Avian
Influenza (AI) merupakan penyakit yang mempunyai dampak ekonomi yang sangat
besar pada perunggasan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada
pertengahan tahun 2003, laporan outbreak AI terjadi di Indonesia dimana unggas
yang terinfeksi AI menunjukkan gejala klinis seperti pial dan jengger
membengkak dan kebiruan (sianosis), muka bengkak dan keluar cairan dari hidung
dan mulut, ptekhi subkutan pada kaki dan telapak kaki, tortikolis, diare dan
kematian yang sangat tinggi. Beberapa tahun kemudian, dinamika perkembangan
kasus AI yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kasus AI
yang terjadi pada unggas dengan kematian mendadak tanpa menunjukkan gejala
klinis sebelumnya. Di Indonesia, kasus AI pada manusia ditemukan pertama kali
di Kabupaten Tangerang pada tahun 2005. Perkembangan kasus AI pada manusia di
Indonesia sebanyak 150 orang kematian dari 182 orang yang positif terinfeksi
H5N1 sampai dengan akhir tahun 2011 (DEPKES, 2011). Umumnya, penyakit
influenza pada manusia menyerang saluran pernafasan yang ditandai dengan demam,
sakit kepala, nyeri otot (mialgia), batuk, lesi, kebengkakan (coryza), sakit
tenggorokan dan batuk (CHIN, 2006).
Penyakit Avian Influenza disebabkan virus influenza yang
berdasarkan taxonominya termasuk dalam family Orthomyxoviridae. Virus ini
merupakan virus RNA, berpolaritas negatif, mempunyai envelope dan genomnya
bersegmen. Masing-masing segmen dari virus Influenza tipe A terdiri dari
protein Polymerase component 2 (PB2), Polymerase component 1(PB1) dan
Polymerase component (PA) yang mengkodekan Polymerase, Hemaglutinin (HA),
Nucleocapsid (NP), Neuraminidase (NA), Matrix Protein 1 (M1), Matrix Protein
2(M2), Non Structural Protein 1 (NS1) dan Non Structural Protein 2 (N2). Virus
Avian Influenza berdasarkan kemampuannya dalam menimbulkan penyakit pada unggas
dikarakterisasi menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low
Pathogenic Avian Influenza (LPAI) (SENNE et
al., 1996; PERDUE dan SWAYNE, 2005), sedangkan berdasarkan genetik
dan antigenik, virus influenza dibedakan menjadi tipe A, B dan C. Avian
Influenza atau flu burung termasuk virus Influenza tipe A. Virus influenza A
dapat menginfeksi berbagai unggas, mamalia dan manusia (ALEXANDER, 1982 ;
WEBSTER et al.,
1992). Virus influenza tipe A dibedakan menjadi beberapa subtipe
berdasarkan kombinasi 2 antigen permukaan utama yaitu Hemaglutinin (HA)
dan Neuraminidase (NA). Saat ini, 16 subtipe HA dan 9 subtipe NA telah
diidentifikasi yang memungkinkan berpotensi menjadi 144 kombinasi subtipe.
Virus AI subtipe H5N1 dianggap sebagai agen yang bertanggung jawab terhadap
pandemik influenza pada manusia yang terjadi akhir-akhir ini (FOUCHIER et al., 2005).
Unggas air liar Anseriformes (itik, entok dan angsa) dan
Charadriiformes (burung camar (laut), burung laut, burung liar) yang
keberadaannya tersebar di dunia merupakan reservoir alami dan inang virus
influenza A yang paling heterogen (WEBSTER et al., 1992). Unggas air liar
merupakan reservoir yang unik untuk virus avian influenza
dikarenakan burung air terutama unggas air merupakan reservoir semua
subtipe H dan N virus avian influenza dimana virus AI berkembangbiak dalam
jumlah besar didalam saluran pencernaan unggas air tanpa menimbulkan gejala
klinis (OLSEN et al.,
2006). Keragaman sirkulasi virus AI pada unggas air semakin memperkuat dugaan
bahwa unggas air berperan penting dalam penularan virus AI ke manusia (BAIGENT et al., 2003).
Umumnya, itik merupakan salah satu unggas air yang sensitif
terhadap infeksi AI. Penelitian yang dilakukan HANSON et al. (2005) menunjukkan
hasil bahwa beberapa subtipe hemaglutinin yaitu H2, H7, H8 dan H1 dapat
dideteksi dari berbagai jenis itik (Anas
crecca, Anas
cyanoptera, Anas
discors, Anas
acuta, dan Anas
discors) yang tinggal di Texas. Keberadaan itik yang tersebar luas
di dunia dan kemampuan itik untuk dapat berpindah atau berpergian dalam jarak
yang sangat jauh dan dihubungkan sebagai carrier dari satu daerah ke daerah
yang lain (BROCHET et al.,
2010; NAGY et al.,
2009). Penggembalaan itik secara bebas dan berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya terutama pada saat musim panen merupakan faktor yang berperan terhadap
penyebaran virus HPAI H5N1 (GILBERT et
al., 2006). Di Indonesia, pengembalaan itik secara berpindah
pada musim panen juga terjadi dimana itik secara berkelompok dibiarkan bebas
berkeliaran untuk mencari makan sendiri di sawah yang habis panen dan
selanjutnya, itik ini akan berpindah ke sawah lain apabila makanan di sawah
sebelumnya sudah mulai habis. Perpindahan itik ini berlangsung selama beberapa
hari dan dalam jarak yang cukup jauh dimana kondisi ini sangat mendukung
terjadinya penyebaran virus oleh itik yang terinfeksi virus AI dari satu tempat
ke tempat lainnya melalui shedding virus. Gambar 1 menunjukkan penggembalaan
unggas air (itik) secara berpindah dari sawah satu ke sawah lain di Indonesia
pada saat musim panen.
