Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 10 January 2014

Manfaat Paket Bali WTO Bagi Pertanian Indonesia




Konferensi para menteri anggota Organsasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-9 telah berakhir pada hari Sabtu tanggal 7 Desember 2013.  Hasil konferensi di Bali ini dapat menurunkan rasa putus asa yang semakin menumpuk setelah bertahun-tahun konferensi WTO tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti.  Sejak Putaran Doha (Doha Round) diluncurkan pada tahun 2001 di Doha-Qatar, negosiasi tidak pernah mengalami kemajuan.  Bali yang indah mempesona, hangat, sekaligus memiliki aura yang menenangkan hati, tampaknya mampu membuat para delegasi saling memberi dan menerima, yang pada akhirnya sampai pada kesepakatan.  Kesepakatan konferensi WTO di Bali, yang disebut Paket Bali, disambut gembira oleh negara-negara para peserta konferensi, yang memiliki berbagai latar belakang ideologi pembangunan ekonomi yang berbeda-beda.
 
Perdebatan Putaran Doha, atau disebut juga Agenda Pembangunan Doha, dimaksudkan untuk menciptakan aturan tunggal yang berlaku bagi 159 negara anggota WTO di berbagai bidang, seperti menurunkan pajak impor, mengurangi subsidi pertanian yang mendistorsi perdagangan, dan menciptakan prosedur standar kepabeanan.   Dengan disepakati dan diterapkannya aturan-aturan yang seragam tersebut, diharapkan pergerakan barang antar negara dapat lebih lancar dan perdagangan dunia semakin meningkat lebih cepat.  Dasar pemikiran Putaran Doha adalah, jika seluruh negara menjalankan aturan perdagangan yang sama maka semua negara akan dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan, baik itu negara kaya maupun negara miskin.  Perdagangan yang semakin berkembang diharapkan akan menciptakan peluang-peluang usaha yang lebih banyak lagi dan membuka kesempatan kerja yang lebih besar. 
Dalam prakteknya, banyak negara yang merasa bahwa perdagangan yang lebih bebas ternyata tidak memberikan manfaat seperti yang diharapkan.  Perdagangan memang meningkat pesat, baik volume maupun nilainya, namun distribusi manfaat dari perdagangan itu dipandang belum adil.  Pada aspek keadilan inilah kritik keras disuarakan oleh banyak pihak di luar ruang-ruang konferensi WTO di berbagai tempat dan waktu.  Dalam sambutan pembukaan konferensi WTO di Bali, Presiden RI juga mengingatkan perlunya perdagangan yang memenuhi aspek keadilan bagi semua. 
Aspek keadilan telah menjadi hambatan utama bagi konferensi-konferensi WTO untuk mencapai kesepakatan di tahun-tahun sebelumnya, dan mungkin juga di tahun-tahun mendatang.  Tiadanya kemajuan yang berarti dalam konferensi-konferensi Putaran Doha WTO telah menyebabkan banyak negara membuat kesepakatan-kesepakatan perdagangan bilateral dan kesepakatan-kesepakatan perdagangaan regional dan antar kawasan, seperti Trans-Pacific Partnership antara Amerika Serikat dengan 11 negara kawasan Pasifik ataupun pasar bebas Amerika Serikat dengan Uni Eropa.  Itu sebabnya, kesepakatan yang berhasil dicapai pada konferensi WTO di Bali ini dipandang sebagai salah satu tonggak penting pagi kemajuan menuju Agenda Pembangunan Doha, sekaligus menyelamatkan relevansi WTO sebagai lembaga perdagangan multilateral.    
Paket Bali (Bali Package) terdiri dari 10 dokumen yang mencakup fasilitasi perdagangan, pertanian, dan berbagai isu pembangunan.  Paket Bali memberikan ruang dan fleksibilitas bagi negara-negara berkembang untuk mengatur kebijakan ketahanan pangannya.  Bagi Indonesia, Paket Bali tidak memberikan hambatan terhadap agenda-agenda ketahanan pangan dan pembangunan pertanian yang selama ini telah dijalankan.  Subsidi maksimal sebesar 10 persen dari total produksi pangan dalam rangka stok untuk ketahanan pangan, yang menjadi isu panas dalam konferensi WTO di Bali, juga belum pernah terlampaui oleh Indonesia.  Perbaikan prosedur kepabeanan yang ada dalam Paket Bali, juga telah menjadi program pemerintah selama ini.  Perbaikan prosedur kepabeanan di Indonesia tidak hanya dimaksudkan agar barang lebih mudah mengalir keluar-masuk, tetapi juga agar korupsi dan pungutan liar dapat dihilangkan dari kepabeanan.   

