Jepang adalah salah satu negara yang
masyarakatnya memiliki kualitas hidup yang tinggi. Tingkat konsumsi protein
asal hewani sudah sangat baik, tingkat kesadaran pemerintah dan rakyat Jepang
terhadap modal memajukan bangsa adalah dengan mencerdaskan SDM juga sangat
baik, peningkatan SDM tidak bisa lepas dari asupan pangan asal ternak yang
memiliki korelasi positif terhadap tingkat intelegensi SDM. Kesadaran ini juga
didukung dengan langkah nyata dalam upaya penyediaan pangan asal ternak
yang cukup dan berkualitas. Namun karena keterbatasan lahan maka produksi
daging dan susu dalam negeri belum mampu swasembada sehingga Jepang pun
melakukan Import dari Negara lain. Produksi daging sapi dalam negeri hanya mampu
memenuhi 42% dari kebutuhan, dan produksi daging tersebut 43%nya berasal dari
daging sapi wagyu.
Jenis sapi wagyu memiliki kelas terbaik dan mendominasi konsusmi daging sapi di
negeri ini. Hal ini lebih disebabkan karena jenis sapi ini memiliki kualitas
perlemakan / marbling yang sangat
baik (hingga skala 12), dan arah konsusmi masyarakat sudah mengarah kepada
kenikmatan dan kesehatan pangan. Sehingga arah program pengembangan peternakan
di Jepang khususnya sapi potong pun sudah berorientasi kearah kualitas, bukan
hanya kuantitas.
Secara dasar perbedaan sapi dari
Negara Amerika atau Australia dengan sapi wagyu ini adalah dari cita rasa, sapi
barat mengandalakan cita rasa daging sebagai otot, tetapi wagyu menyuguhkan
kehalusan citarasa yang lebih abstrak, dituangkan lewat metamorfosa lemak ke
minyak. Maka, dipilihlah sapi yang paling empuk dagingnya dan kurang berkembang
ototnya tetapi berpotensi besar dikembangkan lemaknya. Dan perlemakan yang
unggul ini lebih dominan disebabkan faktor genetik, terutama pada wagyu berbulu hitam (Japanese black). Selain itu daging sapi wagyu ini
memiliki kadar lemak baik yang lebih tinggi hingga mencapai 52%.
Jepang memiliki 4 jenis sapi potong
yang biasa disebut Wagyu yaitu Japanese black, Japanese brown, Japanese shorthorn dan Japanese
polled. Keempat jenis sapi wagyu tersebut memilki keunggulan dan ciri khas masing-masing. Japanese black merupakan
produsen "marbled
beef” yang paling bagus, dengan penampilan fisik mencapai tinggi 147 cm dengan
berat 720 kg untuk jantan dan tinggi 130 cm dengan BB 450 kg untuk betina.
Berbeda halnya dengan sapi Japanese brown
memilki karakter yang
lebih tahan terhadap suhu tinggi dan adaptasi terhadap pakan kasarpun tinggi,
tetapi kualitas daging yang dihasil rendah dibanding Javanese black, dan
ferformance fisiknya mencapai tinggi 153 dengan BB 1 ton untuk jantan dan
betinanya memiliki tinggi 134 cm dengan BB 600 kg.
Sapi Japanese shorthorn memiliki karakter kualitas daging yang memiliki
serat tebal dan kualitas perlemakan yang rendah jika dibandingkan dengan sapi
Javanese black, tetapi kelebihannya mampu memanfaatkan pakan kasar secara lebih
efisien dan mampu beradapatasi pada iklim di daerah bagian utara Jepang serta
kemampuan adaptasi terhadap metoda pengembalaan di padangan (performan jantan :
145 cm tinggi dan 1 ton BB, performance betina tinggi : 130 cm dan 580 kg BB.
Lain lagi halnya dengan sapi jenis Japanese polled merupakan sapi yang memiliki
karakter lebih kuat dibanding Japanese black namun kualitas daging dan
perlemakan yang rendah, adapun penampilan fisik untuk jantan mencapai tinggi
137 cm dengan BB 800 kg sedangkan sapi betina tinggi sekitar 122 cm dan BB 450 kg.
Persentase jenis sapi penyuplai
daging di Jepang, Wagyu menempati
urutan teratas sebanyak 43%, nomor dua dairy
breed sebanyak 31%, nomor tiga cross
breed sebanyak 24%, sedangkan yang lain hanya 2%.
Harga karkas per kg di Jepang, karkas
Wagyu menempati urutan teratas (termahal)
yakni 1.500 yen per kg, nomor dua Cross
breed yakni 1.100 yen per kg, sedangkan yang termurah dairy breed dengan harga 600 yen per kg.
Peningkatan Produksi Ternak
Seperti dijelaskan diatas, Jepang memiliki sumber daya
lahan yang terbatas dibanding banyak negara lainnya, dengan luasan sekitar 378
ribu km2 (Luas Indonesia 205% dari luasan Jepang). Populasi penduduk
mencapai 127 juta dan terletak pada zona daerah beriklim sedang dan dingin
serta merupakan daerah pegunungan, sehingga menjadi titik kritis dalam upaya
untuk memajukan usaha pembibitan ternak dan meningkatkan kapasitas dalam
pengembangan teknologi.