Gambar 1. Penggembalaan itik sistem berpindah (Foto: Livestockreview, 2012; Zakialjufri.com, 2010)
Apabila infeksi dan shedding virus terjadi terus menerus, virus LPAI akan
mempunyai kemampuan untuk bermutasi menjadi HPAI. Virus AI yang tidak patogenik
dalam itik dapat menjadi virus patogenik melalui evolusi atau adaptasi dalam
tubuh itik, dan virus tersebut akan bersifat sangat patogenik apabila
menginfeksi ayam peliharaan atau peternakan ayam. Hal ini menunjukkan kemampuan
itik untuk menularkan virus kepada unggas lain tanpa menderita penyakit yang
parah (HULSE-POST et al.,
2005; KEAWCHAROEN et al.,
2008). Namun demikian, virus AI H5N1 akhir-akhir ini dapat menyebabkan penyakit
yang parah pada itik dengan angka kematian yang tinggi, dan itik yang
terinfeksi AI baik dengan gejala klinis atau tanpa menunjukkan gejala klinis
dan mampu mengeluarkan virus AI dalam jumlah yang sangat besar melalui kloaka
dan oropharing (STRUM-RAMIREZ, 2004).
Virus influenza selama periode infeksi dapat dikeluarkan
itik dalam jumlah besar melalui feses selama 7 hari, bahkan mungkin sampai 21
hari. Itik air sangat peka dan mudah terinfeksi oleh virus influenza AI melalui
makanan dan air yang dikonsumsi (KIDA et al., 1980). Habitat itik yang
dekat dengan lingkungan air sangat memungkinkan untuk transmisi virus influenza
melalui air. Air merupakan suatu media yang disukai untuk penyebaran
virus AI nonvirulent dan sebagian virus AI sangat virulent diantara spesies
unggas yang berkumpul dalam suatu lahan yang basah (unggas air, burung laut dan
burung pantai). Virus AI masih dapat bersifat infektif dalam air yang tergenang
selama 4 hari pada suhu 22oC dan lebih dari 30 hari pada suhu 0oC.
Virus AI akan bertahan dalam periode yang lebih lama lagi jika berada dalam
daerah atau lahan dingin (STALLKNECHT et al., 1990). Di Indonesia, laporan
kasus AI umumnya akan meningkat pada saat musim hujan dimana kelembaban tinggi
menjadi faktor pendukung terhadap perkembang biakan dan penyebaran virus AI di
lingkungan. Hasil penelitian terhadap sirkulasi virus AI subtipe H5 pada unggas
termasuk unggas air di Jawa Barat, Banten, Jawa Timur sepanjang tahun 2008
sampai 2009 yang dilakukan HEWAJULI dan DHARMAYANTI (Unpublised, 2012)
menunjukkan bahwa virus AI subtipe H5 ditemukan pada sebagian besar unggas
termasuk unggas air yang dikoleksi pada musim hujan sedangkan sebagian besar
unggas yang diambil sampelnya pada musim kemarau tidak teridentifikasi virus AI
subtipe H5. Suhu yang tinggi pada musim kemarau kemungkinan menyebabkan virus
AI yang ada di lingkungan menjadi inaktif. CHANG et al. (2004) menyatakan bahwa virus AI dapat
diinaktifasi pada suhu 560C selama 3 jam atau suhu 600C selama 30 menit,
dengan pH <5 atau="atau" ph="ph">8. Gambar 2 menunjukkan kebiasaan unggas air
yang sering berhubungan dengan lingkungan air merupakan faktor resiko terhadap
penularan virus AI ke lingkungan sekitar. 5>
Gambar 2. Itik yang berpotensi menularkan virus AI ke lingkungan (foto: Kulinerkita, 2009)
Pada dasarnya, virus Avian Influenza tidak dengan mudah menginfeksi manusia (BEARE et al.,1991) dikarenakan manusia tidak memiliki reseptor a(2,3) sialyllactose (Neu-Ac2,3Gal) untuk penempelan virus dengan sel epitel. Meskipun demikian, gen virus AI dapat ditularkan diantara manusia dan spesies unggas sebagaimana yang diperlihatkan oleh virus human reasortant yang menyebabkan pandemik influenza pada tahun 1957 dan 1968 (KAWAOKA et al.,1989). Struktur virus Influenza A yang termasuk virus RNA, single stranded, dan terdiri dari 8 segmen dengan gen yang berbeda adalah faktor-faktor yang kemungkinan berpotensi besar sebagai penyebab terjadinya genetic reassortment pada infeksi campuran dengan virus yang berbeda dalam tubuh unggas serta dapat merubah virus AI menjadi virus yang patogen pada manusia (ALEXANDER, 1982; DASZAK et al., 2006; HEENEY, 2000). Di Indonesia, masyarakat setempat mempunyai kebiasaan bertempat tinggal atau hidup berdampingan dengan unggas peliharaan dan unggas air dalam satu lingkungan tempat tinggal. Kondisi ini seperti yang terlihat pada Gambar 3. memberikan peluang yang sangat besar terjadi pencampuran genetik antara virus influenza manusia dan unggas.
Gambar 3.Manajemen pemeliharaan itik yang sering kontak dengan manusia (Foto: Faisal, 2012)
Faktor-faktor yang berperan terhadap peningkatan kasus zoonosis pada manusia meliputi kontak antara manusia dan hewan baik hewan peliharaan maupun domestik dengan frekuensi yang tinggi serta peningkatan jumlah perdagangan hewan liar di dunia (KARESH et al., 2005). Penularan dari manusia ke manusia merupakan faktor resiko yang sangat berbahaya dalam menyebarkan semua jenis penyakit patogen. Namun demikian, penularan langsung dari hewan ke manusia untuk beberapa penyakit zoonosis seperti Avian Influenza juga merupakan faktor resiko yang sangat penting untuk diwaspadai dan diperlukan suatu upaya pengendalian penyebaran virus AI dengan memutus mata rantai penyebaran tersebut sehingga munculnya wabah penyakit dapat diminimalkan. FAO bersama dengan WHO telah bekerjasama dalam perencanaan upaya pengendalian dan pemberantasan outbreak HPAI yang terjadi di dunia akhir-akhir ini.
Upaya-upaya pengendalian penyebaran dan pemberantasan virus
AI yang sudah menjadi program pemerintah selama ini sebaiknya harus secara nyata
diterapkan di lapangan dalam rangka upaya untuk memotong mata rantai penyebaran
virus AI dari unggas. Pada tahun 2004, Direktorat Jenderal Peternakan
Departemen Pertanian mengeluarkan kebijakan strategi No. 17/Kpts/
PD.640/F/02/04 yang meliputi 1). penerapan biosekuriti yang tepat, 2).
depopulasi selektif di daerah tertular, 3). vaksinasi, 4). pengendalian lalu
lintas unggas, 5). surveilen dan penelusuran, 6). peningkatan kesadaran
masyarakat, 7). pengisian kandang kembali, 8). stamping out di daerah tertular
baru, 9). monitoring, pelaporan dan evaluasi. Sembilan langkah ini diharapkan
mampu mencegah penyebaran penyakit AI lebih lanjut. Namun demikian, penyakit
ini telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia sejak diketemukan tahun
2003. Sampai dengan tahun 2011, propinsi yang tidak terjadi kasus AI adalah
Maluku, Papua, Papua Barat dan Maluku Utara tetapi pada April tahun 2012,
penyakit AI telah menjadi endemis di 32 propinsi dan hanya 1 propinsi yang
dinyatakan bebas AI yaitu propinsi Maluku Utara. Untuk itu, suatu
pengembangan strategi alternatif untuk pencegahan dan pengendalian
penyebaran virus AI yang efektif sangat diperlukan. Program pengendalian dan
pemberantasan AI memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dan intensif mencakup
tindakan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan AI pada unggas pekarangan,
peternakan unggas komersial, itik dan sepanjang rantai pemasaran unggas serta
melibatkan semua pihak. Pada tahun 2012, strategi utama pengendalian AI yang
ditetapkan pemerintah melalui Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian dititik beratkan pada 1) peraturan perundangan, 2) public
awareness, 3) biosekuriti di farm dan rantai pemasaran unggas, 4) depopulasi
terbatas di daerah endemis dan stamping out didaerah bebas, 5) surveilans yang
meliputi partisipasi, prevalensi, pembebasan dan monitoring dinamika virus, 6)
pengawasan lalu lintas, 7) vaksinasi tertarget di daerah kasus tinggi, 8)
restrukturisasi perunggasan (DIRKESWAN, 2012).
Pengendalian HPAI tidak bisa hanya dilakukan melalui pendekatan teknis saja.
Selain bervariasinya masalah otoritas yang menangani kesehatan hewan di tingkat
Propinsi dan Kabupaten/Kota serta besarnya populasi unggas di Indonesia, banyak
faktor lain yang menjadikan kendala pengendalian seperti aspek kesehatan
masyarakat, dampak ekonomi, sosial budaya, politik, dan efek psikologis
kasus AI sangat menonjol sehingga penanggulangan penyakit AI sangat kompleks
(SYAH, 2011). Selain itu, kerjasama yang baik antara masing-masing instansi
yang berkaitan dengan kesehatan hewan dan manusia serta masyarakat harus selalu
dibina dalam upaya pengendalian dan pemberantasan penyebaran virus AI dari
unggas ke manusia.
No comments:
Post a Comment