Posisi pemerintah Indonesia tetap tegas dalam menempatkan pertanian sebagai sektor strategis dalam pembangunan.  Pemerintah menyadari sektor pertanian masih menjadi sumber matapencaharian bagi mayoritas tenaga kerja di Indonesia, dan di sektor ini masih banyak petani yang taraf kehidupannya perlu ditingkatkan.  Indonesia juga telah mengalami dampak buruk dari lonjakan-lonjakan harga pangan.  Harga pangan yang naik tajam tidak saja menurunkan daya beli dan mendorong inflasi, tetapi juga menimbulkan berbagai masalah sosial dan politik.  Iklim yang semakin tidak mudah diramalkan menjadikan risiko produksi dan risiko harga meningkat, sehingga ketahanan pangan Indonesia menjadi rentan apabila sepenuhnya mengandalkan pada pasar internasional.  Indonesia tetap perlu memiliki stok pangan sebagai salah satu faktor penunjang penting ketahanan pangan.  Stok pangan nasional pada tingkat yang aman juga tetap diperlukan untuk program-program pengentasan kemiskinan dan dalam menghadapi bencana.  Berbagai aspek tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjuangan Indonesia di berbagai forum WTO.  Dalam konferensi WTO di Bali, Indonesia bersama-sama dengan negara berkembang lain tetap memperjuangkan subsidi pertanian.

Bagi Indonesia Paket Bali bukanlah akhir, tetapi awal dari upaya-upaya lebih keras untuk meningkatkan daya saing pertanian, ketahanan pangan nasional, dan kesejahteraan petani.  Subsidi dan topangan harga adalah kebijakan-kebijakan jangka pendek yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani.  Tetapi kebijakan-kebijakan ini sering tidak berkelanjutan hasilnya dan juga dapat menciptakan ketidakadilan baru, karena sifatnya yang poorly targeted.  Kebijakan yang bertumpu hanya pada harga sering mengalami hambatan dari sisi penyediaan anggaran dan ketepatan waktu, sehingga efektivitasnya redah.  Kebijakan harga dapat membenturkan kepentingan produsen dengan kepentingan konsumen, apabila anggaran yang dialokasikan tidak memadai.  

Kebijakan meningkatkan harga untuk membantu produsen dapat berarti naiknya harga di tingkat konsumen.  Sebaliknya, menurunkan harga di tingkat konsumen bisa berdampak menekan harga yang diterima petani. 

Keberlanjutan pertanian tergantung pada kebijakan-kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara berkelanjutan.  Perbaikan dan pembangunan sarana dan prasarana pertanian, jalan desa, kelembagaan pemasaran faktor produksi dan hasil produksi, akses terhadap sarana produksi, akses terhadap tanah dan kapital, dan penemuan benih/bibit unggul dan teknik budidaya pertanian yang lebih baik adalah tugas-tugas publik yang perlu terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, untuk memastikan petani meningkat kesejahteraannya.  Tugas pemerintah, dari tingkat pusat sampai daerah, untuk memastikan bahwa produktivitas pertanian terus tumbuh dari tahun ke tahun.  Tanah-tanah pertanian juga perlu terus dikembangkan dan tidak hanya mengandalkan tanah-tanah di Jawa. Untuk itu diperlukan pemuliaan tanaman dan pengembangan teknologi budidaya yang sesuai dengan kondisi agro-ekologi setempat.