Pengembangan usaha pembibitan ternak yang dilakukan melalui
peningkatan kemampuan genetik ternak, sehingga dengan harapan dapat menghasilkan
produk yang berkualitas tinggi
dengan yang rendah. Inilah yang menjadi arah dalam pengembangan
dunia peternakan di Jepang dewasa ini.
Sehingga program peningkatan produktivitas ternak sangatlah penting. Pengertian
peningkatan produktivitas ternak yaitu dapat meningkatkan pendapatan peternak
dan menyuplai produk peternakan dengan stabil dan aman untuk masyarakat melalui
peningkatan kualitas dan kuantitas produk.
1. Peningkatan Kualitas
a) Perbandingan daging sapi yang berkualitas
tinggi: 39.4% (1995) menjadi 48.1 % (2007)
b) Fat (%) : 3,44 (1975) menjadi 3,99
(205)
c) SNF(%): 8,18 (1975) menjadi 8,79
(2005)
Peningkatan kualitas ini memiliki
dampak pada peternak yaitu dapat meningkatkan
nilai tambah pada produk peternakan, dan dapat meningkatkan keuntungan pada
usaha peternakan. Sedangkan pada tingkat konsumen dapat mengkonsumsi produk
peternakan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
2. Peningkatan kuantitas
a)
Penambahan berat badan/ hari untuk sapi potong 0,60 kg (1975) menjadi 0,73
kg (2005)
b)
Produksi susu/ekor untuk sapi perah dari 4,5 kg (1975) menjadi 7,9 kg
(2005)
Tentunya peningkatan kuantitas
inipun memberi keuntungan bagi peternak yaitu dapat menurunkan biaya produksi
pada produk peternakan dan perbaikan pada usaha peternakan cadangkan bagi
konsumen tentunya memberi jaminan suplai pada produk peternakan secara stabil
dan dapat membelinya dengan harga yang rasional.
Teknologi Pakan
Selain faktor genetik yang
merupakan hasil dari proses yang begitu panjang, tentunya keunggulan genetik
tersebut tidak akan tampil secara optimal ketika pakan sebagai faktor dominan diabaikan. Bahkan di Jepang pengelolaan peternakan dilakukan secara
modern meskipun di tingkat peternak kecil, sangat familiar dengan teknologi
mekanisasi.
Pemanfaat lahan di Jepang
terdiri dari 66% hutan, 12,6% lahan pertanian, 4,9% lahan untuk
bangunan, 3,6% wilayah air, 3,5% jalan dan 9% Iain2. Sedangkah pembagian lahan
pertanian terdiri dari 38,1% pady field,
21,1% forage crops, 13% sayuran,
gandum-ganduman 6,2%, buah 6% dan Iain2 15,5%.
Dengan pemanfaatan lahan sekitar
21% (901.500 ha) untuk tanaman pakan, dapat memproduksi TDN sebanyak 4.305 ton
sedangkan kebutuhan mencapai 5.546 ton sehingga mampu memenuhi hingga 78% dari
kebutuhan roughage berbeda halnya
dengan bahan-bahan campuran konsentrat yang hampir 90% dipenuhi oleh import.
Terdapat tiga sistem pemeliharaan
yang banyak ditemui di Negara Jepang
1. Dua puluh empat jam sapi berada
di pengembalaan, dengan system rotasi paddock. Teduhan hanya pohon secara
alami. Bahkan banyak peternak yang tidak menambahkan konsentrat pada ternaknya,
namun mineral block disebarkan di pengembalaan guna mengantisipasi rendahnya
unsur mikro pada rumput padangan. Sistem inipun terbagi menjadi 2 metoda
yang banyak diterapkan oleh peternak di Jepang, yaitu :
1) Sistem rotasi dengan rata-rata luasan pengembalaan hanya berkisar 0,5 ha (grazing 3
bulan dan housing 5-6 bulan)
2) Sistem tradisional continuous
grazing seluas 2 ha ditempatkan beberapa ekor sapi berdasarkan daya tampung padang pengembalaannya
(grazing 1 bulan dan housing 7-8 bulan).
Biaya produksi untuk menghasilkan calf pada metoda tradisional lebih
tinggi dibanding dengan metoda rotasi, sehingga sekarang banyak peternak
beralih pada system rotasi yang memanfaatkan solar electrical fence.
2. Dua puluh empat
jam sapi berada di kandang, pada sistem ini tentunya kualitas permablingan akan
lebih baik. Pada sistem ini pemberian pakan biasanya terdiri dari dua cara :
1) Menggunakan complete feed, yang merupakan campuran dari silase, hay dan
konsentrat, bahkan banyak peternak yang memfermentasi kembali complete feednya melalui penerapan
teknologi silase.
2) Pemberian hay / silase terpisah
dengan konsentrat. Namun dari kedua cara
tersebut mineral blok senantiasa tersedia dikandang.
3. Sistem angon, kandang berada disisi
padang pengembalaan, jika merasa kepanasan/kedinginan sapi dengan sendirinya
kembali ke kandang.
Sumber :
Hesti Natalia,
Perkembangan Teknologi Peternakan di negeri Sakura. Infofeed Volume 2 No. 2 Juli 21012. Hal.
28-29