memerlukan waktu panjang dan masih tinggi risikonya untuk gagal.
Namun berbagai upaya peningkatan kesejahteraan petani perlu lebih keras lagi
dilakukan. Peningkatan kesejahteraan petani adalah suatu keharusan dan
tidak perlu menunggu Putaran Doha selesai didiskusikan dan diterapkan.
Dapat dikatakan bahwa primadona KTM WTO di Bali adalah
isu pertanian, khususnya proposal dari G-33 terkait pembentukan stok pangan
bagi masyarakat miskin dan kelonggaran subsidi bagi petani miskin. Di sini, negera maju duduk bersama membahas
satu dari tiga isu utama perundingan sektor pertanian : domestic support di
negara berkembang (dua isu lain adalah akses pasa dan subsidi ekspor produk
pertanian).
Keberhasilan G-33 untuk mendapatkan peace clause dalam paket Bali sangat
berarti. Semua negara anggota WTO menyadari bahwa perundingan isu pertanian
harus mencakup ketiga isu di atas. Kesepakatan
Bali menyangkut usulan G-33 belum tuntas, tetapi memberi rung negara berkembang
mengatasi dulu kondisi domestiknya.
Dengan peace
clause, negara berkembang yang memberikan dukungan domestik melebihi yang
disepakati di Putaran Uruguay 1986-1994- yakni 10 persen dari total out put
pertanian – tidak akan ditintut ke panel sengketa WTO. Solusi permanen atas proposal G-33 tentunya
jauh lebih penting dari pada sekedar peace
clause yang berlaku empat tahun.
Perundingan atas proposal G-30 diwarnai kekhawatiran mengenai
potensi terjadinya distorsi pasar khusunya bila sengaja atau tidak sengaja stok
pangan merembes ke pasar internasional dan mengganggu ketahanan pangan negara
lain. Dilihat dari kepentingan
Indonesiakesepakatan di atas akan membantu Indonesia untuk memastikan bahwa
kebijakan subsidi negara lain, seperti Malaysia melalui Bernas dan India
melalui Foof Corp, tidak mendistorsi pasar Indonesia untuk produk serupa yang
dihasilkan petani Indonesia, atau mengganggu kebijakan ketahanan pangan dalam
negeri Indonesia. Kebijakan di atas juga memberi ruang bagi Indonesia
untuk subsidi dan tidak akan dianggap menyalahi perjanjian sepanjang tidak
mengganggu pasar negara lain.
Sumber:
- Paket Bali WTO dan Relevansinya Bagi Pertanian
Indonesia
Oleh Harianto, Staf Khusus Presiden RI Bidang Pangan dan Energi (http://www.setkab.go.id/artikel-11423-paket-bali-wto-dan-relevansinya-bagi-pertanian-indonesia.html) - Paket Bali dan Manfaatnya bagi RI oleh Iman Pambagyo (Kompas 10 Januari halaman 7).
No comments:
Post a Comment