Kebijakan harga dan subsidi harga memang hasilnya dapat secara cepat dapat dilihat daripada kebijakan non-harga.  Itu sebabnya kebijakan harga dan subsidi harga adalah kebijakan yang paling banyak digunakan di berbagai negara.  Namun kebijakan harga dan subsidi harga memiliki banyak kelemahan dari aspek sosial ekonomi, karena sifatnya yang distortif.  

Sebaliknya kebijakan non-harga memerlukan kerja keras dan waktu yang lebih lama untuk memperlihatkan hasilnya.  Kebijakan non-harga, seperti kebijakan irigasi, kebijakan kelembagaan, maupun kebijakan teknologi memerlukan konsistensi dan persistensi dalam jangka panjang, sebelum hasilnya dapat dilihat dan dirasakan dengan nyata.  Pada aspek inilah tampaknya yang belum dimiliki Indonesia, yaitu konsistensi dan persistensi kebijakan pertanian dari waktu ke waktu, antar pemerintahan dan antar generasi.  Perjalanan Putaran Doha, dimana Paket Bali menjadi bagiannya, diperkirakan masih memerlukan waktu panjang dan masih tinggi risikonya untuk gagal.  Namun berbagai upaya peningkatan kesejahteraan petani perlu lebih keras lagi dilakukan.  Peningkatan kesejahteraan petani adalah suatu keharusan dan tidak perlu menunggu Putaran Doha selesai didiskusikan dan diterapkan.

Dapat dikatakan bahwa primadona KTM WTO di Bali adalah isu pertanian, khususnya proposal dari G-33 terkait pembentukan stok pangan bagi masyarakat miskin dan kelonggaran subsidi bagi petani miskin.  Di sini, negera maju duduk bersama membahas satu dari tiga isu utama perundingan sektor pertanian : domestic support di negara berkembang (dua isu lain adalah akses pasa dan subsidi ekspor produk pertanian).

Keberhasilan G-33 untuk mendapatkan peace clause dalam paket Bali sangat berarti. Semua negara anggota WTO menyadari bahwa perundingan isu pertanian harus mencakup ketiga isu di atas.  Kesepakatan Bali menyangkut usulan G-33 belum tuntas, tetapi memberi rung negara berkembang mengatasi dulu kondisi domestiknya.

Dengan peace clause, negara berkembang yang memberikan dukungan domestik melebihi yang disepakati di Putaran Uruguay 1986-1994- yakni 10 persen dari total out put pertanian – tidak akan ditintut ke panel sengketa WTO.  Solusi permanen atas proposal G-33 tentunya jauh lebih penting dari pada sekedar peace clause yang berlaku empat tahun.

Perundingan atas proposal G-30 diwarnai kekhawatiran mengenai potensi terjadinya distorsi pasar khusunya bila sengaja atau tidak sengaja stok pangan merembes ke pasar internasional dan mengganggu ketahanan pangan negara lain. Dilihat dari kepentingan Indonesiakesepakatan di atas akan membantu Indonesia untuk memastikan bahwa kebijakan subsidi negara lain, seperti Malaysia melalui Bernas dan India melalui Foof Corp, tidak mendistorsi pasar Indonesia untuk produk serupa yang dihasilkan petani Indonesia, atau mengganggu kebijakan ketahanan pangan dalam negeri Indonesia. Kebijakan di atas juga memberi ruang bagi Indonesia untuk subsidi dan tidak akan dianggap menyalahi perjanjian sepanjang tidak mengganggu pasar negara lain.

Sumber:
  1. Paket Bali WTO dan Relevansinya Bagi Pertanian Indonesia
    Oleh Harianto, Staf Khusus Presiden RI Bidang Pangan dan Energi (http://www.setkab.go.id/artikel-11423-paket-bali-wto-dan-relevansinya-bagi-pertanian-indonesia.html)
  2. Paket Bali dan Manfaatnya bagi RI oleh Iman Pambagyo (Kompas 10 Januari halaman 7).

No comments: